Pekan lalu, saya menghabiskan waktu di kampung halaman, Cot Girek, Aceh Utara, untuk mengantar kepulangan ibunda dari Jakarta. Total saya menghabiskan waktu tujuh hari di Aceh yang terdiri dari empat hari di Cot Girek dan tiga hari di Lhokseumawe.
Pertama kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran setelah dua tahun tidak pulang, rasa-rasanya cukup banyak hal yang ingin saya abadikan dalam bentuk tulisan, mulai dari hal nyeleneh sampai kritikan sosial. Tapi, semua “calon” tulisan itu saya batalkan seketika, ketika kepulangan saya disambut oleh PLN dengan cara – yang menurut warga Aceh sudah biasa – mati lampu.
Saya memang tidak kaget dengan kebiasaan yang rasa-rasanya sudah mendarah daging ini, karena dari saya kecil pun, Aceh sudah dikenal dengan krisis listriknya yang tak kunjung terang. Tapi masalahnya kali ini adalah listrik mati sampai 10 jam lamanya, tiap harinya. Singkatnya, seminggu saya di Aceh tanpa melalui satu hari pun tanpa mati lampu.
Aceh memang bukan baru 5-10 tahun di landa pemadaman bergilir seperti ini. dulu, lumrahnya pemadaman dibagi hanya dua atau tiga jam paling lama, tiap kota memiliki zona waktu pemadaman bergilir yang berbeda, dan tentu saja ini berlangsung hampir setiap hari. Namun, rasa-rasanya tidak ada satu manusia pun yang bisa memahami kegelapan yang diderita selama 10 jam dalam satu hari.
Jika terjadi gempa, tsunami, atau bencana alam lainnya, mungkin kita bisa memaklumi pemadaman selama itu, tapi, jangankan gempa – apalagi tsunami – angin kencang dan petir saja tidak terjadi di Aceh Dari dulu, warga Aceh selalu di cekoki oleh satu paradigma, bahwa pasokan Listrik di Aceh berasal dari Sumatera Utara, yang membuat warganya dipaksa bisa memaklumi keterbatasan listrik yang ada. Tapi, bagi saya ini hanyalah pembodohan publik semata, karena kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. Logikanya, masa iya selama bertahun-tahun PLN Aceh tidak bisa melakukan apa-apa? Atau ya setidaknya memangkas waktu pemadaman menjadi satu jam saja!
Dulu ketika saya masih kecil, setiap lampu mati, warga beramai-ramai menelepon pihak PLN Aceh untuk memintai keterangan, dan untungnya mereka merespon keluhan warga, tapi, kini sudah tidak ada lagi warga yang mau menelepon PLN. Mungkin mereka beranggapan itu tidak ada artinya dan hanya upaya yang sia-sia belaka, karena besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya Aceh akan tetap mati lampu juga.
Ya, saya capek, warga Aceh capek dengan segala alibi PLN wilayah Aceh. Kami sudah jengah menggurutu, memaki dan menghakimi, karena pada akhirnya, hal ini sudah menjadi budaya baru di Aceh. Warga dipaksa menjalani semua ini, membiasakan diri, hingga pada akhirnya menyerahkan semuanya kembali pada Allah SWT. Mungkin PLN Aceh lupa bahwa Allah tidak punya waktu untuk sekedar mengurusi lampu, karena Allah sudah menugasi mereka untuk menghidupinya.
Pertanyaannya adalah, apakah tidak cukup waktu selama bertahun-tahun ini untuk PLN Aceh memberi pelayanan mumpuni bagi warganya? Atau, tidak ada kah SDM yang Qualified ditubuh BUMN raksasa ini karena masih kentalnya praktek KKN dalam penerimaan karyawan PLN Aceh, sehingga makin hari, Aceh semakin menderita karena waktu pemadaman yang dilakukan semakin panjang saja, dan disatu sisi, kemajuan zaman yang diikuti kemajuan teknologi malah di barengi oleh kemunduran PLN dalam menerangi daerah paling barat Indonesia ini.
Sejatinya, pemadaman listrik di Aceh sudah tidak pantas disebut hanya sebagai fenomena saja, apalagi sebuah anomali, karena ini sudah berjalan turun-temurun. Pemadaman ini lebih pantas disebut sebagai musibah berkepanjangan, karena merugikan warga dari segala sendi kehidupan. Laiknya air yang menjadi sumber kehidupan, maka dalam dunia digital seperti sekarang ini, listrik menjadi inti dari sumber kehidupan itu.
Kenapa inti? Jelas, apa-apa kita tentu membutuhkan listrik, masak nasi kita butuh listrik, komunikasi kita butuh listrik, dalam bekerja, baik kantoran atau rumahan kita juga butuh listrik, air galon isi ulang pun butuh listrik untuk mensterilkan kuman didalamnya, untuk pembangunan kita juga butuh listrik, dan paling penting adalah, kegiatan ekonomi membutuhkan listrik. Ekstrimnya, kita akan menjadi manusia terbelakang jika kekurangan pasokan listrik.
Satu hal yang belakangan saya sadari adalah, keengganan para investor asing atau dalam negeri menanamkan modalnya di Aceh, karena Aceh mengalami krisis listrik berkepanjangan. Investor tentu akan rugi jika berinvestasi di Aceh dengan keadaan listrik yang alakadarnya ini, dan secara tidak langsung ini akan membuat Aceh semakin tertinggal dengan para “tetangga” nya, seperti Sumatera Utara dan provinsi lainnya di pulau Sumatera.
Satu hal yang bisa dilakukan rakyat Aceh untuk menutupi ketersediaan listrik adalah dengan membeli genset sebagai alternatif utama agar tetap bisa menikmati listrik. Tapi, tentu saja tidak semua warga memiliki genset, karena harganya yang cukup mahal dan tentu membutuhkan bensin yang tidak sedikit untuk bahan bakarnya.
Setiap harinya, penjual genset semakin merauk keuntungan besar dari proses jual belinya, dan setiap hari pula, warga Aceh semakin terkekang dengan keadaan yang memaksa mereka untuk membeli genset demi lancarnya roda kehidupan. Disisi lain, PLN terus saja membentengi dirinya sendiri dengan alibi yang semakin basi, dan kinerja yang terus dibawah standarisasi.
Untuk kebutuhan listrik saja, warga Aceh harus mengeluarkan biaya dua kali, pertama untuk membeli genset serta bensinnya yang tidak murah, kedua tentu saja tagihan PLN yang rutin sudah menunggu di loket antrian, meskipun PLN tidak rutin melayani kebutuhan listrik warganya.
Keajaiban ini membuat saya berfikir – agak – radikal, tetapi tetap masuk akal. Menurut teori konspirasi yang saya pelajari, ini hanyalah permainan ekonomi antara PLN Aceh dengan pengusaha genset dengan deal-deal
tertentu untuk meraup keuntungan besar.
Logikanya, semakin sering dan lama PLN memadamkan listrik di Aceh, akan semakin banyak pula masyarakat yang berbondong-bondong membeli genset, dan ini tentu membuat si pengusaha genset ber-mandi-kan uang.
Di pihak PLN sendiri, semakin sering mereka mematikan listrik di Aceh, honor mereka dan tagihan yang harus diterima warga tentu tetap terus mengalir seperti biasa. Dan….bukannya tidak mungkin jika pihak PLN Aceh juga mendapat sedikit rezeki dari pengusaha genset.
Mungkin ini pandangan saya yang berlebihan, tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi bukan? Dan peluang terjadi praktek kongkalikong itu selalu ada, apalagi jika melibatkan BUMN. Atau apakah kalian pernah mendengar alasan PLN Aceh yang tidak memiliki dana yang cukup untuk memperbaiki pasokan listrik di Nanggroe Aceh Darussalam? Jika pernah, saya sarankan kalian segeralah berwudhu untuk menyucikan diri.
Lho kenapa? Guys, PLN Aceh saja mampu menggaji karyawan biasa sebesar 6 juta rupiah dan 12 juta rupiah bagi direksi nya sebulan. Dengan gaji sebesar itu, masa iya mereka tidak mampu untuk – minimal – memperbaiki fasilitas beserta tetek-bengeknya? Atau tuntut saja agar gaji mereka dipotong untuk menutupi kekurangan dana tersebut agar bisa memperbaiki diri dan melepaskan Aceh dari kegelapan berkepanjangan.
Toh, itu juga untuk kepentingan mereka juga sebagai warga Aceh. Tampaknya, dengan gaji setinggi itu telah membuat mereka menemukan kedamaian yang hakiki dalam bekerja, tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan agar krisis listrik di Aceh segera berakhir. Toh, berapa lama pun listrik mati, mereka tidak akan kekurangan haknya, sekalipun mereka melanggar hak jutaan warga Aceh.
Tadinya, saya ingin menulis ini dengan gaya satire, tapi dengan berbagai alasan, akhirnya saya mengurungkan niat itu. pertama, rasa-rasanya tidak pantas jika pemadaman listrik yang mencapai 10 jam sehari hanya ditulis dengan me-nyatire-kannya. Kedua, saya bukanlah seorang satiris handal seperti Pangeran Siahaan atau
@propaganjen