Beauty Of Serie A” itulah slogan program sepak bola di salah satu televisi nasional, meski dalam beberapa tahun ini pamornya sedang merosot, Serie A Italia masih, dan akan selalu menampilkan keindahan abadi sepak bola.

Bukan tanpa alasan pula program berita “One Stop Football” menjuluki Serie A seindah itu. Italia memang terlalu indah untuk dijelekkan, budaya permainan yang terkesan pengecut dikemas apik dalam bentuk Catenacio, kita dibuat nyaman dengan rasa bosan yang tak jarang melanda dalam bentuk permainan “santainya”, tak berdaya pula bagi kita untuk melawan rasa nyaman itu. Karena memang, kebosanan Catenacio lah keindahan sepak bola negeri pizza sebenarnya.

Meski sempat beberapa musim kehilangan jati dirinya sebagai liga terbaik di dunia, kecantikan Serie A Italia tidak pernah benar-benar pudar termakan zaman. Ia selalu memanjakan indera dengan hal yang tak biasa, juga tak terduga. Gol indah diluar nalar, aksi mengolah bola yang aduhai, hingga penyelamatan menawan si penjaga gawang, semua tersaji manis dilapangan hijau.

Terpuruknya tim-tim Italia dipentas Eropa, ditambah merosotnya presetasi dua tim kota Milan sedikit banyaknya memiliki andil besar atas runtuhnya kedigdayaan Serie A, belum lagi kasus Calciopolli pada 2006 lalu, dan beberapa kasus suap lainnya yang menghinggapi sepak bola italia menjadi momok tersendiri bagi keberlangsungan liga.

Namun, tampaknya itu hanya akan menjadi cerita kelabu belaka, cerita yang hanya akan menjadi sepotong kisah dari sejarah panjang sepak bola Italia. Kini, tim-tim italia mulai bangkit kembali, tak hanya domestiknya, tapi juga performa tim yang berlaga di kompetisi Eropa. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana raja Serie A empat musim beruntun, Juventus mencapai final liga Champions musim lalu, ditambah keberhasilan mereka mengalahkan penguasa Liga Inggris, Manchester City di matchday pertama liga Champions pekan kemarin di Inggris dan keberhasilan AS Roma yang mampu mengimbangi Barcelona di Olimpico menjadi salah satu contoh bahwa sepak bola Italia mulai kembali menapaki kejayaan era 90-an.

Menanjaknya pamor Serie A di pentas Eropa ternyata tak hanya melibatkan club secara keseluruhan, melainkan individu para pemainnya. Nama Mateo Darmian tentu menjadi sosok paling mencolok pada bursa transfer musim ini. kesangsian para fans United akan kehebatan dirinya pun terbayar dengan performa impresif yang ia tunjukkan di Old Trafford, kini, ia pun menjadi salah satu diantara sedikit pemain asal Italia yang berhasil menguasai sepak bola Inggris.

Terlalu tradisionalnya cara bermain pemain Italia menjadi alasan tersendiri bagi para gladiator lapangan hijau Italia tidak berkutik jika bermain diluar negaranya.  Ini pula yang coba digebrak oleh Darmian, sehingga membuatnya meraih sukses di Manchester United saat ini.

Salah satu masalah yang sempat menimpa club-club mapan italia adalah masalah finansial yang membuat Inter dan AC Milan harus melego pemain bintangnya, dan disisi lain, mereka hanya mampu menggantinya dengan pemain gratisan. Kini, masalah krisis keuangan sepertinya sudah mulai meninggalkan Serie A, ini bisa terlihat dari aktivitas transfer Italia yang meningkat dua kali lipat dari musim sebelumnya.

Tidak hanya AS Roma dan Juventus yang aktif di jendela transfer musim panas, dua saudara sekota, Inter Milan dan AC Milan pun seakan menggila menghadapi transfer pemain, mereka kembali sikut-sikutan demi mendatangkan pemain idaman. Jika sebelumnya mereka hanya mendatangkan pemain berstatus Free Agent, maka kali ini mereka benar-benar merogoh kantong cukup dalam untuk mendatangkan pemain seperti Geoffrey Kondogbia, Ivan Perisic, Luiz Adriano, dan Carlos Bacca yang dibandrol cukup mahal.

Kedatangan pemodal baru bisa menjadi faktor utama kebangkitan duo Milano ini, Inter yang sejak tahun lalu dipegang oleh pengusaha tanah air,Eric Thohir tampaknya mulai menapaki kembali kejayaan era Morrati, sedangkan AC Milan yang baru memperkenalkan investornya asal Thailand, Mr Bee langsung tancap gas dengan membeli pemain mahal dan mendatangkan pelatih potensial, Sinisa Mihajlovic.

Aktivitas transfer yang begitu masif dari para kontestan mapan ini pun berbanding lurus dengan prestasi dilapangan. Sejauh ini, Inter Milan yang pada detik terakhir jendela transfer ditutup masih bisa mendapatkan tiga pemain tambahan bertengger sebagai capolista dengan catatan sempurna, sedangkan sang tetangga, AC Milan terus menapaki tangga klasemen untuk bersaing di papan atas.

Kebangkitan lain yang kini terjadi di Italia adalah meningkatnya performa tim-tim semenjana seperti Torino, Sambdoria, Fiorentina, bahkan Chievo yang pada pekan kedua lalu berhasil menjinakkan elang ibukota, Lazio dengan skor mencolok, 4-0. Padahal beberapa tahun lalu keempat tim tersebut hanya menjadi bulan-bulanan club mapan Italia dan hanya menjadi penghangat papan tengah dan bawah clasifica, namun sekarang, mereka mulai menghantui tabel klasemen. Kini, Torino tengah bersanding dibawah Inter Milan di posisi kedua, sementara sisanya menguntit sejajar dibawah.

Secara tidak langsung, kemerosotan Serie A diakibatkan oleh kolepsnya dua tim kota mode, sehingga berimbas pada persaingan yang timpang antar kontestan lain, inilah yang membuat Juventus sangat nyaman, bahkan terkesan tenang dalam mempertahankan scudetto nya. Dan, dengan kembali segarnya skuat Inter dan Milan, maka bisa dipastikan Serie A Italia akan kembali bergaung nyaring seperti sedia kala, seperti seharusnya.

Setiap dahaga akan kehampaan pecinta keindahan sepak bola Italia akan kembali tertuang manis dalam layar kaca. Kita tak perlu lagi sendu menatap masa lalu liga yang sempat mendayu-dayu, kita bisa bergerak maju sambil menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dari sebuah kemunduran yang luar biasa.

Dan tentu, dengan terpuruknya kontestan asal Inggris diajang Liga Champions musim ini bisa dimanfaatkan Italia untuk kembali menempatkan empat wakilnya di kejuaraan terbesar Eropa tersebut. yang tak kalah penting adalah, kita kembali bisa melihat Internazionale Milan dan AC Milan bermain di liga Champions, yang menjadi tempat dimana semestinya mereka berada, demi menjaga marwah “Beauty Of Serie A”.
Forza Calcio



Awal pekan ini, kita dikejutkan dengan kabar Catalonia akan mengadakan pemilihan umum, atau dengan kata lain Referendum yang bertujuan untuk memilih apakah rakyat Catalan ingin merdeka atau tetap dibawah naungan negara Spanyol.

Dalam perjalanannya, kabar ini bukanlah suatu hal mengejutkan, karena memang wacana Catalonia merdeka sudah terdengar dari jauh-jauh hari, bahkan bertahun-tahun.  Jika referendum benar-benar dilaksanakan, dan penduduk Catalonia memilih merdeka, maka akan banyak perubahan yang terjadi baik segi ekonomi, sosial, politik, dan pastinya sepak bola.

Kota Barcelona memang sejak dulu sudah di anak tiri kan oleh kerajaan Spanyol yang hanya menimang Madrid, ibukota negara sebagai putra kesayangan. Sedangkan Catalonia seolah diperbudak oleh pemerintah, mereka dijadikan sapi perah, terutama selama masa kepemimpinan Jenderal Franco yang merupakan tokoh politik kanan tersadis Eropa pada masanya. Penduduk Catalan yang mayoritas berasal dari kaum proletar tentu sangat membenci kepemimpinan Franco yang borjuis  dan tak kenal belas kasih menindas pihak-pihak yang tak sepaham dengannya.

Selain kesengsaraan rakyat Catalan secara umum, club sepak bola mereka, Barcelona, juga tak lepas dari perhatian sang jenderal. Mulai dari lambang club, gelar juara, peraturan-peraturan, semua diatur olehnya. Tercatat, selama masa kepemimpinan Franco, Barcelona sudah tiga kali berganti logo club dan entah berapa kali pula mereka dicurangi ketika hendak menjadi juara.

Ya, daerah Catalonia memang mempunyai club besar yang dijadikan lambang perjuangan rakyatnya, FC Barcelona. Club besar dengan sejarah besar, dan pemain besar pula. Tak ada yang meragukan kehebatan Barcelona, terlebih dalam lima tahun terakhir mereka berhasil dua kali meraih treble juara. Pertanyaan kemudian pun muncul kepermukaan jika Catalonia benar-benar merdeka, bagaimana nasib Barcelona di La Liga Spanyol? Lalu, apakah keikutsertaannya di liga Champions akan terganggu dengan kemerdekaan mereka?

Pembagian liga dalam sepak bola memang akan menjadi masalah pelik yang akan dihadapi otoritas sepak bola Spanyol, karena tidak hanya melibatkan Barcelona, masih ada Espanyol yang juga berasal dari Catalan,belum lagi beberapa club yang berada di Segunda Division seperti Girona FC, UE Llagostera, CE Sabadel, dan beberapa club yang berlaga di divisi lebih bawah lagi. Total terdapat 80 club sepak bola yang berasal dari Catalonia.

Presiden LFP, Javier Tebas, menegaskan bahwa jika Catalonia merdeka, maka Barcelona otomatis harus keluar dari liga Spanyol. “jika Spanyol terpecah, maka La Liga juga akan pecah. Semoga kita tidak akan pernah melihat kekonyolan itu,” cetus Tebas lewat akun twitternya.

Pernyataan ini pun langsung dibantah oleh pihak Barcelona, melalui presiden club, Jose Maria Bartomeu menegaskan bahwa Barcelona tidak akan terpancing dengan isu politik negara, dan tak ingin terlibat dalam situasi politik apapun. “kami tidak akan terlibat kampanye pemilihan umum. Kami hanya fokus pada olahraga, bukan kampanye politik. Saat ini kami akan netral,” sambut Bartomeu dalam sebuah jumpa pers.

Sepertinya, pernyataan Bartomeu tersebut hanya bersifat pribadi saja, tidak mewakili fans Barcelona secara keseluruhan. Jika menilik kebelakang, setiap tahunnya fans Blaugrana tidak henti-hentinya mengumandangkan kemerdekaan Catalonia, baik diluar maupun di dalam sepak bola. Banner raksasa yang mengitari stadion Nou camp “Catalonia is Not Spain” atau “ Don’t Speak Spain, Speak Catalan” menjadi bukti bahwa fans Barcelona sangat ingin berpisah dari Spanyol. Bendera La Senera – lambang daerah Catalonia pun semakin kencang berkibar jika Barcelona menjamu Real Madrid dikandang.

Sejak beberapa musim lalu pun, Barcelona tak pernah henti mengeluarkan Jersey away yang terinspirasi dari bendera senyera. Sudah tiga tahun berturut-turut pula ( koreksi jika saya salah ) El Barca tak pernah meninggalkan jersey bergaris merah-kuningnya tersebut. Dalam hal ini saja, jelas terlihat jika pihak club pun seakan mempelopori kemerdekaan bangsa Catalan.

Mari kita berandai-andai, jika pada akhirnya Catalonia benar-benar merdeka, dan Barcelona diusir dari La Liga, apakah pemain sekaliber Lionel Messi, Neymar, Luis Suarez tetap membela Los Cules? Belum lagi bintang mereka lainnya. Hal ini memang patut dipertanyakan, karena mereka belum tentu bersedia membela Barcelona di Liga Catalonia, yang notabene hanya di isi club antah berantah. Apakah mereka rela bermain di Liga baru yang belum di akui FIFA dan UEFA? Bukan tidak mungkin pula jika putra daerah semacam Andreas Iniesta, Pique, Jordi Alba juga ikut hengkang karena enggan turun level bermain di liga baru yang hanya dihuni club yang mungkin berada tiga atau empat kasta dibawah mereka.

Jika cinta tak mengenal logika, sah-sah saja mereka akan tetap membela Barcelona, apapun yang terjadi. Tapi dalam sepak bola yang semakin mengedepankan uang, logika semakin terpinggirkan, terlebih lagi cinta yang semakin tak bernilai. Saya berani bertaruh jika semua ini terjadi, maka seluruh pemain Barcelona akan berbondong-bondong meninggalkan Nou Camp. Kekuatan uang pun tak akan mampu menghambat kepergian mereka, karena disaat bersamaan, sponsor club bisa saja ikut-ikutan meninggalkan Barcelona.

Ya, kemungkinan lain yang terjadi adalah mereka juga akan ditinggal sponsor yang selama ini menyokong kebutuhan club. Sponsor yang notabene hanya mengincar keuntungan semata tentu tidak ingin lagi mendanai Barcelona yang nantinya akan bermain di Liga baru, kontestan baru yang semuanya masih dibawah rata-rata. Karena dari segi komersil, popularitas club akan menurun yang berakibat merosotnya nilai sponsorship mereka.

Ini pula yang harus menjadi pertimbangan rakyat Catalan jika ingin merdeka. mereka harus siap menerima status baru Barcelona, begitupula El Barca yang harus menerima semua keadaan yang nantinya akan terjadi. Rakyat Catalonia mungkin akan bahagia jika kemerdekaan dapat diraih, tapi disatu sisi, mereka yang merupakan fans Barcelona akan nelangsa melihat club bertabur piala tersebut harus memulai semuanya dari nol.

Kita tentu tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nantinya, karena memang tidak ada keadaan yang pasti jika sudah menyangkut dalam masalah politik. Semua kemungkinan masih memiliki peluang yang sama besarnya. Dan perlu diketahui, tim nasional Catalonia sendiri sudah memulai pertandingan perdananya dalam sebuah laga eksebisi tahun lalu.

Kasus lain yang perlu diwaspadai oleh semua otoritas di Spanyol jika Catalonia benar-benar merdeka adalah, “latah”nya daerah lain yang mungkin saja akan menuntut hal serupa. Sebuah kekhawatiran yang perlu diwaspadai oleh semua pihak, mengingat etnis Basque kerap menuntut hal yang sama dengan rakyat Catalonia. Terlebih wilayah yang juga dihuni oleh club sepak bola Athletic Bilbao dan Real Sociedad ini sendiri memiliki pasukan bersenjata bernama Euskadi Ta Azkatasuna ( ETA ) yang berarti kebebasan dan tanah air Basque.

Namun, ada baiknya jika Barcelona menahan diri untuk merdeka. sudah semestinya pula mereka tetap berada di La Liga sembari berjuang bersama melawan penindasan, memercik api perlawanan terhadap ketidakadilan. Dan tentu saja, kita yang tadinya sudah kepalang bosan dengan kemegahan Barcelona dan Real Madrid di Spanyol tentu tak ingin semakin jengah jika La Liga hanya menyisakan Madrid saja sebagai penguasa tunggal.

Sekarang saja tak ada televisi ( berbayar apalagi gratis ) yang bersedia menyiarkan La Liga karena hanya menguntungkan kedua club tersebut, apalagi jika Barcelona merdeka dan keluar dari La Liga. Maka kiamatlah Primera Division dari segala sendinya.




Kedatangannya pada pertengahan musim 2010-2011 benar-benar membuka angin segar bagi Liverpool yang baru ditinggal penyerang andalan, Fernando Torres. Luis Suarez hadir di Anfield sebagi pengganti sepadan Torres yang kadung bosan dengan prestasi The Reds yang tak kunjung membaik tiap tahunnya.

Musim 2013-2014 menjadi puncak kejayaan Suarez bersama Liverpool – begitupun sebaliknya, ia membawa club pelabuhan nyaman menjadi runner-up di akhir musim yang sekaligus mengukuhkan dirinya menjadi top skor liga dengan 28 gol.

Akan tetapi, musim lalu El Pistolero sudah meninggalkan Liverpool untuk bermain bersama Barcelona. Meninggalkan Inggris dengan predikat top skor, dan tentu dengan status kontroversial yang telah terlanjur lekat dengannya. Inggris pun kehilangan sosok penyerang asal Uruguay yang mampu “menari” didepan gawang lawan laiknya pemain Amerika Latin.

Habis Luis Suarez terbitlah Diego Costa. Pemain berpaspor Spanyol yang kini menjadi andalan Jose Mourinho di Chelsea memang tak memiliki hubungan apa-apa dengan Suarez, tapi mereka mempunyai banyak kesamaan, mulai dari yang positif, hingga negatif.

Didatangkan dari Atletico Madrid senilai 45 juta pounds, tak membuat ia terbebani dengan biaya transfernya, Costa justru mampu memenuhi ekspektasi orang-orang pada dirinya. Alhasil, musim perdananya bersama The Blues pun berbuah trofi Liga dan piala Carling, belum lagi predikatnya sebagai striker tersubur The Blues dengan 23 gol. Sama halnya dengan Suarez, Diego Costa menjalani turnamen dengan beberapa kisah menjengkelkan diatas lapangan. mulai dari memprovokasi wasit, bersandiwara diatas lapangan, hingga menyerang lawan telah ia lakukan. Dan sekali lagi, hal itu diimbangi dengan gelontoran gol yang tak pernah henti ia ciptakan.

Selama tiga tahun membela Liverpool, Luis Suarez tak pernah henti menjadi buah bibir media Inggris yang memang dikenal sangat ampuh “menjual” isu atau membesarkan berita seputar pemain dari luar Biritania. Mulai dari tuduhan rasisnya terhadap Patrice Evra, gigitan mautnya pada Ivanovic hingga Chiellini di piala dunia 2014 lalu, senantiasa menjadi headline media di negeri ratu Elizabeth tersebut. Ini pula yang mendalangi kepergian Luisito dari Inggris. Seperti yang dilansir media Spanyol, Marca, Suarez berujar bahwa Alasan utamanya meninggalkan Liverpool karena tak tahan dengan pemberitaan media Inggris yang terus memojokkannya.

Beberapa kasus yang sempat membelenggu El Pistolero memang tak layak mendapat pembelaan, akan tetapi media semestinya tidak mengambil porsi yang amat besar terhadap pemberitaan dirinya. Berkat peran media pula, publik Inggris menanam kebencian terhadap mantan pemain Nacional tersebut. padahal, dalam kasus rasisme nya, Suarez dan pihak Liverpool tanpa perlawanan menerima hukuman larangan bermain 10 laga dan 4 laga yang diterima akibat menggigit lengan Branislav Ivanovic.

Tidak berbeda jauh dengan Suarez, Diego Costa yang sama-sama berperangai tempramen pun merasakan apa yang dirasakan mantan pemain Ajax Amsterdam tersebut. belum setahun berkiprah di tanah Britania, ia telah menimbun banyak musuh di Inggris. Beberapa aksi jailnya ketika melawan Liverpool musim lalu, membuat Costa menjadi bulan-bulanan Skrtel dan Henderson, aksi tak pentingnya tersebut membuatnya beberapa kali bersitegang dengan dua pemain Liverpool tersebut, termasuk injakannya terhadap Emre Can. Hingga jelang akhir pertandingan, Diego Costa masih sempat cekcok dengan Henderson yang nyaris baku hantam. Belum lagi tindakannya yang lain yang kerap memantik emosi lawan.

Atas tingkah lakunya tersebut, Costa  dihadiahi sebuah chants sarkas yang dinyanyikan oleh para Liverpudlian “The elephant man, the elephant man…Diego Costa, the elephant man” itulah penggalan chants untuk menggambarkan seorang Diego Costa. Setali tiga uang dengannya, Luis Suarez pun tak luput dari chants plesetan fans lawan, ia harus menerima nyanyi puja-puji dari para Kopites diplesetkan oleh fans Manchester United yang menyebutnya sebagai “racist bastard” yang mengacu pada kasusnya dengan kapten United saat itu, Patrice Evra.

Dari semua kasus diatas, kita tidak bisa mengelak akan kehebatan dua pemain asal Amerika Latin ini, selain mendulang nama atas dirinya sendiri, mereka pun berhasil meningkatkan performa tim lebih tinggi lagi. Liverpool yang terakhir kali bersaing di dua besar pada 2008 kembali menjadi penantang juara saat Suarez menggila pada 2013-2014, bahkan ia hampir membawa club asal Merseyside menjadi juara sebelum tangisnya membasahi stadion Selhurst Park, kandang Crystal Palace. Begitupula Diego Costa yang membawa Chelsea Juara Liga dengan catatan sempurna di musim perdananya.

Namun, meski kontroversial, Suarez dikenal tidak memiliki musuh dalam lapangan ( ya, mungkin Evra yang masih sakit hati ), Ivanovic dan Chiellini bahkan tak menaruh dendam padanya, begitupula Suarez yang tegas telah meminta maaf. Persaingan hanya terjadi selama 90 menit dilapangan. Setelah itu, semua adalah teman baginya, tak ada perselisihan yang melibatkan dirinya seusai pertandingan, tidak ingin pula dia mencari masalah dengan pemain lain.

Berbeda dengan Costa yang memang kerap memancing emosi pemain lain, beberapa gerakan treatikal, dan – mungkin ditambah perawakan yang jauh menggambarkan usia aslinya membuat ia terlalu sering bersitegang dengan pemain lain. Dari kaki, tangan, hingga mulutnya pun ia manfaatkan untuk menjahili pemain lawan yang membuat emosi naik bukan kepalang.

Tak jarang, ia tak segan membuat pemain asal negaranya, Brazil, naik pitam. Yang terbaru adalah bek Arsenal, Gabriel Paulista yang tak tahan dengan provokasinya terhadap wasit pada laga Derby London sabtu kemarin. Paulista, yang sama-sama dari Brazil tak kuat menahan emosi yang semakin membuncah ketika meilhat Costa dengan semangat memprovokasi wasit agar memberi hukuman padanya. Bahkan emosinya harus diredam oleh pemain Chelsea lainnya, Oscar, yang juga asal Brazil.

Suarez dan Costa, mereka sama-sama mengisi kekosongan yang tertinggal di Spanyol dan Inggris, bertukar negara disaat yang bersamaan, menyisakan rekor yang sukar ditandingi oleh penerusnya di Liverpool dan Atletico Madrid. 

Dan satu hal yang pasti, Luis Suarez dan Diego Costa tidak suka dengan kehidupan malam. Suarez lebih memilih berkumpul bersama keluarganya, sementara Costa lebih memilih menyendiri di apartemennya sambil memanjakan mata dengan film….ya, film porno koleksinya. 
Jauh dari hingar bingar kota besar dengan lalu lintas padat berpayungkan gedung tinggi menjulang tak membuat kami berkecil hati akan hal itu. Ketika kota-kota besar dipadatkan dengan segala jenis kendaraan yang berhimpitan dengan gedung tinggi di kiri dan kanan, desa kami jauh dari hal semacam itu, tetapi kami dikaruniai lapangan sepak bola luas nan lebar tanpa ada satu gedung pun yang mampu menghimpitnya. Ia di payungi oleh kedua tiang gawang tua yang tetap kokoh dikedua sisi yang berseberangan tanpa jaring yang menyelimuti. Inilah desa kami, lapangan sepak bola kami.

Lapangan hijau yang sejatinya bisa dibagi menjadi dua ini menjadi saksi bisu lambang kebahagiaan kami beserta anak lainnya yang tersebar di desa Cot Girek, Aceh Utara. Tak ada senja yang terlewatkan tanpa keberadaan anak-anak sekitar yang mengasah talentanya bermain bola, dan bukan saja anak kecil, mereka yang sudah dewasa pun masih sering menggiring bola dilapangan ini. Ya, lapangan kami memang tak mengenal usia, ia juga tak punya waktu untuk menentukan siapa yang pantas bermain di rumputnya. Atas nama sepak bola, ia membebaskan semua orang untuk bermain bola ditanahnya sendiri, tanpa biaya, tak ada pengecualian.

Tiap sore menjelang, sekitaran pukul empat atau lima, kami berbondong-bondong menuju “surga” itu, melepas penat setelah seharian belajar di sekolah, bertemu rekan sejawat bermain bersama, tertawa bahagia bersama bola adalah keseharian yang tak pernah terlewatkan. Tiada yang mampu menghentikan kami bermain kecuali seruan adzan Maghrib sebagai lonceng berakhirnya pertandingan dan memulai ibadah agar tetap dekat dengan maha pencipta, mensyukuri karunia yang ia berikan, menjaga lapangan yang telah diciptakan.

Mempunyai lapangan yang amat besar, kami yang bisa dikatakan masih kecil tentunya tak begitu sanggup jika harus bermain lapangan yang “sebenarnya”, antar tiang tua sebagai tujuan gawangnya, oleh karena itu pula, kami membuat gawang baru, gawang yang kira-kira cocok, setara dengan kemampuan yang kami punya, seimbang dengan jumlah pemainnya. Bukan dari tiang baru nan muda yang kuat, melainkan dari kumpulan sandal yang kami tumpuk menjadi satu kesatuan untuk dijadikan gawang, walau tak kokoh tapi cukup menjadi tanda masuknya bola atau tidak, sekalipun tak bertiang, tapi dengan “tiang” ini mampu membentuk kami menjadi pemain yang adil dalam menentukan gol atau tidak, walau tak jarang kami memaksakan gol menjadi tidak gol, tidak gol menjadi gol. Maklumkan saja, untuk kegembiraan bersama kami bergantian melakukan itu. Ketika bola menghantam “tiang” buatan itu, sandal-sandal tersebut pun terpental seketika dan membuat kami menghimpunnya kembali agar menjadi gawang seperti sebelumnya.

Jika kita mengenal ungkapan “tidak ada yang tidak mungkin”, maka kami pun memegang teguh ungkapan tersebut. Hujan yang terkadang turun tak menyurutkan semangat kami dalam bermain bola, lapangan yang begitu luas seakan tak membiarkan kami meninggalkannya basah sendirian dalam amukan air dari sang pencipta, hati serta kaki pun seolah tak ingin berpisah dengan lapangan yang telah dibasahi hujan. Deras atau tidaknya hujan tak ada beda bagi kami pemain desa yang memang membutuhkan sentuhan ajaib dari langit. Lapangan yang becek menjadi daya tarik tersendiri bagi kami para penikmat sepak bola, dengan leluasa setiap pemain mampu berimprovisasi dilapangan, mulai dari sliding tekel ala Gattuso yang sekaligus menyapu air dirumput basah, hingga selebrasi meluncur dipermukaan tanah ala pemain Eropa yang girang pasca mencetak gol kemenangan.

 Namun masalah yang muncul kemudian adalah sekujur tubuh yang dihinggapi lintah yang menempel, menghisap darah sedikit demi sedikit dan membuat kami harus membersihkan tubuh lebih lama dari biasanya, belum lagi masalah dengan orang tua masing-masing yang gempar hatinya melihat anak-anaknya kembali kerumah dengan keadaan lusuh bermandikan lumpur lapangan yang dihujani air.

Setiap sorenya, lapangan terbagi menjadi tiga bagian, dan terbelah menjadi tiga pertandingan pula. Saya beserta kawan memakai lapangan di sisi barat dan mereka dari desa sebelah menggunakan lapangan bagian timur dan utara, semua kami bagi secara merata. Sedikit ironis, karena dari tiga lapangan yang digunakan, tetapi tak ada satu pun dari kami yang memanfaatkan tiang gawang tua yang makin kecoklatan warnanya akibat karatan yang mendera, ia seolah melihat kami bermain dengan seksama, memantau kami hari demi hari agar kemudian kami benar-benar mampu untuk memasukkan bola ke jalanya yang semakin menua.

Jika dalam setiap permainan ada yang menang dan kalah, kami pun menerapkan hal itu, akan tetapi kami tak merasa cukup dengan “label” tersebut, sehingga kami menambah satu “label” lagi, yaitu hukuman. Ya, bagi yang kalah akan dikenai hukuman dengan masuk kolong mereka yang menang. Pemain yang menang akan berbaris sejajar sembari membentangkan kedua kaki yang kemudian akan dimasuki oleh mereka yang kalah, dan biasanya bukan satu kali, melainkan tiga atau lima kali masuk untuk setiap pemain. Bayangkan, jika dalam satu tim terdapat delapan orang, maka kita harus “merangkak” melewati delapan orang sejajar dibawah kakinya. Menarik bukan!!!...

Umur yang semakin bertambah, tingkat pendidikan yang semakin tinggi, membuat kami harus rela berpisah dengan lapangan sepak bola kesayangan, satu persatu dari kami berpencar untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, lapangan dengan tiang gawang tua itu tak kuasa menahan kepergian kami, karena ia yakin, pada waktunya nanti kami akan kembali bermain, bersenang-senang dengan rumputnya yang bergelombang. Tapi, dia tidak pernah sendiri disana, dia tetap menjadi tempat idaman generasi selanjutnya untuk bermain bola, berbagi kisah, bermandikan hujan bersamanya. Anak-anak desa tak kan rela membiarkannya sendiri menghadapi dinginnya hujan dan terik matahari, begitupula dengan lapangan sepak bola kami yang tidak akan sanggup melihat anak-anak kehilangan tempat bermainnya, tempat dimana mereka menemukan bakat dan menjadi pemain bola seutuhnya.

Sungguh bahagia mereka yang masih menetap di desa karena masih punya cukup waktu untuk bermain bola, dan yang terpenting, mereka masih punya lapangan sepak bola yang besar yang bisa dinikmati semua warganya. sementara di kota, kita telah kehilangan cukup banyak lapangan sepak bola yang satu persatu di alih fungsikan menjadi gedung atau infrastruktur lainnya. Kendati kita masih menemukan lapangan sepak bola di kota, kita diwajibkan membayar “upeti” pada warga atau oknum agar bisa memakainya. Dan setelah lapangan Menteng yang begitu bersejarah bagi PERSIJA telah tiada, kini stadion Lebak Bulus pun tengah memasuki era kepunahan dengan meninggalkan sejuta kisah bagi persepakbolaan Indonesia.



Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, itulah yang membedakan kita satu sama lain, namun perbedaan tersebut tidak berlaku pada sepak bola yang memang tak beragama.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan dari kehidupan. Dalam prakteknya, agama dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan,meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Selain itu, agama mungkin juga mengandung mitologi. Di dunia ini sendiri, cukup banyak agama yang tersebar dipenjuru bumi dengan perbedaannya masing-masing, dan umumnya setiap agama mengklaim bahwa ajaran merekalah yang paling benar dan menjamin surga pada kehidupan selanjutnya. Menurut jajak pendapat global pada 2012melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia beragama dan 36% tidak beragama, termasuk penganut atheis 13%.

Saat keberadaan agama muncul sebagai jarak antar sesama umat, sepak bola hadir sebagai penyatu umat manusia yang dibedakan oleh agamanya masing-masing, ia hadir sebagai pematah hati berantai manusia yang getir hatinya akibat keyakinan yang berbeda dan tak jarang saling bertolak belakang.

Ketika seluruh negara Arab berbondong-bondong menolak pengungsi Suriah ( yang notabene sama-sama muslim ), pecinta sepak bola di tanah Jerman dan Spanyol justru menerima mereka dengan tangan terbuka. Beberapa hari yang lalu, fans kesebelasan Jerman, Borussia Dortmund secara tegas menyambut setiap pengungsi yang datang ke wilayah mereka melalui spanduk-spanduk yang dibentangkan, tak hanya itu, pihak club bahkan memberikan tiket gratis kepada 2500an pengungsi asal timur tengah agar bisa menonton pertandingan Dortmund di Signal Iduna Park. Pada akhirnya, kemuliaan yang dilakukan oleh club beserta fans Dortmund pun diikuti oleh seluruh club di Jerman, dan Eropa tentunya. Akhir pekan ini, kompetisi La Liga akan diwarnai big match yang mempertemukan Barcelona vs Atletico Madrid yang sekaligus menjadi ajang solidaritas kontestan liga Spanyol lainnya akan nasib pengungsi Suriah.

Jauh sebelum ramai kasus pengungsi Suriah, kemuliaan sepak bola telah menunjukkan kemurniannya yang tak pernah memandang golongan dalam memberi pertolongan. Kabut hitam yang dirasakan warga Palestina selama puluhan tahun menjadi bukti nyata bagaimana sepak bola selalu menghadirkan cinta bagi para pemujanya. Ketika tentara zionis Israel menyerang warga Palestina di Jalur Gazza, sepak bola tak pernah diam melihat kejadian tersebut, Cristiano Ronaldo, Leonel Messi, dan beberapa pemain lainnya secara sukarela menyisihkan penghasilannya untuk diberikan kepada korban perang disana, membangun infrastruktur publik, sekolah, dan juga makanan.

Toleransi dalam beragama nyatanya juga terjadi dalam sepak bola, Frederice Kanoute, Frank Ribery, Karim Benzema merupakan segelintir pemain muslim yang berkarir di Eropa yang mayoritas non muslim. Ketika kompetisi bergulir ditengah-tengah ramadhan, para pemain ini dituntut tetap bugar seperti biasanya, dan mereka pun benar-benar menjalankan keduanya, puasa dan berlatih serta bertanding seperti biasanya, meskipun mereka kerap mendapat keringanan dari pihak club yang sadar dengan ibadah yang tengah mereka jalankan. Namun tak jarang pula mereka menunda puasanya jika sedang menjalankan kompetisi yang amat ketat dan mengganti puasa dikemudian hari.

Sebagai brand terbesar dunia, Real Madrid sadar betul dengan membludaknya para fans yang mendukung mereka, dengan segala pertimbangan pula, akhirnya lambang club kebanggaan ibukota spanyol tersebut sedikit dirubah dengan menghilangkan simbol keagamaan yang kadung tertanam di benak pengagumnya selama puluhan tahun. Hal ini dilakukan pihak club untuk menghormati pecintanya yang berasal dari semua agama. Keputusan ini pun akhirnya membawa berkah tersendiri bagi club borjuis tersebut karena mereka mendapat kontrak besar dari perusahaan raksasa asal timur tengah.

Di Indonesia sendiri, permasalahan agama juga sempat membelenggu sepak bola tanah air. Kerusuhan yang terjadi di Maluku beberapa tahun silam akibat permasalahan agama juga berdampak pada wajah sepak bola Maluku. Kejadian ini pun diabadikan dalam sebuah karya film bertajuk “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”. Dalam ceritanya, film ini menceritakan bagaimana upaya Sani Tawainella ( Chicco Jericho ) ingin menyelamatkan nasib anak-anak di kampung halamannya dari konflik agama yang terjadi melalui sepak bola. 

Singkat cerita, ia pun membawa anak-anak Maluku untuk berlaga dikejuaraan nasional tingkat junior di Jakarta. Permasalahan Sani sebenarnya bukanlah teknis permainan, melainkan latar belakang agama para anak asuhnya yang berbeda-beda ditambah konflik agama yang pernah mendera mereka sehingga membuat anak didiknya memiliki rasa sentimental yang amat tinggi terhadap agama yang berlainan. Dukungan keluarga, persamaan tujuan masyarakat sekitar, dan tekad bulat kaka Sani untuk sepak bola Maluku akhirnya mengalahkan  segala konflik dan rasa tabu terhadap agama, mereka memenangkan kejuaraan junior, dan dari situlah terbit cahaya baru dari timur yang telah lama tenggelam dalam diri Ramdani Lestaluhu, Hasyim Kipuw, Alfin Tuasalamony, dll.

Dalam sepak bola, agama bukanlah penghambat talenta bagi setiap pemeluknya, tak jarang pula, melalui sepak bola lah, para pelakunya memberi kontribusi lebih terhadap agamanya. Seperti yang dilakukan oleh Kanoute ketika masih membela Sevilla di Spanyol. Bermain untuk club asal Andalusia dengan sejarah Islam yang begitu kental, ia tak ragu membangun mesjid di daerah tersebut agar dunia tidak melupakan sejarah panjang Islam di tanah Spanyol. Selain Kanoute, Paus Fransiskus juga tak luput dari pemberitaan sepak bola. 
Terpilihnya pria asal Argentina ini sebagai pemimpin umat Kristen dunia juga turut memunculkan beberapa fakta baru mengenai pribadinya, dan salah satunya adalah dia seorang fans San Lorenzo, club asal kampung halaman yang telah ia kagumi sedari kecil, totalitasnya dalam mendukung club kesayangan pun diabadikan dengan kartu keanggotaan fans yang ia punya. Fakta ini pula yang pada akhirnya membawa San Lorenzo untuk pertama kali menginjakkan kaki ke Vatikan untuk menyerahkan trofi Copa Libertadores yang didapat tahun lalu untuk diserahkan kepada sang Paus sebagai hadiah ulang tahunnya.

Sepak bola adalah sebuah mukjizat disaat keberadaan manusia dibedakan oleh agama yang diyakini, dia lah lah yang menetralkan perbedaan tersebut, ia tak pernah membedakan keyakinan manusia, ketika dunia memposisikan manusia lainnya melalui agama, sepak bola justru menghimpun semua agama agar masuk kedalamnya, berjuang bersama atas nama kemanusiaan, bukan agama.

Sepak bola memang tak mempunyai agama, yang ada ia lah agama itu sendiri, ketika orang membedakan agama dengan simbol-simbol tertentu, maka sepak bola disatukan oleh satu simbol, yakni, bola itu sendiri


            Double winner musim lalu, plus menjadi finalis liga Champions nyatanya tak membuat kehebatan Massimiliano Alegri membekas, tak ada satupun sisa kejayaan musim lalu yang dirasakannya musim ini. memulai dua pertandingan liga Serie A Italia, Juve malah tersungkur dua kali dari club sekelas Udinese di Turin dan berlanjut saat lawatannya ke Ibukota ketika dikalahkan oleh tuan rumah AS Roma dengan skor 2-0. 

Masih terlalu dini memang jika menilai masa kejayaan “si nyonya tua” mulai memudar.Walau begitu, penilaian semacam ini mungkin ada benarnya jika kita mencermati track record allenatore Allegri yang lazim terkena syndrome hilangnya pemain bintang ketika tim asal kota Turin tersebut ditinggal tiga pemain vital sekaligus. Pada bursa transfer musim panas ini, club terpaksa memulangkan Carlos Tevez ke Boca Junior karena sang pemain sudah amat rindu dengan “rumahnya”. Kepergian Carlitos pun seakan mengiringi dua bintang lainnya seperti Arturo Vidal yang kembali ke Jerman untuk membela Bayern Munchen, Fernando Llorente yang lebih memilih ke Sevilla, dan sang maestro, Andrea Pirlo yang terbawa arus ke MLS untuk mengikuti jejak pemain-pemain renta usia lainnya.

Hal semacam ini bukan sekali dialami oleh pelatih asal provinsi Sardinia tersebut, ketika Allegri masih melatih AC Milan, dia juga pernah merasakan keadaan yang sama seperti yang ia rasakan saat ini. saat mengambil alih nahkoda Milan pada 2010 lalu, ia telah diwarisi skuat komplit oleh Leonardo dengan nama tenar seperti Alexandre Pato, Andrea Pirlo, Boateng, Cassano, Zlatan Ibrahimovic, dan Thiago Silva. Belum lagi ditambah dengan kedatangan Mark Van Bommel yang semakin memperkokoh lini tengah Rossoneri. Mewarisi skuat jempolan tentu tak membuat Allegri mendapatkan kesulitan berarti dalam meramu komposisi pemainnya, dan ia pun akhirnya berhasil membawa club kota mode tersebut meraih Scudetto untuk pertama kalinya sejak 2007.

Sukses Milan meraih Scudetto ternyata tak mampu menahan eksodus para bintang mereka, ditambah dengan kesulitan finansial yang tengah melanda club, mau tak mau harus diterima sang pelatih yang menjual seluruh pemain bintang ( yang disebut diatas ). Inilah yang menjadi awal kemerosotan Allegri bersama AC Milan, karena pemain baru yang didatangkan tak mampu meneruskan pakem permainan yang ia terapkan pada musim sebelumnya sehingga berujung pada pemecatan dirinya pada tahun ketiga ia menukangi Il Diavollo Rosso.

Musim 2015-2016 sudah resmi bergulir sejak dua minggu lalu, sebagai club dengan finansial paling sehat diantara para pesaingnya, Juventus bisa dengan leluasa mendatangkan pemain berbanderol mahal seperti Paulo Dybala yang kerap disebut sebagai titisan Messi, Mario Manzukic dari Atletico, Sami Khedira dari Real Madrid, dan kembalinya Simone Zaza dari “kuliah” nya di Sossoulo. Menjual pemain kunci dan membeli pemain bintang harusnya bukan menjadi kesulitan yang berarti bagi Allegri karena pemain yang didatangkan tak kalah kelas dengan pemain yang telah pergi. Namun, apa boleh buat, Allegri sudah kadung alergi dengan kelemahan masa lalunya yang gagal membangun tim dari awal.

Seperti yang kita ketahui bersama, skuat Juve musim lalu adalah skuat warisan pelatih sebelumnya, Antonio Conte yang susah membangun tim dari angka “nol” dan telah mencetak hatrick Scudetto, sehingga kedatangan Alegri musim lalu hanya sekedar menyempurnakan permainan yang telah dibentuk sebelumnya oleh Conte. Dan musim ini, Alegri benar-benar meramu sendiri formasi idealnya, tanpa warisan dari pendahulu, tiada penyempurnaan sistem permainan sebelumnya. Kini, ia dituntut  menjadi pelatih “seutuh”nya yang membangun tim dari awal tanpa campur tangan pelatih masa lalu.

Pertanyaan kemudian pun muncul, apakah Alegri mampu membawa Juve kembali menjadi raja di Italia dengan kemampuannya sendiri? Jawaban dari pertanyaan ini patut ditunggu, mengingat, Alegri tidak begitu ahli menemukan sistem permainan baru setelah kehilangan pemain bintang. Setidaknya itulah yang terjadi sejak menanjaknya ia bersama Cagliari dan kemudian berujung sukses bersama AC Milan. Allegri bisa dibilang sebagai pelatih yang mampu menyempurnakan strategi yang digunakan pelatih sebelumnya, sementara soal urusan eksperimen baru, kegagalannya di AC Milan bisa menjadi bukti nyata bahwa dia tak begitu “menyukai” cara baru tanpa pemain bintang yang telah membentuk tim sebelumnya.

Ya, Allegri kini sedang menghadapi dejavu saat melatih AC Milan dua musim lalu. Hengkangnya Arturo Vidal, Pirlo, dan Carlos Tevez tentu saja akan membuat Allegri mencari formasi baru, dan “mengulik” para pemain barunya agar mendapatkan kembali formasi terbaiknya untuk Juventus saat ini. namun, jika ia kembali mengidap alergi saat melatih Milan, maka bisa kembali disimpulkan, jika Allegri memang pelatih yang hanya bisa meneruskan strategi pelatih lama. Dan, kedatangan awalnya ke Juventus stadium yang dihujani hinaan para tifosi, bisa saja berbuah hujatan dari Juventini yang berujung pada pemecatan dirinya.

Setujukah para Juventini?...
Apa jadinya jika dunia ini tidak mengenal sepak bola? Tentu hidup tak akan seindah seperti sekarang ini, yang mana sepak bola ada dimana-mana, ia selalu mengitari kita melalui sendi-sendi kehidupan yang kita rasakan. Seperti halnya dengan musik, hidup tak akan berwarna tanpa adanya sepak bola. 

Sebagai permainan kesebelasan, sepak bola tidak hanya mengajarkan kita cara bermain indah dengan skill menawan, tetapi, sepak bola telah menggurui kita bagaimana memahami orang lain dengan karakter yang berbeda-beda. Artinya, “ke-alien-an” Lionel Messi tak kan berarti apa-apa tanpa sepuluh pemain Barcelona lainnya, atau Roman Abrahamovic yang hanya akan dikenal sebagai milyarder tanpa prestasi membanggakan jika tak ada skuat mumpuni Chelsea. Sepak bola adalah olahraga dengan tingkat ketergantungan paling tinggi antar sesamanya, tak ada satupun pemain hebat yang bertahan hidup sendirian jika bukan karena andil pemain lainnya.

Emmanuel Adebayor, dan Carlos Bacca adalah contoh kecil yang hidupnya diselamatkan oleh sepak bola. Sebelum bersinar bersama Sevilla, siapa yang mengetahui jika dulunya Bacca hanyalah seorang kondektur bus dikampung halamannya, Kolombia. Atau kisah tragis yang menimpa Adebayor di masa lalunya, sebelum namanya melambung bersama AS Monaco, ia hidup dibawah siksaan, hingga ancaman pembunuhan yang selalu membayangi hidupnya. Ironisnya, hal tersebut tersebut bukan datang dari orang lain,melainkan dari keluarga yang amat ia cintai, mulai dari adik, kakak, hingga sang ibu nya sendiri. 

Pernah pada suatu ketika ia terbangun dari tidurnya, ia dihadapkan dengan sepucuk pistol dari kakak kandung yang akan menembaknya jika tak memberi sejumlah uang kepada saudaranya tersebut, sampai sekarang pun hidupnya masih dihantui perasaan yang sama dengan sebelumnya. Apa jadinya kedua orang hebat ini jika tak mengenal sepak bola, hidup mereka telah diselamatkan oleh sepak bola, baik secara langsung,maupun tak langsung. Mungkin sekarang kita sudah menangisi kepergian Adebayor yang bisa saja dibunuh oleh saudaranya, jika bukan karena “tertolong” oleh sepak bola.

Sepak bola adalah panggilan jiwa, sekalipun mereka bukanlah pelakunya, bukan pemain bola tidak berarti kita tidak memahami sepak bola, sepak bola bukan hanya permainan yang wajib bisa dimainkan, lebih dari itu, sepak bola harus didalami lebih jauh agar kita bisa mencintainya. Bagi para pelakunya, sepak bola bagai  candu yang tak mengenal angka, meski tak pernah bermain di level atas sekalipun, atau kasarnya kita menyebut hanya bermain level tarkam, sepak bola selalu menyulutkan kegirangan tiada akhir, karena ia memang tumbuh dari hiburan rakyat jelata.

Kemunculan penulis-penulis sepak bola handal menjadi wujud nyata bagaimana sepak bola begitu mudah dicintai, begitu lentur untuk didalami. Mereka tidak dilatar belakangi sebagai pesepak bola, mungkin, menendang bola pun belum pernah mereka lakukan, akan tetapi, pengetahuan mereka akan sepak bola bisa mengalahkan pemain bola sebenarnya, karena pesepak bola hanya mengerti cara bermain, taktik, dan semua yang terjadi dilapangan. 

Namun, penulis bola yang ( lagi-lagi ) mungkin tidak pernah menendang bola ini mengetahui sepak bola dari segala sisinya, pemain yang memiliki kelebihan dan kekurangan, luar dan dalam lapangan, juga isinya, hingga sejarah yang menaungi sepak bola secara menyeluruh. Semua memang sudah tertanam dalam jiwa mereka yang begitu mencintai sepak bola hingga mengalahkan cinta pada pasangan, bahkan tanpa sungkan mereka menganggap sepak bola lah pasangan hidupnya.

Terry Eagletton, seorang sastrawan Marxis, pernah menulis esai yang berjudul “Football: A Dear Friend To Capitalism”. Ia menyebut sepak bola sebagai candu bagi rakyat (  plesetan dari ucapan Karl Mark “candu bagi rakyat” ). “Tiap kali politisi sayap kanan berusaha mengalihkan perhatian rakyat dari ketidakadilan politik dan ekonomi, solusinya selalu sama, yakni sepak bola.” Tulis Eagletton. Setidaknya itu pula yang pernah dirasakan rakyat Argentina selama rezim kediktatoran Jorge Videla, dengan menjadikan sepak bola sebagai pengalih perhatian rakyat yang menderita dengan keberhasilan Argentina menjuarai piala dunia 1978 di “rumahnya sendiri”.

Mengalihkan perhatian, rasa-rasanya itu juga yang sempat terjadi di Indonesia, tentu kasusnya berbeda dengan apa yang sempat melanda Argentina. Tepatnya pada tahun 1998, saat dunia sedang gembira menyambut piala dunia Perancis, ditanah air, rakyat sedang gundah gulana akibat kerusuhan yang melanda Jakarta untuk menuntut Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai pemimpin negeri. 

Gelaran piala dunia 1998 dimulai hanya selang 20 hari dari lengsernya Soeharto, setelah pekan-pekan panjang yang penuh dengan berita panas, rusuh, lesunya ekonomi yang mengharu-biru, piala dunia hadir disaat yang “tepat”, ia mendinginkan sejenak tempo panasnya atmosfir politik tanah air. Halaman muka surat kabar sedikit lebih berwarna dari pekan-pekan sebelumnya karena berita-berita seputar piala dunia 1998 yang mengambil porsi lebih banyak sebagai headline media ketimbang keadaan Indonesia yang masih dalam masa transisi.

Seperti halnya cinta akan sesama manusia, sepak bola juga memberikan kita ke-galau-an yang dipersembahkan bagi para pecintanya saat berakhir kompetisi dan memasuki istirahat panjang selama kurang lebih dua bulan lamanya. tak adanya kompetisi dalam lapangan bukan berarti sepak bola kering kompetisi diluar lapangan. Club, pemain, fans diajak berkompetisi di meja perundingan untuk mendapatkan pemain incaran, kita semua dihadapkan dengan kompetisi yang tak kalah mendebarkan dari dalam riuhnya stadion ke “sikut menyikut” para club peminat untuk mendapatkan tanda tangan pemain incaran yang jadi rebutan. Tidak bisa tidak, sepak bola memang tak pernah memberikan jeda, jika pun menyuguhkan jeda, sepak bola lah yang menjadi jeda itu sendiri.

Sejatinya, sepak bola adalah olahraga dua arah antara “produsen” dan “konsumen” yang sama-sama menguntungkan, walau terkadang merugikan, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa karenanya, karena sepak bola sudah merasuk di jiwa, bahkan sudah menetap didalamnya.

Izinkan saya menutup tulisan ini dengan meminjam tulisan Zen RS, “sepak bola memang candu, dan banyak dari kita yang dengan senang hati tidak ingin disembuhkan dari candu bernama sepak bola. Karena jika candu adalah sesuatu yang salah, dalam hal sepak bola ini, maka banyak yang rela tetap menjadi salah”  
pada awal berdirinya 1905 hingga memasuki millennium baru 2003, Chelsea hanya dianggap sebagai pelengkap dalam kompetisi tertinggi liga Inggris, karena club yang berada di pusat kota London tersebut hanya mampu mondar mandir di papan tengah liga dan baru sekali tercatat menjuarai divisi 1 Inggris. Cuma warga London saja yang mengelu-elukan mereka sebagai simbol kebanggaan daerah timur. 

Di Indonesia sendiri, tak satupun rakyat pribumi yang mengidolakan Chelsea sebagai club pujaan, dengan alasan cukup masuk akal, tak ada titel juara yang bisa dibanggakan dari mereka. Meski sempat disinggahi pemain kelas satu dunia seperti Gianfranco Zola, Ruud Gullit dan Gianluca Vialli, nyatanya tak cukup menyadarkan warga dunia untuk berpaling mendukung Chelsea.

Nasib dan peruntungan Chelsea sebagai anggota Big Four liga Inggris pun mulai berubah sejak pengakuisisian yang dilakukan oleh raja minyak Rusia, Roman Abrahamovic yang dengan sekejap menyulap The Blues menjadi penantang serius hegemoni Manchester United dan Arsenal yang silih berganti menjuarai kompetisi liga. Seluruh pemain top dunia pun dikumpulkan di satu tempat bernama Stamford Bridge, kandang Chelsea. 

Stadion mereka pun tak lepas dari perhatian taipan Rusia tersebut, Stamford Bridge yang tadinya dijuluki sebagai kandang babi ( akibat kualitas rumputnya yang sangat jelek ) dipercantik secara total sehingga dapat dinikmati oleh setiap pemain yang sedang bertanding. Pemain bagus sudah didapat, stadion pun sudah dipugar, tinggal pelatih hebatlah yang belum Abrahamovic temukan.

 Sampai pada akhirnya pilihan pun jatuh pada sosok muda potensial penuh ambisi besar dalam diri Jose Mourinho yang sebelumnya mempersembahkan trofi liga Champions bagi FC Porto. Club besar yang masih “hijau” dilatih oleh pelatih yang masih “hijau” pula dengan deretan piala yang sudah ia peroleh, jelas, ini menjadi sebuah simbiosis mutualisme yang menguntungkan keduanya.

Hadirnya Mourinho di Inggris pada 2004 tentu melebarkan persaingan menuju tangga juara, tapi di satu sisi, kehadirannya malah mengernyitkan para tetua-tetua Premier League seperti Alex Ferguson dan Arsene Wenger yang seolah menjadi penguasa abadi di negeri monarki tersebut. Ambisi besar Mou sejalan dengan “mulut besarnya” yang dengan seketika membuat para pesaing menjadi lebih waspada dari sebelumnya. 

Tensi tinggi yang biasa terjadi antara Ferguson dan Wenger pun harus terbagi antara Ferguson vs Mourinho, Wenger vs Mourinho, atau tak jarang Ferguson, Wenger vs Mourinho. Diserang kanan kiri oleh legenda pelatih BPL sama sekali tak mengecilkan nyali Mou, ia bahkan semakin meruncingkan kata-katanya yang sering menyudutkan para rival, selama untuk kebaikan Chelsea, bisa membawa clubnya juara, Mou tak mengenal rasa takut.

Ketika Mourinho hadir sebagai penantang utama kedigdayaan Ferguson beserta “sekutunya”, dibelahan Eropa Timur muncul satu sosok penting nan lantang yang menentang hegemoni Amerika Serikat dengan sekutu baratnya, dialah Vladimir Putin. Sama halnya dengan Mou, ditunjuknya Putin sebagai presiden Federasi Rusia kembali membangkitkan semangat warga Rusia dengan keberhasilannya meningkatkan taraf hidup masyarakat. 

Kekuatan Putin tak hanya terdapat dari kebijakannya yang memakmurkan bangsa Rusia, faktor utama kekuatan Putin sangat jelas terletak pada mulutnya yang tanpa ragu mengancam AS dan Uni Eropa, kekuatan inilah yang membuat ia amat disegani oleh kawan dan lawan politiknya. Berpuluh-puluh tahun lamanya, tak ada seorang pun yang berani menantang kekuasaan Amerika, hadirnya Putin jelas menawarkan perspektif baru, bahwa dunia tidak hanya dikuasai Amerika dan sekutunya sebagai negara adidaya, tapi selalu ada Rusia yang menghadirkan keseimbangan dunia sebagai negara adikuasa. Itupula yang coba diwujudkan oleh Mourinho yang jengah dengan kekuasaan United dan Arsenal di Inggris, dengan memberi harapan lain bagi para penggila bola dibelahan bumi lain.

Sebagai pelatih muda, bertuankan seorang Rusia, jelas Mou dituntut untuk mendobrak kekuasaan lama yang rasa-rasanya susah digoyah oleh pelatih-pelatih yang ada. Terbentuk sebagai seorang pragmatis, ia jelas tak menghiraukan sebuah proses dalam mencapai tujuannya, dalam otaknya hanya ada satu kata, yakni menang, walaupun didapat dengan cara yang tak indah dilihat, Mou tetap bergeming dengan caranya demi mendapat sebuah kemenangan. Hujatan, sindiran, sampai gurauan terhadap dirinya akibat permainan “parkir bus” nya pun mengalir deras bak serangan fajar yang terjadi tiap saat.

 Serangan yang ia terima dari segala penjuru nyatanya tak mengerutkan nyalinya, dengan tegas ia membela permainan “membosankan” tersebut, “ jika bermain jelek saja bisa meraih kemenangan, buat apa harus bermain indah jika hanya mendapat hasil imbang,” tandasnya menjawab kritikan para lawan.

Saat dunia hanya dikuasai oleh Amerika Serikat beserta para sahabatnya, Rusia muncul kepermukaan dengan Vladimir Putin sebagai aktor utamanya, meski sempat bolak-balik menjadi presiden dan perdana menteri bersama Dimitri Medvedev, Putin kembali mendapatkan kekuasaan di negara beruang merah tersebut pada 2012 sampai sekarang. Pragmatisme Jose Mourinho dalam melatih sebuah club pun diamini oleh Putin dalam memimpin negara sebesar Rusia. Ia tak akan berpikir dua kali dalam bertindak jika kedaulatan negaranya dirusak oleh para lawan, termasuk ancaman Amerika Serikat dan Uni Eropa sekalipun akan ditindak olehnya tanpa rasa takut. 

Sebagai pengendali kekuasaan, orang yang berani menantang Amerika sebagai negara adidaya, Putin selalu menghitung setiap kemungkinan dengan begitu cermatnya, sadar dengan kekuatan militer yang ia punya, negara-negara sekitar yang berada dibawah federasi Rusia, ia pun selalu memperbaharui persenjataan militer, memaksimalkan pertahanan negara, meskipun anggaran negara cukup terkuras untuk membangun pertahanannya, Putin tak akan ambil pusing oleh kritikan yang datang padanya. Bagi Putin, kritikan yang ditujukan padanya muncul karena timbul ketakutan dari pihak barat yang semakin khawatir dengan kekuatan Rusia di Eropa.

Perhatian besar Putin pada persenjataan militer ini pula yang disadari oleh Mourinho dengan secara berkala mendatangkan amunisi-amunisi baru dalam tubuh tim utama The Blues. Harga mahal, gaji menjulang, tak menghambat ambisi Mou untuk mendatangkan pemain berkualitas dari Didier Drogba, Michael Ballack, Cesc Fabregas hingga Diego Costa yang secara bersamaan mendatangkan beberapa trofi major ke Chelsea. 

Kebiasaan Mou mendatangkan pemain mahal ini pula yang dikritik oleh lawannya di Inggris yang menganggap ia tak bisa mencetak pemain dari akademi sendiri. Akan tetapi, sama halnya dengan Putin, Mou pun beranggapan kalau semua kritikan yang menghujaninya hanyalah bentuk rasa takut para rival akan kekuatan Chelsea yang semakin sulit untuk dikalahkan.

Ketegasan Putin dalam mempertahankan kedaulatan negaranya pun sangat tampak terlihat dalam konflik yang terjadi di Ukraina, sebagai negara yang berada persis dibawah federasi Rusia, membelotnya Ukraina ke blok barat tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi sang presiden, yang kemudian membuat ia berusaha mengamankan kawasan Crimea ke tangan Rusia dan terus berusaha mengembalikan Ukraina ke tempat semestinya berada, yakni federasi Rusia. 

Cara Putin untuk mendapatkan kembali Ukraina dengan kekuatan militer tentu mendapat pertentangan keras dari barat, namun Putin tetaplah Putin, ia tetap bergeming demi kembalinya Ukraina ke pangkuan “elang berkepala dua” meski dengan agresi militer sekalipun. Ia tahu betul apa yang terbaik bagi negara dan kawasannya. Sekalipun Rusia menerima embargo besar-besaran dari Uni Eropa, jatuhnya nilai mata uang Rubel terhadap Euro dan dollar, Putin tak pernah mundur selangkahpun, bahkan ia terus melangkah maju demi mencapai Rusia yang berdaulat.

Jose Mourinho dan Vladimir Putin sejatinya adalah dua tokoh dengan karakter sama yang memiliki kepentingan yang serupa pula, yaitu menjadikan Chelsea dan Rusia menjadi kekuatan besar di masing-masing dunianya. Sebagai negara yang punya sejarah panjang dengan Uni Sovietnya yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia seperti Vladimir Lenin, Joseph Stalin, Leon Trotski, dan masih banyak lagi, Putin dituntut untuk mengembalikan kejayaan Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet dan mengembalikan kejayaan ekonomi Rusia yang semakin melemah ketika negara beruang merah tersebut diambil alih oleh Mikhail Gorbachev hingga Boris Yeltsin.

 Begtupula yang dilakukan oleh Jose Mourinho yang untuk kedua kalinya menukangi Chelsea. Sebagai club kaya dengan sokongan bangsawan Rusia, Mou juga dituntut untuk mengemballikan kejayaan Chelsea seperti saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di Inggris. The Blues yang sempat terseok-seok dibawah Andre Villas Boaz dan Rafael Benitez membuat Pemilik Chelsea membawa The Special One kembali pulang ke London dengan harapan membawa Chelsea ke tangga juara liga.

Bermulut tajam, tak segan mengancam para lawan, Mou dan Putin seolah menjadi parameter tersendiri bagi kaum-kaum yang ingin menentang kerasnya dunia dengan segala keterbatasan. Jika Mou datang ke Inggris sebagai pemecah kebuntuan akan singgasana sepak bola Inggris yang selalu berada di Manchester “pinggiran”, maka kehadiran Putin sebagai pemimpin Rusia untuk menyadarkan dunia akan bahaya besar yang ditimbulkan Amerika Serikat beserta sekutunya yang secara terus menerus menguras kekayaan alam negara lain dengan dalih melawan terorisme, dan tentu membuat warga dunia semakin bergantung dengan Amerika Serikat.

Kedua tokoh dunia ini layaknya seorang pejuang kiri yang mencoba merubah dunia dari ketamakan yang rasa-rasanya sudah lazim terjadi di bidangnya masing-masing, mereka bak seorang filsuf Yunani yang tengah mencari keadilan sembari melawan aristrokasi yang semakin lama semakin mengkerdilkan kaum Proletar.
Sebagai penggemar Zlatan Ibrahimovic, tentunya saya mengikuti perkembangan yang bersangkutan dengan dirinya, kejadian diluar lapangan yang melibatkan Ibrakadabra pun tak luput dari perhatian saya. Diluar kegemaran terhadap sepak bola, saya pun cukup menggilai musik yang secara berkelanjutan terus mewarnai hidup manusia selama ini. salah satu musisi yang menarik minat saya adalah grup metal asal Amerika Serikat bernama System Of A Down yang beranggotakan Serj Tankian ( vocal ), Daron Malakian ( gitar ), Shavo Odadijan ( Bassis ), dan John Dolmayan ( drummer ). Bisa menyanyikan setiap lagunya dengan berbagai jenis suara, cengkok nada yang sukar ditiru oleh penyanyi lain membuat Serj Tankian menjadi musisi yang patut dijunjung tinggi ketimbang vocalis-vocalis lain yang sejenis.

Berbicara perihal Serj Tankian, sedikit banyaknya ia juga memiliki beberapa kesamaan dengan seorang Zlatan Ibrahimovic. Meskipun berbeda profesi dan negara, tapi mereka tak bisa dilepaskan dari kecenderungan yang serupa. Meskipun mereka ( sepertinya ) tak saling kenal, tapi persamaan yang tak disengaja itu membuat hati mereka saling bertegur sapa dari kejauhan.

Seperti yang kita ketahui bersama, Ibra merupakan pemain berkebangsaan Swedia dan telah membela negara Skandinavia tersebut lebih dari 100 laga. Namun, tentu janggal rasanya jika mendengar namanya yang sama sekali tidak memiliki unsur Skandinavia  seperti kebanyakan orang Swedia. Sudah menjadi rahasia umum pula jika Ibrahimovic sendiri merupakan imigran asal Bosnia yang dibawa hijrah orang tuanya akibat perang saudara yang sedang berkecamuk di negaranya ketika itu.

Sama halnya dengan Ibra, Serj tankian sendiri saat ini tercatat sebagai warga negara Amerika Serikat, akan tetapi, ia tak bisa membohongi takdirnya dengan darah Armenia yang mengalir disekujur tubuhnya. Meski tak lahir di Armenia, Serj memiliki ayah ibu Armenia yang amat kental dengan budaya negara pecahan Uni Soviet tersebut. Masa kecilnya ia habiskan di Beirut, Lebanon yang merupakantempat pelarian orang tuanya akibat perang Armenia-Turki dan berlanjut pada runtuhnya Uni Soviet, menjelang usia remaja ia dibawa ke Amerika oleh orang tuanya agar mendapat kehidupan yang lebih layak dan menghindari sang anak dari keadaan perang yang saban waktu bisa saja merenggut nyawa mereka.

Hidup di negara yang penuh dengan kedamaian seperti Swedia, membuat Ibra tumbuh dengan sendirinya, sadar dengan kemampuan sang anak dalam bidang sepak bola, sang ayah akhirnya memasukkannya ke akademi sepak bola lokal di Swedia dan menjalani debut profesionalnya pada usia 15 tahun di Malmo FC, yang merupakan club kenamaan negara tersebut. Meskipun memiliki masa lalu yang amat suram yang tak jarang menghantuinya setiap saat, nyatanya Ibra berhasil melewati fase-fase tersebut dengan sepak bola sebagai wadahnya. Setiap langkah yang ia ambil memipunyai tujuan mulia, yakni memperbaiki taraf hidup keluarganya yang sempat menderita cukup lama akibat perang. Niat baik Ibra  pun akhirnya mebawa ia terbang ke Amsterdam, Belanda untuk belajar lebih dalam bermain sepak bola melalui akademi terbaik dunia bernama Ajax Amsterdam.  Mendapat panggilan dari club besar dengan sejarah panjang membuat Ibra tak berfikir lama untuk menerima pinangan Louis Van Gaal ketika itu, orang tuanya pun tak mampu menghalangi tekat sang anak yang sudah sangat besar terhadap masa depannya di sepak bola, dan melalui Ajax lah ia memulai cerita inspiratifnya sampai sekarang dengan gelontoran piala yang sudah tersusun rapi dilemari pribadinya.

Walaupun tak merasakan perang Armenia secara langsung, Serj tentu merasakan kepedihan amat dalam yang dirasakan rekan sebangsanya. Tidak mempunyai keahlian mumpuni dalam bidang sepak bola, ia berhasil melampiaskan pemikiran-pemikirannya melalui musik yang ia usung bersama teman band nya yang juga berdarah Armenia. Meskipun beraliran metal khas Amerika, SOAD sama sekali tidak meninggalkan unsur budaya Armenia dan Timur Tengah dalam setiap alunan nadanya, ini pula yang membuat musik mereka menjadi lebih kaya dibandingkan grup musik lain yang sejenis dengan mereka. Kebencian tiap personilnya dengan negara Turki ( sebagai negara yang membunuh lebih dari 1, 5 juta rakyat Armenia ) dan Amerika Serikat dibawah pimpinan George Bush yang menghabisi Afganistan dan Irak dengan segala alibinya jelas terlihat dari beberapa lagu yang diusung, seperti Chop Suey, War, BYOB ( Bring Your Own Bomb ), Soldier Side, Boom, Aerials, dan lain-lain. Dalam setiap konsernya pun, Serj Tankian sering sekali melontarkan kritikan tajam terhadap pemerintah AS bahkan tak jarang ia menghujat Turki yang menghabisi nyawa jutaan rakyat Armenia pada 1915-1923.

Memiliki kemampuan mengolah bola diatas rata-rata tak membuat Ibra merasa jumawa dan puas dengan apa yang telah ia capai, demi terus mengasah kemampuannya dilapangan hijau, pemain yang kini membela PSG ini pun menggeluti bela diri Taekwondo sejak 2005 dan berpredikat sebagai pemegang sabuk hitam ( tingkat akhir ). Tak heran kiranya jika kita acap kali melihat aksi-aksi akrobatiknya yang mustahil bisa dilakukan pemain lain, sekalipun itu Messi atau Cristiano Ronaldo. Semua aksi akrobatik yang nyaris mustahil dilakukan kebanyakan orang itu didapat Ibra berkat keahlian bela dirinya tersebut yang dengan sempurna di padu-padankan dalam setiap pertandingan sepak bola yang disajikan lebih berseni olehnya.

Memiliki titel sarjana ekonomi, nyatanya tak hanya membuat Serj Tankian piawai menciptakan lagu, tapi ia juga pintar dalam bidang marketing, keahlian itu pula yang coba ia terapkan dalam mempromosikan bandnya dan proyek lain yang sedang ia jalani. Meskipun beraliran metal dengan perpaduan underground, ballads, ska, punk, mereka bisa menciptakan pasarnya sendiri dengan irama musik bertegangan tinggi ditambah raungan-raungan gitar yang cadas sehingga mampu menyihir telinga penikmatnya, belum lagi keahlian Serj dengan suara beratnya yang terkadang disatukan dengan aksen timur tengah ala Armenia.

Sebagai pesepak bola dengan pendapatan melimpah, pemain yang telah membela tujuh club besar Eropa ini tak serta merta menghamburkan uangnya begitu saja. Malahan, Ibra memanfaatkan pendapatan besarnya tersebut untuk membantu sesama manusia lainnya yang hidup dengan segala kekurangan. Bahkan, ia turut mendanai tim nasional difabel Swedia di ajang homeless Cup 2014. Ketika manajer tim Homeless Swedia hendak meminta dana untuk melengkapi kekurangan yang mereka punya agar bisa memberangkatkan tim nya keajang tahunan tersebut, Ibra malah menegaskan ingin mendanai seluruh tim dengan sukarela. Meski  memiliki sikap temperamental yang tinggi diatas lapangan, sejatinya dia hanyalah manusia biasa yang getir hatinya jika melihat orang  di sekitarnya mengalami kekurangan. Wabah kelaparan yang masih terjadi di banyak negara pula yang membuat kegetiran Ibra semakin membuncah dan membuat ia mengabadikan nama-nama korban kelaparan diseluruh belahan dunia dalam bentuk tato-tato yang tertulis indah di sekujur tubuhnya saat pertandingan clubnya, PSG melawan Caen dalam lanjutan Ligue 1 Perancis pada februari lalu, walaupun dihadiahi kartu kuning oleh wasit karena membuka bajunya saat merayakan gol, tak ada penyesalan dalam dirinya, bahkan ia bangga terhadap apa yang telah ia lakukan.
Ibra ketika menuliskan nama-nama korban kelaparan dalam tato ditubuhnya

“saya melukiskan 50 nama dalam tato temporer di tubuh saya, mereka adalah orang-orang diseluruh dunia yang menderita kelaparan. Tato itu sekarang memang sudah hilang, namun mereka selalu tetap ada. Ada 805 orang di dunia yang kelaparan, saya ingin kalian melihat mereka melalui saya,” tandas Ibra.

Sebagai keturunan Armenia dengan sejarah kelam yang panjang, Serj Tankian cukup sadar dengan apa yang dialami oleh para pendiri bangsanya, meski lahir di Beirut, Lebanon, musisi yang biasa di sapa Serij ini sama sekali tak lupa dengan tanah leluhurnya, ia pun merasakan kegetiran yang dirasakan orang tua dan kakeknya selama perang melanda negaranya. Melalui musik, ia mencurahkan seluruh isi hatinya tentang penderitaan yang dialami warga Armenia bertahun-tahun, ia pun tak habis fikir dengan agresi militer AS ke timur tengah yang telah menghilangkan nyawa orang-orang yang tak berdosa, semua kejadian tersebut diabadikan melalui lagu-lagu yang memang sengaja diciptakan agar setidaknya bisa mendorong warga dunia untuk melawan segala macam peperangan yang masih melanda dunia ini. Selain bersuara melalui nada yang ia lantunkan dengan System Of A Down nya, Serij pun bersuara lantang melalui aksi yang lebih nyata, dengan mendirikan LSM bernama Axis of Justice ( nama LSM ini merupakan plesetan sarkastis dari salah satu pidato presiden Bush yang menyebut 3 negara sebagai Axis of Evil ). Vocalis sekaligus pianis yang pemikirannya dipengaruhi oleh pengamat politik kiri AS, Noam Chomsky ini juga sering melakukan aksi melalui demo yang kerap kali ia lakukan bersama rekan-rekannya yang concern dengan isu global. Keberadaannya dilingkungan sosial politik internasional tak terlepas dari janjinya kepada sang kakek agar bisa mengusut tuntas kejadian Genosida Armenia yang dilakukan pasukan Turki kala itu, dia pun dengan sukarela ikut bergabung dengan beberapa aliansi pro Armenia di Los Angeles, Amerika Serikat.
serj tankian dengan pandangan politiknya akan isu global

Zlatan Ibrahimovic, Serj Tankian, dua tokoh dunia dengan masing-masing keahlian yang berbeda memiliki beberapa kesamaan yang menjembatani kedekatan mereka secara tidak langsung. Sama-sama berdarah Eropa Timur, memiliki keluarga yang sempat merasakan perang saudara, mempunyai kepedulian tinggi terhadap sesama umat manusia, mereka dengan sendirinya membentuk diri mereka sebagai panutan masyarakat. Keduanya tidak tumbuh mengikuti industri yang ada, akan tetapi, mereka menciptakan industri mereka sendiri dengan kelebihan yang mereka miliki. Meskipun menawarkan lirik-lirik lagu yang keras mengkritik dan berpenampilan urak-urakan, atau memiliki keahlian sepak bola diatas rata-rata dengan segala arogansinya di dalam lapangan hijau, nyatanya Serij dan Ibra tetap dianggap pahlawan oleh para kaum-kaum tertindas yang tersebar dibelahan dunia.

Sepak bola dan musik, dua hal yang berbeda namun memiliki instrumen yang seirama dengan tujuan yang senada pula, yakni membuat hidup lebih berwarna dan bermanfaat sehingga menciptakan kebahagiaan tak terkira bagi para pecintanya.