Liverpool. Mendengar nama ini tentu kita langsung bisa menerka apa makna dari kata tersebut. Ya, sebuah club besar Inggris yang kaya akan sejarah dengan 18 titel juara liga Inggris dan 5 trofi liga Champions. Tapi itu semua seolah hanya menjadi kisah lampau yang sepertinya akan sulit diulang, setidaknya untuk musim depan. Melihat kenyataan ini fans Liverpool sepertinya sudah mulai maklum dengan nasib club “merah” tersebut walaupun mereka tiada henti mendukung tim kota pelabuhan.

Melihat beberapa tahun kebelakang, tampaknya fans tidak hanya harus terbiasa dengan prestasi Liverpool yang seakan jalan ditempat dan cenderung mundur perlahan, tapi fans juga “dipaksa” membiasakan diri untuk melihat pemain incaran clubnya di”tikung” oleh club lain. Ya, tikung menikung tidak hanya terjadi di arena balapan MotoGP atau F1 saja, melainkan dalam hal transfer pemain sepak bola yang selalu menjadi komoditas utama ketika kompetisi sedang rehat.

Istilah tikung menikung dalam transfer pemain sejatinya sudah lama terjadi, tapi apa yang dialami Liverpool beberapa tahun ini sangat membuat hati fansnya merintih, mengingat cukup banyak pemain yang sudah hampir pasti berlabuh di Liverpool mengurungkan niatnya pada detik-detik terakhir penandatanganan kontrak.

Mungkin yang masih ganjal dalam benak para Kopites adalah ketika awal musim lalu, Loic Remy yang sudah bersedia pindah ke Liverpool, sudah menjalani tes medis, sudah pula dia senang bukan kepalang bisa bergabung dengan club besar, tapi pada akhirnya ia malah berpaling ke rival Liverpool asal London, Chelsea. Tidak ada yang salah dengan striker asal Perancis tersebut, tidak ada pula perjanjian yang dilanggar antara kedua belah pihak, namun club berjuluk The Reds tersebut berdalih bahwa Remy tidak lulus tes medis. Sebuah alasan yang menurut beberapa kalangan ( termasuk saya ) terlalu mengada-ada. Dan pada akhir musim ini Liverpool pun mendapatkan karma hasil dari “pembuangan” Loic Remy ke Chelsea, karena Remy bersama The Blues nya berhasil meraih gelar juara BPL.

Lain Remy lain pula Alexis Sanchez, pemain yang di gadang-gadang menjadi pengganti sepadan Luis Suarez ini nyatanya lebih memilih Arsenal ketimbang Liverpool. Sanchez yang sempat dikatakan masuk kedalam klausul transfer Suarez ke Barcelona nyatanya lebih memilih Arsenal, dia menilai Arsenal sangat serius ingin meminangnya ketimbang Liverpool yang seakan masih ragu memilih antara dia dan Samuel Eto’o. padahal saat itu Liverpool lebih difavoritkan mendapatkan pemain Chili tersebut ketimbang meriam London tersebut. Ketika Eto’o tidak menggubris permintaan Liverpool, club Merseyside ini pun kembali berpaling ke Sanchez yang pada saat itu sudah mulai berangkat ke London, dan dengan tegas Sanchez mengatakan sudah terlambat untuk Liverpool.

Berbicara tikung-menikung pemain incaran Liverpool, maka Totenham Hotspurs lah yang berada di garis terdepan, bagaimana tidak, dalam semusim saja tercatat 4 pemain yang nyaris ke Liverpool berpindah haluan ke club London Utara tersebut didetik-detik akhir transfer. Masih sangat berbekas dalam ingatan fans Liverpool ketika Eric Lamela, Roberto Soldado, Cristian Erikssen, dan Gylfi Sigurdsson secara serentak berbelok arah ke Spurs disaat The Anfield Gank sudah bersiap menyambut kedatangan mereka di Liverpool.

 Totenham yang pada musim 2013 menjadi club kaya dadakan berkat penjualan mega bintangnya, Gareth Bale mampu meyakinkan pemain-pemain tersebut dengan mahar yang lebih mahal dari yang ditawarkan Liverpool tentunya. Sejenak, para Kopites pun sangat membenci tingkah pola manajemen Spurs yang hanya mencontek club rival dalam membeli pemain baru. “praktek” ini pun berbuah sial bagi mereka yang pada musim 2013-2014 terjerambab diposisi 9 dan dari deretan bintang yang didatangkan, praktis hanya Erikssen yang mampu bermain cemerlang.

Selain Totenham, club ibukota lainnya yang bermukim di London Timur, Chelsea juga sempat menikung Liverpool demi mendatangkan pemain Shaktar Donetsk asal Brazil, Willian Borges. Pada musim 2013-2014, Willian yang sudah tak betah di Ukraina akibat konflik berkepanjangan dengan Rusia, sudah memastikan diri akan pergi ke Inggris untuk melanjutkan karirnya, disaat media hingar bingar dengan kabar transfernya ke Liverpool, sang pemain justru merubah tujuan destinasinya yang semula di jadwalkan mendarat di John Lennon Airport, malah “belok” ke bandara Heathrow di London untuk berseragam biru Chelsea.

Tidak hanya di Inggris musuh Liverpool dalam bursa transfer, tetapi juga datang dari Jerman, tepatnya di kota Nordrhein-Westfalen yang dihuni club besar jerman, Borussia Dortmund. Ketika itu, tepatnya 2013 – ya, lagi-lagi 2013 – Liverpool yang sedang gencar mendekatkan diri pada pemain Shaktar Donetsk lainnya, Henrikh Mkhitaryan terpaksa gigit jari. Pendekatan yang dilakukan selama sebulan lebih itu pun hanya menghasilkan kehampaan bagi Liverpool, karena pemain asal Armenia tersebut lebih memilih berseragam kuning-hitam kebesaran Dortmund ketimbang “jubah” merah Liverpool. Mkhitaryan saat itu bisa dikatakan hampir pasti bermain untuk Liverpool, bahkan sang pemain sudah melayani permintaan fans The Kop yang ingin jersey merah Liverpool ditantangani oleh pemain terbaik Armenia tersebut. Tapi apa mau di kata, sang pemain nyatanya tak berjodoh dengan club pelabuhan Inggris tersebut dan kini ia sudah mendapatkan kebahagiannya di Signal Iduna Park.

Pada awal musim depan, setidaknya tanda-tanda “tikungan” masa lalu masih menghantui kubu The Kop ketika club berjuluk The Reds tersebut harus berlomba dengan Manchester United untuk mendatangkan bintang muda Belanda Memphis Depay dari PSV Eindhoven. Red Devils yang mempunyai modal kuat dalam diri Louis Van Gaal, pelatih Depay di Timnas Belanda jelas berada diatas angin, hubungan emosional yang terjalin antara keduanya membuat Liverpool hanya mengharapkan keajaiban kalau Depay tega berpaling dari Van Gaal. Liverpool yang dari awal memang tidak diunggulkan mendapatkan Depay pada akhirnya harus merelakan pemain masa depan Belanda tersebut berbaju setan merah dan lagi-lagi harus rela ditikung untuk kesekian kalinya. Mungkin sedikit berbeda “kasus” Depay dengan beberapa pemain incaran Liverpool lainnya, karena memang MU lah yang mulai melakukan pembicaraan pada si pemain, MU juga yang diunggulkan dalam perburuannya, bukan Liverpool.

Secercah harapan muncul ketika secara mengejutkan, Liverpool menyalip United dalam perebutan Roberto Firmino dari Hoffenheim. MU yang dari awal sudah merancang kedatangan Firmino ke Old Trafford nyatanya harus tertunduk lesu ketika melihat pemain Brazil itu malah menyetujui proposal yang ditawarkan Liverpool padanya. Harga 29 juta pound pun menasbihkannya menjadi pemain termahal yang dibeli dari Bundesliga. 

Terdapat sedikit cerita menarik dari transfer Depay ke Mu dan Firmino ke Liverpool, yang mana, bukan uang yang menjadi pemulus langkah mereka, melainkan sosok senegara yang memiliki peran besar didalamnya. Ketika Depay ke United berkat sosok Meneer Van Gaal yang sama-sama dari Belanda, maka Liverpool harus berterima kasih kepada Coutinho, rekan seperjuangan Firmino di timnas Brazil yang memanfaatkan kebersamaan mereka di Copa Amerika 2015 yang sedang berlangsung di Chile. Bahkan sang pemain sendiri mengungkapkan kalau Coutinho lah yang “mempengaruhinya” agar mau mengabdi di Anfield untuk jangka waktu 5 tahun kedepan.

Keberhasilan Liverpool menikung Firmino dari MU seakan menimbulkan euphoria tersendiri dalam benak penggemar The Kop. Fans yang selama ini terpaksa bungkam dengan ketidakbecusan Liverpool dalam menjaga pemain incarannya, pada akhirnya bisa bernafas lega dengan kecerdikan club menyalip United, terlebih club yang ditikung adalah musuh abadi mereka. Sah-sah saja Kopites merasa jumawa dengan keberhasilan ini, tidak salah pula mereka meluapkan kegembiran dengan sedikit menyindir fans MU yang memang sudah yakin sebelumnya kalau pemain yang tubuhnya dipenuhi tato tersebut akan bergabung dengan United. Karena memang selama ini Liverpool hanya menjadi “bulan-bulanan” club lain yang begitu nikmat menyalip Liverpool di tengah jalan negosiasi pemain.

Selama ini club telah “sukses” membuat fans merasa terpukul dengan kenyataan-kenyataan yang ada terkait transfer pemain yang gagal di tengah jalan. Maka, sudah sepantasnya pula, mulai detik ini club membangun kepercayaan diri fans nya mengenai transfer pemain dengan Roberto Firmino sebagai awal kebangkitan transfer Liverpool di masa selanjutnya. Dan wajib diingat, bursa transfer baru di buka pada 1 juli mendatang, tapi Liverpool sudah berhasil “mendaratkan” 6 pemain sekaligus. Sebuah pencapaian fantastis bagi club yang selama ini selalu “dikadali” oleh club lain dalam hal pembelian pemain


Dalam setiap pertandingan sepak bola, terlebih bagi kita pecinta bola yang hanya bisa menikmati pertandingannya melalui layar kaca, peran reporter sangat vital posisinya untuk dapat merangsang emosi jiwa para penontonnya. Tanpa adanya reporter, siaran bola dinilai janggal bagi berbagai kalangan. Sebagai olahraga keras dan berisik, sepak bola secara alamiah memang diwajibkan menghadirkan sosok-sosok pegantar pertandingan agar pertandingan sepak bola lebih terasa “hidup” dan bergairah bagi para penikmatnya yang berasal dari layar kaca.

Sebelum maraknya era digital seperti yang kita rasakan saat ini, para “penyaji” pertandingan ini sudah lebih dulu heboh saat sepak bola hanya bisa dinikmati melalu saluran radio saja, bapak saya pun sempat menjadi penikmat pertandingan bola melalui siaran radio. Menurut beliau, walaupun tidak bisa melihat secara visual, tetapi dia tetap bisa menikmati pertandingan tersebut seolah sedang berada di tribun penonton. Jelas faktornya adalah sang reporter yang mampu merangsang dan membuat perasaan pendengarnya bergejolak tanpa henti akibat kejadian-kejadian diatas lapangan yang digambarkan sedemikian rupa oleh si penyiar radio tersebut.

Di era modern seperti ini peran komentator pun semakin penting saja dikancah sepak bola dunia, di setiap negara, para penyaji pertandingan ini pun memiliki karakteristiknya masing-masing dalam mengemas jalannya pertandingan. Kita tentu sangat lumrah mendengar nama-nama seperti John Champion dan Jim Beglin yang sudah amat terkenal baik di dunia nyata maupun maya, selain rutin menjadi pundit di ajang liga Inggris dan liga Eropa lainnya, keduanya juga mengisi suara di ajang Pro Evolution Soccer ( PES ) — yang merupakan permainan virtual sepak bola yang sangat digandrungi orang-orang saat ini.

Tapi bukan merekalah yang menjadi komentator bola terbaik sepanjang masa, setidaknya itu menurut saya. Karena, dibelahan dunia lain pun masih sangat banyak komentator yang mampu memandu pertandingan lebih baik lagi dari mereka berdua, tepatnya di Amerika Latin yang baru saja menggelar ajang Copa America 2015 di Chili. 

Sang komentator ajang Conmebol ini memang dikenal memiliki ciri khasnya sendiri, yaitu meneriakkan kata “Goooooooool” yang cukup lama ketika ada pemain yang berhasil mencetak gol, mungkin sekitar 15 detik ia berteriak hanya untuk satu kata “gol” itu saja. Saya tidak tahu namanya, terlebih lagi rupa-nya, tapi saya akan selalu ingat suaranya dan gayanya ketika mendengungkan “gooool” dengan syahdu nya. Mulai dari ajang Copa Libertadores, Copa America, hingga kejuaraan yang ada di kawasan Amerika Selatan, selalu mempercayainya untuk memandu penikmat bola.

Jika di luar negeri sana, mereka sebagai pemandu pertandingan bisa menerjemahkan suatu pertandingan secara elegan, lalu, bagaimana yang terjadi dengan reporter yang ada di Indonesia? Saya sangat yakin kalau kalian selalu mendengar kata “jegeeer”, “jebreeeeet”, “ahayyyy”, atau mungkin yang sedang mewabah saat ini “ganteng maksimal” dalam setiap pertandingan ISL atau timnas Indonesia bertanding!!! kata-kata itulah yang menjadi jati diri pemandu sepak bola tanah air. Tidak ada yang salah memang dengan kata-kata tersebut, tapi, nyamankah kita sebagai penikmat bola mendengar kata-kata itu? 

Mungkin buat sebagian orang, itu adalah bagian dari kreativitas dan ekspresi diri dari seorang reporter pertandingan, tapi buat saya dan beberapa teman sejawat yang lain, itu adalah hal yang menjijikkan yang bisa merusak khasanah pertandingan sepak bola. Malah, terkadang, saya berharap dalam setiap pertandingan di Indonesia, baik liga atau timnas, tidak terjadi gol supaya pemandu pertandingan tidak perlu mengeluarkan “bahasa planet” tersebut.  

Dalam lubuk hati paling dalam, tentu kami ingin melihat timnas menjebol gawang lawan, tapi sering juga terlintas dalam hati, kami tidak sudi melihat kegagahan pemain-pemain Indonesia dengan kerja kerasnya untuk mencetak gol tercoreng karena reporter pertandingan mengeluarkan bahasa yang teramat sangat aneh bin ajaib itu

Yang bikin kami sakit hati adalah kemunculan bahasa “jeger” dan “ganteng maksimal” itu tak lain dan tak bukan dipelopori oleh sponsor yang menaungi mereka dalam menyiarkan langsung pertandingan sepak bola. Ini sungguh sangat di sayangkan, karena dibalik membludaknya sponsor yang ingin berpartisipasi di kancah sepak bola tanah air, mereka juga menyimpan ambisi terselubung dengan mewajibkan reporter pertandingan membudayakan tagline produk mereka yang memang sangat nyeleneh itu. Sah-sah saja sebenarnya jika mereka ingin mendapat keuntungan, tapi haruskah reporter meneriakkan tagline mereka ketika gol terjadi? Tidak cukup kah uang yang mereka dapat melalui iklan atau bahkan catalog produknya yang mereka pajang rapi di studio TV tersebut?

Berbeda dengan bung “jebret” dan bung “ahay” yang memang tidak mewakili produk manapun dalam tiap selebrasinya. Tapi, toh tetap saja menggelikan mendengar ocehan mereka ketika terjadinya gol. Dalam beberapa kesempatan wawancara, kedua reporter bola ini mengaku sengaja mengeluarkan kata-kata tersebut sebagai “tanda pengenal” mereka dikancah pertelevisian Indonesia. Tapi lagi-lagi, haruskah mereka memakai bahasa yang entah apa arti dari kata “jebret” dan “ahay” itu???. 

Dalam pertandingan sepak bola, khususnya yang disiarkan televisi, haram hukumnya jika tidak ada reporter yang memandu jalannya pertandingan. Seseru apapun pertandingan itu, sekeras apapun permainan yang diperagakan kedua tim, atau bahkan seluar biasa apapun atmosfer  dalam stadion, tanpa ada reporter pertandingan, bisa dipastikan pertandingan akan terasa hambar, tanpa reporter pula kita tidak akan tahu informasi penting mengenai pertandingan yang sedang berjalan, baik statistik pertandingan, data pribadi si pemain, club, dan lainnya yang berkaitan dengan pertandingan tersebut.

Negeri kita memang termasuk negeri yang cukup lucu dalam berbagai hal, baik itu masyarakatnya yang memang suka bersendau gurau, pemerintahnya yang lucunya suka kebangetan dalam memimpin bangsa, atau mungkin acara televisi yang semakin lama semakin “maksa” untuk menjadi lucu. Kelucuan kita sebagai rakyat Indonesia pun semakin tergambar dengan munculnya reporter-reporter bola yang seharusnya tidak perlu lucu untuk menyajikan pertandingan, tetapi dipaksa lucu oleh perusahaan televisi terkait, atau memaksakan lucu dengan dalih identitas diri demi panjangnya “nyawa” mereka di dunia pertelevisian tanah air. Tidak heran nama mereka pun berubah menjadi bung Hadi “ahay’ Gunawan, Valentino “jebret” Simanjuntak, Rendra “jeger” Sudjono. Nyatanya, memang sekarang ini hanya orang-orang aneh lah, dan berani beda ( jika tidak mau dibilang berani malu ) yang akan dilirik oleh pihak TV dan bisa bertahan lama di dunia jurnalistik.

Sejatinya kita sebagai penonton memang perlu hiburan yang mesti disajikan oleh para reporter pertandingan, tapi, tentu bukan hiburan dalam bentuk ahay, jebret, jeger, dan terlebih ganteng maksimal yang kita kehendaki, melainkan hiburan dalam bentuk informasi seputar pertandingan, data dan statistik pertandingan lah yang kita butuhkan untuk dapat menyelami pertandingan sepak bola lebih dalam lagi hingga mencapai dasar.

Sumber gambar : startupnation.com
 

Keberadaan club sepak bola tentu selalu diiringi lagu “kebangsaan” yang terkandung didalamnya, biasanya, lagu ditujukan untuk membangkitkan tim sekaligus menggambarkan seberapa besar tim tersebut di mata pecintanya. Namun, jika pada umumnya lagu kebangsaan sebuah club memang sengaja diciptakan untuk menggambarkan club tersebut, baik kebesaran club maupun sejarahnya seperti Manchester United dengan Glory Glory man United nya yang jelas-jelas menggambarkan rentetan gelar yang mereka dapatkan selama ini, ataupun Chelsea yang bangga menyanyikan Blues Is The Color yang tegas mengatakan kalau mereka adalah “biru” sebenarnya. 

Tetapi, tidak semua club memiliki lagunya sendiri, contohnya adalah Manchester City yang mengadopsi lagu Blue Moon milik maestro musik dunia, Frank Sinatra dan tentunya Liverpool yang mengabadikan lagu You’ll Never Walk Alone warisan dari penyanyi asli kota pelabuhan tersebut, Garry and The Pacemakers.

Awal mula melekatnya ejaan “YNWA” di benak fans Liverpool adalah ketika pelatih legandarisnya, Bill Shankly melihat pertunjukkan yang digelar oleh Garry and The Pacemakers. Singkat cerita, merasa tersentuh dengan petikan-petikan lirik lagu tersebut, tanpa ragu Shankly langsung meminta izin kepada pihak Garry untuk menjadikan lagu tersebut sebagai lagu kebanggaan publik Anfield, dan sampai sekarang lagu tersebut setia dilantunkan oleh fans Liverpool. Sepertinya tidak ada fans Liverpool yang tidak bisa menyanyikan lagu tersebut, sama halnya seperti kita orang Indonesia yang tidak mungkin tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Selain memiliki lirik yang menyentuh dalam tiap bait-baitnya, “YNWA” juga melahirkan sikap berjuang tanpa megenal kata menyerah, seperti yang terkandung dalam penggalan bait pertamanya 
 “When You Walk Through a Storm, Hold Your Head Up High”

 petikan ini saja sudah cukup menggambarkan pesan yang cukup dalam bagi para pendengarnya agar sekeras apapun masalah yang dihadapi, kita harus tetap yakin dan terus maju melawan badai masalah yang sedang kita alami, atau seburuk apapun performa Liverpool selama ini, kita sebagai fans akan selalu menegakkan kepala dan terus mendukung club, karena kita yakin pada saatnya nanti Liverpool akan kembali menjadi raja di tanah Britania, seperti yang tertulis di bait selanjutnya 
 “At The End of a Storm Is a Golden Sky, And The Sweet Silver Song of a Lark”.

Sejatinya, lagu ini memang tidak hanya diperuntukkan untuk fans Liverpool saja, tetapi lebih ditujukan kepada kita sebagai umat manusia agar selalu mau berusaha. Sekeras apapun batu karang yang menghadang didepan, kita harus sanggup membelah karang tersebut agar bisa melewatinya untuk terus berjalan dengan satu harapan dihati yang selalu kita junjung setinggi mungkin. Lagu ini juga menyelibkan kisah kesetiaan yang teramat sangat tanpa melampiaskan kesedihan didalamnya.

Selama lebih dari 20 tahun, Liverpool belum pernah merasakan gelar Premier League sekalipun, banyak pelatih dan pemain hebat yang silih berganti datang ke Anfield dengan mengemban mimpi yang sama, mengangkat trofi liga. tapi tidak adapula gelar liga yang mampir ke kota kelahiran The Beatles tersebut, sudah tak terhitung pula nyanyian fans untuk menguatkan para pemainnya menghadapi laga demi laga, tapi masih belum ada gelar yang bisa dipersembahkan buat mereka.

          Namun, pemain tahu dan fans pun sadar bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan club kesayangannya, seberat apapun permasalahan club, sekeras apapun ujian yang akan dihadapi, fans tidak akan pernah membiarkan club berjalan sendiri, sembari mengikuti alunan lirik
“Walk On Through The Wind, Walk On Through The Rain, Tho’ Your Dreams be Tossed and Blown, Walk On Walk On With Hope In Your Heart, And You’ll Never Walk Alone, You’ll Never Walk Alone”

Dari setiap kata yang terurai dalam lagu ini, nyatanya fans Liverpool benar-benar mengabulkan impian dari tiap lirik yang terucap dari mulut Garry and The Pacemakers. Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan club selama ini, yang mereka tahu hanyalah mendukung club dengan cara terbaik dari hati yang terdalam tanpa membiarkan club berjalan sendirian menghadapi badai cobaan.

Sepanjang perjalanannya, “YNWA” tidak hanya dibanggakan oleh fans Liverpool saja, tetapi sudah merasuki sebuah club besar Skotlandia, Glasgow Celtic yang sudah lama ikut mengabadikan lagu ini. Celtic Park pun terasa seperti Anfield tiap minggunya karena sesaat sebelum pertandingan fans Celtic serentak menyanyikan You’ll Never Walk Alone. Belakangan, club kuat Jerman, Borrusia Dortmund pun kerap melantunkan lagu tersebut di Westfalen.

Baik pendukung Liverpool, Celtic, dan Dortmund sama-sama dikenal memiliki basis fans yang sangat besar dan dikenal paling loyal sedunia. Mungkin suatu kebetulan saja fans-fans club inilah yang pantas diberi kehormatan menyanyikan anthem ini.

Bahkan, bagi sebagian orang, You’ll Never Walk Alone sudah melampaui kapasitasnya, dari yang hanya sebuah lirik lagu menjadi pegangan hidup bagi fans Liverpool. Tidak selalu berkaitan dengan club, fans cukup sering mengandalkan kalimat tersebut dalam setiap kesempatan di kehidupan sehari-harinya. Menunjukkan respek setinggi langit bagi mereka yang menimpa masalah dengan mengandalkan kata “YNWA” saja sudah cukup menunjukkan kelas yang berbeda yang ditunjukkan dari fans Liverpool, dan secara tidak langsung pula mereka membawa kebanggaan nama club lewat setiap kalimat yang terucap, You’ll Never Walk Alone




Awal zaman 90-an hingga memasuki era millennium baru, liga Italia mendapatkan panggungnya di kancah internasional, jauh melebihi Liga Inggris, Spanyol, apalagi Liga Jerman. Sorak sorai yang menyertai keindahan Serie A pun sampai ke telinga penikmatnya di Indonesia yang kemudian memunculkan cukup banyak Fanbase yang “menuhankan” club-club negeri pizza tersebut. Mulai dari club-club besar semisal Juventus, Inter Milan, AC Milan, AS Roma, Lazio dan juga club-club semenjana seperti AC Parma, Fiorentina, Sambdoria, Udinese, Torino, bahkan Chievo juga memiliki fanbase nya di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, kedigdayaan Serie A Italia pun semakin “mengerucut” yang diawali dengan kasus Calciopolli yang melibatkan club-club besar seperti Juventus dan AC Milan pada 2006 silam. Kasus yang awalnya membawa “berkah” bagi tim nasional Italia yang pada tahun itu menyabet gelar juara dunia, tapi pada perjalanannya semakin mengubur kompetisi Serie A itu sendiri.

Di era 2000-an mata kita dimanjakan dengan taburan bintang-bintang sepak bola dunia yang berkiprah di Italia seperti Gabriel Batistuta, Ronaldo, Andrey Shevchenko, hingga sang maestro, Zinedine Zidane. Tapi itu hanya menjadi sisa-sisa cerita indah yang di tawarkan Liga Italia, mengingat, detik ini Liga Italia seperti “terperangkap” dalam sebuah ungkapan satire yang familiar di telinga, “hidup segan, mati pun tak mau”.

Banyak hal yang melatar-belakangi saya berani mengeluarkan ungkapan seperti itu. Diantaranya;

1.         berkurangnya jatah Liga Champions untuk club-club Italia
“kebangkrutan” Serie A Italia bisa dikatakan berawal dari pengurangan jatah yang dilakukan UEFA kepada Club-club Italia untuk berpartisipasi di ajang Liga Champions. Hal ini dilakukan berdasarkan penilaian yang dilakukan UEFA terhadap kompetisi Serie A yang semakin lama semakin merosot tajam. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi UEFA untuk mengurangi jatah bermain bagi club-club Italia juga berdasarkan kiprah tim-tim Italia di Liga Champions yang semakin lama tidak mampu bersaing dengan club-club dari Inggris dan Jerman. Bahkan mereka sudah “terlempar” dari ajang tersebut ketika berada di babak 16 besar.
Keberhasilan Inter Milan menjadi juara Liga Champions pada tahun 2009 seolah menjadi titik balik bagi perkembangan tim-tim Italia di Eropa, karena setelah itu, praktis jatah tim-tim Italia yang diperbolehkan tampil di ajang Liga Champions berkurang menjadi hanya 3 tim saja dan Italia harus rela bertukar tempat dengan Jerman yang kemudian diberi jatah 4 tim.

2.         tidak adanya sosok pemain bintang
Terpuruknya prestasi tim-tim Italia di kancah Eropa juga berimbas pada eksodusnya pemain-pemain top Serie A ke liga-liga lain yang lebih mumpuni. Kita tentu mengenal dengan nama-nama seperti Kaka, Ibrahimovic, Wesley Sneijder, Thiago Silva yang sempat menjadi “alat tawar” Liga Italia dikancah kompetisi dunia. Namun,  setelah kepergian bintang-bintang tersebut, liga Italia seolah kehilangan roh dan gairah kompetisi, karena pemain-pemain baru yang datang tidak mampu mengangkat pamor tim, bahkan mereka ikut tenggelam dengan performa club yang tidak juga membaik di kompetisi Eropa.
 Sampai sejauh ini tidak ada club Italia yang mampu membawa nama-nama tenar, kecuali Juventus yang memang tim paling “sehat’ di Italia, selebihnya club lain hanya mampu meminjam pemain yang tidak dibutuhkan clubnya atau mendapatkannya secara gratis yang kini sedang menjadi “primadona” di tubuh AC Milan.

3.         kolepsnya club-club besar
Krisis ekonomi global beberapa tahun lalu rupanya menjadi faktor utama kemunduran liga Italia. Ini sangat terlihat jelas dengan apa yang terjadi pada duo tetangga Milan, Inter dan AC Milan yang menjadi korban “kekejaman” ekonomi dunia. Sebelum krisis global melanda Eropa, duo rival abadi ini terus berlomba tiap tahunnya, baik dalam perebutan gelar atau hanya sekedar membeli pemain bintang nan mahal. Tapi, lihatlah mereka sekarang, apa yang sedang menimpa kedua club ini tentu sangat menyedihkan, jangankan merebut gelar juara, membeli pemain bintang pun mereka kesusahan, Milan yang setahun belakangan ini starting elevennya hanya diisi oleh pemain-pemain gratisan, sedangkan skuat Inter dihuni oleh pemain-pemain pinjaman yang tidak terpakai jasanya di club asal.

4.         kurangnya persaingan di Liga Italia
Jika di Spanyol kita hanya mengenal Barcelona dan Real Madrid yang silih berganti bersaing memperebutkan gelar, maka yang terjadi di Italia lebih memprihatinkan lagi, dalam empat tahun belakangan ini, Juventus praktis tidak menemui kesulitan berarti dalam meraih Scudetto.

 Meredupnya sinar duo Milan mampu dimanfaatkan Juventus untuk menikmati singgasana kompetisi selama empat tahun beruntun. AS Roma dan Napoli yang menjadi pesaing Juve “dadakan” tak mampu meladeni perlawanan La Vecchia Signora, bahkan mereka “terlihat kaget” menjadi pesaing Juve di papan atas dan sering tampil inkonsisten selama musim bergulir turut menjadi sumber utama kekuatan Juventus selama empat musim kebelakang meraih Scudetto, bahkan sebelum liga melakoni laga penutupnya.

5.         kurang layaknya fasilitas stadion dan permasalahan lainnya
Seharusnya, masalah seperti ini dialami oleh tim-tim yang memiliki kualitas liga yang buruk. Tapi, inilah yang terjadi di Italia, cerita diawali ketika musim lalu Parma yang sejatinya mendapatkan jatah bermain di Europa League harus rela mengurungkan niatnya berkompetisi karena permasalahan pajak yang tidak mampu di bayar pihak club, sehingga jatahnya di gantikan oleh Torino yang berada tepat dibawah Parma di posisi 7. Belakangan terungkap fakta bahwa club berjuluk Gialoblu ini mengalami kebangkrutan dan sudah 6 bulan tidak menggaji pemain dan staf pelatihnya.

Yang terjadi pada Parma musim lalu sepertinya juga akan terjadi pada Genoa musim ini. club yang bermarkas di Luigi Ferraris tersebut hampir dipastikan tidak bisa mengikuti kompetisi Eropa musim depan, dikarenakan tidak layaknya stadion mereka untuk menjalani pertandingan tingkat Eropa. Bahkan “tetangga” mereka, Sambdoria harus rela menjadi “musafir” dengan lebih memilih bermain di Sassoulo untuk beberapa pertandingan 

Kisah pilu Genoa ini juga hampir dialami Napoli beberapa musim lalu ketika mereka berhasil lolos ke Liga Champions, stadion San Paolo yang terletak dikota Naples ini di nilai tidak layak oleh UEFA sehingga harus membuat pihak club memutar otak agar mereka tetap bisa bertanding di kandangnya sendiri, beruntung, presiden Napoli Aurelio De Laurentis menyanggupi persyaratan UEFA dengan “memodifikasi” stadion sehingga membuat mereka bisa berkiprah di Liga Champions untuk pertama kalinya setelah berakhirnya era Diego Maradona.

6.         club tidak mempunyai stadion
Di Italia terdapat beberapa stadion yang mampu menampung puluhan ribu massa, seperti San Siro, Olimpico Roma dan Turin, Marc Antonio Bentegodi, San Paolo, dan lain-lain. Tapi percayalah, tidak ada dari stadion-stadion megah itu yang di miliki oleh club penghuninya. 

Ya, seluruh stadion yang tersedia di Italia adalah milik pemerintah setempat dan pihak club pun harus menyewa setiap pemakaian stadion. Sehingga, ketika club ingin merenovasi stadion maka harus memiliki persetujuan pemerintah setempat terlebih dahulu, club tidak bisa serta-merta merenovasi stadion tanpa persetujuan pemda setempat.

Kasus yang menimpa Genoa dan Sambdoria diatas bisa jadi diakibatkan karena pemerintah Genoa tidak menyetujui renovasi stadion Luigi Ferraris yang ingin dilakukan oleh pihak club. Sehingga masalah perizinan dari pemerintah setempat bisa dikatakan mempunyai andil besar dalam perkembangan sepak bola Italia, karena stadion-stadion yang biasa di pakai club harus “dikontrak” terlebih dulu ke pemda setempat.

Praktis, hanya Juventus yang berani berinvestasi ratusan juta Euro untuk membangun stadion baru nan modern. Dan mungkin, sebuah kebetulan pula Juve tidak pernah berhenti merebut Scudetto selama bemain di Juventus Stadium.

7.         kurangnya animo penonton
Permainan Catenaccio ala Italia yang menjadi khas tim-tim Italia memang cenderung membosankan untuk bisa dinikmati, dan kebosanan yang kita rasakan ini pun terlengkapi seiring keheningan yang terjadi di stadion, bukan karena para fans enggan memberi semangat kepada timnya, tetapi lebih kepada kosongnya bangku-bangku penonton yang tak dihuni oleh pendukungnya.

 Hal ini nyatanya sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di sepak bola Inggris, Spanyol, Jerman, bahkan Belanda sekalipun, yang tiap minggunya tribun-tribun penonton selalu di sesaki puluhan ribu pasang mata yang ingin menyaksikan club kesayangannya bertanding.

Mungkin hanya Juventus Stadium (lagi-lagi) saja yang selalu disesaki oleh para Juventini yang hadir langsung ke stadion, selebihnya, stadion yang dihuni club-club besar semisal duo Milan, AC Milan dan Inter Milan, atau dua Ibukota, AS Roma dan  Lazio selalu nihil penghuninya. Bahkan club-club semenjana yang memiliki stadion lebih kecil juga tidak mampu memenuhi isi stadion “mini” tersebut. 

Ada beberapa hal yang mempengaruhi fakta menarik ini, salah satunya adalah terpuruknya performa tim yang mereka banggakan, atau mungkin harga tiket yang mahal juga bisa menjadi alasan fans enggan datang ke stadion karena rakyat Italia sedang mengalami krisis ekonomi. Menurut catatan statistik, Liga Italia menghasilkan penonton paling sedikit dibandingkan liga-liga top Eropa lain tiap tahunnya, tercatat, rataan penonton yang datang tiap minggunya tidak pernah melebihi 40 ribu penonton. Malah, San Siro yang mampu menampung lebih dari 85 ribu fans lebih, tiap minggunya hanya dihuni oleh 40 ribu Tifosi

Beberapa masalah yang terjadi diatas nyatanya bukanlah masalah yang baru muncul dua atau tiga tahun yang lalu, tetapi bau masalah ini sudah tercium dari belasan tahun lalu ketika Italia masih menjadi kompetisi wahid Eropa. Namun sayang, kecilnya kesadaran dan tidak adanya perbaikan yang dilakukan dari otoritas sepak bola Italia lah yang membuat “bau busuk” dari masalah tersebut menjadi ancaman nyata pada saat ini dan membawa kompetisi Serie A berada di titik terendah sepanjang sejarah.