Ketika penikmat sepak bola tengah di gemparkan dengan transfer berlebihan Raheem Sterling dari Liverpool menuju Manchester City, terpercik sedikit kabar yang seyogya nya akan menjadi gempar juga di hari-hari mendatang, dan masih melibatkan Liverpool sebagai pemilik hak penuhnya, Mario Balotelli kembali menjadi buah bibir yang tak akan pernah basi sekalipun tak pernah dinikmati.

Sama seperti yang sudah-sudah, Balotelli selalu rajin menggoreskan kisah “magisnya” sendiri di dunia sepak bola, baik itu cerita indah, walau pula ia lebih “gemar” menulis cerita aneh nan menjengkelkan dalam catatan kehidupan sehari-harinya yang tak pernah memiliki ujung kejelasan dalam setiap lembaran kisahnya.

Pada awal kemunculannya pada tahun 2007 lalu, Super Mario langsung menjadi pusat perhatian dunia sepak bola, khususnya Italia, ketika ia melakoni debut profesionalnya bersama Inter Milan yang langsung memberi kesan mendalam kepada Interisti, tak terkecuali Roberto Mancini, pelatihnya saat itu di Inter Milan. Memiliki darah segar khas pemuda belia, Balotelli selalu mempertontokan kebolehannya memainkan si kulit bundar hingga mengelabui lawan-lawannya yang tak jarang lebih berpengalaman darinya. Berkat potensi besar yang dikandung Super Mario, seorang Fransesco Totti bahkan sempat mendapat masalah yang bisa dibilang tidak penting-penting amat saat hendak berduel dengan pemain berdarah Ghana tersebut. Totti yang dibuat frustasi akibat kelihaian Balo memainkan bola, memaksa ia menendang paha Balotelli yang langsung terkapar kesakitan, kejadian ini pun langsung membuat “pangeran Roma” diusir dari rumahnya sendiri, stadion Olimpico.

Kisah-kisah “fantasi” ala Mario Balotelli dimulai pasca ia meninggalkan Italia dan terbang ke kota Manchester di Inggris untuk kembali bersatu dengan pelatihnya saat di Inter, Roberto Mancini. “perkenalannya” dengan sepak bola Inggris nyatanya tak buruk-buruk amat dan terbukti dengan andil besarnya yang membawa Manchester City merebut trofi Liga Inggris untuk pertama kalinya, akan tetapi, disinillah dia mengawali coretan-coretan tak penting dalam karir sepak bolanya. Kehidupan ala jetset yang selalu menjadi racun tersendiri dalam sepak bola Inggris membawanya masuk, dan terjerumus dalam gaya hidup yang sangat glamour bagi pemain seusianya, ditambah dengan tunjangan gaji menjulang yang ia dapat di City juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kehidupan sosialnya.

Balo mengawali cerita hebohnya jauh dari tanah Inggris, tepatnya di Amerika Serikat, tapi masih membela City. The Citizen yang saat itu melakoni laga eksebisi di negeri Paman Sam membawa serta seluruh bintang mahal yang dimiliki, termasuk Super Mario. Merasa di anak emaskan oleh Mancini, dia pun menunjukkan aksi akrobatiknya yang fenomenal, dikatakan fenomenal disini tidak berarti layak dicontoh, apalagi diabadikan. Dikatakan fenomenal karena bola yang sejatinya bisa masuk gawang hanya dengan sentuhan ujung kaki, diputar-putar tak tentu arah tujuannya oleh Balo dan berakibat keluarnya bola yang sudah berada tepat didepan gawang lawan. Aksi nyeleneh Balotelli pun berlanjut setibanya ia di Manchester kala menjalani latihan rutin bersama timnya, berbeda dengan cerita diatas, kejadian ini malah mengundang gelak tawa penonton yang melihat dan rekan setim yang tepat berada di sekelilingnya yang tak tahan melihat tingkahnya perihal sifat kudetnya  akan rompi latihan yang seharusnya gampang dikenangan oleh siapa saja, tapi baginya, memakai rompi latihan bagaikan seekor kura-kura yang bisa berlari cepat, sesuatu yang mustahil yang bisa dilakukan.

Mungkin tingkah pola Balotelli yang amat konyol yang sekaligus membuat kita mengerutkan dahi adalah sayembara yang ia buat dengan mengorbankan sang kekasih sendiri sebagai alat taruhan. Kala itu dia bertaruh kepada siapa saja pemain timnas Jerman yang berhasil mengalahkan Italia pada ajang Euro 2012 berhak menikmati tubuh sang pacar.

Perangai Balotelli yang semakin tak karuan pun akhirnya dirasakan langsung oleh Roberto Mancini ketika keduanya terlibat perkelahian dalam sesi latihan City beberapa tahun lalu. Kejadian ini harus dikatakan sungguh ironis, mengingat beberapa waktu sebelumnya sang pemain memuji sang pelatih laksana seorang ayah kandung dimatanya.

Tentu masih banyak tumpukkan dengan lembaran yang cukup tebal perihal tindak tanduk super Mario didalam dan luar lapangan. Tapi, rasa-rasanya akan menimbulkan kejenuhan tersendiri bagi kita untuk membacanya satu demi satu, saya pun yakin jika kalian sudah hafal luar kepala dengan segala kontroversi yang ditimbulkan oleh pemain kulit hitam pertama di tim nasional Italia ini. tapi dibalik semua tingkahnya diluar sepak bola, mau tak mau, suka tidak suka, kita wajib mengakui bakat hebat yang ia miliki, dan tidak bisa pula kita mengelak dari fakta yang menunjukkan keberhasilannya meraih gelar juara bersama club yang ia bela, mulai dari Inter Milan dengan Treble nya, dan Manchester City yang dibawa kesinggasana atas Inggris.

Dengan usia yang semakin menua tiap tahunnya, kita sebagai manusia sudah seharusnya mematangkan perilaku dan menanggalkan kebiasaan buruk masa lalu. Itupula yang wajib dilakukan Balotelli saat ini agar dia tidak di cap sebagai produk gagal Italia hanya karena perilaku buruknya. Masih banyak waktu yang bisa ia manfaatkan, masih banyak kesempatan yang masih bisa dibuktikan olehnya, meskipun kesempatan itu agak mustahil dia dapat bersama Liverpool musim ini yang sepertinya sudah tak sabar ingin menjual pemainnya ini – walaupun saya berharap Liverpool masih mau memberinya kesempatan bermain. kalau pun pada akhirnya Liverpool benar-benar harus melegonya ke club lain, siapa tahu tuhan sudah mempersiapkan rencana yang tak kalah indah dari apa yang ia dapat selama ini, tentu tanpa bumbu-bumbu penyedap yang sejatinya tak perlu ditambahkan dalam karir sepak bolanya. Setidaknya saat ini maha pencipta sudah merancang rencana tak terkira kala menunjuk Sambdoria dan Fiorentina, dua club Italia yang setia menunggu kedatangannya.

Mario Balotelli harus cepat-cepat bangun dari tidur panjangnya, kala semua yang pernah menjalin kerja sama dengannya sudah tak sudi mengakui kehebatannya. Inter Milan, club yang telah mengorbitkannya sudah tak rela meminangnya kembali, AC Milan, club yang sempat menyelamatkan karirnya pun sudah ogah melirik pemain yang akrab dengan nomor 45 ini, dan sekarang Liverpool, club yang ia bela sekarang pun sepertinya akan bahagia jika ada club yang mau menampung “si bengal” walaupun mereka harus membanting harga Balotelli yang diprediksi akan jatuh di bursa transfer kali ini.


Saat ini, hanya dirinya sendiri yang bisa menyelamatkan masa depannya, bukan club yang ia bela sekarang, bukan juga club yang akan dia bela pada masa mendatang. Kita tinggal menunggu bagaimana dia, Mario Balotelli memperlakukan dirinya agar tak lenyap termakan perangainya sendiri, karena kita tahu dia memiliki potensi besar yang terkandung dalam dirinya, agar ia bisa melakukan apa yang dilakukan para pendahulunya, bahkan bisa saja melebihi itu. Selanjutnya, tentu terserah Super Mario sendiri, apakah ia ingin dikenang sebagai pesakitan, atau pemenang!!!

kita di anugerahi dengan munculnya pemahaman-pemahaman atau idiologi politik yang dapat merubah nasib suatu bangsa untuk menjadi lebih baik. Ada banyak ideologi politik yang kita ketahui di antaranya, pemahaman Marxisme yang kemudian berkembang menjadi Komunisme-Sosialisme yang di kenal dengan haluan kiri dengan penganut setia di Rusia (dulunya Uni Soviet), China, dan Amerika Latin dengan menyebarkan pemikiran Karl Mark yang kemudian di refleksikan oleh Lenin di Uni Soviet, Mao Zedong di China, liberalism-kapitalisme yang ada di tengah dengan Amerika Serikat dan Inggris nya, dan Fasisme yang lebih condong ke kanan yang di perkenalkan oleh Hitler di jerman melalui NAZI nya, lalu meluas ke daratan Spanyol melalui jendral Franco, Italia dengan benito Mussolini nya, dan dengan cepat menjalar hampir seluruh daratan Eropa . 

Melalui ideologi-ideologi inilah para penganutnya mulai memasuki ranah sepak bola, baik hanya sebagai propaganda politik untuk menampung dukungan rakyat ataupun sebagai simbol perjuangan kaum tertentu.

 Italia sebagai salah satu negara yang kental dengan fasisme nya dikenal dengan beberapa club yang berpandangan politik kanan, seperti Lazio dan Sampdoria yang memang di bentuk oleh Benito Mussolini yang dikenal sangat kejam dalam menjalankan kekuasaannya. Sampdoria, club yang bermarkas di Luigi Ferraris ini didirikannya atas dasar ketidaksukaan sang penguasa pada club Genoa (satu kota dengan sampdoria) yang banyak menggunakan jasa pemain-pemain yang berasal dari luar italia. Seperti yang kita ketahui, aliran fasisme yang merunut pada pemikiran Ultra-nasionalis memang sangat mengagungkan bangsanya sendiri dan menganggap kalau bangsa lain sebagai sampah yang harus ditumpas. Sementara itu, Lazio didirikan memang hanya semata-mata untuk dijadikan alat politik Mussolini agar mendapatkan dukungan kaum borjuis Italia. 

Jika fans Sampdoria masih malu-malu kucing mengakui Mussolini sebagai “orang tua asuhnya”, maka tidak begitu dengan fans Lazio yang secara terbuka dan bangga mengakui Mussolini sebagai bapak bangsa mereka yang wajib diagungkan. Bahkan salah satu legenda mereka Paolo Di Canio sempat membuat geger dunia sepakbola dengan merayakan golnya ala Hitler. Dikenal sebagai penganut Fasisme yang kolot selama merumput di negerinya, Di Canio menggegerkan publik sepak bola Inggris ketika menerima pinangan club asal London, West Ham United. Lalu apa hubungannya? Inggris merupakan salah satu negara Eropa yang mempunyai sejarah panjang yang cenderung kelam dengan Jerman yang “memperkenalkan” fasisme di dunia, dan tentu mayoritas masyarakat Inggris berasal dari kaum buruh yang sangat bertentangan dengan aliran kanan tersebut. Untuk meredam amarah fans tentang pemahaman politiknya, Di Canio pun buru-buru menepis isu tersebut dan mengatakan bahwa dia tidak ada sangkut-pautnya dengan ideologi tertentu.

Di balik loyalitas fans Lazio terhadap pendirian politiknya, terdapat kejadian menarik ketika Lazio berhasil menjuarai Serie A pada medio 2000. Ketika itu, bintang mereka asal Argentina, Juan Sebastian Veron mendapatkan kecupan hangat dari Laziale ( sebutan fans Lazio ),  bukan kecupan biasa yang diberikan, karena yang mereka cium adalah tato seorang sosialisme sejati yang notabene berlawanan dengan faham fasisme asal Argentina Che Guevara yang memang melekat di kaki pesepakbola plontos tersebut. 

Kentalnya aroma Fasisme di Italia tidak menyurutkan sekumpulan orang yang muncul dengan club yang berhaluan kiri, mungkin Livorno menjadi sedikit diantara club-club italia yang berani mengungkapkan jati diri ideologi mereka, fans dengan bangga memakai atribut club yang menyebarkan pesan-pesan berbau Marxisme-Leninisme dan tidak segan-segan menghina fans Lazio dengan Mussolini nya yang memang sangat di benci oleh mereka. Bahkan sebagai pesaing berat Lazio dalam hal ideologi, Livorno pun mendapuk sang kapten, Cristiano Lucarelli sebagai simbol perjuangan kaum kiri Italia. Tak heran jika keberadaan fans Livorno banyak mengundang pertikaian dalam setiap pertandingan, karena mereka dikelilingi oleh orang-orang “kanan” yang loyal, namun, mereka masih tetap bertahan dengan “kesendiriannya” melawan arus di negeri Pizza tersebut.


Italia sebagai negara yang memiliki sejarah politik yang panjang, rasanya sudah lumrah jika sering terjadi gesekan-gesekan berlatar belakang politik antar supporter ketika tim nya sedang bertanding baik itu melalui banner-banner raksasa, atau dengan banter chants antar suporter garis kerasnya yang di kenal dengan sebutan Ultras, bahkan tidak jarang berakhir dengan bentrok antar suporter yang seakan-akan sudah menjadi identitas di sepakbola Italia, terlebih jika sedang berlangsungnya derby Della Capitale yang mempertemukan AS Roma dan Lazio yang memang bersebrangan, baik sisi politiknya atau kehidupan sosial. Untuk diketahui, fans Lazio yang berhaluan fasisme di huni oleh fans berduit, dan sangat bertolak belakang dengan AS Roma yang berhaluan kiri, yang identik dengan kelas menengah ke bawah. 

Kebencian kedua tim ibukota Italia ini memang sudah mendarah daging, saking bencinya, fans Lazio pernah meminta tim kesayangannya untuk mengalah pada inter Milan pada musim 2009-2010 agar memudahkan Inter untuk meraih Scudetto, dan ketika itu Inter sedang bersaing ketat dengan Roma dalam perburuan gelar juara, ironisnya disaat yang bersamaan, Lazio sendiri sedang berjuang lolos dari zona degradasi dan terancam turun kasta  ke Serie B. Disini, kita bisa melihat dengan jelas kalau fans Lazio sangat tidak senang jika AS Roma mengangkat piala, bahkan mereka dengan sukarela mengorbankan club kesayangannya sendiri untuk berlaku curang.


Sedikit cerita tentang kekejaman Mussolini, ketika piala dunia tahun 1938 berlangsung di Perancis, ketika itu Italia sebagai salah satu pesertanya  lolos ke final dan berhadapan dengan Hungaria di partai puncak. Sadar dengan ancaman Hungaria yang saat itu sedang kuat-kuatnya, Mussolini dengan segala kekuasaanya mengancam akan membunuh seluruh pemain Italia jika gagal membawa pulang trofi piala dunia. Tapi, beruntunglah tuhan masih amat sayang dengan skuat Gli Azzuri, karena tak ada satupun pemain italia yang meregang nyawa karena mereka berhasil memenangkan pertandingan dengan skor mencolok 4-0. Akan tetapi, cerita tak hanya berhenti disitu, bahkan lebih heroik lagi, karena tidak ada raut wajah merintih sedih yang diperlihatkan pemain Hungaria, malah, dengan kekalahan itu para pemain merasa bangga. Seperti yang diungkapkan kiper mereka saat itu Antal Szabó “tidak masalah gawang saya kebobolan empat gol, setidaknya kami sudah menyelamatkan nyawa mereka (pemain italia) dan itu lebih baik daripada kami juara tapi dengan cara membunuh secara tidak langsung orang-orang yang tak berdosa”.

Tidak jauh beda dengan Mussolini di italia, Jendral Franco juga melakukan hal yang sama di sepakbola spanyol, bahkan bisa dikatakan lebih parah lagi karena sang jendral lah yang mengatur semua urusan tetek bengek liga, sang jendral memonopoli setiap club di spanyol, baik dalam hal gelar, ataupun identitas club, sehingga tidak heran jika Real Madrid yang menjadi kebanggaan franco merajai spanyol dan bahkan eropa selama franco berkuasa. Spanyol sendiri merupakan negara yang memiliki beberapa etnis didalamnya, seperti Andalusia (Sevilla, Malaga, Granada, Real Betis), Castilla (Real Madrid, Atletico Madrid) , Basque (Athletic Bilbao, Real Sociedad), Catalan (Barcelona, Espanyol). Bahkan dua etnis terakhir masih menyuarakan kemerdekaan mereka dari negara Spanyol sampai sekarang. 


Kebencian antara etnis Basque dan Catalan terhadap Spanyol ( khususnya Madrid ) sangat terasa terlihat jika kedua club ini bertanding melawan Real Madrid yang merupakan jantung negara Spanyol, setiap Athletic Bilbao atau Barcelona bertemu el real kedua fans mereka pun selalu membawa lambang kedaerahannya masing-masing sebagai identitas, kita tidak akan bisa melihat bendera Spanyol berkibar di San Mames atau Nou Camp, stadion beserta isinya di pastikan akan di sesaki bendera etnis Basque dan Senyera khas Catalonia dengan nyanyian-nyanyian anti Franco, tidak hanya itu fans Barcelona secara berani mengungkapkan diri ingin berpisah dari Spanyol setiap El Clasico digelar. Sedangkan didaerah Basque, masih terdapat pejuang-pejuang ETA yang hingga saat ini masih terus berjuang untuk kebebasan rakyat Basque dari Tirani kerajaan Spanyol 


 Tidak hanya fans, para pemain yang memiliki darah Basque dan Catalan juga melakukan hal yang hampir sama, bahkan amat sama, dan jelas. Ketika Spanyol memenangi piala dunia 2010 dan uero 2012 tidak ada kekompakan dalam selebrasi tim, hanya pemain yang berasal dari Madrid saja yang mengalungkan bendera Spanyol di tubuh mereka, sedangkan pemain lain seperti Fernando Llorente malah bangga mengenakan bendera Basque nya, dan juga beberapa pemain Barcelona yang memakai bendera senyera khas Catalan dalam merayakan keberhasilan Spanyol meraih gelar juara.


Tapi tidak semua club yang berasal dari kota Madrid memiliki fans yang berhaluan sayap kanan, terletak di pinggiran kota, Rayo Vallecano mencoba melawan derasnya arus yang mengelilingi mereka. Dengan segala kesederhanaan, kebersamaan hakiki khas kaum pekerja yang ditawarkan, cukup jelas menggambarkan perbedaan yang terjadi antara club ini dengan penghuni kota Madrid lainnya. Tidak hanya fans, tapi para pemain, dan petinggi club pun ikut menjunjung tinggi nilai-nilai sosialisme yang biasa di refleksikan melalui spanduk-spanduk raksasa ataupun chants-chants dari suporter. Sebuah kolaborasi indah yang menyatukan tiga elemen penting dalam sebuah tim dalam menjunjung tinggi sebuah ideologi.

Perbedaan yang cukup mencolok terjadi di sepakbola Inggris, sebagai negara yang mengklaim dirirnya sebagai pencetus olahraga ini, massa sepakbola Inggris seakan acuh dengan pemikiran-pemikiran politik yang ada, sehingga gesekan-gesekan yang terjadi antar fans bola di Inggris lebih di karenakan isu sosial ekonomi atau agamanya. Hal ini terjadi di karenakan penduduk Inggris mayoritas berasal dari kelas buruh sehingga kita hampir tidak bisa melihat isu-isu ideologi yang disajikan antar seporter jika terjadi keributan. Ada fakta menarik yang terjadi di sepakbola Inggris ketika Iron Lady, Margareth Teatcher memimpin negara monarki itu pada periode 1979-1990. 

Sebagai kader Partai Konservatif Margareth Teatcher sontak menjadi public enemy bagi para pencinta sepakbola Britania Raya yang “dikuasai” oleh kelas pekerja yang selalu ditindas sepak terjangnya oleh orang-orang konservatif melalui kebijakan yang dikeluarkan, bahkan pelatih legendaries Manchester United, Sir Alex Ferguson yang memang berasal dari kaum buruh Skotlandia sangat membenci dan menudingnya sebagai pembunuh kaum pekerja didaratan Britania Raya. Dan ketika Margareth Teacher meninggal pada 2013 silam, tak sedikitpun terlihat raut kesedihan dari publik sepakbola inggris akan kematiannya, bahkan mereka cenderung bahagia dengan meninggalnya si “wanita besi”.

Persaingan antar suporter di Inggris lebih di karenakan faktor ekonomi, salah satunya terjadi antara musuh yang tak bisa dipisahkan, Manchester United vs Liverpool. Isu sosial ekonomi sangat kental jika kedua tim ini bertanding. Liverpool yang dahulu di kenal sebagai kota pelabuhan dan menjadi tulang punggung pendistribusian barang baik yang keluar ataupun masuk ke Inggris dan mayoritas penduduk Liverpool menggantungkan hidupnya sebagai pekerja pelabuhan, sedangkan Manchester sangat dikenal sebagai kawasan industri yang menjadi jantung ekonomi Inggris. 

Dalam setiap melakukan kegiatan industrinya, setiap barang yang masuk dan keluar harus melalui pelabuhan Liverpool yang membuat pengeluaran warga Manchester membengkak, hal ini terjadi karena jarak antara kedua kota ini sangat jauh, sehingga berakibat pada membengkaknya pengeluaran yang dilakukan warga Manchester. awal permusuhan Liverpudlian dan Manchunian dimulai ketika otoritas di Manchester mulai membangun pelabuhan sendiri yang bertujuan untuk menekan biaya produksi mereka, dan meringankan beban ekonomi warga. Kebijakan ini tak ayal membuat penduduk Manchester senang bukan kepalang karena mereka tidak perlu mengeluarkan uang tambahan lagi, tapi di sisi lain hal ini seolah menjadi bencana bagi penduduk Liverpool karena mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran yang selama ini menggantungkan hidup mereka melalui kegiatan pelabuhan. 

Inilah yang melatarbelakangi permusuhan abadi antara fans Liverpool dan Manchester united sampai saat ini dan fakta unik mengenai pihak club yang seolah-olah mengharamkan pemain mereka menyebrang ke club rival pun menjadi bumbu tersendiri dalam tiap laga yang dipertontonkan.

Para pemikir-pemikir masa lalu yang menciptakan komunis-sosialisme, liberal-kapitalisme, dan fasisme memang sudah lama tiada tapi buah pemikiran mereka sudah banyak merubah dunia menjadi lebih baik dan telah menjadi bumbu penyedap rasa di dunia sepakbola dengan segala ceritanya, karena sesungguhnya setiap ideologi itu menawarkan kedamaian, tapi sejarahlah yang menciptakan kekejaman


Musim 2014/2015 bisa dikatakan sebagai musim yang kelam bagi seorang Iker Casillas, bukan sekedar nihil gelar bersama Real Madrid, tapi Casillas juga mendapat cemoohan sepanjang musim dari Madridista karena permainannya yang dinilai jauh menurun dari beberapa tahun sebelumnya.

Sejatinya perseoalan Casillas di Madrid sudah terjadi pada pertengahan musim 2012-2013 ketika dia mengalami cidera tangan yang memaksanya harus menepi selama 3 bulan lamanya, suatu hal yang tak pernah dirasakan sebelumnya oleh saint Iker. Real Madrid, yang seperti biasanya terus bersaing dengan Barcelona untuk menjadi yang terbaik di tanah Matador tentu membutuhkan kiper jempolan untuk mengganti peran sepadan sang kapten, atau setidaknya yang tidak jelek-jelek amatlah. Antonio Adan, penghuni cadangan abadi Casillas di Madrid pun tak mampu berbuat apa-apa karena penampilannya seakan termakan dengan hangatnya bangku cadangan el real. Tidak ingin banyak kebobolan, pelatih Madrid ketika itu, Jose Mourinho pun mendatangkan Diego Lopez dari Villareal untuk mengganti sang kiper utama di tim Galacticos tersebut. Penampilan apik yang ditunjukkan Lopez di bawah mistar gawang membuat Mourinho senang bukan kepalang, juga membuat fans Real bisa bernafas lega.

Namun, di situ lah semua awal permasalahan panjang bermula. Disaat Diego Lopez sedang top-topnya di bawah mistar gawang, saat itu pula Casillas sembuh dari cidera panjang. Mou yang dikenal saklek terhadap sepak bola tak sekalipun meliriknya lagi di bangku cadangan, padahal ia sudah sepenuhnya pulih dan siap kembali turun laga bersama skuat bintang lainnya. Keputusan Mou saat itu pun menuai kecaman dikalangan Madridista karena menilai Casillas sebagai roh dan simbol club yang bermarkas di Santiago Bernabeu tersebut.

Kepergian Mourinho pada musim berikutnya seperti membawa angin segar bagi Iker yang berharap mendapatkan tempatnya kembali di best eleven Madrid di bawah Entrenador baru, Carlo Ancelotti. Tapi Don Carlo tak mau begitu saja memberi tempat utama padanya dan menuntut ia untuk terus bersaing bersama Diego Lopez, ditambah kenyataan bahwa Ancelotti yang tidak terlalu menyukai penjaga gawang yang bertubuh kecil, membuat Casillas harus berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan sang pelatih. Pelatih yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kepelatihan bersama segudang prestasi ini pun mencoba bersikap bijak dengan kedua kiper terbaiknya tersebut  dengan memainkan Diego Lopez di ajang La Liga dan menunjuk Iker Casillas sebagai pemimpin di Copa Del Rey dan Liga Champions. Hasil eksperimen Don Carlo pun berbuah piala Copa dan Liga Champions yang menempatkan Saint Iker sebagai pemain terakhir didepan gawang.

Musim lalu Real Madrid kembali kedatangan kiper anyar untuk menggantikan Diego Lopez yang hijrah ke AC Milan. Keylor Navas, kiper Levante yang bermain cemerlang pada piala dunia lalu didatangkan untuk menjadi kompetitor Casillas yang baru. Namun, penampilannya yang inkonsisten membuat Ancelotti kembali menempatkan Casillas di pos gawangnya diseluruh ajang yang diikuti el real ( kecuali Copa Del Rey ).  Kemudian, petaka lain pun menghampiri sang kapten ketika penampilannya yang kembali menurun, ditambah berbagai kesalahan yang ia buat yang membuat Los Galacticos kehilangan beberapa poin penting. 

Perbedaan mencolok pun terjadi, ketika fans Real mencaci Jose Mourinho yang dengan tega mencadangkannya dan setia mendukung Casillas, kini fans seolah menjilat ludahnya sendiri ketika mereka menghujat Casillas habis-habisan karena beberapa blunder yang ia lakukan. Sepanjang musim ia amat jarang mendapat dukungan fans di Bernabeu, bahkan tidak ada. Alih-alih mendapat dukungan, Casillas malah menerima olokan Madridista yang tak terima dengan performa yang ditunjukkan santo Iker. Sepanjang musim 2014-2015 berjalan, Casillas setia menemani gawang Madrid dari serangan-serangan pemain lawan, namun disaat bersamaan fans pun tak kalah setia menghinanya, baik tetika clubnya menang, apalagi jika kalah. Kemarahan fans memuncak ketika Real Madrid tak mendapatkan trofi apa-apa diakhir musim, tentu ini bukan karena kesalahan seorang Casillas saja, melainkan kesalahan kolektif seluruh pemain. 

Kemarahan fans selama musim berjalan rupanya sejalan dengan kemarahan yang ditunjukkan si empunya club, sang presiden, Florentino Perez yang melakukan reinkarnasi kepemimpinan dalam tubuh tim ketika dia dengan lantang memecat Carlo Ancelotti, pelatih yang berhasil membuat mimpi sang presiden untuk meraih La Decima menjadi nyata, dan tanpa diduga oleh fans dan kita semua tentunya, “sang paduka” presiden pun melepas sang kapten. “pemecatan” Casillas bagaikan Tsunami, tanpa suara, bahkan tanpa gempa sebagai peringatan terjadinya musibah mematikan tersebut. Tanpa belas kasih, apalagi terima kasih, el presidente mencampakkan Casillas begitu saja. Perez sepertinya memang tak tahu cara berterima kasih pada orang lain, atau memang ia tak pernah diajarkan cara mengucap terima kasih, tak mengerti pula ia akan arti loyalitas, sehingga dengan senyum simpul khas di balik kacamata beningnya membuang Casillas ke rimba bernama FC Porto.

Kejayaan Real Madrid dengan La Decima sepintas buyar akibat bengisnya sikap Perez pada kaptennya.. Madridista yang selama ini mengambinghitamkan sang kapten pun tak sampai hati melepas legendanya pergi, kekecewaan mereka selama ini kepada Casillas bukan berarti mereka ingin sang kiper disingkirkan dari club, apalagi disingkirkan secara tidak hormat. Fans hanya ingin club kesayangannya menang, apapun ceritanya, siapa pun pemainnya, club harus menang, tanpa alasan, tanpa kecuali. 

Setelah Iker Casillas tidak lagi mengabdi di ibu kota negara, Madridista sontak hening dalam tangis, tangisan yang sudah tertahan lama akan teka-teki masa depan sang Iker pada akhirnya benar-benar membanjiri Spanyol beserta isinya, kemuraman fans yang gagal melihat tim kesayangan menggenggam piala semakin mengerutkan wajah pendukungnya seantero dunia yang makin hari makin durjana ketika harus melihat pangeran kecil dibawah mistarnya tak lagi menjaga kesucian gawang yang telah setia ia temani 2 dekade lebih ini. 

Fans yang selama ini mendewakan “paduka” Florentino Perez akhirnya kembali ke fitrahnya sebagai manusia biasa yang terketuk hatinya dan mengecam sang presiden. Mereka tepat berdiri sejajar di belakang Casillas sebagai bentuk dukungan pada icon club kesayangan. Sementara Perez duduk santai seorang diri dengan secangkir kopi hangat dan cerutu yang ia nikmati sambil mendengarkan musik sekencang-kencangnya tanpa mendengarkan keluh kesah Madridista, tidak sudi pula ia melihat, apalagi menghadiri konferensi pers Iker Casillas yang penuh derai air mata. Ia malah sibuk menghitung uangnya yang menyilaukan mata yang siap ditebar ke pemain-pemain bintang berikutnya, sekaligus berharap ratusan juta Euro yang dikeluarkan selanjutnya mampu menghapus dosanya di mata Madridista.

Iker Casillas yang separuh hidupnya berkorban demi Real Madrid, baik ketika Madrid di puncak prestasi atau bahkan ketika el real berada di dasar jurang keterpurukan, harus menerima kenyataan bahwa dia benar-benar sendiri ketika menyampaikan salam perpisahan. Tanpa fans, kolega, direksi, apalagi Perez, sang Iker hanya bertemankan wartawan yang selalu setia menerima keluh kesahnya. Jejeran kursi biru yang mengerumuni Casillas pun kosong tanpa penghuni. Dalam gerutu dibenaknya, ia seorang diri tatkala menghadapi pergolakan batin yang sebelumnya tiada pernah ia kira. Tak ada tempat buat dia bersandar ketika ia kehabisan kata saat menggambarkan suasana hatinya, tak ada satu nyawa pun di sampingnya yang setidaknya bisa menenangkan dirinya ketika ia merasa emosional yang begitu dalam, tak ada pula yang menyeka tangisnya ketika semua perasaannya tak lagi keluar dari mulut melainkan dari matanya.

Casillas saat jumpa pers terakhir

Perjumpaan singkatnya bersama beberapa wartawan pun ditutup dengan sempurna lewat satu kalimat tegas, “saat ini saya hanya seorang Madridista dan akan selalu meneriakkan hala Madrid sepanjang hidup saya.” Cetusnya, yang sekejap memercikkan air mata sebagai tanda berakhirnya sebuah era. Tanpa kawan di sisi, tanpa tetua club di mana dia mengabdi, Casillas hanya menopang tangisan lewat kedua tangannya, yang bahkan itu pun tak sanggup menghentikan laju air mata yang semakin tak bisa menahan rintihan yang semakin perih. Seluruh pewarta berita juga tak mampu berbuat banyak untuk menahan “amarah” sang Iker, tapi setidaknya, mereka lah saksi sejarah, mereka orang pertama yang merasakan jeritan hati Iker ketika tak ada teman, tiada penanggung jawab club yang seharusnya menjadi tempat ia berbagi kegelisahan hati yang semakin tinggi.

Kebersamaan Casillas bersama Los Galacticos pun tak hanya berakhir di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Tak berselang lama setelah Iker mengakhiri konferensi pers tunggalnya, pihak club pun menyudahi pertemanan mereka di media sosial, tepatnya melalui akun twitter club yang seketika meng-unfollow sang legenda. Sebuah hal yang seharusnya tak perlu dilakukan, bahkan terkesan lucu, alay, dan memalukan. Club sekelas, sebesar, setenar, sekaya Real Madrid nyatanya telah membuka tabir buruknya sendiri di balik presiden yang maha agung itu. Mereka telah mengotori segala yang mereka punya dengan menodai kesucian seorang Iker Casillas. Tak ada perpisahan, tanpa perwakilan, tiada permohonan maaf, mereka melepas kiper legendarisnya begitu saja, melihat sang legenda mengangkat kopernya dari kejauhan berlapiskan ruangan sejuk nan nyaman tanpa lambaian tangan perpisahan.

Disaat bersamaan, Madridista meramaikan pusat kota yang digunakan sebagai tempat menyuarakan hati nuraninya, tentu mereka tidak meminta kipernya kembali. Hanya satu tujuan mereka, yakni meminta sang presiden turun dari singgasana dan tak ada lagi pemain pujaan yang bernasib sama seperti Iker Casillas.

Perez telah terang-terangan membuka mata kita bahwa sebesar apapun uang yang ia keluarkan, nyatanya tak mampu menggelapkan mata hati pendukung Real Madrid, begitu pula dengan fans Madrid yang telah mengajarkan kita bahwa sekeras apapun mereka mengkritik pemain saat bermain buruk, mereka tetap punya sisi kemanusiaan yang tak bisa dibayar dengan apapun ketika si pemain tak diperlakukan dengan layak. Sebagai catatan, selama era Florentino Perez hanya Zinedine Zidane yang mengakhiri karirnya di Bernabeu. Sementara legenda semacam Fernando Hierro, Luis Figo, Fernando Redondo, Michael Salgado, Vicente Del Bosque, dan tentu sang pangeran Raul Gonzalez hilang tak berbekas dimata sang preseiden.

Apapun itu, Casillas telah menyatukan banyak supporter di dunia yang takjub akan nasib malang di penghujung karir panjangnya. Karena dia juga telah menjadi contoh teladan yang diajarkan bagi semua insan sepak bola baik di dalam ataupun di luar lapangan.

Hari ini, 20 juli 2013, dua tahun lalu menjadi hari yang sangat bersejarah bagi fans Liverpool di seluruh Indonesia. Bagaimana tidak, ketika itu club besar Inggris Liverpool FC menginjakkan kakinya di tanah air untuk pertama kali sepanjang sejarah. Menumpangi pesawat kebanggaan negara, Garuda Indonesia yang juga sponsor club, Liverpool di terbangkan “sang garuda” dari bandara John Lennon ke Halim Perdana Kesuma, Jakarta.

seluruh pemain liverpool mendarat di bandara halim perdana kusuma

             Sebuah mimpi yang disambut meriah oleh para kopites seluruh tanah air yang ikut menjemput pasukan Brendan Rodgers di Halim Perdana Kusuma. Bandara yang biasa digunakan untuk menyambut tamu negara ini pada akhirnya menyala oleh kilauan “cahaya” merah khas Liverpool yang dibanjiri oleh pemujanya. bulan suci Ramadhan yang diikuti hawa panas ala tropis Asia Tenggara tak menghalangi kegilaan mereka yang setia menanti kedatangan Steven Gerrard cs. Pelataran bandara yang cukup besar pun tak mampu menampung ribuan fans yang memadati tiap sudut Halim Perdana Kesuma, terbatasnya permukaan tanah yang tersedia tak menghabiskan akal para supporter, bahkan mereka rela bergelantungan di pohon-pohon agar bisa melihat sang pahlawan dari dekat.

fans liverpool ketika menyambut para pemain di bandara halim perdana kusuma


Sayangnya, saat itu saya tidak ikut menjemput club yang saya banggakan ini. Namun, saya ikut hanyut melihat saudara semerah yang hadir di sana. Tentu saya sangat iri melihat teman-teman yang berada di bandara. Tapi tak apa lah, yang penting bisa melihat kedatangan pemain pujaan walau dalam layar kaca. Saya semakin tenggelam dalam euforia ketika melihat para pemain melewati fans yang seolah menjadi karpet merah bagi para pahlawannya. Sambutan hangat, nyanyian khas club dari para pemujanya pun disambut dengan senyum manis sang pahlawan sembari melambaikan tangan ke para si pemuja. Melihat kejadian itu saya pun tak sabar menanti hari pertandingan untuk melihat langsung pahlawan saya dari dekat. Tiket sudah di tangan, jersey sudah rapi dan wangi, teropong pun siap untuk digunakan di hari itu.

bus yang membawa pemain liverpool disambut bak pahlawan oleh fans yang datang


Keesokan harinya, saya beserta pasangan ( saat itu ), dan adiknya langsung meluncur ke stadion Gelora Bung Karno ( GBK ), bukan untuk menonton pertandingan, karena memang bukan saat itu pertandingannya. kami hanya ingin melihat pemain-pemain idola berlatih di Senayan sembari mencoba peruntungan agar bisa bertemu mereka secara langsung. Rencana awal kami bisa dikatakan sukses ketika berhasil melihat para pemain latihan (walaupun tidak sempat mengantar mereka pulang ke hotel) tidak di dalam stadion memang, tapi setidaknya kami bisa memanfaatkan teropong yang kami bawa dan membidik setiap pemain agar terasa lebih dekat.

 Satu persatu pemain kami bidik, sekejap saya melihat Daniel Agger, pemain idola saya yang sekaligus membuat mulut saya bergetar dan berteriak “wiiih Agger” yang seketika membuat pasangan saya agak iri mendengarnya dan langsung merebut teropong yang sedang saya pakai agar dia juga bisa melihat Daniel Agger, Agger adalah salah satu idola kami berdua, selain sang kapten tentunya. Namun lebih dari itu, kami bisa bertemu dengan para pendukung yang lain dari seluruh Indonesia, tidak terhitung bus yang terparkir rapi untuk  mengantar para supporter dari seluruh pelosok negeri. Kami terkesima, terdiam tanpa kata melihat banyaknya orang yang mengenakan “liverbird” di dada sambil ada yang berujar “  Liverpool latihan aja yang nonton rame banget, apalagi besok pas match nya.“

Dan akhirnya hari pertandingan pun tiba, saya sudah semaleman tidak bisa tidur karena tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi di Senayan nanti. Namun, hal lain yang tak kalah mengejutkan pun datang. Yap, hujan turun dengan kencang tepat disaat kami hendak berangkat ke stadion. Untungnya saya dan pasangan saya ( ya, masih saat itu ) sudah mempersiapkan semua hal yang tak diinginkan, termasuk jika hujan turun. Bermodalkan mantel, hujan deras sore itu dengan perut kosong karena puasa pun tak menjadi penghalang tekad  kami untuk segera ke stadion kebanggaan Indonesia. Genangan air dan amburadulnya lalu lintas ibu kota ketika itu tak mampu menjatuhkan mental kami, malah itu semua menjadi saksi akan kegigihan dan totalitas kami untuk Liverpool. Di sepanjang jalan, kami pun melihat cukup banyak fans Liverpool yang bernasip sama. Hujan bukanlah suatu halangan yang bisa dijadikan alasan, karena bagi kami semua, hujan tidak hujan, puasa tidak puasa, sedongkol-dongkolnya kami dengan buruknya lalu lintas Jakarta, menyaksikan pertandingan Liverpool secara langsung merupakan Fardhu a’in yang haram hukumnya jika tidak dikerjakan.

hujan tak mengurangi semangat fans liverpool untuk datang ke stadion

Dan yang membuat kami lebih bangga dengan Liverpool adalah, diantara 3 club Inggris yang datang ke tanah air, hanya Liverpool yang datang tanpa promotor, sementara Chelsea dan Arsenal di “temani” oleh promotor masing-masing yang menyokong kedatangan mereka ke Indonesia. Saya tidak yakin club seperti Arsenal, terlebih-lebih lagi Chelsea mau datang kesini jika tidak ada promotor yang mendanai mereka.

Kick off dimulai sekitar pukul 19.00, sementara kami tiba di stadion tepat sejam sebelum dimulai, dan tentu saja bersamaan dengan waktu berbuka puasa. Jika di hari-hari sebelumnya, saat tibanya waktu berbuka saya langsung membatalkan puasa dengan memakan semua yang ada di depan mata, hari itu beda cerita. Saya memang sangat amat lapar, tapi bukan lapar dengan makanan, melainkan mata saya yang lapar karena tidak sabar ingin melihat pemain idola bermain di “rumput” Indonesia, kebanggaan Indonesia, stadion Gelora Bung Karno. Saya dan puluhan ribu fans lainnya mengacuhkan makanan yang dijual di seantero Gelora, bagi kami sebotol minuman sudah cukup untuk melepas rasa lelah seharian, tak masalah menunda rasa lapar seharian, karena yang pasti kami tidak boleh meninggalkan sepersekian detik pun momen-momen bersejarah di dalam stadion.

Badan yang basah dan sedikit merasakan gatal di dalam karena kencangnya hujan yang menembus tebalnya mantel dan baju yang saya pakai tak menghalangi keceriaan malam itu. “ bodo amat lah ntar juga kering sendiri kalo liat Liverpool,“ gumam saya. Sebagai muslim, saya pun tak lupa menjalankan ibadah maghrib dengan segenap kopites muslim lainnya, tak ada mushola di stadion, tapi ini tentu tak menjadi soal karena banyak tempat yang bisa kami manfaatkan untuk mengucap dan berserah diri pada tuhan. Lalu tiba pula saatnya kami memasuki stadion yang berkapasitas lebih dari 85.000 penonton itu. Pertandingan belum di mulai, bahkan pemain belum juga melakukan pemanasan, tapi fans dengan riuh rendahnya sudah melantunkan chants-chants kebanggaan club seperti Fields of Anfield Road, Steve Gerrard-gerrard, Luis Suarez, oh  Campione, oh When The Reds, dan tentu lagu wajib You’ll Never Walk Alone dan masih banyak lagi.

Ketika para pemain memasuki lapangan untuk menggelar pemanasan, kami pun bersorak-sorai  menyambutnya, teriakan kami memang tidak di dengar oleh para pemain karena memang jarang tribun dan lapangan yang cukup jauh, tapi pemain menjawab teriakan kami dengan lambaian tangan sebagai ucapan terima kasih. Steven Gerrard tak henti-hentinya bertepuk tangan melihat “kegilaan” kami di stadion yang seketika kami sambut dengan chants
 “steve gerrard gerrard his pass the ball 40 yard his big and his fucking hard steve gerrard gerrard.”

Saya dan pasangan saya ( lagi-lagi saat itu ) duduk di tribun belakang gawang ala tribun Stand Kop di Anfield, tepatnya di sektor 5-7. Sadar dengan jarak lapangan dan stadion yang cukup jauh, kami pun membawa teropong untuk melihat para pemain agar terasa dekat, alat itu bukan milik kami tentunya melainkan milik teman yang cukup baik untuk meminjamkan pada kami berdua. Satu persatu pemain kami bidik dengan seksama, dari sudut ke sudut, dari ujung ke ujung,  dari yang jauh hingga yang paling dekat tanpa ada yang terlewatkan dan tanpa terkecuali. Saya tidak terlalu sering menggunakan teropong itu, pasangan saya yang lebih banyak memakainya, dia memang lebih membutuhkan itu agar bisa mencintai Liverpool lebih dalam lagi, dan lagi sampai ke sendi-sendinya. Dan benar saja, ia pun terdiam ketika bidikannya “menemui” Steven Gerrard dan matanya pun tak bisa pindah ke sosok lainnya, dia mengikuti langkah Gerrard kemana pun sang kapten berlari. Seketika dia terpaku pada Stevie G dan seolah-olah melupakan pemain lainnya, dan sejenak melinangkan air mata penuh bahagia ketika mata kapten Liverpool tersebut menemui mata teropong dan melihat kearahnya.

Pertandingan antara Liverpool vs Indonesia All Stars pun di mulai, dan seperti syarat sah pertandingan Liverpool, GBK pun melantunkan lagu “kebangsaan”, You’ll Never Walk Alone. Tanpa arahan dari panitia, dengan sendirinya kami semua terbawa ke Anfield saat menyanyikan itu, jiwa saya bergetar, tak menyangka bisa bernyanyi dengan lebih dari 80 ribu fans yang memerahkan GBK. Memakai jersey kebanggaan club yang dilengkapi scarf Liverpool yang terbentang, saya benar-benar merasakan aroma Anfield di sana. Tidak ada suara terompet di Senayan ketika itu yang memang menjadi ciri khas tersendiri supporter Indonesia, BIGREDS selaku official supporter Liverpool Indonesia melarang menggunakan alat itu. Alasannya jelas, agar kita benar-benar berada di Anfield, dengan nyanyian dalam bentuk suara mulut, bukan suara dari suatu alat.

kopites memberi dukungan luar biasa saat liverpool bertanding

80 ribu Kopites yang memadati GBK tentu tidak hanya mengharapkan Liverpool menang, tapi lebih dari itu. Fans hanya ingin merasa lebih intim dengan pemainnya, bagi para fans kemenangan bukanlah segalanya karena Liverpool telah mengajarkan kami apa arti penting keluarga dan apa itu loyalitas, pun begitu dengan fans yang telah mengajarkan totalitas bagi club kesayangannya tersebut.

Hari itu Liverpool menang dengan skor 2-0 melalui gol yang masing- masing di cetak oleh Coutinho dan Raheem Sterling pada masing-masing babak. Philipe Coutinho membuka gemuruh GBK ketika golnya di babak pertama membangkitkan penonton dari duduknya untuk merayakan gol bersama sang pemain yang langsung menghampiri tribun stadion. Kegembiraan fans pun ditutup lewat aksi Sterling di akhir babak kedua ketika ia berhasil menuntaskan umpan manis Ousama Assaidi.

Pertandingan yang diawali dengan You’ll Never Walk Alone ini akhirnya ditutup pula dengan lagu yang sama sebagai pertanda berakhirnya pertandingan, sebagaimana biasanya terjadi dalam setiap pertandingan Liverpool. tapi berakhirnya pertandingan Liverpool vs Indonesia All Star tidak mangakhiri kehadiran fans yang tetap setia duduk manis di tribun. Tidak ada satupun sudut GBK yang renggang saat pertandingan usai. Yang ada fans ikut maju kedepan untuk melihat pemainnya lebih dekat.

Kapten Steven Gerrard yang pada awal babak kedua ditarik keluar memimpin pasukannya untuk melakukan “tawaf” dan memberi ucapan terima kasih pada seluruh fans Liverpool di Indonesia. Uniknya, saat pemain lain memakai sepatu dan atribut lengkap club, sang kapten malah santai mengenakan sandal hotel. Tapi apa mau di kata, Gerrard tetap lah Gerrard, dia tetap disambut Chants “Gerrard…Gerrard…Gerrard” oleh kopites seantero GBK. Saat itu pula kami semua hanya mengaharapkan dua hal pada tuhan, yaitu hentikan waktu disaat itu juga dan ulang kembali waktu yang sudah berjalan agar kami bisa terus melihat pahlawan-pahlawan kebanggaan di depan mata dan kepala.

Sudah dua tahun waktu itu berlalu, namun tak ada pula memori yang saya lupakan. Dan sudah sepatutnya pula tiap 20 Juli setiap tahunnya kami merayakan kehadiran Liverpool ke tanah air. Sebagai fans sepak bola sejati kami akan selalu “mengampanyekan” slogan menolak lupa untuk hal yang satu ini, kami pun seolah tak mengenal dengan istilah – yang sedang kekinian – Move On. Hari ini, 20 juli dua tahun lalu akan selalu membekas dalam benak, tak akan hilang dimakan zaman. setiap zaman berganti, setiap itu pula kami akan membagi cerita ini pada generasi setelah kami agar bisa abadi dalam setiap ingatan dan hati. kami sangat menikmati dengan apa yang kami miliki, kami pun sangat mencintai yang kami punya, yaitu Liverpool Football Club.