Terlahir
sebagai generasi 90-an sudah barang tentu saya terlahir sebagai pecinta sepak
bola Italia. Bukan karena liga lain tidak bagus tapi lebih dikarenakan faktor
non teknis, ketika itu hanya liga Italia saja yang banyak disiarkan oleh TV
swasta. Masih sangat jarang televisi menyiarkan liga Inggris ketika itu,
apalagi liga Spanyol. Singkat cerita hati saya langsung kepincut dengan satu
club besar Italia, club yang menghuni kota mode di Italia, club yang menjadi
rumah besar bagi pemain-pemain hebat dari seluruh dunia ketika para competitor yang lain bangga memakai jasa
pemain asli Italia. Ya, Internazionale Milan menjadi cinta pertama saya dalam
memahami sepak bola dengan segala ceritanya.
Tapi
tentu saya tidak akan berterima kasih kepada Inter karena memang bukan Inter
yang menjodohkan saya kepada sepak bola. Selayaknya orang tua yang menjadi wali
nikah pada anaknya, maka sudah sepatutnya saya berterima kasih dan
mempersembahkan sungkem saya kepada bapak saya karena sudah mengawinkan saya
dengan sepak bola. Ketika anak-anak lain seusia saya sibuk bermain dengan
teman-temannya, saya juga sibuk, tapi, bukan bermain bersama teman melainkan
sibuk menonton bola dengan bapak saya yang pada akhirnya membuat saya larut
dalam euphoria dan mengacuhkan ajakan
bermain dari teman-teman.
Mungkin
harapan bapak mengenalkan saya pada sepak bola agar bisa mengikuti jejak nya
sebagai pemuja AC Milan, tapi apa boleh di kata, jiwa berontak saya sudah
muncul pada saat itu ketika saya lebih memilih memuja Inter Milan yang notabene rival sekota AC Milan. Ketika
bapak sibuk mendoktrin saya akan kehebatan Paolo Maldini dan tajamnya sundulan
Oliver Bierhoff “liat tuh, kayak gitu kalo main bola”. Itulah kalimat yang
terucap dari mulut bapak. Tapi saya malah terhanyut dengan keindahan samba yang
di bawa Ronaldo ke Inter Milan dan kecepatan Javier Zanetti dalam menggiring
bola “pemain Milan ada gak yang bisa main kayak dia?”. Sahut saya membalas
omongan bapak. Ratusan kali bapak meyakini saya bahwa AC Milan lebih baik dari
Inter tapi ribuan kali saya mentahkan omongan orang yang sudah sangat amat
berjasa ini.
Masih
jelas dalam benak ini ketika tangisan Ronaldo mengiringi kegagalan Inter Milan
meraih Scudetto pada laga pamungkas liga di tahun 2002 yang sekaligus membuat
air mata saya meluncur tajam untuk pertama kalinya akibat sepak bola, yang
sekaligus membuat bapak saya tersenyum “jahat” melihat tangisan saya, itulah
pertama kali dan satu-satunya bapak sangat senang melihat saya menagis. Sepak
bola, terutama liga Italia memberi arti penting dalam hidup saya, mengingat
saya tidak terlalu banyak menghabiskan waktu mengobrol dengan bapak, tapi
melalui bola saya bisa menjadi lebih intim dengan bapak dan berbicara banyak
tentang sepak bola. Dia lah corong ilmu utama saya dalam mengarungi sepak bola
secara kaffah.
Tidak
sehati dengan bapak di tingkat club, akhirnya saya menemukan kecocokan di
tingkat yang lebih tinggi lagi, tim nasional. Kami adalah satu-satunya orang
yang mendukung belanda di kampung ketika itu. Kami benar-benar bahu-membahu mendukung
Belanda pada Euro 2000 dan saya langsung terpingkal-pingkal melihat kecepatan
lari Marc Overmars di sisi lain bapak sudah lama mengagumi si kembar Frank De
Boer. Saya tidak tahu persis kenapa saya bisa sangat mengidolai tim nasional
Belanda, tapi yang pasti, bagi saya, bapak sangat mirip dengan Frank Rijkaard
yang merupakan legenda sepak bola Negeri
Tulip tersebut. Mungkin itu alasan yang sangat klise, tapi saya mau kata apa kalau seperti itulah nyatanya.
Gagalnya
niatan bapak menjadikan saya seorang Milanisti nyata nya tidak menyurutkan
niatnya untuk mencari pelampiasan, dan alhamduillah
cita-citanya pun terwujud melalui cucu pertamanya yang sekarang menjadi
Milanisti sejati. Yang anehnya adalah saya yang mengajari cucunya ( keponakan
saya ) bermain bola dan orang pertama yang mengajaknya nonton bola, tapi apa
mau di kata dia lebih memilih bersama dengan kakeknya mendukung AC Milan. Saya kena karma!. Pernah satu malam
ketika pertandingan Derby antara AC Milan dan Inter Milan berlangsung dan kami
bertiga pun menonton pertandingan itu secara Khusuk. Pertandigan yang pada akhirnya di menangkan Inter dengan
skor mencolok 4-0 pun menjadi pelengkap hari saya ketika itu. Tapi sebenarnya
bukan itu saja yang menjadikan malam saya bahagia, namun saya merasakan kami
adalah benar-benar keluarga lintas generasi yang gila bola. bayangkan saja,
sang ayah, anak, dan cucunya berkumpul dalam sunyinya malam dan semuanya
terbalut indah dalam setiap debat-debat kecil yang tersaji selama pertandingan
berjalan.
Kegilaan
saya, bapak, dan keponakan saya pada sepak bola bisa di katakan sudah tingkat
akut. Bagaimana tidak, bapak rela menghabiskan uangnya untuk membeli peralatan
televisi agar tetap bisa menonton bola ketika siaran bola disana tidak bisa di
nikmati akibat channelnya yang di tutup oleh pihak stasiun TV dan jadilah rumah
kami kandang bagi seluruh pecinta bola sekampung. Kami selaku anak dan cucunya
selalu disuruh untuk menyediakan cemilan-cemilan
yang di lengkapi kopi hitam pekat khas
Aceh dan bungkusan rokok aneka warna untuk menemani para tamu yang datang untuk
menikmati “pesta”
Sungguh
itu menjadi pengalaman sepakbola yang menyenangkan, bahkan jauh lebih
menyenangkan daripada kebiasaan nobar saya setahun belakangan ini.
Bertahun-tahun lamanya momen itu telah lewat tapi tidak ada satu memori pun
yang terlewatkan dalam pikiran saya. Mungkin pula kecintaan saya terhadap Inter
sedikit memudar seiring kedatangan Erik Tohir ke Appiano Gentille tapi kecintaan saya terhadap bapak selaku Tifosi Milan yang telah memberikan saya
memori dan cerita indah akan sepak bola mustahil pudar, karena tanpa beliau
mustahil pula saya menyukai sepak bola, mustahil juga si cucu ini mengikuti
jejaknya.
Kecintaan
bapak terhadap sepak bola pada akhirnya mencapai titik nadir ketika hobinya
yang selalu ingin “menjadi saksi sejarah” tiap tengah malam yang di temani
dengan setumpuk biji kopi dan gumpalan asap rokok merenggut sendi-sendi dan
kekuatan tubuhnya perlahan demi perlahan.
Demi kesehatan dan kecintaannya kepada kami
semua dia pun rela mengurangi dan bahkan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan itu,
karena, sebesar apapun cintanya terhadap sepak bola dia tidak akan pernah mau
kompromi akan kecintaannya pada keluarga. Merasa semakin lemah dengan
keadaanya, dia pun dengan lantang meminta saya untuk mengurangi kebiasaan
nonton bola saat tengah malam. Alasannya jelas, bapak tidak ingin saya akan
berakhir seperti dirinya. Bahkan demi saya pula, dia menguatkan dirinya untuk
bangkit dari tidurnya sembari menahan rasa sakit yang sedang ia derita dan
mematikan TV yang sedang saya tonton sambil berucap “jangan sampe wanda jadi
sakit kayak bapak” dengan nada tinggi. Sontak kejadian itu membuat tangisan
saya jatuh hingga membanjiri wajah, bukan karena di marahi, tapi karena sebuah
kalimat singkat yang keluar dari suara renta nya yang tepat menusuk dada.
Pada
akhirnya dia pun menyerah dan menyatakan dirinya kalah pada sang pemilik nyawa.
Tak ada yang di sesalkan dalam hidupnya karena dia selalu dikelilingi anak-anak
dan cucu-cucunya yang begitu mencintainya, dia pula yang telah mewariskan
keindahan sepak bola kepada anak dan cucunya. Yang ada, penyesalan itu menimpa
diri saya, sepanjang hidup saya akan menyesal karena belum bisa membalas
kebahagiaan seperti yang dia berikan.
Kini
dia telah menetap abadi disana dan tidak lagi menikmati sisa-sisa keindahan
sepak bola yang semakin lama semakin tergores dengan indah. Tapi hingga tiba
saatnya nanti saya akan kembali menghampirinya untuk mengantarkan sepenggal
kisah indah itu padanya. Sama seperti pertama kali dia mengawali cerita indah
sepak bola kepada saya pada satu malam minggu di tahun 1996