Pernahkah anda
mendengar kalimat “gue ini fans
sejati”? saya yakin kita pasti pernah mendengarnya, sering bahkan. Tapi apa
mereka benar-benar memahami apa itu fans sejati? Atau hanya sebatas ucapan
dalam kata tanpa berbuat apa-apa demi club tercinta?
Entah kenapa saya
sangat yakin, jika mayoritas dari mereka yang menganggap dirinya “fans sejati”
hanyalah kamuflase belaka, agar dipandang eksis dalam mendukung tim kesayangan.
Sebab, mayoritas dari mereka hanya memandang hasil akhir sebagai tujuan utamanya.
Persetan dengan proses untuk meraihnya,
yang penting menang.
Kita tidak perlu
memperdebatkan kemunculan fans-fans club yang sedang kekinian, karena mereka
hanyalah bagian dari anomali sepak bola itu sendiri. Tapi percaya atau tidak,
“fans sejati” ini memang kebanyakan berasal dari club-club yang berpredikat
kekinian.
Jangan pula kita
menyamakan diri dengan fans di Eropa, dengan mendukung tim yang sama, lalu
menjadikan itu sebagai pembenaran perilaku kita di tanah air sebagai fans layar
kaca. Mereka disana jelas membela club yang memang berasal dari daerah tempat
dimana mereka tinggal. Sementara kita disini? Bukan orang Madrid ( misalnya ),
Chelsea ( misalnya ) tapi selalu kebakaran jenggot ketika club pujaan di ledekin, seolah-olah kita penduduk asli
sana.
Sama halnya dengan
kita orang Indonesia yang mencintai Persib Bandung sebagai warga Jawa Barat,
atau Persija Jakarta sebagai warga ibukota. Sah-sah saja rasanya jika kita
mempertaruhkan banyak hal untuk mendukung dua tim besar Indonesia ini, karena
terdapat unsur ke-daerah-an didalamnya. Jiwa emosional yang telah turun temurun,
budaya yang sudah melekat dan mendarah daging pun ikut serta dalam proses
naik-turunnya sensitifitas jika club daerah asal di hina.
Maka akan terlihat
lucu jika kita yang bukan – misalnya – orang Manchester atau Milan rela
bersimbuh darah hanya untuk membela club tersebut. mungkin akan sedikit beda
rasanya jika pihak club tahu bahwa kita adalah pendukung setianya. Tapi tentu
saja mereka tidak tahu itu, karena kita di Indonesia dan mereka di daratan
Eropa.
Mendukung tim
kesayangan memang membutuhkan totalitas didalamnya, kita harus masuk sampai ke
sendi-sendi club secara keseluruhan, memahami budaya nya, dan mengabadikan
sejarahnya. Tapi kebanyakan dari kita hanya mengingatnya ketika ia meraih
kemenangan dan melupakan sejenak ketika mengalami kekalahan? Bagi kita fans
layar kaca memang sah-sah saja jika ingin melihat club yang dibela harus
menang, tapi apakah pantas kita melempar kursi atau sepeda kearah fans rival,
dan berkata “kami ini fans sejati”, ketika tim kesayangan menderita kekalahan?
Hanya dengan alasan
club tersebut adalah club besar yang dihuni pemain bintang, tanpa memahami
sejarah dan budaya club sehingga menjadi besar seperti sekarang, kita bangga
mengategorikan diri sebagai fans sejati dan membenarkan segala sifat bar-bar
diatas. Yang ada, bukannya meningkatkan eksistensi kita sebagai fans sepak
bola, melainkan menjatuhkan reputasi kita sebagai penggemar bola.
Mari ambil contoh
dari persaingan Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers di Skotlandia, perbedaan
fans yang berlatar belakang agama ini memang memiliki ketegangan tersendiri di
Britania Raya. Old Firm Derby yang
terus berlangsung panas tiap tahunnya jelas selalu menimbulkan banyak
keributan, para fans yang sudah saling benci sejak dalam kandungan pun tidak
rela jika kesucian clubnya ternoda oleh yang namanya kekalahan, atau sekedar
hinaan dalam bentuk chants.
Kekerasan,
pengrusakan fasilitas umum tentu menjadi hal biasa terjadi jika kedua tim
tengah bersua dilapangan. Wajar mereka melakukan hal tersebut, karena,
kecintaan mereka bukan sekedar atas nama club, melainkan daerah tinggal, budaya
yang mengakar, dan tentu keyakinan yang mendarah daging. Kecintaan mereka
terhadap daerahnya terwakilkan oleh sepak bola. Mereka bisa memperkenalkan
kulturasi setempat ke seantero umat, dengan agama sebagai pedoman, melalui
sepak bola.
Lalu, jika kita orang
Indonesia, mendukung tim Eropa, dan berbuat demikian, apa landasannya?
Keterikatan emosional jelas tidak ada, persamaan budaya jelas berbeda,
perbedaan agama apalagi. Sebagai negara inferior
dalam bidang sepak bola, kita seolah bersikap superior terhadap club luar nan besar yang kita dukung, meninggalkan azas
ketimuran sebagai pedoman dan mengatas namakan totalitas sebagai acuan.
Mungkin kita akan
merasakan hal yang sama dengan mereka yang berada disana, ketika dengan seksama
memahami club dan fansnya sampai ke akar, mengubur sejenak gelar yang diraih dan
nama besar yang di sandang. Yang ada hanya cinta tulus pada club karena perjuangannya,
fansnya, budaya nya. Tanpa pamrih gelar. Bisakah kita seperti itu?
Tentu kita bisa, jika
kita mau. Akan tetapi, permasalahan utamanya adalah kita tidak mau. “club
kecil, juara engga pernah, pemain
bintang engga ada. Apa alasan gue ngedukung club itu?” pasti akan
muncul pertanyaan seperti itu di kemudian hari. Benar memang jika banyak orang
yang beralasan demikian. Tapi, mari kita renungkan lirik lagu dari Agnes Monica
“cinta ini kadang-kadang tak ada logika”.
Sebuah lirik singkat
yang akan mematahkan semua opini perihal arti cinta dan kasih sayang, logika
kita mati seketika termakan cinta ketika di “haruskan” mendukung club tanpa
memandang gelar dan pemain bintang. Saya
sendiri akan menaruh hormat lebih tinggi kepada fans Bordouex ( yang hanya bermain
di liga Perancis ), Parma (yang sudah jatuh ke dasar kompetisi semi pro ),
Aston Villa, dan Athletic Bilbao yang kini tersebar di Indonesia.
Ketimbang harus
bersimpati pada fans United yang kalang kabut ketika ditinggal Sir Alex
Ferguson, atau Chelsea, PSG dan Manchester City yang keberadaannya tidak
terdeteksi di muka bumi sebelum masuknya investor kaya raya asal Rusia dan
Timur Tengah.
Karena,
se-sejati-sejati nya kita mendukung club mapan tersebut, kita belum tentu mampu
untuk mendukung club semenjana diatas dengan segala kekurangannya. Dan harus
menjadikan kekurangan itu sebagai kelebihan dalam diri kita selaku fans sejati
sepak bola yang sesungguhnya.