Terlahir sebagai generasi 90-an sudah barang tentu saya terlahir sebagai pecinta sepak bola Italia. Bukan karena liga lain tidak bagus tapi lebih dikarenakan faktor non teknis, ketika itu hanya liga Italia saja yang banyak disiarkan oleh TV swasta. Masih sangat jarang televisi menyiarkan liga Inggris ketika itu, apalagi liga Spanyol. Singkat cerita hati saya langsung kepincut dengan satu club besar Italia, club yang menghuni kota mode di Italia, club yang menjadi rumah besar bagi pemain-pemain hebat dari seluruh dunia ketika para competitor yang lain bangga memakai jasa pemain asli Italia. Ya, Internazionale Milan menjadi cinta pertama saya dalam memahami sepak bola dengan segala ceritanya.

Tapi tentu saya tidak akan berterima kasih kepada Inter karena memang bukan Inter yang menjodohkan saya kepada sepak bola. Selayaknya orang tua yang menjadi wali nikah pada anaknya, maka sudah sepatutnya saya berterima kasih dan mempersembahkan sungkem saya kepada bapak saya karena sudah mengawinkan saya dengan sepak bola. Ketika anak-anak lain seusia saya sibuk bermain dengan teman-temannya, saya juga sibuk, tapi, bukan bermain bersama teman melainkan sibuk menonton bola dengan bapak saya yang pada akhirnya membuat saya larut dalam euphoria dan mengacuhkan ajakan bermain dari teman-teman.

Mungkin harapan bapak mengenalkan saya pada sepak bola agar bisa mengikuti jejak nya sebagai pemuja AC Milan, tapi apa boleh di kata, jiwa berontak saya sudah muncul pada saat itu ketika saya lebih memilih memuja Inter Milan yang notabene rival sekota AC Milan. Ketika bapak sibuk mendoktrin saya akan kehebatan Paolo Maldini dan tajamnya sundulan Oliver Bierhoff “liat tuh, kayak gitu kalo main bola”. Itulah kalimat yang terucap dari mulut bapak. Tapi saya malah terhanyut dengan keindahan samba yang di bawa Ronaldo ke Inter Milan dan kecepatan Javier Zanetti dalam menggiring bola “pemain Milan ada gak yang bisa main kayak dia?”. Sahut saya membalas omongan bapak. Ratusan kali bapak meyakini saya bahwa AC Milan lebih baik dari Inter tapi ribuan kali saya mentahkan omongan orang yang sudah sangat amat berjasa ini.

Masih jelas dalam benak ini ketika tangisan Ronaldo mengiringi kegagalan Inter Milan meraih Scudetto pada laga pamungkas liga di tahun 2002 yang sekaligus membuat air mata saya meluncur tajam untuk pertama kalinya akibat sepak bola, yang sekaligus membuat bapak saya tersenyum “jahat” melihat tangisan saya, itulah pertama kali dan satu-satunya bapak sangat senang melihat saya menagis. Sepak bola, terutama liga Italia memberi arti penting dalam hidup saya, mengingat saya tidak terlalu banyak menghabiskan waktu mengobrol dengan bapak, tapi melalui bola saya bisa menjadi lebih intim dengan bapak dan berbicara banyak tentang sepak bola. Dia lah corong ilmu utama saya dalam mengarungi sepak bola secara kaffah.

Tidak sehati dengan bapak di tingkat club, akhirnya saya menemukan kecocokan di tingkat yang lebih tinggi lagi, tim nasional. Kami adalah satu-satunya orang yang mendukung belanda di kampung ketika itu. Kami benar-benar bahu-membahu mendukung Belanda pada Euro 2000 dan saya langsung terpingkal-pingkal melihat kecepatan lari Marc Overmars di sisi lain bapak sudah lama mengagumi si kembar Frank De Boer. Saya tidak tahu persis kenapa saya bisa sangat mengidolai tim nasional Belanda, tapi yang pasti, bagi saya, bapak sangat mirip dengan Frank Rijkaard yang merupakan legenda sepak bola Negeri Tulip tersebut. Mungkin itu alasan yang sangat klise, tapi saya mau kata apa kalau seperti itulah nyatanya.

Gagalnya niatan bapak menjadikan saya seorang Milanisti nyata nya tidak menyurutkan niatnya untuk mencari pelampiasan, dan alhamduillah cita-citanya pun terwujud melalui cucu pertamanya yang sekarang menjadi Milanisti sejati. Yang anehnya adalah saya yang mengajari cucunya ( keponakan saya ) bermain bola dan orang pertama yang mengajaknya nonton bola, tapi apa mau di kata dia lebih memilih bersama dengan kakeknya mendukung AC Milan. Saya kena karma!. Pernah satu malam ketika pertandingan Derby antara AC Milan dan Inter Milan berlangsung dan kami bertiga pun menonton pertandingan itu secara Khusuk. Pertandigan yang pada akhirnya di menangkan Inter dengan skor mencolok 4-0 pun menjadi pelengkap hari saya ketika itu. Tapi sebenarnya bukan itu saja yang menjadikan malam saya bahagia, namun saya merasakan kami adalah benar-benar keluarga lintas generasi yang gila bola. bayangkan saja, sang ayah, anak, dan cucunya berkumpul dalam sunyinya malam dan semuanya terbalut indah dalam setiap debat-debat kecil yang tersaji selama pertandingan berjalan.

Kegilaan saya, bapak, dan keponakan saya pada sepak bola bisa di katakan sudah tingkat akut. Bagaimana tidak, bapak rela menghabiskan uangnya untuk membeli peralatan televisi agar tetap bisa menonton bola ketika siaran bola disana tidak bisa di nikmati akibat channelnya yang di tutup oleh pihak stasiun TV dan jadilah rumah kami kandang bagi seluruh pecinta bola sekampung. Kami selaku anak dan cucunya selalu disuruh untuk menyediakan cemilan-cemilan yang di lengkapi kopi hitam pekat khas Aceh dan bungkusan rokok aneka warna untuk menemani para tamu yang datang untuk menikmati “pesta” 

Sungguh itu menjadi pengalaman sepakbola yang menyenangkan, bahkan jauh lebih menyenangkan daripada kebiasaan nobar saya setahun belakangan ini.
Bertahun-tahun lamanya momen itu telah lewat tapi tidak ada satu memori pun yang terlewatkan dalam pikiran saya. Mungkin pula kecintaan saya terhadap Inter sedikit memudar seiring kedatangan Erik Tohir ke Appiano Gentille tapi kecintaan saya terhadap bapak selaku Tifosi Milan yang telah memberikan saya memori dan cerita indah akan sepak bola mustahil pudar, karena tanpa beliau mustahil pula saya menyukai sepak bola, mustahil juga si cucu ini mengikuti jejaknya.

Kecintaan bapak terhadap sepak bola pada akhirnya mencapai titik nadir ketika hobinya yang selalu ingin “menjadi saksi sejarah” tiap tengah malam yang di temani dengan setumpuk biji kopi dan gumpalan asap rokok merenggut sendi-sendi dan kekuatan tubuhnya perlahan demi perlahan.

 Demi kesehatan dan kecintaannya kepada kami semua dia pun rela mengurangi dan bahkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan itu, karena, sebesar apapun cintanya terhadap sepak bola dia tidak akan pernah mau kompromi akan kecintaannya pada keluarga. Merasa semakin lemah dengan keadaanya, dia pun dengan lantang meminta saya untuk mengurangi kebiasaan nonton bola saat tengah malam. Alasannya jelas, bapak tidak ingin saya akan berakhir seperti dirinya. Bahkan demi saya pula, dia menguatkan dirinya untuk bangkit dari tidurnya sembari menahan rasa sakit yang sedang ia derita dan mematikan TV yang sedang saya tonton sambil berucap “jangan sampe wanda jadi sakit kayak bapak” dengan nada tinggi. Sontak kejadian itu membuat tangisan saya jatuh hingga membanjiri wajah, bukan karena di marahi, tapi karena sebuah kalimat singkat yang keluar dari suara renta nya yang tepat menusuk dada.

Pada akhirnya dia pun menyerah dan menyatakan dirinya kalah pada sang pemilik nyawa. Tak ada yang di sesalkan dalam hidupnya karena dia selalu dikelilingi anak-anak dan cucu-cucunya yang begitu mencintainya, dia pula yang telah mewariskan keindahan sepak bola kepada anak dan cucunya. Yang ada, penyesalan itu menimpa diri saya, sepanjang hidup saya akan menyesal karena belum bisa membalas kebahagiaan seperti yang dia berikan.  

Kini dia telah menetap abadi disana dan tidak lagi menikmati sisa-sisa keindahan sepak bola yang semakin lama semakin tergores dengan indah. Tapi hingga tiba saatnya nanti saya akan kembali menghampirinya untuk mengantarkan sepenggal kisah indah itu padanya. Sama seperti pertama kali dia mengawali cerita indah sepak bola kepada saya pada satu malam minggu di tahun 1996



Spanyol merupakan negara yang terletak di Eropa barat yang berbatasan langsung dengan Portugal, Perancis, dan Italia. Sebagai negara terbesar eropa keempat, Spanyol bisa dikatakan sebagai sedikit dari negara Eropa yang meiliki banyak suku dan bahasa. Seperti Basque, Catalonia, Andalusia. Bahkan di setiap daerahnya bahasa Spanyol diucapkan dengan dialek yang berbeda-beda.

Hampir sama halnya dengan Spanyol, Indonesia sebagai negara kepulauan juga memiliki beragam bahasa dan budaya. Menasbihkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nyata nya tidak membuat kaku mulut orang-orang Indonesia yang bermukim di pelosok negeri untuk berbicara dengan dialek yang berbeda-beda pula. Orang jawa belum tentu mengerti bahasa Indonesia nya versi orang aceh walaupun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia.

Tidak seluruh rakyat Spanyol bangga akan negaranya, bahkan banyak pula daerah-daerah yang iri dan sinis terhadap kota Madrid selaku ibukota negara. Penduduk Basque dan Catalan menuding Spanyol terlalu mementingkan kota Madrid saja dan meng-anak-tiri-kan daerah lainnya yang ada di Spanyol. Tak heran jika kedua daerah ini secara terang-terangan menentang Spanyol dengan Madridnya, bahkan di Basque sudah lama terbentuk Euskadi Ta Askatasuna ( ETA ) sebagai gerakan perlawanan untuk memerangi pemerintahan. Lain Basque lain pula Catalan, Barcelona selaku tanah yang di tempati warga Catalan memang tidak memiliki kelompok bersenjata seperti ETA, tapi soal nasionalisme ke-daerah-an penduduk Catalan tidak kalah, bahkan saya berani katakan penduduk Catalan lebih lantang bersuara tentang kemerdekaan Catalan. Barcelona yang memiliki club sepakbola terbaik dunia FC Barcelona pun “memanfaatkan” kegemilangan club Barcelona sebagai kampanye politiknya. Kita tentu cukup sering melihat spanduk-spanduk anti Spanyol ketika Barcelona bertanding, penduduk aslinya pun lebih senang bercampur bangga jika memakai bahasa Catalonia di kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan timnas sepakbola Catalan juga sempat terbentuk dan sudah melakoni satu pertandingan walaupun tak resmi.

Jika di Spanyol terdapat dua daerah yang ingin memerdekakan diri, maka di Indonesia, setidaknya, kita memiliki tiga kelompok yang tersebar di tiga provinsi yang menuntut kemerdekaan. Dari ujung timur Indonesia terdapat Operasi Papua Merdeka ( OPM ) dan Republik Maluku Selatan ( RMS ). Tapi tentu yang menyita perhatian dunia Internasional dan telah menghabiskan banyak waktu untuk berunding adalah Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang terletak di ujung barat Indonesia, yang pada akhirnya “keajaiban” Tsunami lah yang mendamaikan Aceh dan pemerintah Indonesia. Sebagai daerah yang sangat penduduknya menggilai sepakbola Aceh tidak memiliki Club sepakbola lokal yang bisa di banggakan, sehingga orang Aceh tidak terlalu menggemari sepakbola dalam negeri. 
Kecintaan warga Aceh terhadap tim nasional pun baru muncul belakangan ini saja, itupun karena munculnya putra-putra daerah yang mengharumkan nama bangsa.

Kemunculan gerakan-gerakan bawah tanah tersebut pun memiliki cerita yang sedikitnya sama, ETA dan perlawanan rakyat Catalan muncul di Spanyol akibat kelamnya masa lalu pemerintahan Jenderal Franco. Bahkan sang Jenderal terlalu jauh mencampuri urusan sepakbola Spanyol ketika itu, pada masanya Jenderal Franco memaksa club-club seperti Athletic Bilbao ( Basque ) dan Barcelona ( Catalan )mengganti lambang kebesaran mereka sesuka hatinya. dan pada perjalanannya, tidak merata nya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Spanyol lah yang “berperan besar” sebagai penyebab eksistensinya gerakan-gerakan sayap kiri tersebut .

 Sementara di Indonesia juga tidak terlalu berbeda, terlalu terpusatnya pembangunan di Jakarta dan sebagian pulau Jawa menimbulkan kecemburuan dari daerah lain yang sebenarnya memiliki kekayaan yang sangat amat melimpah seperti Aceh dan Papua, tapi pembangunan disana sangat jauh tertinggal. Sudah sepuluh tahun GAM dan pemerintah Indonesia tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa acuh tak acuh warga Aceh terhadap Jakarta. Rakyat Aceh boleh jumawa akan sumbangan besarnya terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia, mereka juga bisa bangga menerima kenyataan bahwa emas yang bertengger di ujung monas juga bagian sumbangan dari warga Aceh, Aceh juga patut bangga bahwa pesawat Garuda Indonesia yang sekarang menjadi sponsor Club ternama Inggris, Liverpool, mengawali penerbangannya melalui hasil sumbangan rakyat Aceh secara sukarela untuk membantu bangsa Indonesia. 

Untungnya tensi panas antara pemerintah Indonesia dan GAM tidak merembet ke urusan sepak bola seperti yang terjadi di Spanyol sana dengan Barcelona dan Athletic Bilbao nya. Mungkin hal ini bisa terjadi karena sepak bola Aceh memang tidak mampu berbicara lebih banyak di kancah Liga Indonesia. Mungkin juga dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar karena melihat kondisi keamanan di daerah Serambi Mekkah ini tidak kondusif, yaitu, ogahnya pemain luar berkualitas bermain untuk club Aceh atas pertimbangan keselamatan. Seiring perdamaian yang tercapai di bumi Aceh, euphoria rakyat Aceh akan sepak bola daerahnya mulai bergeliat lagi dengan munculnya club-club Aceh di pentas Indonesia Super League beberapa musim lalu dan tentu terpilihnya bocah-bocah Aceh untuk mewakili Indonesia di ajang Danone Cup U-12 di Perancis beberapa tahun lalu.
 Lebih dari kebanggaan sebagai orang Aceh, kita tidak perlu muluk-muluk menuntut merdeka. Merdeka tidak berarti rakyat Aceh hidup sejahtera ( lihat saja Timor Leste ). Tapi wajib hukumnya untuk pemerintah agar sadar dan melek dengan apa yang sudah di perbuat dan diperjuangkan rakyat Aceh pada masa kemerdekaan dulu. Dan, sebagai putra asli Aceh, saya bersyukur daerah paling barat Indonesia ini tidak jadi merdeka

Sebagai insan paling sempurna di muka bumi ini, kita manusia pasti pernah atau bahkan sering merasakan jatuh cinta. Cinta yang kita rasakan tidak melulu antar sesama umat manusia tapi terhadap sesuatu yang berbeda, misalnya cinta terhadap sebuah club sepakbola. terdapat beberapa persamaan  ketika kita mencintai seseorang dengan kita mencintai sepakbola.

Jika pada umumnya kita mencintai pasangan kita karena kecantikan atau ketampanannya maka dalam sepakbola kita tentu mencintai club tersebut karena keberhasilannya meraih banyak gelar. Atau ketika kita mencintai pasangan kita akan kebaikan hati nya walaupun tak berparas rupawan maka kita akan mencintai sebuah club bola karena keindahan permainan yang di pertontonkan sekalipun club tersebut tidak memenagkan sebuah gelar.

Mungkin ada juga yang mencintai seseorang hanya bermodalkan tampang rupawan tapi memiliki hati yang buruk. Jika dalam sepakbola, orang seperti ini mungkin akan saya masukkan ke dalam kategori orang yang hanya mencintai club nya karena gelar semata tanpa menyajikan permainan yang enak untuk di tonton. Pertanyaannya adalah apakah ada club seperti ini? Tentu ada. Atau mungkin kita hanya akan mencintai seseorang yang ingin yang kaya dan hanya akan menghamburkan kekayaan pasangan kita, dalam sepakbola mungkin ini bisa kita masukkan dalam kategori orang-orang yang hanya mencintai club nya karena membeli pemain-pemain mahal dan selalu menuntut club nya untuk terus menang.

Tapi apa jadinya ketika kita menganalogikan seorang yang hobi selingkuh? Sudah pasti orang ini tiap musimnya akan mengganti club idola nya sesuai dengan club mana yang mampu meraih titel juara. Namun, apa kabar dengan seorang playboy atau playgirl? Dalam hal sepakbola, mereka adalah orang-orang yang mempunyai club idola nya di setiap liga ternama di Eropa. Sehingga, jika salah satu club nya ada yang gagal maka masih ada club di liga lainnya yang bisa meraih kesuksesan. Nah, bagaimana dengan ini, ketika kita mencintai seseorang hanya untuk melampiaskan hasrat seksual kita? Saya tidak ingin menjawab ini. So, silahkan kalian jawab versi kalian sendiri ya.

Cinta adalah suatu keindahan hakiki yang berasal dari nurani setiap umat manusia. Seperti, mencintai sesama manusia yang adalah suatu keindahan, pun dengan mencintai sepakbola, walaupun sepakbola tidak melulu berbicara tentang keindahan, sekalipun kita tidak pernah meragukan sebuah keindahan yang ditimbulkan dari sepakbola. Bedanya, kita punya cukup banyak waktu menikmati keindahan yang terpancar dari pasangan kita, tapi pada saat tertentu bisa saja keindahan itu menimbulkan kejenuhan dalam diri, dalam sepakbola kita juga sering melihat keindahan itu, tapi, sayangnya kita jarang bisa menikmati keindahan tersebut karena memang terjadi satu kali, bahkan hanya berlangsung dalam waktu yang cukup singkat. Namun, itulah yang membuat kita tidak akan pernah jenuh mencintai sepakbola, sadar atau tidak, mau tidak mau, suka tidak suka, kita tentu tidak ingin ketinggalan satu detik pun momen yang tercipta di lapangan sepakbola.

Cinta pada seseorang juga tidak selamanya menceritakan kegembiraan, ada saatnya cinta menimbulkan kekecewaan ketika di tinggal oleh orang yang kita cintai, begitupula dengan sepakbola yang terkadang membuat kita meringis dalam tangis. Semiris hati fans Manchester United ketika di tinggal Sir Alex Ferguson atau sekencang tangisan Steven Gerrard ketika menginjakkan kakinya di Anfield untuk terakhir kali.

Tidak semua orang mencintai apa yang kita cintai, jangankan orang lain, bahkan keluarga kita pun terkadang tidak sehati dengan pilihan hati kita. Itupun terjadi dalam sepakbola. Setidaknya itulah yang terjadi di Liverpool ketika dalam satu keluarga terdapat 2 perbedaan yang cukup mencolok di saat sang ayah menjadi fans Everton tetapi sang anak terlahir sebagai pendukung Liverpool, atau keindahan yang terjadi dalam keluarga bintang Juventus Claudio Marchisio yang beristrikan seorang pemuja Torino, rival abadi Juventus.

Dua contoh diatas dengan jelas mengajarkan kita tidak bisa memaksakan kehendak kepada orang lain, kita juga tidak bisa memaksa orang lain mencintai apa yang kita cintai. Tapi dengan apa yang kita cintai, kita bisa menyatukan setiap perbedaan, permusuhan, bahkan kebencian sekalipun, karena kita hanya melihat kebencian dengan mata telanjang, berbeda halnya dengan cinta yang bisa Nampak jelas terlihat walau hanya dari mata hati setiap insan manusia yang terkadang sungkan di mengerti orang lain atau mungkin diri sendiri




Malam ini bisa jadi malam yang tidak pernah di harapkan pemain, pelatih, club, dan tentu saja fans Liverpool di seluruh bumi. Malam ini Liverpool akan menjamu Crystal Palace, tapi tentu bukan itu masalahnya. Masalah yang datang adalah masalah yang tak pernah di bayangkan oleh Kopites sebelumnya, suatu malam yang akan menjadi saksi sekaligus kunci keluarnya Steven George Gerrard dari tembok raksasa Anfield. Ya, Gerrard akan melakoni pertandingan terakhir nya di Anfield, bukan untuk mengakhiri karir nya melainkan untuk mengawali petualangan baru nya di Major League Soccer ( MLS ).

Kecintaan Gerrard yang begitu dalam membuat dia hanya ingin pergi ke luar Inggris, bahkan luar kawasan Eropa, ini di lakukan hanya untuk semata-semata untuk menghindarkan dirinya berhadapan dengan club yang di puja sepanjang hidupnya. Tidak ada nya gelar yang di persembahkan untuk Liverpool di tahun terakhirnya dan tanpa gelar Premier League selama masa baktinya di Anfield tak menciutkan, pun dengan fans yang tak akan pernah mengucilkannya, tak ada celah bagi kita untuk mengucilkan sang kapten.
ungkapan emosional Gerrard


Gerrard dengan kebesaran hati dan kerendahan jiwanya tidak di takdirkan menjadi pemain besar. Lebih dari itu, dia di ciptakan menjadi orang besar. Mengoleksi lebih dari 700 pertandingan dengan 10 gelar yang di rangkainya bersama Liverpool menjadi bukti bagaimana kebesaran orang ini. Bukan hanya fans dan club yang memujinya. Melebihi itu, pemain-pemain tenar dunia pun tak luput mengakui sosok ayah dari 3 putri ini.

Tentu kita familiar dengan nama Fransesco Totti, kapten sekaligus icon club AS Roma tersebut bahkan pernah berucap “ jika saya bukan kapten club maka orang yang pantas menjadi kapten saya hanya Gerrard”. Atau peraih Ballon D’or 2007 Ricardo Kaka yang berkata “ dari seluruh pemain hebat di dunia saya hanya ingin bermain bersama Gerrard”. Bahkan pelatih Chelsea yang notabene musuh bagi fans Liverpool Jose Mourinho bersabda “ dia adalah musuh yang paling saya hormati, 3 kali dengan club berbeda saya mencoba merayunya untuk bermain dengan saya, tapi semua di tolak mentah-mentah atas dasar kecintaannya pada Liverpool. Karir kepelatihan saya tidak akan lengkap tanpa melatih Gerrard”.

Rasa sayang Gerrard terhadap club melebihi segala nya, gelimangan uang dan limpahan gelar yang di tawarkan club lain tak mampu menggadaikan perasaannya pada Liverpool, hingga pada akhir nya ia sadar bahwa tak ada pemain yang lebih besar dari Liverpool ( semoga teman-teman paham maksud saya ). 
 
bentuk kecintaan fans terhadap loyalitas Gerrard
Gerrard yang pada masa kecil nya nyaris menjadi Evertonian ( sebutan bagi fans Everton ) pada nyata nya membaiat dirinya menjadi fans sembari legenda bagi para Liverpudlian. Di awali dengan menonton pertandingan derby Liverpool vs Everton ketika masih “seumur jagung” Gerrard saat itu sudah “terbius” dengan kehebatan Gary Lineker ( ketika itu memperkuat Everton ), namun kesadaran hati dan jiwanya tak mampu “membiusnya” lebih lama dari fenomena bernama Gary Lineker. “sejak momen itu, saya selalu percaya saya akan menjadi merah dan mimpinya adalah selalu mengikuti langkah setiap langkah kaki dari pemain Liverpool yang saya saksikan”. Cetus Gerrad ketika di wawancara oleh Liverpool TV.
potret kedekatan Gerrard dengan fans Liverpool


Gerrard adalah sosok pemain yang melebihi dari hanya sekedar pemain, tanpa menikmati gelar Premier League nyata nya tak mampu menutupi sosok kharismatik yang sudah “kepalang tanggung”  melekat pada dirinya. Hebat di lapangan tak jua menutupi kehebatannya di luar lapangan, Gerrard adalah orang yang merefleksikan karakter Liverpool dalam dunia nyata. Kharismanya yang melebihi legenda lain nya yang seakan menjadikan dia sebagai “guide” dalam menarik minat “wisatawan” agar tertarik dengan segala “pemandangan indah” yang ada di Liverpool.
fans Liverpool seolah tak ingin melepas kepergian sang kapten


Jika fans club lain mengidolai karena deretan gelar dan pemain mahal, maka fans Liverpool cukup mengeluarkan satu alasan yang cukup simpel. “ ya Gerrard lah”. Hanya dengan memanfaatkan pesona Gerrard telah mampu menghipnotis jutaan manusia untuk mencintai Liverpool.
Gerrard yang memberi kado pernikahan indah untuk fans nya

 
gerrard berada di tengah-tengah suporter (ada yang tau gerrard sebelah mana?)
 
fans wanita yang tak bisa menahan haru ketika permintaannya di penuhi sang kapten
Lana Del Rey tak ingin membuang kesempatan untuk berfoto bersama Gerrard ketika dia berkunjung ke Anfield

 
kehangatan dan kedekatannya bersama sang putri

Saya sendiri tidak bisa mengukur kebesaran Gerrard, kebesarannya tidak bisa di ukur dengan angka atau logika karena dia pun tidak bermain bola dengan logika melainkan dengan cinta. Saya pun sudah beberapa kali menulis tentang kapten Liverpool ini, tapi toh tetap tak bisa menghabiskan alasan untuk menggambarkan sosoknya yang “keterlaluan” besar. Mungkin juga seluruh fans Liverpool di dunia berharap kalau musim ini tidak akan pernah berakhir.
“Steven Gerrard is Our Captain
Steven Gerrard is a Reds
Steven Gerrard Plays for Liverpool
A Scouser Born and Bred”
YOU’LL NEVER WALK ALONE, Football Supernova’s  


Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo bisa saja berlomba-lomba menjadi pemain terbaik dunia tiap tahunnya, tapi tidak ada yang bisa berlomba menyaingi gol-gol “aneh” yang di ciptakan Zlatan Ibrahimovic. Bahkan pemain sekaliber Messi dan Ronaldo pun tidak mampu bersaing dengan Ibra dalam hal mencetak gol cantik nan unik.

Zlatan Ibrahimovic adalah pemain asal Swedia berdarah Bosnia. Dia mengawali karir profesionalnya bersama club kampung halamannya Malmo FC, setelah sederetan club-club besar eropa pernah di jajalnya mulai dari Ajax Amsterdam, Juventus, Inter Milan, Barcelona, AC Milan, dan sekarang memperkuat club kaya Perancis PSG. Semua club yang di belanya sudah merasakan gelar domestik akibat peran vitalnya. Di balik kehebatan dan keberhasilannya membawa club yang di bela menjadi juara liga, terbesit mitos yang cukup menarik yang mungkin membuat club-club besar enggan memilikinya. Setiap club yang di belanya bisa di pastikan tidak akan pernah meraih gelar Eropa dan tragisnya club yang di tinggalkan akan menjadi juara eropa di tahun berikutnya, setidaknya itu yang di alami Inter Milan dan Barcelona.
salah satu aksi "anehnya" ketika masih berseragam Juventus

Ketika Ibra meninggalkan Inter pada musim 2009-2010, inter yang ketika itu masih di latih Jose Mourinho langsung meraih trofi juara liga Chamipons sedangkan Barcelona yang pada tahun sebelumnya menjadi kampiun Eropa hanya mampu melaju sampai semifinal yang ketika itu di kalahkan Inter Milan ( club Ibra sebelumnya ). Ibra hanya menyelesaikan setahun petualangannya di Spanyol dan kembali ke Italia untuk memperkuat AC Milan, dan lagi-lagi Barcelona yang di tinggalkan meraih trofi liga Champions. Kesialan Ibra di ajang Eropa pun masih berlanjut sampai sekarang mengingat club yang di belanya saat ini PSG sudah tersingkir dari liga Champions dan lagi-lagi Barcelona yang menyingkirkan mereka ( lagi-lagi mantan club ).
gol ibra yang di lakukan secara tak wajar

Kembali ke masalah kemampuannya mencetak gol-gol “aneh”. Mantan pelatihnya di Inter Milan Jose Mourinho pernah berujar bahwa kelemahan Ibra hanya satu, dia tidak bisa mencetak gol-gol “gampangan”. Pernyataan Mou tentu sangat beralasan karena selama memperkuat Inter Ibra sudah mencetak gol dari seluruh bagian tubuhnya dengan berbagai cara, mulai dari kaki, kepala hingga dadanya sudah menjebol gawang lawan. Bahkan seluruh bagian kakinya bisa mencetak gol, kaki bagian luar, dalam, tumit, dan tapak kakinya pun sudah mencetak gol.
salah satu aksi Ibrahimovic yang menuai decak kagum

Kemampuan Ibra mencetak gol-gol “aneh” pun terbawa sampai ke negaranya. Tentu kita masih ingat bagaimana dia mencetak gol fenomenal ke gawang Inggris, satu gol di cetak melalui tendangan bebas yang sangat keras dan gol lainnya di cetak dengan cara “tak wajar”. Ya, tak wajar karena dia mencetak gol dengan tendangan salto dari tengah lapangan yang sekaligus menjadikan gol terbaik pada tahun 2013. 
gol spektakuler Ibra yang menjadi Goal of The Year


 
aksi "kungfu nya" ketika membobol jala Perancis
Mungkin wajar rasanya jika seorang Zlatan Ibrahimovic bisa mencetak gol dengan semua cara dan segala posisi yang hampir tidak mungkin bisa di lakukan oleh pemain lain, karena selain aktif bermain bola Ibra juga aktif ilmu bela diri dan dia adalah pemegang sabuk hitam Taekwondo ( mungkin ini alasan pemain-pemain lawan ogah cari perkara sama dia ). Kebugaran tubuhnya sebagai pemain bola “bersanding mesra” dengan kekuatan fisiknya sebagai atlet taekwondo dan menjadikannya pemain yang sangat jarang menderita cidera.

Istilah “tua-tua keladi semakin tua semakin jadi” mungkin cocok di sematkan dalam diri Ibra. Semakin tua nya umur toh tidak menghalanginya menciptakan gol-gol indah yang semakin tidak masuk akal. Club-club liga Perancis sudah merasakan gol salto, tumit, kepala, dada, dan tapak kaki nya. Seorang Ibrahimovic tidak membutuhkan Ballon D’or untuk terus mencetak gol-gol aneh yang tak wajar, dia akan terus di kenang sebagai pemain yang paling sempurna karena bisa memanfaatkan seluruh bagian tubuhnya untuk mencetak gol.

Banyak pemain yang di juluki sebagai new Messi atau New Ronaldo tapi pernah kalian mendengar pemain yang di juluki next Zlatan??? Tidak ada bukan, karena memang Zlatan Ibrahimovic mempunyai keistimewaan sendiri yang tidak bisa di samai oleh pemain lain. Atas jasa dan kontribusi nya di dunia sepak bola dan negara nya Swedia, nama “Zlatan” sudah di abadikan sebagai bahasa resmi Swedia dan tercantum dalam kamus bahasa Swedia yang berarti “kesempurnaan”. Suatu prestasi dan kebanggaan tersendiri yang tidak di miliki oleh pemain lain.