Pernahkah anda mendengar kalimat “gue ini fans sejati”? saya yakin kita pasti pernah mendengarnya, sering bahkan. Tapi apa mereka benar-benar memahami apa itu fans sejati? Atau hanya sebatas ucapan dalam kata tanpa berbuat apa-apa demi club tercinta?

Entah kenapa saya sangat yakin, jika mayoritas dari mereka yang menganggap dirinya “fans sejati” hanyalah kamuflase belaka, agar dipandang eksis dalam mendukung tim kesayangan. Sebab, mayoritas dari mereka hanya memandang hasil akhir sebagai tujuan utamanya. Persetan dengan proses  untuk meraihnya, yang penting menang.

Kita tidak perlu memperdebatkan kemunculan fans-fans club yang sedang kekinian, karena mereka hanyalah bagian dari anomali sepak bola itu sendiri. Tapi percaya atau tidak, “fans sejati” ini memang kebanyakan berasal dari club-club yang berpredikat kekinian.

Jangan pula kita menyamakan diri dengan fans di Eropa, dengan mendukung tim yang sama, lalu menjadikan itu sebagai pembenaran perilaku kita di tanah air sebagai fans layar kaca. Mereka disana jelas membela club yang memang berasal dari daerah tempat dimana mereka tinggal. Sementara kita disini? Bukan orang Madrid ( misalnya ), Chelsea ( misalnya ) tapi selalu kebakaran jenggot ketika club pujaan di ledekin, seolah-olah kita penduduk asli sana.

Sama halnya dengan kita orang Indonesia yang mencintai Persib Bandung sebagai warga Jawa Barat, atau Persija Jakarta sebagai warga ibukota. Sah-sah saja rasanya jika kita mempertaruhkan banyak hal untuk mendukung dua tim besar Indonesia ini, karena terdapat unsur ke-daerah-an didalamnya. Jiwa emosional yang telah turun temurun, budaya yang sudah melekat dan mendarah daging pun ikut serta dalam proses naik-turunnya sensitifitas jika club daerah asal di hina.

Maka akan terlihat lucu jika kita yang bukan – misalnya – orang Manchester atau Milan rela bersimbuh darah hanya untuk membela club tersebut. mungkin akan sedikit beda rasanya jika pihak club tahu bahwa kita adalah pendukung setianya. Tapi tentu saja mereka tidak tahu itu, karena kita di Indonesia dan mereka di daratan Eropa.

Mendukung tim kesayangan memang membutuhkan totalitas didalamnya, kita harus masuk sampai ke sendi-sendi club secara keseluruhan, memahami budaya nya, dan mengabadikan sejarahnya. Tapi kebanyakan dari kita hanya mengingatnya ketika ia meraih kemenangan dan melupakan sejenak ketika mengalami kekalahan? Bagi kita fans layar kaca memang sah-sah saja jika ingin melihat club yang dibela harus menang, tapi apakah pantas kita melempar kursi atau sepeda kearah fans rival, dan berkata “kami ini fans sejati”, ketika tim kesayangan menderita kekalahan?

Hanya dengan alasan club tersebut adalah club besar yang dihuni pemain bintang, tanpa memahami sejarah dan budaya club sehingga menjadi besar seperti sekarang, kita bangga mengategorikan diri sebagai fans sejati dan membenarkan segala sifat bar-bar diatas. Yang ada, bukannya meningkatkan eksistensi kita sebagai fans sepak bola, melainkan menjatuhkan reputasi kita sebagai penggemar bola.

Mari ambil contoh dari persaingan Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers di Skotlandia, perbedaan fans yang berlatar belakang agama ini memang memiliki ketegangan tersendiri di Britania Raya. Old Firm Derby yang terus berlangsung panas tiap tahunnya jelas selalu menimbulkan banyak keributan, para fans yang sudah saling benci sejak dalam kandungan pun tidak rela jika kesucian clubnya ternoda oleh yang namanya kekalahan, atau sekedar hinaan dalam bentuk chants.

Kekerasan, pengrusakan fasilitas umum tentu menjadi hal biasa terjadi jika kedua tim tengah bersua dilapangan. Wajar mereka melakukan hal tersebut, karena, kecintaan mereka bukan sekedar atas nama club, melainkan daerah tinggal, budaya yang mengakar, dan tentu keyakinan yang mendarah daging. Kecintaan mereka terhadap daerahnya terwakilkan oleh sepak bola. Mereka bisa memperkenalkan kulturasi setempat ke seantero umat, dengan agama sebagai pedoman, melalui sepak bola.

Lalu, jika kita orang Indonesia, mendukung tim Eropa, dan berbuat demikian, apa landasannya? Keterikatan emosional jelas tidak ada, persamaan budaya jelas berbeda, perbedaan agama apalagi. Sebagai negara inferior dalam bidang sepak bola, kita seolah bersikap superior terhadap club luar  nan besar yang kita dukung, meninggalkan azas ketimuran sebagai pedoman dan mengatas namakan totalitas sebagai acuan.

Mungkin kita akan merasakan hal yang sama dengan mereka yang berada disana, ketika dengan seksama memahami club dan fansnya sampai ke akar, mengubur sejenak gelar yang diraih dan nama besar yang di sandang. Yang ada hanya cinta tulus pada club karena perjuangannya, fansnya, budaya nya. Tanpa pamrih gelar. Bisakah kita seperti itu?

Tentu kita bisa, jika kita mau. Akan tetapi, permasalahan utamanya adalah kita tidak mau. “club kecil, juara engga pernah, pemain bintang engga ada. Apa alasan gue ngedukung club itu?” pasti akan muncul pertanyaan seperti itu di kemudian hari. Benar memang jika banyak orang yang beralasan demikian. Tapi, mari kita renungkan lirik lagu dari Agnes Monica “cinta ini kadang-kadang tak ada logika”.

Sebuah lirik singkat yang akan mematahkan semua opini perihal arti cinta dan kasih sayang, logika kita mati seketika termakan cinta ketika di “haruskan” mendukung club tanpa memandang gelar dan pemain bintang.  Saya sendiri akan menaruh hormat lebih tinggi kepada fans Bordouex ( yang hanya bermain di liga Perancis ), Parma (yang sudah jatuh ke dasar kompetisi semi pro ), Aston Villa, dan Athletic Bilbao yang kini tersebar di Indonesia.

Ketimbang harus bersimpati pada fans United yang kalang kabut ketika ditinggal Sir Alex Ferguson, atau Chelsea, PSG dan Manchester City yang keberadaannya tidak terdeteksi di muka bumi sebelum masuknya investor kaya raya asal Rusia dan Timur Tengah.

Karena, se-sejati-sejati nya kita mendukung club mapan tersebut, kita belum tentu mampu untuk mendukung club semenjana diatas dengan segala kekurangannya. Dan harus menjadikan kekurangan itu sebagai kelebihan dalam diri kita selaku fans sejati sepak bola yang sesungguhnya.



Dunia sangat cepatberputar, dan akan terus berputar. Tapi, dalam satu titik lingkaran putaran itu, akan ada waktunya dimana dunia akan berhenti sejenak untuk meredam semua keganjilan agar dapat menghapus jejak hitam.



Minggu lalu, perputaran dunia berhenti sesaat di sirkuit Sepang, Malaysia, ketika para pembalap memacu motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Bukan permasalahan Pedrosa yang menyabet juara, melainkan satu insiden yang melibatkan maestro balap, Valentino Rossi dan bocah ajaib, Marc Marquez lah penyebab utamanya.



Balapan memang dimulai hari minggu, dan sekarang adalah hari kamis. empat hari sudah, media, para pembalap, penikmat balap, enggan beranjak satu meter pun dari kejadian tersebut. kita tidak perlu memperdebatkan lagi kronologis kejadiannya, karena semua sudah didokumentasikan lewat kamera. Tapi apa sebenarnya yang terjadi dibalik “kegilaan” valentino Rossi, yang sampai hati melakukan hal tersebut?



Izinkan saya berasumsi untuk hal yang satu ini. jika ada yang tidak berkenan mohon dimaafkan, namanya juga asumsi. Kan? Sebelum race dimulai, Valentino Rossi sebenarnya sudah mewanti sikap Marquez yang berpotensi tidak sportif, ungkapan Rossi ini memang cukup beralasan, karena pada race sebelumnya di Philips Island, Australia, Marquez seolah hanya bermain-main dengannya, menghalanginya agar peluang Rossi menjadi juara sirna.



“Marc bisa saja langsung memimpin balapan dan meninggalkan pembalap lain dari awal-awal lap, tapi ia tidak melakukannya. Dia justru bermain dengan pembalap lain, terutama saya, menghalangi saya yang ingin bersaing dengan Jorge Lorenzo”. Ungkap Rossi saat diwawancarai setelah race di Philip Island.



Kecurigaan saya terhadap tidak sportifnya Marquez pun memuncak ketika ia dengan tenangnya memberi jalan Lorenzo untuk mendahuluinya, dan tentu saja, tanpa duel yang berarti Lorenzo mampu melewati Marc dengan damai dan dengan sekejap, Lorenzo pun langsung menjauh dari Marquez. Saat itu saya berpikir, bahwa selanjutnya Rossi pun akan melewatinya dengan mudah. Namun apa yang terjadi? Duel hebat nan tak
sehat pun terjadi. Tak lama saya saya bergumam satu kata “bangke nih bocah”



Sesaat setelah Rossi menyalip Marquez, kedua pembalap ini pun silih berganti merebut tempat ketiga. Kejengahan The Doctor terhadap Baby Alien terlihat dalam beberapa moment, ketika ia beberapa kali kedapatan melirik pembalap asal Spanyol tersebut. saat ia berhasil melewati Marquez pun, The Doctor masih sempat melihat kebelakang dan menunjukkan gelagat murka terhadap sang junior dengan mengacungkan tangannya.



Hingga pada puncaknya, ketika ia berduel untuk kesekian kalinya di lap yang sama, Rossi benar-benar hilang kendali atas dirinya sendiri, dia pun dengan “sadar” menjahili Marquez. Sebelum kakinya bergerak, mata Rossi telah bergerak terlebih dahulu ketika Marquez tepat berada disisi kanannya. Tatapan kosong dari mata yang tertutup helmnya  ikut menjatuhkan alien kecil yang sekaligus mengakhiri petualangannya di Sepang, saat itu juga.



Dunia berguncang, semua orang memperhatikan. Bahkan kamera pun kelimpungan, tidak tahu pembalap mana yang harus disorot, padahal sebelumnya, sang kamera dengan seksama mengintai persaingan dua pembalap ini. siaran ulang pun silih berganti mengabadikan kejadian itu dari beberapa sisi kamera yang ada. Paddock Honda pun semakin dibanjiri pewarta berita untuk sekedar mengkonfirmasi apa yang sebenarnya terjadi.



Selepas balapan, Rossi lagi-lagi menunjukkan gelagat tidak senangnya terhadap sikap Marquez tersebut. kita sebagai penonton pun tahu betul bahwa saat itu Marquez mempunyai kesempatan bagus untuk menjauh dari The Doctor, tapi ia urung melakukannya. Justru, Marquez dengan sengaja memperlambat laju motornya untuk menahan Rossi yang sebenarnya ingin mengejar Lorenzo.



Lalu, buat apa Marc Marquez perlu repot-repot berbuat demikian? Toh, peluang beliau ini untuk juara sudah tertutup. Apakah gara-gara ia menjalani musim balapan yang buruk kemudian membuatnya sedikit bercanda dengan sang senior? Moto GP engga sebecanda itu anak muda.



Jelas, alasan logisnya adalah untuk membantu kolega senegaranya, Lorenzo agar merengkuh gelar juara dunia. Alasan ini terlihat mencolok ketika dalam dua balapan terakhir, Rossi selalu di “ganggu” oleh Marc dan selalu finish dibelakang Lorenzo. Puncaknya pun terjadi ketika Lorenzo dengan nyaman melewati Marc, dan Marc sendiri seolah gembira memberi jalan pada Jorge di awal-awal balapan minggu lalu.



Kini, Valentino Rossi sudah mendapat ganjarannya. Pengurangan 3 poin, ditambah menjalani start paling belakang di seri terakhir Valencia nanti menjadi harga setimpal yang harus dibayar sang Italiano. Di sisi lain, Marc Marquez masih dinaungi dewi fortuna, karena ia bebas dari sanksi apapun, padahal jika Race Director lebih berani menyelidiki lebih dalam lagi, bisa saja Marc mendapat sanksi serupa, karena perbuatan tidak sportifnya.



Setali tiga uang dengan amarah dari kubu Marquez dan Honda, Jorge Lorenzo, yang notabene rekan setim Rossi di Yamaha, juga kecewa berat dengan The Flying Donkey’s karena telah menjatuhkan Marc Marquez. Kekecewaan Jorge terpancar jelas dari raut perilakunya yang langsung meninggalkan podium sesaat setelah mendapat piala.



Lalu, siapa yang menjadi antagonis dan protagonist dalam peristiwa ini, apakah Valentino Rossi? Atau Marc Marquez featuring Jorge Lorenzo? Entahlah. Yang pasti kejadian ini telah menghasilkan seribu tafsir dari segala sisi berbeda yang bisa saja benar, bisa juga salah



Beredar kabar pula bahwa ini adalah konspirasi baru di dunia balapan. Dan perlu diketahui pula, mereka berdua adalah orang Spanyol, sementara Valentino Rossi bekewarganegaraan Italia. Dan operator Moto GP berasal dari…..Spanyol. So, silahkan simpulkan sendiri!!!
Final piala presiden sudah berlalu, tapi euforia nya masih berbekas sampai sekarang ( sama seperti perseteruan Jokwers dan Haters yang sudah melalui setahun masa jabatan, tapi ya masih pada baper ). Bukan euforia kemenangan Persib tentunya yang terkenang, melainkan buntut panjang pertandingan yang digelar di Jakarta.

Bukan perkara gampang memang menetapkan final di Jakarta, karena finalisnya adalah Viking bandung dan tuan rumahnya The Jak, dua musuh abadi dalam sepak bola Indonesia. Ini pula yang membuat pemerintah, kepolisian, hingga pejabat daerah masing-masing kelimpungan mensiasati jalannya pertandingan agar tidak bentrok.

Seluruh kekuatan dikerahkan semua pihak untuk laga akbar ini, sebuah pertandingan yang dimaknai sebagai “liga tarkam” oleh mantan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi ya emang tarkam sih, wong enggak diakui FIFA kok. Tarkam atau tidak, diakui FIFA atau tidak, yang penting hadiahnya 4 milliar – walau entah kapan duit sebanyak itu masuk kantong club pemenang.

Totalitas pemerintah untuk melepas dahaga pecinta sepak bola tanah air nyata terlihat dengan menggelontorkan dana – yang katanya – sampe 145 milliar hanya untuk mengamankan perjalanan bobotoh dari Bandung ke Jakarta. Hingga pada akhirnya, presiden beserta jajarannya berkumpul di GBK, meninggalkan Riau, Palembang, dan beberapa daerah di Kalimantan yang masih menghela nafas akibat asap.

Mungkin pemerintah, dalam hal ini Menpora selaku operator turnamen, tidak melihat apa yang terjadi di Spanyol, ketika final Copa Del Rey yang sejatinya bertempat di Santiago Bernabue, kandang Real Madrid terpaksa dipindahkanke Mestalla, Valencia,  karena penolakan dari Madridista yang tak ingin melihat sang finalis, Barcelona mengangkat piala dirumah mereka.

Jika dalam perjalanannya, piala presiden selalu berganti regulasi, lalu, kenapa tempat final tidak diganti? Dan justru memaksakan kehendak sehingga semua orang dibuat “siaga 1’ dengan yang namanya final? Toh kita masih punya stadion taraf internasional lainnya seperti Mangguharjo di Sleman, bung Tomo di Surabaya, atau Palaran di Kalimantan.

Piala presiden adalah suatu bentuk dukungan pemerintah terhadap persepak bolaan Indonesia yang kini sedang tertidur pulas. Pemain, club, dan fans bisa melepas dahaga akan hiburan sepak bola nasional. Begitupula dengan para sponsor turnamen, yang juga bisa melepas dahaga akan pundi-pundi rupiah yang didapat.

Jujur saja, saya jarang menyaksikan pertandingan piala presiden, tapi dari beberapa kabar burung yang saya dengar, turnamen ini dipenuhi sponsor yang berlalu lalang di layar TV. Saat pertandingan final berlangsung pun, pihak TV sebagai official Broadcast nya pun lebih banyak menampilkan iklan persembahan sponsor, ketimbang ulasan pertandingan itu sendiri.

Mungkin ya sah-sah saja jika seperti itu. Tapi, apa jadinya jika sponsor mulai mengganggu jalannya pertandingan? Dengan dalih water break? Jadi gemez sendiri saya dengan kelakuan para korporat negeri ini yang terkesan kampungan dalam mempromosikan produknya.

Sebagai negara tropis, dan mayoritas pemain yang berasal dari negeri sendiri, semestinya water break tidaklah penting-penting amat digunakan, bisa jadi mubazir. Seperti yang juga dikatakan pelatih Mitra Kukar, Jafri Sastra “water break hanya merusak tempo pertandingan, mengacaukan organisasi permainan”.

Belakangan baru disadari bahwa water break hanya dijadikan pintu masuk sponsor agar produk mereka tetap berjalan di lini masa TV, karena setiap water break berlangsung, iklan-iklan pun mulai mengudara di layar kaca. Padahal di liga-liga top Eropa, water break belum juga diberlakukan. Eh, tapi kita tarkam kan ya? Di banned FIFA kan ya? Yaudah suka-suka deh. Lanjuuuut….

Rasa-rasanya final piala presiden sudah bisa menyaingi final liga champions, dari segala seginya. Popularitas, blow-up media, perhatian pemerintah, sponsor-sponsor, tingkat pengamanan super ketat, ia menyamai ketenaran final champions. Namun, satu hal yang tak bisa dihadirkan final liga Champions, yakni mengahdirkan presiden Indonesia. Liga champions? Mentok-mentok juga aki Blatter yang hadir. Jelas final liga Champions mulai tertinggal dengan piala presiden yang tidak berumur setahun ini.

Kini piala presiden sudah berakhir. Kemudian, apa lagi? Para pemain pun kini telah siap kembali turun gelanggang ke desa-desa untuk bermain tarkam, demi mencari nafkah untuk bertahan hidup. Sambil menunggu turnamen selanjutnya. Betul turnamen selanjutnya yang – katanya – bergulir November, Namanya piala panglima TNI. Kemudian Habibie Cup, Champions Cup. Lalu, Cup apa lagi yang akan muncul? Butuh berapa turnamen lagi kita hingga liga bisa berjalan?
Setahun sudah Jokowi memimpin bangsa, sudah setahun pula usia kita bertambah. Setahun sudah Jokowi menjadi presiden, sudah setahun pula Jokowers makin pinter.

Jokowi benar-benar mewujudkan jargon kampanye “Revolusi Mental” nya, sayangnya bukan masyarakat umum yang menjadi sasaran, melainkan para relawan setia yang menjadi perwujudan revolusi mental itu sendiri.

Selama masa kampanye dahsyatnya yang memerahkan Gelora Bung Karno tahun lalu, Jokowi seolah menjadi sosok pembeda dari tokoh politik lainnya, baik lawan, kawan, ataupun para pendahulunya sendiri. Dilihat dari segala sisi, ia memang amat berbeda dibanding kebanyakan pejabat tanah air. Bukan berlatar belakang militer, tidak mempunyai catatan buruk masa lalu, tidak pula hidup bergelimang harta – walau ia seorang pengusaha sukses – semakin membuatnya mudah dicintai.

Mengawali kiprah politik sebagai walikota Solo dua periode, kesempurnaan Jokowi sebagai pejabat yang merakyat pun berlanjut di Jakarta ketika ia terpilih menjadi gubernur ibukota, yang sekaligus mengantarnya ke singgasana istana negara. Kepindahannya dari “balai kota” ke istana mau tak mau mengikis kesempurnaannya secara perlahan.

Lama kelamaan, rakyat tersadar akan “kecantikan” Jokowi yang semakin memudar di telan para penyokong dibelakangnya. Tentu bukan relawan penyebabnya, tetapi para kekuatan besar yang sembunyi manis dibelakang selama masa kampanye lalu.

Kita tentu tidak perlu mengungkit masalah politik transaksional Jokowi yang sampai sekarang masih berlanjut, dengan Fadjroel Rahman sebagai objek transaksi terbarunya. Belum lagi ketidakberdayaannya menentang birahi politik seorang Megawati ketika tetap kekeh menunjuk Budi Gunawan sebagai Kapolri, yang belakangan – sepertinya – dilengkapi oleh RUU KPK yang akan membuat badan anti rasuah tersebut akan semakin tenggelam dimakan zaman.

Revolusi mental ala Jokowi pun semakin tampak ketika ia ingin kembali menghidupkan pasal penghinaan presiden yang telah lama mati. Apakah ini cara Jokowi untuk meredam para kritisi nya? “tentu tidak, presiden kan punya hak” sahut Jokowers, jika ada yang menanyakan hal tersebut.

Ya, jokowers atau dulu dikenal sebagai relawan jokowi ini saban hari semakin menunjukkan identitasnya. Sekelompok orang yang tadinya dikenal sebagai pembeda dalam ajang pemilu lalu, kini tak ada bedanya dengan orang-orang yang berlabel kepentingan. Pembelaan membabi buta mereka terhadap kepemimpinan Jokowi pun melebihi apa yang dilakukan partai politik penyokongnya.

Tanpa melihat latar belakang, jabatan, asal usul, kiprah seseorang di belantika perpolitikan tanah air, mereka dengan blak-blakan meng-counter attack para pengkritik Jokowi bak serangan fajar, siapa pun itu. Bagi saya pribadi, mereka tak lebih dari seorang penjilat kelas teri yang menghakimi para pengkritik jokowi secara keji.

Dangkalnya cara berfikir mereka terhadap yang terjadi dalam tubuh pemerintahan semakin membuka tabir masing-masing, yang hanya bisa menyalahkan pemerintah masa lalu jika terjadi kekurangan dalam sistem pemerintahan baru. Namun, hanya Jokowi lah yang bekerja ketika pemerintah mendapat rapor bagus dari rakyat, tanpa campur tangan masa lalu. Ini murni, tak terbantahkan.

Ke-murtad-an saya terhadap Jokowi – selain kinerjanya yang jauh dari harapan – dilandasi oleh perilaku para jokowers yang makin lama semakin kehilangan pola fikir. Tidak seimbangnya logika antara otak kanan dan kiri mereka membuat para jokowers mati rasa terhadap sesama warga negara.

Mereka buta bahwa Jokowi hanya dijadikan pion oleh Megawati dan KIH nya, rasa mereka pun mati ketika Jokowi melakukan transaksi jabatan kepada orang-orang yang mendanainya selama kampanye lalu secara gamblang. Dan bukan hanya di pemerintahan, obral jabatan ala jokowi pun menghinggapi beberapa pos strategis di BUMN-BUMN besar. Silahkan periksa, BUMN mana yang tidak di komisari-si aktor politik?
Para Jokowers sejatinya adalah orang-orang yang peka, peka ketika Jokowi dihujat, buta disaat rakyat melarat. Kenaikan harga-harga dikalangan masyarakat yang selalu diikuti dengan keluarnya paket-paket kebijakan – yang sekarang sudah paket empat – ala Jokowi yang menjadi bahan pamungkas para jokowers menepis kritik. Padahal, ya, engga jelas juga paket-paketan itu juntrungannya kemana., ke rakyat? Silahkan tanya ke rakyat apakah ada harga barang-barang yang turun?

Masalah rupiah yang sempat menungkik tajam dari 11.000-an menjadi 14.500 dalam tempo dua bulan, kini rupiah juga sudah turun menjadi 13.000-an yang dianggap jokowers sebagai prestasi mengkilap yang disambut gegap gempita oleh Jokowers – padahal ya itu permainan Amerika.

Saya juga tidak ingin mengganggu ketentraman jokowers perihal asap tebal yang menyelimuti sebagian wilayah negeri ini, karena saat ini mereka pasti sedang nikmat menyaksikan final piala presiden sambil menyebar firman bahwa Jokowi lah presiden pertama yang mampu memadamkan perseteruan Viking-The Jak – pentingkah seorang presiden memikirkan seporter sepak bola? Sebaiknya jangan membahas masalah ini.

Efek keberadaan Jokowi  pun terlihat jelas bagaimana rakyat Indonesia terpecah belah antara mereka yang bergerilya bersama TV oon dan mereka yang menjadi hooligan Metromini TV
Jokowers, menurut saya bukanlah sekumpulan penjilat, melainkan sekumpulan orang-orang yang melacurkan diri dari suatu kebenaran, memfatwakan setiap omongan presiden sebagai firman, dan menganggap setiap kritikan sebagai pemurtadan. Ingat  “pemimpin yang di nabikan akan mematikan nalar”. Kata budayawan, Sujiwo tedjo.

Tidak percaya? Monggo tanyakan ini pada mz Fadjroel Rahman
Dollar naik turun itu biasa, sama halnya dengan dompet kita, yang kadang tebel, walau lebih sering tipisnya. Apalagi buat anak kost-an yang masih bergantung dengan orang tua. Terus, kalo duit udah abis dan kiriman orang tua belom nyampe gimana? Tenang, lo ga bakalan mati kelaperan ( syarat dan ketentuan berlaku ).
Berikut ini, gue bakalan ngasih tips dan trik cara mengatasi KANKER alias Kantong Kering, ala gue. *Semoga ada yang peduli

Pasang Muka Melas
Yang pertama, selama lo bokek, gue saranin lo memanfaatkan muka melas yang bisa ngegambarin kalo lo sedang kelaparan, seolah-olah mau mati juga bisa, tergantung situasi dan kondisi hati. Karena dari mimik muka susah lo itu, dari 20 temen, seenggaknya 1 temen lo bakalan kasian dan ngasih lo sedikit uang. Tap, ya percuma muka lo udah melas tapi tetangga atau temen kost-an lo engga ada yang peka atau malahan engga kenal sama lo. Sama aja bunuh diri itu namanya. Intinya, pinter-pinter milih temen.

Bisa juga kalo lo masuk kamar penghuni kost-an satu persatu, tidak perlu berlama-lama didalam, cukup melihat ada makanan atau tidak. Kalo engga ada ya langsung keluar, kalo ada ya….selamat menikmati indahnya berbagi. Tapi teteeuuup, pake muka melas.

Catatan: kalo muka lo udah melas dari sono nya, engga perlu lo sok melas-melas lagi, karena nantinya lo bakal dikira mau mati saat itu juga. Dapet duit kaga, malah mati gentayangan ntar lo. Jadi nyusahin.

Manfaatkan Peluang
Maksudnya, kalo ada temen kost-an lo yang lagi makan, gue saranin lo ikutan nimbrung, tapi ya jangan keliatan banget lo pengen minta makan. Cukup duduk disampingnya sambil nonton TV dan sekali-kali lirik ke arah makanan, niscaya dia akan berkata “makan-makan”. Nah disitu baru lo abisin dah makanannya, persetan dengan anggapan “dia Cuma basa-basi nawarin makan”, karena perut lo juga gak bisa diajak basa-basi kan kalo lagi laper??? Daripada ntar lo dikatain “lo rese kalo lagi laper” sama temen lo!

Kesempatan besar lo datang kalo temen lo lagi makan rame-rame pake nampan, dan biasanya nasi dan lauknya banyak, ala-ala anak pesantren gitu deh. Nah itu yang harus lo deketin. Sekedar lewat doang, lo pasti ditawarin makan. Selain lo dapet makan enak, lo bisa nambah temen juga. Kenyang deh itu sampe begah perut lo.

Jangan Mandi
Loh kenapa jangan mandi? Logikanya, ketika lo engga mandi, orang-orang pasti kasian liat lo, “kasian banget tuh orang, bajunya kucel banget, mukanya juga kusut. Pasti lagi engga ada duit”. Mungkin itu yang mereka pikirin kalo liat lo. Dari situ aja, orang udah punya persepsi sendiri tentang lo, dan merasa iba liat ke-jelek-an lo yang ditambah dengan bua ketek yang semerbak. Masalah dia mau minjemin duit atau engga ya itu……… Wallahua’lam :p

Mendadak Baik
Kalo cara-cara diatas engga berhasil, berarti lo harus jadi orang baik, perhatian, dan tolong menolong. Ya seenggaknya buat sehari doang atau selama lo engga punya uang. Disaat temen lo pengen makan tapi males ke warung beli makanan, ada baiknya lo menawarkan diri biar lo yang jalan ke warung untuk beliin makanan. Nah itu lo bisa minta dibayarin atau ngutang sama dia, atau engga ya minta bagian makanannya dikitlah.

Praktek ini akan berhasil kalo lo melakukan perjanjian “pra-ke warung” terlebih dahulu dengan yang bersangkutan. Bilang ke dia “sini gue yang beliin deh, tapi gue sekalian ngutang ya, kalo engga ya gue minta dikit dah”. Kalo dia setuju ya sama-sama bisa makankan. Kalo dia enggak setuju? Ya engga rugi juga lo. Dia makin laper, lo juga engga perlu panas-panasan ke warung. Sama-sama enak kan???

Akrab Dengan Yang Punya Kost-an
Ketika temen lo engga bisa bantuin karena punya masalah yang sama dengan lo, jalan pintas yang pantas lo coba adalah berharap kebaikan ibu kost. Tapi dengan catatan, lo harus deket sama ibu kost. Percuma kalo dia nya baik tapi lo engga kenal dan engga deket sama ibu kost. Dia juga males bantuin lo kalo engga kenal, apalagi kalo lo sering bikin masalah di kost-an.

Kalo lo kenal sama ibu kost, akrab, dan baik sama dia, percayalah, dia akan jauh lebih baik sama lo. Dia engga akan sungkan ngasih makanan ke lo, minjemin ini itu sama lo pun dia engga akan keberatan. Yang penting satu, lo baik sama dia dan engga pernah buat ulah selama ngekost.

*****
Sekian sekelumit tips dan trik yang tidak penting-penting banget ini. tapi setidaknya bisa dijadikan bahan renungan dan memungkinkan untuk dicoba jika sedang kepepet. Mau dipraktekin ya syukur, engga dipraktekin ya…kebangetan lo.

Jika terjadi kesamaan peran, tempat, dan waktu kejadian, itu bukanlah suatu kebetulan, karena memang bagian dari unsur kesengajaan
Tidak pernah terfikirkan sebelumnya jika saya menjadi suka baca, apalagi baca novel. Jangankan kepikiran, ngebayanginnya aja engga pernah. Saya yang – ehemmm – sarjana ekonomi, pada dasarnya adalah seorang yang kurang gemar, maaf bukan kurang, tapi ya memang engga suka baca.

Jika pun harus membaca, saya biasanya hanya akan membaca biografi seorang tokoh, atau hal-hal yang bersifat sepak bola, karena memang itu yang saya gemari. Walau begitu, minat baca saya pun mulai tumbuh, karena dampak dari kesukaan saya pada sepak bola.

Secara tiba-tiba, terfikir oleh saya ingin menulis sepak bola, dan menjadi penulis bola. Empat tulisan pertama saya pun selesai tanpa membaca satu buku pun, modalnya hanya beberapa artikel dari Pandit Football yang saya baca. Hasilnya bisa ditebak, kurang memuaskan, tulisan saya hancur berantakan.

Dan pada perjalanannya, seorang teman mulai mendorong saya agar gemar membaca. “Penulis hebat berasal dari pembaca hebat”. Begitu katanya. Saya pun mulai diajak ke toko buku bekas langganannya, yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat kost saya tinggal. Saya memang tidak membeli satu pun buku, begitupula dia yang – sedang – tidak membeli buku. Tapi, dengan perlahan, saya pun sadar, minat baca sudah mulai tumbuh dari situ.

Cukup sering ia mendoktrin pikiran saya agar mau membaca, tapi sesering itu pula saya mengacuhkannya, karena memang dasarnya males baca. Tapi lambat laun, minat baca muncul dengan sendirinya. Ditambah dengan nyinyiran teman lain yang sekaligus menjadi panutan saya, ikut membulatkan tekat saya agar mau baca.

Mendengar suara sumbing “ gue aja kadang-kadang baca buku bisa seharian, sampe selesai satu buku”. Kata teman yang berinisial Adi Sucipto Rahman, yang sesekali dilengkapi dengan sentilan dari seorang pemerhati sejarah, Ahmad Rifai, yang ilmu sejarahnya berasal dari membaca tersebut. maka, saya mulai tertantang setelah mendengar pernyataan dari 2 karib saya itu – ya walaupun males juga seharian baca buku sampe selesai. Ha..haha..ha.. – dan mulai mengulik beberapa buku yang menurut saya menarik untuk dibaca.

Buku pertama yang saya baca berjudul “50 Tahun Hubungan Indonesia – Rusia”. Alasan saya membaca buku ini cukup sederhana, ya gue suka banget Rusia. Buku kedua yang saya baca pun tidak jauh-jauh dari Rusia, “Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet” karya Koesalah Ananta Toer, adik Pramoedia Ananta Toer.

Yang menceritakan kehidupannya sebagai mahasiswa di kampus Kabelnaya, Rusia ( dulu Uni Soviet )
Dan lagi-lagi… buku ketiga yang saya baca pun masih tentang Rusia, yang berjudul “Dari Uni Soviet Hingga Rusia”. Bisa dibilang, keperkasaan Rusia telah membuat saya nge fans banget, bahkan sampe ke ubun-ubun. #PENTING!

Sampai akhirnya, secara tidak sengaja, saya membaca beberapa postingan Pangeran Siahaan, seorang satiris, yang pada waktu itu sedang membahas seorang Haruki Murakami. Saya sih cukup familiar dengan nama Murakami, tapi, ya belum pernah baca bukunya.

Selang beberapa hari kemudian, seorang teman yang berinisial Adi Sucipto Rahman tadi merekomendasikan sebuah buku – yang menurut gue sih tebel – untuk saya baca. Entah kebetulan atau tidak, dari berkilo-kilo buku yang tertumpuk rapi dikamarnya, ia pun menunjuk satu buku ke arah saya, berjudul “1Q84” nya Murakami yang kesohor itu. Dia sepertinya sadar bahwa saya memang sedang mencari buku Haruki Murakami. Tentu, tanpa berpikir lagi, saya pun langsung merebut buku jilid pertama itu dari genggamannya, dan langsung membacanya.

Walaupun membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikan buku setebal 453 halaman tersebut, tapi setidaknya, tulisan saya sangat terbantu setelah membaca novel ini. keberagaman kata dan bahasa semakin banyak saya kuasai, tulisan saya pun menjadi tidak kaku untuk dibaca – ya walaupun masih banyak kurangnya sih.

Meskipun tulisan saya mengenai sepak bola, buku-buku novel yang saya baca seperti “1Q84”, “LOLITA” nya Vladimir Nobokov, dan yang sedang dibaca sekarang ini, “CANTIK ITU LUKA” karya Eka Kurniawan, sama sekali tidak berhubungan dengan bola, tapi, sangat amat membantu saya dalam menelurkan ide-ide baru, berimajinasi lebih luas dengan kata, dan berfantasi lebih tinggi dengan cerita.
Tentu tulisan saya masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu pula, saya harus menantang diri sendiri agar terus membaca, tidak hanya terpaku oleh satu jenis buku, tetapi, bisa menyatu dengan semua buku.

Menulis tanpa membaca sama halnya seperti menggoreng ikan tanpa mengulitinya terlebih dahulu, sekalipun ikan itu selesai di goreng, rasanya pasti tidak enak untuk di makan. Begitu juga dengan menulis jika tidak membaca, tentu akan menghasilkan tulisan yang tidak renyah untuk dibaca.

Sama halnya dengan saya, yang senang menulis tapi tidak bisa menghasilkan tulisan menarik jika tanpa dukungan, masukan, dan petuah-petuah membangun dari bung Adi selaku penggiat sastra kawasan Ciputat dan sekenanya.

Seperti yang diungkapkan seorang Eka Kurniawan yang ingin dikenal sebagai pembaca ketimbang penulis, saya pun ingin melakukan hal demikian. Tapi rasa-rasanya, saya harus berusaha lebih keras untuk melakukan itu, keluar dari zona nyaman agar bisa mewujudkan itu. Ya, walaupun engga sehari baca langsung kelar satu buku!!!

Nuhun bung Adi, sudah menyadarkan. Makasih bang pa’i sudah mengajarkan. Btw…

Sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan dan ekonomi negara, wajar rasanya jika Jakarta tiap tahunnya diserbu oleh para pendatang yang berasal dari seluruh pelosok negeri. Suku jawa, sunda, makasar, batak dan suku lainnya bisa kita jumpai di Jakarta.



Sebagai suku paling barat Indonesia, keberadaan orang Aceh masih bisa dihitung dengan jari, berbeda dengan saudara se-pulau sumatera seperti batak dan padang yang sudah tak terhingga jumlahnya. Meskipun keberadaan orang Aceh di Jakarta masih sedikit, tetapi masyarakat ibukota sudah peka dengan bentuk wajah orang aceh, tanpa mendengar bahasanya pun, mereka bisa menebak “orang Aceh ya mas?”.



Berbeda dengan orang Padang yang hanya bisa ditebak asalnya ketika sedang berdagang, atau orang batak melalui logat bicaranya, atau sedang – maaf – narik angkutan. Menurut pendapat banyak orang, wajah orang orang Aceh terlalu identik satu sama lain. Sama halnya dengan warna kulit yang hampir serupa, kalau hitam ya hitam pekat, kalau putih yang engga putih-putih banget.



Menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami orang Aceh karena banyak yang menganggap bahwa orang Aceh itu ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Dan tidak jarang pula mereka berseloroh “mas keturunan arab ya?” Setiap tanggapan positif pasti dihiasi dengan pandangan negatif, ini juga sering menghinggapi kami anak aceh. Bukan berita baru lagi jika Aceh memiliki ladang ganja terbesar di Indonesia, sehingga, ketika saya hendak mudik pun, pesan dari kawan-kawan hanya satu, “gue pesen ganja ya sekilo” tentu ini hanya anehdot dari seorang teman, walau terkadang ada juga yang serius.



Jika berbicara Aceh, pasti tidak lepas dari yang namanya ganja. Itu pula yang membebani jiwa dan raga saya ketika orang-orang langsung menghardik “ladang ganja lo berapa hektar” teeeng…saya mulai berpikir “gagal gue jadi orang Aceh, engga punya ladang ganja soalnya”.



Demi menjaga tingkat bromance dengan para sahabat, mereka dengan akrabnya memanggil saya dengan sebutan “ganjo”, pelesetan dari ganja itu sendiri. Awalnya sih risih, tapi demi teman, tak apa lah. Toh mereka
juga saya panggil dengan nama alias masing-masing.



Semua hal yang menyangkut Aceh selalu dihubungkan dengan ganja. Makanan pake ganja, mulai dari mie aceh sampe kuah bakso. Dan yang lagi hangat-hangatnya adalah kopi ganja. Pertanyaan besar saya adalah “dari mana mereka tahu kopi ganja? Wong saya yang orang Aceh aja engga tau ada kopi ganja”. Fix, Gagal total saya jadi orang Aceh gara-gara ini.



Hal pertama yang selalu saya jelaskan pada semua teman atau kenalan adalah tidak semua orang Aceh mempunyai ladang ganja, sama halnya seperti, tidak semua orang Aceh itu ganteng dan cantik. Kebiasaan ini pun menjadi rutinitas berulang-ulang seiring bertambahnya kenalan. Tentu ini menjadi keuntungan tersendiri bagi saya yang secara tidak langsung memperkenalkan budaya Aceh, karena setiap jawaban yang muncul selalu ditambah dengan pertanyaan yang semakin beranak pinang dari mereka



Satu pertanyaan dari seorang teman yang membuat saya jengkel adalah “njo, di Aceh syariat islamkan? cewenya pada pake kerudung semua kan? Pertama lo ke Jakarta berarti lo kaget dong liat cewe-cewe yang pake tengtop, rok mini, celana gemez, baju yang setengah jadi?” mungkin menurut mereka, di Aceh tidak ada TV yang menampakkan semua jenis manusia sehingga pada beranggapan seperti itu.



Berlabel syariat Islam, membuat saya, sebagai putra daerah Aceh dibebani tanggung jawab besar oleh teman sesama muslim, karena sudah pasti orang pertama yang ditunjuk untuk menjadi imam saat sholat ya saya. Alasan mereka singkat “ lo kan orang Aceh, bacain ayat mestinya bagus”. Alasan mereka memang terdengar klise, tapi percayalah, setiap orang Aceh yang tinggal di Jakarta pasti bernasib serupa dengan saya.



Terakhir, sempat menjadi daerah konflik dalam jangka waktu lama, dan beberapa kali menuntut merdeka dari NKRI, saya bersyukur pada akhirnya Aceh tidak jadi merdeka. bukan apa-apa, saya tidak mau dianggap sebagai turis asing di Jakarta, yang direpotkan dengan urusan imigrasi yang sewaktu-waktu bisa saja di deportasi dari Indonesia









&�
ex

Baru-baru ini tanah air kita tercinta dikejutkan dengan sebuah wacana yang terdengar patriotis, bisa jadi nasionalis juga. Ya, namanya Bela Negara. Dari  namanya saja, seharusnya sih keren ya wacana pemerintah ini – yang semenjak berganti presiden banyak wacana-wacana fenomenal, ya walaupun Cuma sekedar fenomena kampanye politik.



Kita tidak perlu mengingat kembali apa saja wacana pada kampanye masa lalu pak jokowi yang sudah berlalu dan tak berujung itu. Mari kita fokus kan ke masalah Bela Negara ini. Pertanyaan pertama yang ingin saya sampaikan adalah apa itu Bela Negara? Apa pula landasan utama pemerintah ingin melakukan itu? Dan, seberapa penting Negara sebesar, semakmur (katanya) Indonesia membutuhkan wacana ini?



Belakangan, banyak pihak yang mengaitkan wacana ini semacam wajib militer seperti yang dulu pernah berlaku pada masa pemerintahan orde baru. Ada pula yang beranggapan “belanegara’ hanya pelatihan dasar yang diperuntukkan bagi para relawan yang siap ditempatkan dimana saja dalam keadaan darurat. 

Sementara itu, pemerintah (saya lupa namanya siapa ) mengatakan bahwa program ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang tergabung dalam Resimen Mahasiswa atau sejenisnya. Entah mengapa, sejak dulu – selepas orde baru –setiap pemerintah mengeluarkan kebijakan baru selalu di bredel oleh orang lain, orang lain yang saya maksud bukanlah pihak oposisi, karena mereka toh pada dasarnya ya sama saja. Orang lain tersebut adalah kaum-kaum intelektual muda yang selalu berseberangan dengan kebijakan pemerintah, siapapun itu presidennya. Lalu, senaif itu kah para pemimpin bangsa sehingga selalu menuai kontroversi dalam setiap mengambil kebijakan?Atau, sepintar itu kah kaum intelektual tanah air sehingga ada saja celah bagi mereka untuk “menghakimi” pemerintah?



Pada masa pemerintahan jokowi saja, sudah ada beberapa kebijakan baru – namanya doang sih baru, prakteknya ya sama aja, mungkin –, salah satunya, ya “bela Negara” ini. Sebuah konsep sederhana yang pada perjalanannya mengalami tumpang tindih defenisi dari para pembuat kebijakan. Sudah menjadi rahasia umum memang jika suatu program akan berganti defenisi seiring berjalannya kritik.



Latar belakang pemerintah merancang “bela Negara” ini pun sepertinya tidak jelas – ya mungkin saya yang engga peka dengan maksud pemerintah – karena Negara kita sejauh ini baik-baik saja, tidak ada konflik dengan Negara lain, kecuali Malaysia yang suka cari gara-gara.



Yang saya takutkan adalah, ini hanya menjadi program  untuk menimbun pundi rupiah dari para penyokong kekuasaan yang belum mendapatkan “hak-hak”nya? Atau mungkin ini bagian dari bagi-bagi jatah kekuasaan jilid ke entah berapa yang masih terus saja berlanjut dari awal terpilih hingga setahun pemerintahan.  



Jika duo Korea menerapkan “bela Negara” ala wajib militer bagi warganya karena keadaan kedua Negara yang terkadang memanas, walau tak jarang – sesekali dingin membeku, lalu buat apa Indonesia menerapkan “bela Negara”? perang semacam apa yang dikhawatirkan pemerintah sehingga memaksakan diri ingin menerapkan kebijakan mubazir ini? Jangan-jangan (jangan-jangan loh ya), nama “bela negara” ini diperuntukkan bagi mereka yang siap mati mendukung pak jokowi dari segala kritik??? “Memangnya

dengan relawan yang semakin militan dan mematikan nalar tidak cukup ya”. 
Pikir saya

“bela Negara” mungkin adalah wujud nyata dari jargon kesohor nan menyejukkan hati di masa kampanye lalu, “revolusi mental” yang dalam perjalanannya tidak ada mental yang direvolusi, malah semakin menjadi. Yang ada mental hukum yang direvolusi oleh kongsi korupsi.



Terakhir, jika pemerintah ngebet dengan “bela Negara”nya, apa kabar dengan petani yang terbunuh karena mempertahankan tanahnya? Apa kabar dengan nenek yang hanya ketahuan nyolong sebiji mangga kemudian dilaporkan polisi dan diadili? Apa kabar dengan mereka yang rumah ibadahnya dibakar? Apa kabar dengan penegak hukum yang dikriminalkan? Apa kabar pula dengan Munir yang di racun di udara? Blusukan kemana pemerintah ketika peristiwa itu terjadi? Padahal mereka lah pembela negara.



Penutup, sebelum laten bahaya orde baru ini kembali terulang. Bagaimana kalau kita menuntut balik pemerintah me-revolusi mentalnya sendiri beserta para relawan yang ke-pintaran-nya melebihi dewa itu untuk mem “bela rakyat”? karena sebuah blunder besar bagi pemerintah yang menuntut rakyatnya untuk “bela negara” namun pada saat bersamaan mereka tiada membela rakyat.



Percaya atau tidak.Tanpa“bela Negara” kita sudah teramat dalam mencintai Indonesia 

Zaman yang semakin maju mau tak mau membuat kita berfikir lebih maju, dan terbuka tentu saja. Tidak hanya dari pemikiran saja, tetapi juga sudah merasuki semua sendi kehidupan manusia, termasuk pergaulan dan perilaku kaula muda di milenium baru ini.



Sebagai anak kost, saya sudah lumrah dengan perilaku anak-anak kost-an zaman sekarang yang  semakin nakal, terkadang binal, walau tak jarang normal-normal ( ya…ehem kayak saya lah yaa ).  Saya tidak ingin menceritakan tempat kost yang lain, karena bagi saya, kost-kostan dimana pun ya sama saja ( syarat dan ketentuan berlaku ).



Kost-an yang saya tempati berada dekat kampus, di daerah Ciputat ( engga perlu nyebutin merek ya, ntar lo pada kesini semua lagi ). Awal pindah kesini, saya takjub dengan fakta bahwa para penghuni kost merupakan jebolan pesantren dan mayoritas kuliah jurusan tafsir hadist, syariah, dan ilmu keagamaan lainnya. 

Bisa dibilang, saya lah satu-satunya yang bukan jebolan pesantren, bukan juga jurusan yang berbau agama. Ke-takjub-an saya pun semakin berada di titik nadir ketika menyadari bahwa mayoritas dari mereka nyatanya sering mengajak teman wanitanya kencan didalam kamar, tanpa rasa salah dan tentu lupa dengan dosa. Sejenak saya berfikir lembek “yah namanya juga manusia, suka buat salah”, namun, lama kelamaan saya kembali berfikir, kali ini saya berfikir keras“ anak pesantren, tiap hari belajar kitab, surga neraka, pada nyangkut dimana tuh pelajaran dan tausiah-tausiah kyai nya? Dijemuran tetangga? Apa dijemuran pondok? Masa “gituan” mulu di kost-an?”



Kemudian, secara langsung, mereka pun menyadarkan saya bahwa tidak semua jebolan pesantren seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Banyak dari kelakuan mereka yang diluar bayangan orang-orang, wa-bil-khusus masalah perempuan tentu saja. Jika hukum tidak memandang bulu, maka nafsu tanpa memandang ilmu.



Jika yang bukan berlatar belakang pesantren atau sekolah agama lainnya, rasa-rasanya kita akan sedikit memaklumi perilaku negatif itu karena mereka bisa saja berdalih “ pengetahuan agama gue cetek  men”, tapi tentu saja kita tidak bisa membenarkan perbuatan semacam itu, apapun alasannya. Tapi, apa yang harus kita perbuat jika yang menerapkan hal seperti itu adalah jebolan pesantren dengan pengetahuan agama nomor wahid? Ingin mengingatkan mereka pun kita segan, segan bukan karena akan diomeli, melainkan segan akan diceramahi lengkap beserta hadistnya, atau mungkin dengan gaya woles nya dia berkata “yaelah masih kaku aja lo”….. duuaaar kiamat bung



Keajaiban lainnya yang saya alami disini adalah mereka yang jelas-jelas paham agama, berlabel santri pula, tidak melulu menjalankan ibadah sebagai mana mestinya. Memang tidak semuanya begitu, tapi ya….sebagian  besarlah. Alih-alih beribadah, mereka malah larut dalam dentuman musik dangdut koplo yang di remix-kan ( udah koplo, remix pula. Dahsyat juga lewat ini ). Mungkin dengan ilmu yang sudah diatas rata-rata, menghafal beberapa juz al-qur’an diluar kepala, menguasai bahasa arab sama baiknya dengan orang arab, sudah cukup bagi mereka menikmati surga dikemudian hari.



Selama tiga atau enam tahun mengabdi dipesantren, beribadah dengan taat selama masa bakti di pondok, ibadah tiada henti, mungkin sudah saatnya bagi mereka untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba menjadi lelaki seutuhnya selepas mondok. Berperilaku nakal, menjadi anak nongkrong ala ibukota, bercinta dengan orang yang dicinta semaunya, menjadi salah satu karakteristik  yang tak bisa dilepaskan (sepenglihatan saya sih gitu ya, tau deh yang lain).



Dibalik itu semua, satu hal yang membuat saya berempati pada mereka adalah sikap toleransi dan setia kawan yang sangat tinggi antar sesamanya. Seperti makan bersama-sama, sepiring atau sebakul beramai-ramai dan satu kamarpun mereka bergerombolan.



Namun  yang  terpenting adalah jika salah satu diantaranya ada yang membawa pacar ke kamar, yang lain pun berhamburan keluar tanpa diperintah, menyambangi kamar-kamar sebelah yang bisa dijadikan tempat berteduh seraya memberi waktu dan tempat bagi yang sedang bersenggama ( mungkin ini yang dimaksud Sindentosca dalam lirik “persahabatan bagai kepompong”, pengertian dan peka banget ya mereka ).



Kebinalan mereka-mereka ini pun tidak mengenal waktu, mata saya terbelalak ketika pada bulan ramadhan pun, hal seperti itu sulit dibendung, mereka jelas kuat menahan nafsu dari godaan makan dan minum, tapi jika godaan selangkangan? ( who knows ). Sekalipun – sepertinya mereka tetap menjalankan puasa, kegiatan semacam itu sepertinya akan tetap dilakukan demi keseimbangan hidup antara ying dan 
yang.



Ke-luar biasa-an indekos ini seakan sudah menembus galaksi, karena bagi mereka yang sudah tidak tinggal disini pun masih bisa leluasa lalu-lalang di kost-an ini. Oh, lalu-lalang sih boleh-boleh aja ya…. oke ralat… mereka yang sudah pindah kost pun masih bisa menginap disini jika ada kamar yang kosong – mending kalo bermalam seorang diri, nah ini bawa pacar men –. Dengan modal 50.000++ sudah bisa menginap semalam disini dengan pacar tersayang – malemnya mau ngapain ya wallahua’lam lah ya.


****

Kesimpulan dari sekelumit cerita ini adalah….
Nikmat tuhan mana lagi yang kalian dustakan???

Liga-liga Eropa kini sudah menjadi komoditas utama masyarakat dunia, ditambah dengan semakin menjamurnya industrialisasi sepak bola, sudah barang tentu akan menghadirkan keuntungan baru, dan tentu penggemar baru. Keadaan ini pula yang tampaknya menjadi bendungan besar antara profesionalisme dan nasionalisme para pemain.

Keberadaan setiap pemain dalam sebuah club menjadi pertimbangan tersendiri bagi mereka yang ingin membela tim nasionalnya, semakin besar club yang dibela, maka semakin besar pula peluang pemain tersebut untuk bermain membela negaranya. Disisi lain, ini bisa menjadi boomerang bagi si pemain jika sewaktu-waktu, tanah airnya membutuhkan jasa mereka untuk memperkuat tim nasional.

Pertandingan kualifikasi piala Eropa dan piala dunia yang sering bergulir di sela-sela pertandingan liga yang sedang berjalan, tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi club tempat pemain bernaung. Meskipun liga di liburkan selama tim nasional sedang bertanding, tetap saja pemilik club merasa was-was terhadap dampak yang akan terjadi pada sang pemain sepulangnya ia dari tugas negara, yaitu cedera, dan tingkat kebugaran si pemain yang bisa saja menurun.

Bayaran selangit yang diterima setiap pemain dari club, tentu membuat pemilik club merasa was-was dengan keadaan para pemainnya. Alasannya jelas, mereka dibayar mahal untuk bermain bagus, bukan untuk merawat cedera yang di derita selepas tugas negara. Banyak pula pelatih-pelatih yang mengeluh dengan keadaan ini dan menjadikan laga internasional sebagai momok tersendiri bagi mereka.

Pasca cedera panjang yang dideritanya, Daniel Sturridge kembali merumput pada dua minggu lalu dan langsung menunjukkan kualitasnya dengan mencetak tiga gol sejauh ini, comeback nya Sturridge di Liverpool coba dimanfaatkan pelatih tim nasional Inggris, Roy Hodgson untuk memboyongnya kembali ke The Three Lions untuk menghadapi dua laga kualifikasi terakhir Euro 2016.

Sadar dengan keadaan pemainnya yang baru pulih, pelatih Liverpool saat itu, Brendan Rodgers melarang pemain kesayangannya itu kembali ke tim nasional untuk sementara waktu. Ia berdalih, Sturridge belum sembuh benar atas cederanya, dan tentu saja, Rodgers trauma dengan pemanggilan itu, karena cedera yang didapat akibat membela Inggris pada lanjutan kualifikasi Euro awal tahun ini. Menyadari hal ini, Roy Hodgson pun mengamini permintaan Rodgers tersebut dan membatalkan pemanggilan itu.

Masalah Sturridge reda, tetapi muncul masalah baru, Dany Ings – yang juga berasal dari Liverpool – yang dipanggil Hodgson untuk mengganti peran Sturridge menderita cedera yang ia terima saat tengah berlatih dengan pasukan “tiga singa”. Tentu ini menjadi pukulan baru bagi The Reds yang sudah kehilangan kapten Jordan Henderson dan striker anyar, Cristian Benteke yang sudah lebih dulu masuk ruang operasi.

Tidak jauh berbeda dengan Liverpool, Manchester City juga mengalami nasib serupa. Striker andalan mereka, Sergio Aguero harus ( lagi-lagi ) naik meja operasi setelah mendapat cedera baru pasca membela negaranya, Argentina di ajang kualifikasi piala dunia 2018. Sial bagi City, karena Aguero baru saja pulih dari cedera beberapa hari sebelumnya, dan berhasil mencetak lima gol kala menjamu Newcastle United di Etihad Stadium pada pekan lalu.

Apa yang dialami Liverpool dan Manchester City diatas hanyalah segelintir cerita mistis mengenai cedera pemain pasca tugas membela negara,  dan menjadi momok menakutkan bagi club-club yang menyumbangkan pemainnya untuk menjalankan perintah negara.

Mari kita tinggalkan polemik pemain cedera akibat tugas negara. Sekarang saatnya kita memikirkan nasib pribadi sebagai pecinta sepak bola layar kaca. Tentu kawan-kawan mengerti maksud saya ini bukan? Betul, jeda internasional berarti kita dipaksa istirahat sejenak untuk menikmati akhir pekan di arena nobar atau televisi dirumah.

Memang,  jeda internasional tak berarti nihil pertandingan sepak bola, pertandingan yang ditawarkan pun sama banyaknya, bahkan lebih banyak TV lokal yang menyiarkan, ketimbang liga-liga Eropa yang hanya menyiarkan maksimal dua pertandingan dalam seminggu – itu pun hanya liga Inggris.

Meskipun demikian, tidak semua orang senang dengan adanya jeda internasional ini, alasannya pun jelas, kita tidak bisa menikmati akhir pekan bersama tim kesayangan, laiknya tidak bisa berkencan dengan seorang yang kita kasihi.

Jam tayang pertandingan antar negara ini pun lebih banyak berlangsung lewat tengah malam, dan cenderung tidak terlalu menarik minat penikmat sepak bola Indonesia yang biasa terhibur dengan liga-liga top Eropa. Sebesar apapun dukungan kita terhadap tim nasional Eropa sana, tentu tak sebesar dengan apa yang kita lakukan dengan club kesayangan. Jiwa emosional, rasa sensitifitas yang suka naik-turun pun tak akan pernah bisa sejajar antar keduanya ( jeda internasional dan club kesayangan ). Jiwa dan rasa akan lebih terpacu jika sedang menyaksikan club idola – Mungkin karena bukan negara kita sendiri yang bermain.

Liga Inggris, Italia, dan Jerman yang kerap dimainkan pada jam-jam “bersahabat” tentu menjadi candu tersendiri bagi kita penonton bola layar kaca. Dan satu yang pasti, kita tentu tak perlu uring-uringan atau berharap hujan turun kencang pada sabtu malam karena tak mempunyai pasangan, karena selalu ada liga Eropa yang menyelamatkan kita di setiap akhir pekan.

Sesungguhnya, dimana saja, kapan saja, siapa saja, sepak bola tetaplah sama derajatnya. Ia sama di mata semua orang, baik yang menyangkut kesebelasan kesayangan, ataupun tim nasional idaman. Namun, dalam era modern sekarang ini, industri yang semakin merajai sepak bola, dan semakin bersaingnya liga-liga Eropa untuk menarik minat para penggemar, tentu kehadiran jeda internasional ini  bagaikan benalu yang kapan saja bisa merusak khazanah dari yang namanya euforia sepak bola.

Walau begitu, tentu saja kita tidak bisa mengutuk laga internasional ditengah-tengah memanasnya persaingan liga, karena di lain sisi, kompetisi liga yang sedang berjalan menjadi faktor utama dan tolak ukur pelatih timnas untuk memilih pemain berkualitas yang layak membela negara dan mampu menunjukkan kontribusi besar pada tanah leluhurnya. 


Akhir dari sebuah era. Rasa-rasanya kalimat ini memang tepat disematkan dalam tubuh tim nasional Belanda yang gagal melaju ke putaran final Euro 2016 di Perancis. Melakoni laga pamungkasnya tadi malam, Belanda dipermalukan oleh tamunya, Republik Ceko dengan skor 2-3 di Amsterdam Arena. Hasil ini semakin mempertegas kegagalan anak asuh Danny Blind yang sedari awal babak kualifikasi tidak menunjukkan performa yang menjanjikan.

Gagal lolos ke piala Eropa bukanlah pil pahit bagi Belanda, melainkan telah menjadi aib bagi negeri kincir angin tersebut. bagaimana tidak, pada piala dunia 2014 lalu, Belanda mampu menunjukkan jati dirinya sebagai tim besar. Marwah Total Football kembali menyeruak dibawah komando Louis Van Gaal yang sepanjang turnamen menunjukkan performa impresif dan membawa anak asuhnya hingga babak semifinal, sebelum dikalahkan Argentina lewat adu penalti.

Kegagalan De Oranje ini memang bukan yang pertama kali, Belanda juga pernah gagal ke putaran final Euro 1984 yang lagi-lagi bertempat di Perancis. Tapi tentu saja, ada yang berbeda antara kegagalan Belanda tahun ini dengan tahun 1984, mengingat kiprah Belanda setahun lalu di Brazil yang apik sama sekali tak berbekas selama babak kualifikasi berjalan.

Pergantian pelatih dari Louis Van Gaal ke Guus Hiddink seharusnya tidak menjadi masalah serius, karena Hiddink bukanlah orang baru di sepak bola Belanda. Sebagai pelatih senior, Hiddink sudah banyak makan asam garam kesuksesan baik bersama negara leluhurnya ataupun negara lain. Ia sempat membawa negeri kincir melaju ke semifinal piala dunia 1998 di Perancis dengan mengorbitkan nama-nama tenar seperti Denis Berkhamp, De Boer bersaudara, Patrick Kluivert, dan masih banyak lagi. Namun catatan manis ini seakan tak terulang pada masa bakti keduanya bagi negara.

Tidak berkembangnya permainan Belanda memaksa Guus Hiddink turun dari jabatannya, tekanan dari dalam dan luar lapangan membuatnya harus merelakan kursi pelatih jatuh ke tangan asistennya, Danny Blind yang kemudian menjadi pelatih utama.

Beberapa waktu lalu, sesaat setelah Guus Hiddink mengundurkan diri, saya sempat berbalas tweet dengan akun @Oranje_Live yang mengumumkan pengunduran diri sang meneer, seketika, saya pun mengutarakan pendapat, dengan mengajukan nama Ronald Koeman dan De Boer sebagai suksesor. Akun yang berbasis di Amsterdam ini pun membalas mention saya sembari berujar bahwa Danny Blind yang akan mengambil alih pelatih kepala, sedangkan Koeman dan De Boer dipersiapkan untuk masa depan.

Blind yang juga menjabat asisten pelatih di era Van Gaal nyatanya tak mampu menjawab keraguan publik De Oranje. Dibawah kepemimpinannya, Belanda malah tak beranjak dari keterpurukan. Negara yang diatas kertas mudah untuk ditaklukkan seperti Islandia, Turki, Kazakhstan, dan Republik Ceko malah mampu membalikkan keadaan, dari dua pertandingan melawan ketiga negara tersebut, tak sekalipun Belanda meraih kemenangan. Bahkan melawan Islandia dan Ceko, dua-duanya berakhir dengan kekalahan.

Mari lupakan kegagalan seorang pelatih, karena itu memang sudah menjadi anomali tersendiri dalam dunia sepak bola. Satu faktor utama yang menjadi lumbung masalah adalah para pemain. Siapa yang selama ini mengenal nama-nama seperti Riedewald, Bruma, Zoet, Tete, El Ghazi, Van Dijk, Vurnon Anita, Narsingh? Hampir semua fans Belanda tidak ada yang mengenal pemain-pemain ini – kecuali mereka yang mengidolai Ajax Amsterdam atau yang menonton Eredivisie – sebagai pendukung Belanda, saya pun tak pernah mendengar nama mereka sebelumnya, wajah mereka pun belum sekalipun terlihat di mata saya.

Skuad negara bunga tulip ini tidak hanya di dominasi oleh pemain muda, tetapi juga disesaki oleh pemain baru yang masih nir jam terbang. Saya pun teringat dengan ucapan Coach Justin – yang seorang keturunan Belanda – ia mengatakan bahwa “tim nasional Belanda kini diisi oleh pemain-pemain yang engga jelas, medioker, dan hanya mengandalkan pemain asal Ajax Amsterdam saja”. Anggapan ini memang ada benarnya, karena mayoritas pemain Belanda saat ini berasal dari Ajax Amsterdam, atau pernah bermain untuk De Amsterdamers.

Belanda yang dari dulu dikenal mahir dalam mencetak pemain besar, kini seperti stagnan dalam memproduksi pemain bintang. Saat ini saja, yang rasa-rasanya pantas dianggap pemain bintang hanyalah Memphis Depay dan Daley Blind, selebihnya, tak ada yang mampu me-remaja-i lini tengah dan depan yang diisi Wesley Sneijder, Arjen Robben, Robin Van Persie, dan Huntelaar yang semakin tua dimakan usia.

Satu lagi permasalahan yang cukup penting di Belanda adalah ketiadaan penjaga gawang handal sepeninggal Van Der Sar dan Marteen Stekelenburg, yang membuat gawang Belanda dengan mudah dibobol lawan. Tim Krull yang bermain apik bersama Newcastle United jarang mendapat kepercayaan, baik di era Van Gaal, Hiddink, ataupun Blind. Para meneer ini lebih senang memasang Jasper Cillessen sebagai tembok terakhir pertahanan yang penampilannya inkonsisten.

Stok pemain tim nasional negeri kincir angin – yang terkesan dipaksakan membela negara – Ini berbanding terbalik dengan stok pelatih mudanya yang telah menuai sukses di tingkat club. Ronald Koeman, Marco Van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Frank De Boer, Philip Cocu, dan Geovanni Van Bronkhost kini berkamuflase dari pemain hebat menjadi pelatih hebat. Cocu yang baru menjabat pelatih kepala PSV Eindhoven musim lalu bahkan langsung mempersembahkan juara liga yang selama ini dimenangkan oleh Ajax Amsterdam-nya De Boer. Belum lagi nama-nama beken lainnya seperti Kluivert dan Ruud Van Nistelrooy yang kini berada dalam jajaran tim pelatih Belanda

Sepak bola Belanda, yang terkenal dengan Total Football nya, berpredikat sebagai juara tanpa piala, kini telah memasuki era barunya. Sebuah era yang tak pernah diharapkan oleh siapapun. Era baru yang biasanya diharapkan sebagai pertanda juara, kini malah menjadi bencana.  
Tidak sebesar kota London, bahkan tak seluas Manchester, Liverpool memiliki kebesarannya sendiri. Tak hanya dengan musiknya yang diwakili oleh The Beatles, tapi juga dengan sepak bola yang memang telah membudaya disana.

Layaknya kota-kota lain, Liverpool juga memiliki dua kesebelasan besar yang saling bersaing tiap musimnya. Dua club yang membelah sungai Mersey, dua warna yang mewakili keberagaman para Liverpudlian ( sebutan bagi penduduk asli Liverpool ), Everton FC dan Liverpool FC.

Ketika Manchester City dan Manchester United dibedakan dengan masa dukungan yang berada di tengah dan penggiran kota, juga Totenham Hotspurs dan Arsenal dibedakan district yang berseberangan meski berada dalam teritori yang sama di Utara ibukota, maka, fans Liverpool dan Everton hidup secara berdampingan, tanpa perbedaan.

Meski berdiri lebih awal daripada Liverpool, Everton nyatanya kalah mentereng daripada saudara mudanya tersebut. pemain bintang, popularitas, trofi juara, Liverpool unggul jauh dari The Toffes. The Reds yang berdiri 1892 (14 tahun sejak Everton berdiri ) sejatinya merupakan serpihan dari pecahnya hubungan Everton dengan pengelola Anfield Stadium. Ya, Anfield adalah warisan Everton yang meninggalkan stadion tersebut akibat tidak sejalannya pemikiran pihak club dengan pengelola Anfield, John Holding. Ini pula yang membuat Everton harus rela hijrah ke Goodison Park, yang jaraknya tak jauh-jauh amat dengan Anfield Road.

Kepergian Everton pun berdampak besar bagi poros sepak bola kota Liverpool dan Inggris, karena pemilik Anfield tersebut akhirnya membentuk timnya sendiri, dan lahirlah Liverpool FC seperti yang kita kenal sekarang. Kelahiran Liverpool yang diiringi perpecahan pemilik stadion dengan club tertua kota nyatanya tak membuat Everton dan Liverpool menjadi saling benci. Yang terjadi justru sebaliknya, Derby Merseyside lebih, dan akan selalu dikenal sebagai Friendly Derby, atau bahkan Family Derby.

Julukan ini sendiri merujuk pada fakta unik pendukungnya, yang meski saling membenci selama pertandingan berlangsung, tapi sesungguhnya mereka masih dalam lingkungan yang sama, bertetangga, dan satu keluarga. Merseyside Derby memang unik, sangat unik, karena memang mungkin hanya derby inilah yang memberi kehangatan, menyuguhkan kasih sayang. Bukan menebar kebencian, memancing keributan seperti kebanyakan derby pada umumnya.

Dalam film berjudul  “Red’s and Blue’s”, jelas terlihat bagaimana kedua supporter dari kedua kesebelasan hidup berdampingan, sekalipun mereka saling ledek dan bertukar hinaan, kedua fans yang saling bertentangan ini nyatanya tak pernah benar-benar bermusuhan. Film yang dikemas secara jenaka ini memang menggambarkan keadaan dua fans secara kasat mata, fanatisme berlebihan yang ditunjukkan keduanya tak pelak membuat kita tertawa melihatnya.
salah satu adegan dari film Reds and Blues 
Kebencian bisa ditunjukkan lewat candaan, baik berupa banter chants, ataupun pencapaian club selama ini. Peran keluarga, bantuan dari rekan sejawat, dijadikan senjata mematikan untuk mereka menjatuhkan rival. Itulah sepotong pelajaran yang didapat dari film produksi tahun 2012 tersebut, tanpa kekerasan, tidak pula dengan pertumpahan darah yang kerap terjadi pada derby lainnya.

Sudah ratusan kali Merseyside derby tersaji tiap tahunnya, dan sudah berlipat kali pula fans dari kedua tim menjalin hubungan harmonis, didalam atau luar lapangan. bukan suatu kejanggalan pula jika kita melihat stadion Goodison Park dan Anfield menyama ratakan mereka dalam satu tribun yang sama. Kombinasi biru-merah yang duduk berdampingan pun menjadi pemandangan asri tiap duel ini berlaga. Sebuah pemandangan yang mustahil terjadi di Manchester Derby, Roma derby, atau Old Firm derby di Skotlandia antara Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers.
salah satu tribun yang memperlihatkan harmonisnya kedua fans yang berbeda ( sumber gambar: www.google.com )
Tidak selamanya Hot derby  seperti Manchester, Roma, Glasgow selalu berakhir dengan keributan antar pendukungnya. Begitupula dengan friendly derby Liverpool yang tidak selalu berjalan hangat, ada kalanya Evertonian dan Liverpudlian menaikkan tensi permusuhan mereka, dan inilah yang sempat terjadi pada musim 1986 silam.

Cerita dimulai ketika final European Cup ( kini liga Champions ) yang mempertemukan Liverpool vs Juventus berakhir ricuh, sehingga membuat ratusan fans Juve meregang nyawa disana. Fans Liverpool yang diduga menjadi biang kerok kerusuhan pun akhirnya harus menerima hukuman berat dari UEFA, hukuman yang mau tak mau juga harus dirasakan seluruh tim asal Inggris. Karena federasi sepak bola tertinggi Eropa tersebut melarang keikutsertaan tim-tim Inggris di seluruh kompetisi Eropa.

Celakanya, Everton yang setahun kemudian berhak berlaga di liga Champions pun akhirnya urung bermain akibat larangan tersebut. tak pelak, kejadian ini pun menabur permusuhan sesungguhnya antara fans Liverpool dan Everton. Evertonian tak rela keikutsertaannya di kompetisi Eropa harus terhalang oleh kesalahan Kopites kala itu di stadion Heysel, Belgia. Dan membuat perselisihan baru antara keduanya yang selama tahun berjalan cukup banyak membuat keributan.

Selepas itu, tensi persahabatan keduanya sempat naik turun yang sekaligus meninggikan rivalitas pertandingan kedua club. Namun, perselisihan dua saudara sekota ini tak berlangsung lama, karena kedua belah pihak kembali ke titik semula, menjadi teman sebagaimana mestinya, pasca tragedi Hillsborough yang lagi-lagi menimpa The Anfield Gank.

Merseyside Derby, atau mereka lebih senang disebut Merseyside United benar-benar menjadi poros sepak bola dunia, bahwa persaingan sekota tak harus dijalani dengan kekerasan, tak perlu pula mereka membenci satu sama lain jika hanya ingin menaikkan tensi pertandingan itu semata. Karena, derby Liverpool sendiri berjalan cukup panas tiap musimnya. Panas karena permainan yang menghibur, yang sering diselingi permainan keras antar pemain.

Cukup unik memang jika kita melihat pertemuan kedua club asal utara Inggris ini. pertandingan dilapangan yang kerap melahirkan tekel-tekel keras dan tak jarang menimbulkan keributan antar pemainnya, nyatanya tak membuat para fans tersulut emosi. Justru, kedua fans tetap harmonis satu sama lain.

Keharmonisan fans ini tak hanya terlihat dalam tribun stadion, melainkan diluar stadion. Sudah menjadi rahasia umum pula jika kedua seporter ini banyak yang bertetangga satu sama lainnya, dan bukan hal yang aneh pula jika di Liverpool kita mendapati rumah pendukung Liverpool tepat berada disamping rumah fans Everton dengan atribut club kebanggaan lengkap yang menghiasi pelataran rumahnya masing-masing. Tidak ada keributan yang mewarnai kehidupan mereka, tidak ada pula hujatan yang menerpa mereka, semua berjalan normal.
masyarakat liverpool yang hidup bertetangga meski membela club yang berbeda ( sumber gambar: www.google.com )
Tidak hanya bertetangga, kedua club Merseyside ini pun telah membelah satu keluarga menjadi dua warna. Artinya, dalam satu keluarga saja terdapat dua kubu seporter yang membedakan mereka. Terkadang sang ayah menjadi Liverpudlian dan ibu seorang Evertonian, atau kakak perempuannya menjadi Evertonian dan sang adik seorang Liverpudlian, begitu seterusnya. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari derby ini, sebuah daya tarik abadi yang tak pernah mati.

Kemuliaan Merseyside United ini pun terekam manis ketika Liverpool memperingati 25 tahun tragedi Hillsborough di Anfield tahun lalu. Stadion berkapasitas 45 ribu jiwa ini tak hanya disesaki oleh para Kopites, tetapi juga dihadiri oleh Roberto Martinez, pelatih Everton, dan beberapa fans Everton yang turun hadir dalam upacara mengenang fans Liverpool yang tak pernah pulang.
bentuk terima kasih The Kop kepada Everton yang telah menghormati tragedi Hillsborough ( sumber gambar: www.google.com )
Berjarak kurang lebih 1 KM dari Anfield, Goodison Park pun turut memperingati acara yang sama. Tujuannya jelas, untuk menghormati para fans Liverpool yang notabene saudara mereka, mendoakan mereka yang telah tiada, menguatkan keluarga yang ditinggalkan.

Satu pemandangan unik pun terjadi ketika Derby Merseyside dihelat di kandang Everton pada musim 2012-2013. Pertandingan yang berjalan alot ini diawali dengan masuknya sepasang anak kecil berjersey kebesaran kedua club bertuliskan angka 96 ( jumlah korban jiwa Hillsborough ), dan disudut lain stadion, tampak secarik kain putih  bertuliskan “Solidarity Has No Colours”, yang membuat semua pasang mata berdecak kagum akan hubungan fans Liverpool dan Everton ini.
salah satu banner yang mewarnai derby Liverpool tahun lalu (  sumber gambar: www.google.com )
Gambaran harmonisasi kedua fans tak hanya terjadi didalam stadion, karena diluar stadion, tepatnya di dapur rekaman pun mereka kembali bersatu. Ini lah yang tertangkap kamera dalam sebuah video klip yang bertajuk “He Ain’t Heavy, His My Brother”. Suara merdu para penyanyinya yang tergabung dalam “Hillsborough Justice Collective ( Robby Williams, Melanie Chilsholm ex Spice Girls, Paul McCartney, dan beberapa musisi Inggris lainnya )” disempurnakan oleh sepasang anak kecil yang mengenakan jersey kedua club, Everton dan Liverpool.
dua anak kecil mewakili dua club sekota untuk memperingati 25 tahun tragedi Hillsborough ( sumber gambar: www.google.com )
Lagu lawas milik grup band Inggris The Hollies ini kembali hidup, dan menjadi lebih hidup dinyanyikan untuk mengenang tragedi sepak bola paling berdarah di negeri ratu Elizabeth tersebut.

Tak indah rasanya jika kita tidak menyinggung para pemain mereka. Ya, layaknya dengan para fans, pemain kedua kesebelasan pun tidak bisa menghindari takdir mereka yang harus melawan temannya sendiri. Seperti Steven Gerrard yang semasa kecil merupakan teman karip dari Tony Hibbert, harus rela bertarung sengit diatas lapangan untuk membela Liverpool dan Everton. Atau cerita menarik yang menimpa beberapa pemain kedua club lainnya.

Jamie Carragher, Michael Owen, disinyalir merupakan seorang fans setia Everton semasa kecil. Namun, setelah dewasa mereka ditakdirkan menjadi legenda Liverpool, bahkan Carragher menjadikan Liverpool club yang satu-satunya ia bela. Begitupula dengan pemain-pemain andalan Everton seperti Leighton Baines, Phil Jagielka, Ross Barkley yang terlahir sebagai Liverpudlian semasa kecil.  

Satu kota memiliki dua club besar, dua club besar yang menyatukan kota dalam satu impian yang sama, dua warna yang menyelimuti keindahan kota dengan cerita yang sama, yakni menjadikan kota Liverpool yang  terbaik di tanah Britania, dengan cara bersahaja, berlomba bersama dengan mengedepankan kedamaian sebagai poros persaingan dalam sepak bola satu kota. Sebuah kedamaian sepak bola yang berbalut dengan keagungan musik The Beatles sebagai pembeda.

Untuk penduduk kota lain atau negara lain, sepak bola mungkin sebuah kegiatan di waktu senggang. Tapi di Liverpool, sepak bola adalah kehidupan itu sendiri. Ini bukanlah kalimat dari seorang Bill Shankly, pemilik kalimat penyejuk hati ini adalah….. Brendan Rodgers