“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti,” pertanyaan yang kini muncul adalah; siapa yang bisa mengisi kehilangan itu? Siapa yang mampu menggantikan Banda Neira? Ya, si empunya lagu mengumumkan bahwa mereka resmi membubarkan diri dari belantika musik (indie) tanah air.

Bang Yos (bukan Sutiyoso) mengagetkan saya pagi kemarin ketika membagi tautan berita bahwa Banda Neira bubar. Tak lama, dalam sebuah percakapan di W-Buy, Benaaa menyeringai pilu mengatakan hal yang sama. Lewat huruf yang dirunut sebesar gaban, hatinya hancur mendengar band yang dihuni dua orang ini bubar. Sementara Andhikamppp? Tahu apa dia  tentang Banda Neira!
sumber: dibandaneira.tumblr.com
Saya? Tentu juga kaget dengan keputusan itu. Tapi, sebelum kabar tersebut mengudara di linimasa, saya sedikit banyaknya mengetahui rencana tersebut beberapa bulan yang lalu. Dalam sebuah wawancara di Jogja, yang kemudian tersebar di Youtube dan saya saksikan, mereka memang sudah memikirkan wacana itu. tapi tentu saja bukan bubar, melainkan vacum sementara.

Keputusan tersebut diambil tidak lama setelah mereka merampungkan album kedua. Apa mau dikata, itu memang sudah menjadi kesepakatan bersama. Rara terbang ke Eropa untuk melanjutkan S2, sedangkan Ananda kembali ke Jakarta untuk bekerja seperti sedia kala.

Banda Neira, yang katanya sebuah proyek iseng telah menjelma menjadi parameter selera musik kita. Hanya dengan dawai gitar, mereka menghipnotis kita yang pada awalnya menerka “lagu siapa sih ini?,” mereka yang awalnya hanya menjadikan Banda Neira sebagai kegiatan paruh waktu nyatanya sudah membuat kita setia mendengar karyanya sepanjang waktu.

Lagu-lagu yang mereka tulis juga bukan main syahdunya. Sekalipun tema dari lagu yang mereka cipta cukup sederhana, tapi tiap kata yang mereka tulis tak jarang, tak pernah terpikir oleh kita sebelumnya. Siapa yang tak larut kala medengar Sampai Jadi Debu, Pelukis Langit, Matahari Pagi, juga lagu lainnya. Sebuah rangkaian kata sederhana dalam setiap lirik yang mempunyai makna begitu dalam bagi siapa saja yang mendengar.

Sepasang anak muda yang bisa jadi lebih muda dari saya sudah berhasil menghipnotis umat manusia, bukan hanya karena lagunya, bukan juga karena keduanya, tapi juga karena bubarnya mereka yang meninggalkan derai air mata pendengarnya.

Tidak ada yang menyangka jika keduanya sepakat berhenti berkarya mengingat umur Banda Neira sendiri masih sangat belia. Juga dengan karya mereka yang masih sangat kuat di telinga, membuat berhentinya mereka terasa tabu untuk kita terima.

Mengenal Banda Neira dan menyesali bubarnya mereka, sudah sepantasnya kita harus mengetahui siapa sebenarnya kedua pemusik ini. Siapa yang menyangka, di balik keteduhan lirik yang dicipta, keduanya sangat aktif dibeberapa kegiatan di luar musik. Ananda Badudu, ia bahkan sempat aktif di organisasi kemahasiswaan yang dicap radikal dan ke-kiri-an oleh karena militansinya dalam menyuarakan kebenaran lewat tulisan-tulisannya yang tajam. Dalam kesendirian, ia lebih menikmati jiwanya dirasuki pemikiran Marxisme dan Marheinisme.

Setali tiga uang, Rara Sekar, yang berasal dari kampus yang sama, juga bergabung dengan Ananda di bawah payung organisasi yang sama pula. Sudah barang tentu, masuknya Rara ke Media Parahyangan (MP) atas dorongan Ananda yang memang kakak kelasnya, juga ketua MP ketika itu. Selain itu, Rara juga sempat pindah ke Bali, namun tetap menjaga komunikasi dengan Ananda dan tetap berkarya bersama meski berada di pulau yang berbeda. Ke-aktivis-an Rara semakin kental saat ia bergabung dengan komunitas Taman 65 yang vokal menyuarakan keadilan tentang korban 65 yang tak pernah terselesaikan.

Siapa pula yang menyangka jika mereka sejatinya adalah seorang jurnalis, pewarta yang saban hari berlalu-lalang mencari berita. Ke-radikal-an Ananda sendiri berhasil ditampung harian Tempo yang kredibel. Sementara keberanian Rara telah mendapuknya menjadi bagian dari Kontras dan LSM pencarian orang hilang selama orde baru, bentukan almarhum Munir.

Perhatian keduanya terhadap mereka yang tak pernah pulang terpancar jelas ketika Banda Neira memusikalisasi karya-karya para pendahulunya. Seperti lagu “Mawar” yang menjadi pilar kerinduan Wiji Thukul pada Sipon (istrinya) di masa pelarian. Atau lagu “Tini dan Yanti” yang mengekspresikan kecintaan Ida Bagus Santosa pada istrinya (Tini) dan calon anak mereka (Yanti) yang ditulis lirih di tembok jeruji.

Pemikiran-pemikiran yang sama, tergabung dalam berbagai organisasi yang sering dibilang “kiri” dan radikal semakin meyatukan sesamanya dalam menciptakan sebuah kata dan menjadi harmonisasi yang indah dalam setiap nada yang dilantunkan.

Saya sendiri hanyalah anak baru yang tidak banyak tahu tentang band indie tanah air. Termasuk Banda Neira, yang baru beberapa bulan ini saya ketahui dan langsung mengagumi. Jujur saja, sosok Rara Sekar dengan rambut nge-boob yang disempurnakan kacamata yang melingkar di matanya lah yang mengawali rasa penasaran saya pada karya mereka berdua.

Kesedihan memang tak bisa dihindarkan. Kecintaan saya pada Banda Neira yang baru beberapa bulan terpaksa berujung lara ketika Ananda Badudu dan Rara Sekar memutuskan berpisah. Dan tatkala nama Banda Neira sudah menjadi debu, biarlah kita menyimpannya dalam satu ruang yang berada tepat di bawah matahari pagi agar si pelukis langit tetap mewarnai ketiadaan Banda Neira. Dan kita, para pendengar setia, sudah sepantasnya selalu di sebelah mereka, sebagai kawan.





Belakangan, cukup banyak teman blogger yang menulis dengan tema utama, tutorial. Apapun itu. Dari tutorial berhijab yang baik dan benar, tutorial cara nyisir rambut agar lurus terurai selayaknya kak Dian Sastro di iklan, tutorial macarin seorang blogger hits ( lengkap dengan minimum DA/PA, alexa rank, niche blog, berapa kali di endorse produk, berapa kali dapat sepaket goodie bag cantik, hingga jumlah followers di media sosial lengkap dengan riwayat livetweet selama menjadi blogger), tutorial manasin motor supaya bisa jalan dan si dia tidak menunggu terlalu lama di Semarang, dan masih banyak lagi.

Untuk mengimbangi pergaulan dunia blogger yang semakin kapitalis halah, saya pun mencoba mengikuti arus yang ada. Hingga tercetuslah tutorial berikut ini. Eh, cara sih lebih tepatnya. Karena menurut saya tutorial terkesan terlalu menggurui.

Kita akhiri mukaddimah di atas dan lanjut ke inti cerita *olesin pomade 2 kilo*. Sebagai penyembah berhala bernama sepak bola, saya mempunyai beberapa cara agar kamu bisa menjadi fans sepak bola. Cara-cara ini khusus untuk kamu yang merasa wanita, laki-laki juga boleh nyimak sih kalo pacarnya gila bola. Begini;
sumber: benuailmu.com
1.      Keluarga
Tidak perlu jauh-jauh, keluarga bisa menjadi gerbang utama kamu agar suka sepak bola. Minimal, salah satu anggota keluargamu suka bola. Baik itu bapak, adik, atau pun abang kamu. Tapi akan lebih menjanjikan sih bapak, ya. Gini, tiap malam minggu tiba, kamu yang malam minggunya nggak ada yang jemput, otomatis akan mengisi waktu dengan menonton tv. Dan di saat yang sama, bapak kamu sedang asyik-asyiknya nonton bola yang tidak berjeda itu. Mulai dari liga Inggris, Spanyol, Jerman, Italia, hingga liga Torabika Cempiyensip antara Persipura vs Manchester United yang secara marathon berganti mewarnai layar kaca.

Dari pada malam minggu kamu hanya melihat media sosial yang sialnya, semua teman dunia maya mu sedang update lagi berduaan sama pasangan yang membuat kamu semakin tersiksa dan terus meronta akan status jomblo mu itu, maka mau tidak mau kamu akan ikut nonton sepak bola, bersama ayah tercinta. Dengan kehangatan khas seorang ayah, tanpa sadar kamu pun ikut larut pada sebuah euforia bernama sepak bola.

2,         Teman
Jika sekiranya keluarga tidak berhasil bikin kamu suka sepak bola, maka pengaruh teman bisa menjadi obat ampuh agar kamu mencintai sepak bola. Sebagai tempat pelarian ketika sedang dalam masalah, baik dengan pacar (kalo punya) dan keluarga, teman memiliki tingkat mempengaruhi yang cukup tinggi.
Di saat kamu sedang durjana meratapi nasib kesendirianmu di malam minggu, ditambah bapakmu di rumah asyik nonton sepak bola, dan ibumu makin hanyut dengan Tukang Bubur Naik Haji (yang sudah tidak ada lagi tukang buburnya. Ironis) pastinya kamu akan memohon pada seorang teman untuk menemani.
sumber: kompasiana.com
Dengan persiapan matang, dibalut baju merah merona (sesuai permintaan teman) kamu pun melangkah dengan pasti ke tempat yang sudah dijanjikan. Tanpa disadari, tempat yang dimaksud menjadi ajang acara nonton bareng sepak bola temanmu beserta koleganya. Perih? Bisa iya, bisa tidak. Toh, pakaianmu sudah seirama dengan para fans di sana. Jadi? Nikmati saja. Apa kamu mau maksa temenmu buat pindah tempat? Lho kok ya kamu nyolot sih? Udah ditemenin juga. Cih.

3.         Pemain Ganteng
Ini bisa dijadikan alasan untuk kaum hawa mencintai sepak bola. Semakin maraknya wanita yang mencintai si kulit bundar memang diakibatkan, salah satunya tampang pemain yang rupawan. Siapa yang sanggup mengedipkan mata (walau sedetik saja) ketika melihat David Beckham sedang mengambil ancang-ancang menendang bola? Kurang ajarnya, bapak satu ini makin tua malah makin jadi gantengnya.

Sebebal apapun kebencian kamu pada sepak bola, tentu kamu akan melongo juga ketika melihat aksi pemain-pemain yang tampan nan rupawan. Apalagi jika bola yang kamu tonton adalah liga Italia atau Spanyol dengan ciri khas kehangatan pemain-pemain latinnya.

Dalam ambekan yang sedang membuncah pada pacar sekalipun, akan muncul senyum sumringah ketika layar tv menyorot Adam Lallana, Emre Can, atau Loris Karius. Yha, Liverpool semua aja, Nda. Bahkan jika kamu penggemar om-om berjakun juga tidak perlu khawatir, masih ada paman Diego Costa yang akan membuat pacarmu gelap mata dan berasa tak berguna. Percaya atau tidak, cara ini berhasil saya buktikan. Tapi dulu, dulu banget.

4.         Pacar
Apa yang akan dilakukan seseorang pada pasangan? Ya, menuruti apa keinginannya. Demi menyenangkan tambatan hati agar tak lari ke hati yang lain. Salah satu cara jitu adalah menemaninya nonton bola. Tentu kamu akan meng-iya-kan saat doi ingin pergi nobar. Meski dengan berat hati, kamu pun setia menemani, agar tidak kehilangan satu momen penting pun selama menjalin kasih untuk diceritakan pada anak cucu kelak (kalo jadi). Terlebih lagi jika hubungan kamu masih seumur jagung. Sudah barang tentu kamu hanya manggut-manggut saja, kan? Kan? Ingat. You go, I go.

Pacar adalah senjata paling ampuh dan alasan paling cieee-able agar kamu suka sepak bola. Yha ((((cieee-able)))). Demi menjaga malam minggu kamu agar tetap berkualitas, nobar seakan menjadi kewajiban yang harus dijalani. Karena kamu tidak hanya bisa nobar, tapi juga bisa memadu kasih bersama. Dengan puluhan orang lainnya. hahah
sumber: bintang.com


Satu fakta baru yang perlu kamu ketahui adalah, malam minggu bukanlah waktu yang tepat untuk pacaran. Melainkan waktu bagi pecinta sepak bola memadu kasih antar sesamanya. Para expert politik pun dibabat habis oleh anak bola di lini masa tiap malam minggu tiba.   

Demikianlah tulisan receh saya tentang cara agar kamu suka sepak bola. Cara-cara di atas berlaku untuk semua kalangan dengan semua tingkatan kebencian pada sepak bola.

Bahkan buat kamu yang benci sepak bola sejak dalam kandungan, cara-cara di atas bisa kamu aplikasikan sendiri. Niscaya, kamu akan jatuh cinta dibuatnya. Jika tidak juga, silakan berteman dengan mereka-mereka yang pernah disebutkan seorang pujangga bernamaYosfiqar Iqbal dalam sebuah percakapan bersama.


Tulisan tentang cara lainnya bisa kamu lihat di


"Tulisan ini adalah proyek menulis dari w-buy"









Bentornato Serie A
sumber: redaksisport.com

 Bukan, saya bukan buzzer Trans 7 yang menjadi official TV partner Liga Italia. Saya hanya pecinta keindahan Liga Italia yang gaungnya kembali bisa kita rasa, seiring mengudaranya Serie A di layar kaca.

Sudah cukup lama memang kita tidak bisa menikmati para gladiator lapangan hijau dari negeri pizza. 
Kepopuleran yang terus merosot, ditambah minimnya pemain bintang memaksa stasiun televisi (lokal) enggan membeli hak siar Liga Italia. Lowongnya kursi-kursi tribun tifosi di stadion semakin menenggelamkan gemerlap Liga yang sempat mahsyur pada medio 90-an hingga awal millenium baru.

Banyak yang beranggapan jika merosotnya liga Italia diakibatkan oleh kasus calciopolli yang menggerogoti negara yang baru saja di tinggal perdana menterinya tersebut, pada 2006 lalu, belum lagi kiprah club-club Italia yang tidak bisa melaju lebih jauh di kancah Eropa semakin membuat Serie A di tinggal oleh penggemar setianya, juga para pemilik media televisi.

Di Indonesia sendiri, hampir semua stasiun TV pernah merasakan dampak manis akibat menyajikan Liga Italia. Mulai dari ANTV, RCTI, SCTV, Indosiar, Trans 7, Kompas TV, hingga TVRI. Dan tiga tahun terakhir, tidak ada satu media televisi pun yang sudi menayangkan Serie A dengan beberapa alasan. Hingga pada akhirnya, musim ini Serie A kembali ke pangkuan Trans 7 yang mulai memanjakan tifosi tanah air sejak dua minggu lalu. Meskipun tidak menayangkan sejak awal musim, para pecinta keindahan sepak bola Italia di Indonesia tetap mengapresiasi dan angkat topi pada stasiun TV yang kebetulan satu grup dengan tempat perusahaan saya bekerja.

Kita semua kembali disuguhkan sepak bola indah khas Italia tanpa harus membayar satu rupiah pun di penghujung bulan. Meski saat ini pihak Trans 7 hanya bisa menyanggupi satu pertandingan dalam satu minggu, ini tentu tidak menjadi soal. Karena nyatanya, ini hanya permulaan agar ke depan Trans 7  bisa menayangkan 2 atau bahkan 3 pertandingan setiap minggu nya. Semoga.

Meski sempat kecewa karena batalnya Derby Milano tersiar di layar kaca. Seminggu berselang, kegelisahan pecinta liga Italia benar-benar terbayar saat Inter Milan v Fiorentina kembali menghiasi TV kita. Terutama saya yang sangat haus akan kerinduan menyaksikan La Beneamata (julukan Inter Milan) bertanding. Terus terang saja, terakhir kali saya menyaksikan Inter bermain kala melakoni Derby Milano dua musim lalu yang dimenangkan Inter lewat gol backhill Rodrigo Palacio. Bukannya tak cinta dan tak sayang, apa boleh dikata, Erik Tohir telah merusak cerita indah saya.

Apa yang dirindukan penggemar sepak bola Italia pun terbayar lunas, setidaknya itu dirasakan fans Inter Milan di tanah air setelah pihak TV memilih menayangkan club pujaan mereka. Perasaan Interisti pun semakin berbinar kala club kesayangan bermain kesetanan pada awal laga dan langsung unggul 3-0 pada 20 menit pertama.

Yang benar-benar dirindukan itu pun kembali. Sebuah kerinduan yang tak bisa diganti oleh liga Spanyol dan Inggris. Bahkan Liverpool sekalipun. Menyaksikan kemenangan Inter untuk pertama kali diiringi gemuruh seisi Gueseppe Meazza. Lewat dentuman-dentuman ledakan yang acap kali menghiasi pertandingan Serie A seakan membawa saya kembali ke zaman di mana liga Italia menjadi komoditi nomor satu pecinta sepak bola Indonesia.

Kita tidak akan bisa mendengar semacam ledakan di Liga Eropa lainnya. Karena hanya memang Liga Italia yang bisa menawarkan hal itu. ketika di Inggris, Spanyol, dan Jerman menganggap itu membahayakan, Liga Italia tetap menjadikannya sebuah keindahan yang selalu  dirindukan.

Nostalgia Serie A Italia semakin terasa nikmatnya saat disetiap gol tercipta, seluruh penonton meneriakkan nama belakang sang pencetak gol secara serempak. Terhitung hingga tiga atau sampai lima kali para tifosi meneriakkan nama pencetak gol yang dikomandoi oleh leader mereka. Dan lagi-lagi, ini tidak saya temukan kala menyaksikan pertandingan di Inggris atau Spanyol.

Budaya seporter-seporter di Italia memang sedikit berbeda dibanding seporter yang ada di Spanyol dan Inggris. Mereka cenderung sama dengan fans asal Eropa timur atau Turki yang spontan dan terkesan beringas dalam mendukung tim. Di waktu yang bersamaan, fans-fans di Inggris dikenal sangat “santun” mendukung tim kesayangan, bahkan saat awayday sekalipun (terlepas dari aksi Hooligans tim nasionalnya yang brutal).

Kita hampir mustahil melihat stadion di Italia tanpa amukan asap yang mengepung seisi lapangan. Sekalipun tribun penonton tidak terisi penuh, tapi hampir bisa dipastikan jika lapangan pertandingan menjadi gelap dipenuhi asap yang berasal dari flare dan smoke bomb. Dan semakin indah oleh kibaran banner-banner besar serta bendera raksasa yang selalu menghiasi stadion.

Belakangan, di Inggris, Liverpool beberapa kali mulai mewarnai tiap sudut stadion dengan smoke bomb merah yang kerap mengasapi saat tim kesayangannya mencetak gol. Tapi sialnya, club harus menanggung hal tersebut kala FA menjatuhi sanksi akibat ulah Liverpudlian. Alasannya cukup sederhana, smoke bomb, flare, dan sejenisnya memang dilarang di sepak bola Britania.

Beberapa tahun lalu, ketika Liga Italia masih mendapat tempat di TV Indonesia, mata saya harus menatap lebih dalam ke pertandingan akibat lapangan yang tertutup pekatnya asap dari para seporter. Terkesan mengerikan memang, tapi itu lah identitas mereka, daya tarik mereka. Dan itu pula yang selalu saya rindukan dari Liga Italia.

Untuk beberapa kalangan, hanya buang-buang waktu saja menyaksikan liga Italia karena permainannya yang lambat dan cenderung membosankan, tapi bagi pecinta keindahan sepak bola, Liga Italia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, lewat fenomena seporter yang tanpa takut membela tim kesayangan, hingga panorama gol-gol indah dari para gladiatornya yang hanya terjadi di liga Italia. Bagi saya, tidak ada pemain dari belahan dunia manapun yang mampu mencetak gol semagis Fransesco Totti atau Antonio DI Natale.

Maka tidak ada kata terlambat sekiranya media tanah air baru memanjakan pecinta Serie A di tengah kompetisi. Seperti kata Fiersa Besari sekalipun saya bukan penggemar blio dan tidak pernah baca buku-bukunya “seperti dendam, rindu juga harus dibalas tuntas,”. Karena liga Italia selalu menawarkan kita sebuah keindahan sepak bola. Ya, Beauty Of Serie A.
sumber: radarindo.com

Selamat datang kembali, Serie A

  
Di sebuah ruangan saya tertegun, merasa hampa di tengah keramaian, tertunduk lesu di samping kolega yang saling bercengkrama. Mata saya, hati saya, pikiran saya, tertuju lurus ke headline berita yang muncul di lini masa.

Keesokan harinya, hati saya makin lirih saat melihat foto seorang anak yang duduk hingga tertunduk di antara tribun penonton yang tak berpenghuni, seolah ia tak sanggup melihat masa depan dan tak ingin melihat ke belakang. Sejenak namun penuh khitmat ia memanjat doa untuk mereka yang baru saja tiada, memupuk kembali harapan yang sempat sirna lewat memori indah dari para pahlawannya.
bola.net
Chapecoense, club Serie A Brazil yang setahun belakangan menjadi buah bibir di dataran Amerika Latin karena keberhasilan mereka menembus final Copa Sudamericana menjadi inti cerita. Tidak ada yang menyangka (termasuk mereka yang ada di sana) bahwa malam itu adalah terakhir kali mereka melihat dunia.
Gelar yang mereka idamkan sejak lama, yang sudah di depan mata, tak pernah benar-benar menghiasi lemari Stadion Arena Conda, yang pada akhirnya, gelar tersebut turut serta mereka bawa ke surga, bersama 71 nyawa yang juga terbang ke sana.

Ini tentu bukan kejadian pertama di dunia sepak bola. Jauh sebelum kecelakaan pesawat menimpa skuat Chapecoense, Manchester United dan Torino sudah lebih dulu merasakan betapa pilunya tragedi serupa. Dengan korban nyawa yang tak terkira.

4 Mei 1949, menjadi hari yang tak pernah bisa dilupakan seisi penduduk kota Turin. Torino, club besar Italia (ketika itu) memulai cerita getir tersebut. Peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Superga ini menewaskan seluruh awak pesawat, tak terkecuali punggawa Torino, yang saat itu dihuni pemain-pemain bintang. Lebih pahit, peristiwa nahas ini sekaligus memutus rantai sebuah generasi emas di masanya.

Lawatan Torino ke Lisbon, Portugal, untuk memenuhi undangan pemain Benfica, Francisco Jose Ferreira yang hendak gantung sepatu berbuah petaka. Kepulangan mereka ke Turin tak direstui semesta. Badai besar datang, menghantam pesawat hingga ke perosok bukit Superga, yang kemudian melenyapkan semua kebahagiaan mereka, nyawa mereka, hingga tak tersisa.

Italia berduka, bukan hanya karena kehilangan generasi emasnya, tapi kehilangan orang-orang yang tak berdosa, orang-orang yang mereka cinta. Torino, tanpa para bintangnya seolah enggan melanjutkan liga, karena hanya menyisakan para pemain belia. Hingga pada akhirnya, pertolongan datang dari seluruh belahan Italia. Salah satunya, Inter Milan yang turut serta membantu dan memberikan Scudeto Serie A nya untuk Il Toro.

Sandro Mazzola, yang ayahnya menjadi korban Superga (Valentino Mazzola) sekejap jatuh hati pada Internazionale, dan ingin membalas jasa club asal Milan tersebut dengan memperkuat tim dan mempersembahkan banyak gelar bergengsi, yang kemudian menjadikannya legenda hidup Nerrazzuri.

Sejarah kelam itu pun berlanjut. Tepat di Bandara Munich, Jerman Barat (saat itu Jerman masih terbagi 2 bagian), menjadi hari paling kelabu bagi sepak bola Inggris. Manchester United, club besar Britania raya menambah kelam cerita dari dunia sepak bola. Hampir serupa dengan apa yang terjadi pada Torino, pesawat yang ditumpangi “The Busby Babes” gagal lepas landas. Landasan pacu yang sudah tertutup salju harus memaksa pesawat kembali jatuh dan menewaskan sebagian pemain United.

Menyisakan pemain seadanya, termasuk Sir Bobby Charlton yang selamat dari peristiwa, United kembali melanjutkan hidup di belantara sepak bola Inggris. Alhasil, mereka tak dapat berbuat banyak, dan terkatung-katung beberapa musim di klasemen. Tawaran Liverpool untuk meminjamkan beberapa pemainnya juga tak serta merta memperbaiki posisi “Setan Merah”. Selayaknya Torino yang kehilangan generasi emasnya, Manchester merah kembali dari titik nol untuk menjadi club tersukses Inggris hingga saat ini.

Seperti Torino dan Manchester United, dunia kembali berkabung untuk Chapecoense yang tengah menggoreskan tinta emas di kancah Conmebol. Mengingat, club yang berdiri pada 1975 itu baru promosi ke kasta tertinggi liga Brazil pada 2014 lalu. Tidak hanya Brazil, seisi dunia menangis mendengar kabar yang tak pernah kita inginkan itu.

Pasca tragedi, pemerintah Brazil menetapkan hari berkabung nasional selama 3 hari, otoritas liga pun menghentikan semua pertandingan di semua tingkat kompetisi untuk mendoakan mereka yang tak pernah kembali, kompetisi di belahan benua lain menunduk sejenak, silent of minute diheningkan khusus untuk saudara seperjuangannya.

Stadion Arena Conda bergemuruh pilu dua hari setelahnya, puluhan ribu orang memadati kandang Chapecoense untuk memberi penghormatan terakhir. Warna hijau (warna kebesaran club) menyatu bersama puluhan ribu gugusan cahaya yang dipancarkan seisi stadion, tangisan puluhan ribu orang pun pecah ketika layar raksasa memperlihatkan wajah-wajah pahlawan mereka yang sekarang sudah di surga.

Di Kolombia sendiri, tepatnya di kandang Atletico Nacional, tempat di mana semestinya Chapecoense berada, doa juga dipanjatkan oleh seluruh fans Atletico. Tak satu pun fans tuan rumah yang batal hadir setelah kejadian. Mereka justru berbondong-bondong, serempak mengenakan pakaian putih untuk mengiringi calon lawannya (yang tak pernah tiba) ke tempat peristirahatan terakhir. Tak sampai di situ, club papan atas Kolombia tersebut memohon kepada Conmebol agar trofi juara Sudamericana diberikan kepada Chapecoense.
bola.okezone.com
Dengan segala kerendahan hati, sepak bola lagi-lagi mengajarkan kita apa itu kehidupan dari titik paling dasar. Club-club besar Brazil seperti Palmeiras, Corinthians, Santos mengajukan para pemainnya untuk memperkuat Chapecoense secara cuma-cuma. Bahkan, club asal Paraguay, Libertad, juga melakukan hal yang sama. Tujuannya jelas, agar Chape tetap hidup, agar para fansnya tidak kehilangan harapan, agar generasi yang sudah tertulis tidak hilang begitu saja. Tak sampai di situ, seluruh club di Brazil juga memohon kepada CBF (federasi sepak bola Brazil) agar Chape tidak di degradasi, setidaknya hingga tiga tahun mendatang.

Sekali lagi, sisi humanis sepak bola kembali tampak jelas dari semua insannya. Kita tentu masih ingat petaka yang menghampiri Alberto Morossini yang meregang nyawa di tengah lapangan. Ketika pemain Livorno tersebut tak mampu bangkit setelah beberapa kali jatuh akibat serangan jantung. Italia berkabung, seluruh kegiatan liga, baik Serie A hingga liga Pro dihentikan selama dua minggu lamanya untuk mengenang kepergian pemain pinjaman Udinese terebut. Tak hanya itu, Udinese sebagai club pemilik Morossini pun berjanji akan membiayai kehidupan seluruh keluarga yang ia tinggalkan, sebagai penghormatan terakhir padanya.

Atau bagaimana perhatian fans Aston Villa yang tak pernah pudar pada mantan kapten mereka, Stiliyan Petrov yang harus gantung sepatu lebih awal akibat penyakit Leukemia akut yang ia derita. Pemain berdarah Bulgaria tersebut dilarang bermain sepak bola setelah di diagnosis dokter bahwa penyakitnya dapat membahayakan nyawa sang kapten jika tetap bermain bola. Fans pun tak henti-hentinya memberi dukungan untuk kapten pujaan mereka.

Tak tanggung-tanggung, setiap pertandingan Aston Villa berlangsung di kandang, fans selalu berdiri dan bertepuk tangan tepat di menit ke 19 (19 adalah nomor punggung Petrov di Villa) sebagai bentuk dukungan agar Petrov kuat menghadapi penyakit yang ia derita. Hingga pada akhirnya, angka 19 pun di pensiunkan The Villans untuk menghormati jasa mantan pemain CSKA Sofia tersebut.

Sebagai club yang sebelum kejadian namanya begitu asing di telinga kita, tentu Chapecoense akan terus menelurkan cerita-cerita inspirasi bagi kita semua, tidak hanya mereka, tapi seluruh insan sepak bola yang akan turut serta menyempurnakan harapan para pemuja yang telah ditinggal pahlawannya. Seperti Ronaldinho Gaucho dan Juan Roman Riquelme yang sukarela turun gunung untuk kembali menyinari cahaya seisi Arena Conda.

Sepak bola, sebesar apapun kebencian kita padanya, nyatanya kita tidak bisa mendustakan diri bahwa ia banyak mengajarkan kita bagaimana memperlakukan manusia lewat cerita getir tak terkira. Tak peduli asal negara, antara siapa dan siapa, atau siapa dan untuk apa. Atas namanya, sepak bola tak hanya menjalani sebuah kehidupan, tetapi juga menghidupi kehidupan. Lewat sepak bola pula, kita bisa memanusiakan manusia (lainnya).




Baru-baru ini saya sempat dihardik seseorang begini “susah sih kalo emang nggak punya passion nulis,” di sebuah percakapan grup. Cukup beralasan memang ia berkata demikian, ia jengah melihat tulisan saya yang masih salah spasi, salah ukuran gambar, ya intinya salah lah.
source: lapastelly.com


Sebagai penganut hadist sahih “perempuan selalu benar” saya pun mengakui kesalahan-kesalahan itu. Dan memang hal tersebut masih menjadi permasalahan dalam diri saya, gaya penulisan saya. Tapi, ini bukan perihal passion tentu saja.

Hmmm…gimana ya, sebenarnya saya ingin mengatakan ini pada beliau, tapi ya itu tadi, akan terbentur hadist di atas. Oleh karena itu saya jadikan tulisan saja (yang sepertinya akan tetap ada kesalahan-kesalahan tata bahasa…hahaha)

Tak bisa dipungkiri, keberanian saya untuk menulis hanya modal nekat semata. Rasa malas yang sering menghinggapi ketika harus membaca buku yang terus menumpuk semakin menghanyutkan saya dalam kegamangan tata penulisan yang benar. Saya cukup jarang memerhatikan tanda baca, spasi, dan bahasa. Sedari awal membaca, saya selalu terfokus dengan isi cerita dan mengabaikan hal lain yang sama pentingnya.
Tapi sekali lagi, ini bukanlah masalah passion. Ini lebih kepada masalah tidak mau belajar dan lebih teliti lagi. Sebagai pembaca, saya lebih nyaman membaca sebuah tulisan yang memiliki kekuatan dalam cerita, sekalipun banyak spasi yang ke sana sini, tanda baca dan kata yang tidak sesuai kaidah bahasa, dari pada saya harus membaca tulisan yang sangat detail dengan segala tetek bengek KBBI tapi abai dengan isi cerita dan cara menyajikannya. Dan ini cukup sering saya temukan ketika membaca beberapa tulisan yang sangat rapi secara kaidah bahasa, tapi hancur dari segi cerita. Ini opini saya pribadi lho ya!

Memang, jika isi cerita sama bagusnya dengan tata bahasa akan menjadi sempurna untuk kita baca. Semua orang pun menjadikan kedua hal ini sebagai kewajiban yang harus dilakukan, tak terkecuali saya. Tetapi tidak jarang saya tetap bisa menikmati tulisan yang hanya fokus pada isi ceritanya.

Dan percayalah, lambat laun, setiap membaca sebuah karya, saya semakin concern dengan setiap kata yang ditulis. Diksi-diksi yang diciptakan semakin saya dalami, tata bahasa yang baik dan benar pun semakin saya geluti, supaya kualitas tulisan saya membaik. Bukan untuk menumbuhkan passion tentu saja. Karena, jika tidak punya passion tidak mungkin saya berani menulis dengan modal nekat tadi. Tanpa passion pula, mustahil rasanya blogspot berubah menjadi com yang kemudian berbuah Tetralogy Pramoedya Ananta Toer.

“Tulisan yang baik adalah tulisan yang berasal dari kegelisahan,” kata seorang penulis terkenal (saya lupa namanya). Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, latar belakang dari setiap isi tulisan saya memang berdasarkan kalimat di atas. Baik itu sepak bola, politik, sosial budaya, bahkan tulisan hiburan pun berawal dari kegelisahan yang muncul dari pemikiran saya. 

Lagi-lagi. Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, tanpa sadar saya telah mengamini apa yang selama ini Pram katakan, “menulis adalah sebuah keberanian. Dan keberanian adalah ketulusan,” lewat modal nekat yang saya katakan di atas. Sepemahaman saya, nekat juga merupakan bagian dari passion, bukan? Jadi, selama proses pembelajaran ini berlangsung, dengan segala hormat saya bertanya, passion setingkat apa yang kamu tuntut dari tulisan saya? Apakah saya harus menggebu-gebu layaknya mz Komo yang senantiasa mengumbar urat nadi dalam setiap kata yang diucap ketika memandu dede-dede galau di “Katakan Putus”? atau kah, passion saya harus selantang suara mz Cakra Khan yang semakin serak-serak seret itu? atau jangan-jangan, saya harus menjadi bloger goodie bag dulu untuk mengukur sejauh mana passion saya?

Dari sini, muncul kegelisahan baru dalam diri saya, apakah mereka yang menulis hanya untuk alasan komersil masih memiliki passion yang sama saat pertama kali menulis?  

Hingga kini (dan nanti), alasan saya nge blog hanya menulis, dan berbagi cerita, itu saja. Alih-alih memikirkan berapa DA/PA, berapa Alexa Rank, berapa followers di Twitter (terlebih lagi Instagram). Jangankan mikirin istilah-istilah di atas, sampai sekarang saya bahkan tidak tahu dan terkesan tidak mau tahu apa itu DA/PA, apa itu Alexa Rank yang diagung-agungkan para bloger. 

Di sisi lain, saya cukup sepakat dengan pendapat salah satu teman, yang menekankan bahwa tidak ada masalah passion yang hinggap di benak saya. Tapi tidak mau belajar, dan membenahi kesalahan yang lalu, yang memang sangat tampak dan menjadi titik lemah di tulisan-tulisan saya selama ini.

Sekalipun menurut logika beliau saya tetap tidak memiliki passion, toh, saya masih bisa bersyukur dengan keadaan seperti ini. Setidaknya tanpa passion yang ia maksud itu, saya tak perlu repot-repot mengejar dateline. Ya, dateline



2016 masih menyisakan satu bulan lagi. Tapi tidak berarti sebelas bulan nihil cerita dari tahun Monyet api ini. Bukan cerita biasa pastinya (karena saya memang tidak suka hal yang biasa) terus aja nda.

Ada beberapa kejadian di tahun ini yang membuat saya berdecak kagum, mengernyitkan tawa, menyumpah serapah, atau hanya sekedar menghela nafas. Meski semua kejadian tidak terekam jelas di ingatan, tapi cukup menguras perhatian saya untuk tidak berpaling sedetikpun dari (jika boleh saya katakan sebagai) beberapa fenomena ini.

1.       Leicester City
Kejutan pertama datang dari ranah sepak bola, ketika Leicester City menghancurkan harapan semua orang saat mereka menasbihkan diri menjadi raja baru di Inggris. Tidak ada yang menyangka The Foxes (julukan Leicester) menjuarai liga. Hanya bermodalkan pemain seadanya, ditambah pelatih yang (juga) hanya seorang Claudio Ranieri, Leicester menggila sepanjang musim 2015-2016.

Lebih gila lagi, “si rubah” menjuarai liga sebelum kompetisi berakhir. Konsistensi permainan tim membuat Riyadh Mahrez, Ngolo Kante, Jamie Vardy, dan kolega menenggelamkan skuat mewah duo Manchester, Chelsea, Arsenal, terlebih lagi…..Liverpool.

Hingga jelang berakhirnya kompetisi pun, kita semua masih percaya jika mereka akan terpeleset di penghujung liga. Bahkan, Gary Lineker berani bertaruh tanpa busana jika club milik taipan Thailand tersebut benar-benar menjadi juara. Sampai pada akhrnya Leicester benar-benar membuktikan bahwa ketidakmungkinan bukan hanya terjadi dalam dongeng saja.

Kehebohan Leicester City pun berlanjut musim ini, tapi dengan cerita sebaliknya. Ketika kedigdayaan mereka musim lalu hilang tak tersisa. Terjebak di posisi 13 klasemen, tanpa nama Jamie Vardy di table Topscore, mereka akhirnya kembali menginjak tanah setelah sepanjang musim lalu terbang ke atas.

2.       Portugal
Setali tiga uang dengan Leicester city di Inggris. Portugal melengkapi keajaiban sepak bola tahun ini, saat Cristiano Ronaldo cs berhasil membuat perusahaan judi rugi miliaran Euro di bursa taruhan. Melaju ke semifinal tanpa mencatatkan satu pun kemenangan, Negara semenanjung Iberia berhasil menggotong piala Henry Delaunay untuk kali pertama.

Menginjakkan kaki di final dan berhadapan dengan tuan rumah, Perancis, jelas tidak ada yang memiliki nyali lebih untuk menjagokan Selecao, apalagi Perancis memiliki rekor mentereng selama turnamen berlangsung.

Maruah Portugal semakin hancur saat pangeran lapangan mereka, Cristiano Ronaldo meringis sakit karena cedera, yang sekaligus membuat CR7 bergelimang air mata ketika ditandu keluar lapangan. Seluruh pemain, fans, seolah pasrah menanti berapa gol yang dilesakkan Perancis ke gawang mereka.

Hingga pada akhirnya, Eder muncul sebagai dewa penyelamat saat gol nya di masa extra time menghilangkan rasa sakit dan tangis seorang Cristiano. Juga membuat hutang Luis Figo, Rui Costa, Pauleta pada 2004 lalu terbayar lunas. Meski permainan Portugal tidak menghibur (bahkan cenderung membosankan), tim besutan Fernando Santos memang layak mendapatkan gelar pertama mereka.

3.       Mars Perindo
Tidak ada hal yang lebih menarik di dunia ini selain fenomena politik Indonesia. Kali ini, saya ingin bertanya terlebih dahulu. Adakah dari kalian yang tidak hafal mars Perindo? Lho, ada ya. Lancang betul kalian ini nggak hafal mars Perindo. Nggak punya TV kalian?

Begini ya, kanal TV pak HT ini kan banyak. RCTI, Global TV, MNC TV, I News TV, belum lagi channel-channel yang tersebar di Indovision. Dengan media sebanyak itu, neraka jahanam telah menunggu kalian yang nggak hafal lagu tersebut. Belum lagi, saban iklan mengudara di layar tv, mars Perindo senantiasa menemani. Bahkan, jika di kalkulasikan, kemunculan mars Perindo (bisa jadi) sudah setara dengan penayangan Tukang Bubur Naik Haji. Masih belum hafal juga? Memang, kalian semua penuh dosa, pak HT suci!!!

Dengan fakta di atas, kalian masih menginkari jika Perindo itu benar-benar ada? Kalian masih meragukan kapabilitas pak HT yang mampu mensejahterakan bangsa ini dari……………..basement hingga lantai 29 MNC Tower?  Dan kalian masih mengira jika bu Lilliana Tanoe selalu tegang di depan kamera? Hastapilulloh. Kita sama gaes.

4.       Demo 411
Sudah setiap tahun, demo menjadi sebuah keharusan di negeri ini. Baik itu mahasiswa, buruh, atau PNS. Tapi, yang terjadi awal bulan ini menjadi pembeda. Aksi yang tepat dilakukan selepas shalat Jum’at meninggalkan cerita tersendiri. Bagaimana tidak, aksi yang di prakarsai Front Pembela Islam (FPI) ini tidak hanya berasal dari massa ibukota, tapi juga seluruh Indonesia.

Tidak Cuma FPI pula yang ambil bagian, tetapi hampir semua ormas juga larut dalam demo itu. Tak heran, jika separuh ibukota menjadi lautan putih. tidak ada ketakutan berarti ketika semua elemen merangsek ke titik temu, Bunderan HI, yang diiringi lantunan takbir sepanjang jalan.

Terlepas dari benar tidaknya bahwa aksi “411” ditunggangi kepentingan poiitik, bagi saya, aksi ini tetaplah menjadi pembeda. beda karena semua umat bersatu, beda karena mereka yang dikenal anarkis (baca: FPI) bisa menjaga ketertiban selama demo berlangsung. Walau akhirnya massa HMI yang mengawali keributan

5.       Laundry Dirjen HAM
Inilah kasus yang paling menjijikkan tahun ini. Ketika se-indonesia berang karena bukti TPF Munir hilang, Dirjen HAM, Mualimin Abdi, justru kelimpungan mendapati jas dan batiknya kusut setelah menggunakan jasa laundry.

Tidak main-main, blio tanpa ampun menuntut pengusaha laundry ganti rugi sebesar 200 juta. Duh gusti, ini bajunya cuma kusut, bukan hilang atau berubah warna. Lha langsung nuntut ganti rugi. Sepenting itu kah baju kusut ketimbang nyawa seseorang yang masih belum dipertanggung jawabkan? Belum mengembalikan hak keluarga Munir yang dirampas, dirjen HAM justru ingin merampok hak orang lain dengan menuntut orang seenak udelnya.

Sekalipun tuntutan tersebut dicabut, kejadian ini tetaplah menjadi catatan memalukan bagi dirjen HAM yang katanya memperjuangkan hak-hak manusia. Sekaligus membuka mata kita bahwa semua elemen di atas sana memang di didik bagai priayi yang cengeng.

6.       Jaket Jokowi
Jujur, saya kurang mengerti kenapa kejadian ini bisa menjadi viral. Entah di mana pula istimewanya jaket tersebut. Memang presiden nggak boleh pake jaket? Saya pun tidak tahu asal muasal Jokowi memakai jaket yang disinyalir produksi Zara itu.

Yang pasti kita sudah terlalu lebay dalam bertindak. Lebay bukan karena dalam sekejap kita memburu jaket sejenis (baik yang asli atau juga KW) tapi lebay karena di era kepemimpinan SBY, tidak satu album pun kita sudi membeli karya blio. Padahal sudah lima album dikeluarkan selama 10 tahun menjabat kepala Negara. Rakyat macam apa kalian? Hah!!!

7.       Donald Trump
Mari kita sambut dengan penuh gemuruh presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump. Untuk yang satu ini, bisa dikatakan mimpi di siang bolong bagi Trump sendiri. Betapa tidak, selama kampanye ia lebih banyak dicaci karena banyak kebijakannya yang tidak populis dan mengundang amarah.

Ini juga diperkuat dengan rasa jumawa Hillary Clinton yang sudah yakin jika kemenangannya hanya menunggu waktu. Tapi, lagi-lagi, ini 2016. Tahun dimana sesuatu yang mustahil akan terjadi.  Selisih suara yang tipis akhirnya mengantar Trump (dengan leluconnya) duduk di gedung putih.
nationalreview.com
Lucunya, pasca kemenangan Trump, rakyat Amerika turun ke jalan di beberapa Negara bagian menolak hasil pemilu, dan tak jarang berakhir ricuh. Bahkan katanya ada pula yang pindah warga Negara karena enggan dipimpin oleh pengusaha sukses tersebut.

Dengan segala popularitas yang Trump miliki, ia mampu menghipnotis warga Amerika untuk memilihnya. Meskipun kebijakan Trump akan merugikan banyak orang (siapa tahu lho ya) mereka tidak peduli. Mengingat yang membuat mereka memilih seorang Republikan bukanlah sosok Donald Trump sendiri. Melainkan Fadli Zon dan Setya Novanto.

Hingga pada akhirnya. Keajaiban-keajaiban tahun ini pun mencapai pada puncaknya. Sebuah klimaks dari semua kisah di atas. Keajaiban yang membuat hujan sedari awal enggan beranjak dari setiap cerita. Sebuah cerita yang rasa-rasanya tidak cukup hanya diungkapkan lewat kata, melainkan dengan rasa. Karena ini bukan tentang mereka. Tetapi, KITA. 


hijau hitam kini kembali
tegakkan panji
panji keadilan
sumber: kanetindonesia.com

lirik di atas adalah sepenggal semboyan wajib organisasi mahasiswa terbesar tanah air. Organisasi yang telah menghasilkan bapak-bapak bangsa negeri ini. Termasuk di dalamnya, Munir Thalib Said.

Tidak cuma Munir dan bapak-bapak tersebut yang bangga menjadi bagian dari organisasi ini. Saya, yang bukan apa-apa juga turut bangga menjadi bagian tak terpisahkan (secara moral) dari sang hijau hitam.

Kepekaan Munir pada rakyat telah membuat nyawanya dihilangkan oleh mereka yang takut kejahatannya dibongkar. Sungguh sayang, karena tak terasa kejadian ini seolah dilupakan oleh generasi selanjutnya yang buta, bisu, dan tuli akan sejarah yang pernah mendera negeri ini.

Popularitas Pilkada (pemilu), tebalnya kantong senior di pemerintahan, rasa-rasanya sukar untuk ditolak generasi sekarang. Sehingga, yang terjadi kemudian adalah gejala-gejala dehumanisme yang semakin banal mengatasnamakan kehidupan berdemokrasi. Tentu bagi mereka tak jadi soal menabrak peraturan dan meninggalkan sang pahlawan kemanusiaan dalam kubangan misteri. Karena satu, yang penting kanda senang.

Mereka, yang sejatinya mahasiswa, sudah dibebani kepentingan pemilik modal dari level paling dasar. Level yang seharusnya dimanfaatkan untuk belajar dan meramu pola pikir agar tetap menjunjung panji keadilan. Kini, keharusan itu pun direnggut oleh para senior yang membutuhkan dukungan dari bawah. Yang sialnya, mereka di bawah juga tidak kalah merengek memohon satu, dua proyek.

Kader baru, yang sedari awal diimingi nama-nama menawan yang telah berjasa dalam perjalanan bangsa ini, akhirnya hancur perlahan akibat ketamakan dan kelaparan mereka sendiri yang ingin sesegera mungkin naik kelas, tanpa mengikuti proses terlebih dahulu, tanpa belajar dan memilah mana yang benar mana yang buruk, mana kanda yang baik, mana kanda yang busuk.

Akibatnya, mereka lupa dengan identitasnya, lupa AD/ART yang tertulis jelas di buku sakunya. Lebih parah lagi, mereka lupa dan acuh pada orang yang telah membesarkan organisasinya. Orang yang nyawanya dirampas paksa di udara.

Lalu. Apa yang mereka bela? Apa yang mereka perjuangkan? Apa yang mereka kerjakan? Seperti kalimat di atas, mereka hanya mengikuti kehendak para kanda di mejanya (juga di penjara). Melakukan apa yang sudah diperintah. Sebagaimana kanda-kanda itu yang sudah (me)lupa(kan) Munir Thalib Said, dan menurunkannya pada mereka. Kawan-kawan saya.

Ketika bukti Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir dinyatakan hilang (jika tidak mau dikatakan dihilangkan), mereka yang notabene berada di bawah payung yang sama dengan almarhum justru tidak bergeming satu huruf pun. Aksi? Jangankan ini, sekedar kicauan di media sosial pun tak dijamah selayaknya pasangan calon pemimpin yang saban hari didukung. Lebih gawat lagi, tak ada satupun kader organisasi berlambang bulan bintang ini yang mempertanyakan bukti TPF tersebut (seingat saya).

Mereka, kebanyakan kader-kader organisasi yang bersejarah itu, secara berkala menistakan jubahnya sendiri, men-durhaka-kan diri dari seorang yang bernama Munir. Sebuah generasi baru yang enggan menggali kembali sejarah untuk mencari kebenaran “yang lain” dalam sebuah catatan masa lalu. Padahal, mereka para saksi sejarah yang harus, dan terus mengungkapkan kebenaran.

Alih-alih mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam kasus Munir, mereka, justru asyik mengamankan kekayaan tirani paling sohor di negeri ini. Membela mati-matian koruptor yang istrinya seorang walikota pinggiran Jakarta, dan bersaudari gubernur yang sudah di penjara.

Atau, menjadi tameng nomor satu mantan ketua pengurus besar yang entah kapan menggantungkan dirinya di Monas, dan kini justru mengibarkan partai baru (di balik jeruji) setelah pecah kongsi dengan partai penguasa sebelumnya. (saya belum tahu apakah partai nya lolos verifikasi Kemenkumham. Karena sudah tidak terdengar lagi gaungnya)

Mereka rela mengorbankan keadilan dan nuraninya demi berbakti pada kanda-kandanya yang laknat itu, hanya karena sang kanda royal dalam setiap kegiatan keorganisasian. Pertanyaannya adalah, di mana nilai-nilai dasar perjuangan yang selalu didengungkan? Ketika yang diperjuangkan hanya berlaku pada kanda yang masih hidup sekalipun di penjara dan menghidupi mereka.

Hal demikian tampaknya sudah menjadi mata rantai yang berjenjang setiap organisasi, terlebih organisasi mahasiswa yang tak bisa lepas dari para senior yang sudah nyaman di kursinya. Belum lagi, budaya meminta yang tiap kali wajib dilakukan jika telah tiba jadwal pelatihan. Meminta, lalu mengabdi pada yang memberi. Tanpa peduli dengan nilai-nilai kebenaran.

Menjual nama kanda-kanda yang sudah besar di negeri ini tidak salah memang, bahkan ini perlu dilakukan untuk menimbulkan ketertarikan bagi kader baru yang memang butuh sosok panutan. Tapi tentu kita tidak perlu membela mereka yang salah, yang menimbun kasus, dan terpenjara. Kita tidak perlu repot menjadi relawan para terdakwa, memuji setinggi langit, bolak-balik penjara untuk membesuk agar dapur organisasi tetap mengepul.

Di lain sisi, kita lupa dengan kanda yang bertaruh nyawa untuk membesarkan negeri ini, mengharumkan organisasi ini, seorang kanda yang telah mengembalikan hak asasi jutaan warga negara, yang tragisnya tak mampu menyentuh hati para dinda masa kini yang semakin culas, yang hanya berorientasi pada rupiah dan keagungan semu seniornya. Ada dimana mereka ketika kawan-kawan Kontras serta Suciwati (istri Munir) harus bertarung sekali lagi untuk mengungkapkan keadilan?

Seperti yang pernah diungkapkan Soe Hok Gie, ketragisan suatu idealisme adalah saat harus berhadapan dengan culasnya kekuasaan. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan. Pemuda-pemuda Indonesia yang penuh dengan idealisme akhirnya hanya punya dua pilihan. Pertama, tetap bertahan dengan idealisme mereka. Menjadi manusia yang non-kompromisitis dan orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala:”dia pandai dan jujur, tapi sayang kakinya tak menginjak tanah,” atau dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus, bergabung dengan mereka yang kuat (partai, ABRI, ormas, klik dan lainnya) dan belajar teknik memfitnah dan menjilat, lengkap dengan ironi dan tragiknya.

Apa yang ditakutkan Gie memang terlihat nyata saat ini, bahkan lebih binal ketika tidak ada idealisme yang berbekas dalam benak mereka-mereka ini ketika setiap kompromi yang dilakukan tak sebanding dengan harga diri yang dipertaruhkan. Hingga muncul nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Abdullah Puteh, Andi Mallarangeng, dan yang terbaru, Irman Gusman.

Mendengar lirik agung di atas, sudah sepatutnya, juga seharusnya kita semua sadar seberapa penting kata-kata itu diciptakan, seberapa besar perjuangan pendahulu kita memperjuangkan itu, dan seberapa besar pula harapan mereka melihat kita melanjutkan perjuangan yang telah mereka perjuangkan.

Organisasi ini, organisasi kita, sudah kepalang besar dan tetap akan menjadi besar tanpa nama-nama di atas. Bukan mereka yang membuat organisasi kita sebesar ini. Sebaliknya, dengan tingkah pola mereka lah kita jadi malu, organisasi kita menjadi hancur karena kedegilan mereka kanda-kanda laknat. Untuk itu, tidak perlu lah kita menjilat ia yang sudah di penjara, merawat hartanya, dan meneruskan birahi politiknya.

            Saya tentu tidak menjadi paling benar akan hal ini, tidak juga merasa paling suci dari mereka yang satu payung organisasi dengan saya. Tapi, bagi saya, lebih baik berterus terang walaupun ada kemungkinan ditolak, bahkan ditindak. Karena, lebih baik saya bertindak keliru dari pada tidak bertindak karena takut salah. Lagi-lagi, Soe Hok Gie.

Tentu kita tidak ingin lagu "Darah Juang" hanya sebatas melafalkan, tanpa mengamalkannya. Karena sesungguhnya, memperjuangkan keadilan dan membela pelaku keadilan jauh lebih bermakna dari pada menikmati (dan menjadi boneka) kemunafikan. 

#SaveHMI



 



Tuhan menciptakan alam raya ini dengan segala keindahan dan keagungannya, dan kita sebagai makhluk ciptaannya pun diwajibkan untuk selalu mensyukuri apa pemberian tuhan, tak terkecuali musibah. Sudah cukup banyak musibah yang terjadi di dunia dengan jutaan nyawa melayang, salah satunya adalah tragedi gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh.

Sebagai provinsi paling ujung barat Indonesia, Aceh berbatasan langsung dengan samudera hindia yang juga terhubung dengan laut Australia, sehingga tidak heran jika hampir semua daerah di Aceh memiliki pantai yang indah, dan menjadi destinasi wisata favorit para pelancong.

Tepat hari minggu pukul 9 pagi, tanggal 26 desember 2004, Nanggroe Aceh Darrussalam diterjang musibah terdahsyat, gempa berkekuatan 8,9 skala richter yang kemudian diikuti dengan gelombang pasang setinggi 10 meter menyapu bersih seluruh pesisir pantai Aceh. Amukan ombak laut yang tak bisa dibendung dengan apapun ini meratakan seluruh daerah yang berdekatan dengan bibir pantai seperti Meulaboh, Calang, sampai ke ibukota provinsi, Banda Aceh. Tidak ada tempat untuk berlindung ketika air laut datang, kecuali mesjid-mesjid yang tetap kokoh berdiri berkat kebesaran ilahi.

Tsunami yang menurut para ahli Geologi hanya terjadi 200 tahun sekali, dalam sekejap amukannya menghancurkan Serambi Mekkah, tidak ada yang disisakan dari bencana ini kecuali rasa pilu paling dalam warganya, dan mayat yang bergelimpangan disetiap sudut jalan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda apa-apa, tuhan menegur keras rakyat aceh dengan bencana maha besar yang merenggut nyawa hampir 200 ribu jiwa ini.

Tapi di balik setiap musibah tuhan selalu menyelibkan keberkahan yang bisa dirasakan umatnya, dan setidaknya Aceh mendapatkan dua keberkahan yang dijanjikan tuhan kepada umatnya di daerah yang menerapkan Syariat Islam ini. Yang pertama, provinsi paling barat Indonesia ini, yang selama belasan tahun dibelenggu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) dan pemerintah Indonesia akhirnya berdamai pada 15 agustus 2005 – sebuah impian rakyat aceh yang ingin hidup damai tanpa kekerasan akhirnya terwujud. Dan yang kedua, munculnya bocah bernama Martunis yang sekarang sudah menjadi bagian dari club bersejarah Portugal, Sporting Lisbon.

Pagi hari saat tsunami menerjang Aceh, Martunis, yang ketika itu berusia 7 tahun sedang asyik bermain bola bersama beberapa teman sepermainannya. Mengenakan baju tim nasional Portugal bertuliskan Rui Costa, ia terhempas puluhan ribu mil ke tengah tengah samudera Hindia dan terombang-ambing selama puluhan hari dengan hanya berbekal batang pohon yang mengapung, ia tiada henti berjuang untuk terus hidup walau hanya bisa “menikmati” asinnya air laut, pekatnya batang pohon yang dimakan untuk mengisi perut. Tentu itu bukan makanan yang dikehendakinya, tapi apa lagi yang harus dilakukan di tengah laut selama puluhan hari.

Tidak lama setelah itu, tuhan lagi-lagi menunjukkan kebesarannya dengan “mengirim” sebuah kapal dan helikopter asal Belanda untuk menolong Martunis yang sudah tidak tahan dengan “kehidupannya” di laut lepas. Penderitaan selama terjebak di laut pun terbayar seiring pemberitaan yang dilakukan televisi Belanda yang merekamnya sembari memakai jersey negara Portugal.

Tuhan seakan sudah menakdirkannya untuk memakai seragam Portugal pada hari itu, dan berkat “Rui Costa” inilah yang menggugah warga dunia akan dirinya dan tentu negara Portugal yang menaruh simpati amat tinggi untuknya.

Portugal yang ketika itu masih diperkuat generasi emas dengan Rui Costa di dalamnya, Pauleta sebagai penyerang, Luis Figo sebagai rajanya, dan tentu kemunculan bintang baru mereka Cristiano Ronaldo yang masih berumur 20 tahun, bahu membahu membantu Martunis dan rakyat aceh selama rekonstruksi berjalan. Bahkan – menurut saya – mereka menjadikan Martunis sebagai duta negaranya. Baik federasi, pelatih, hingga presiden Portugal mengundang Martunis untuk berkunjung ke negara Eropa barat tersebut.
Martunis bersama seluruh skuat Portugal (sumber: tempo.com)


Tapi lebih dari itu, Martunis mendapatkan perhatian yang luar biasa dari idolanya, Cristiano Ronaldo. Dia menemukan seorang panutan, seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup di tengah laut, seseorang yang selama ini dipanggil dengan sebutan abang dalam diri Cristiano Ronaldo.

Baju Portugal yang ia kenakan telah membawa Cristiano Ronaldo menginjakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah selama beberapa hari, hanya untuk menjenguk sang “adik” di kota kelahirannya – seingat   saya, Ronaldo adalah pesepakbola dunia pertama yang berkunjung ke Aceh. Kedatangannya tersebut telah membuat Aceh kembali dibanjiri oleh lautan manusia, tidak ada sudut yang tersisa di Banda Aceh karena orang-orang yang ingin melihat sang superstar dari dekat.
kedatangan Ronaldo ke Aceh pasca Tsunami (sumber: liputan6.com)


Seperti ingin membalas jasanya, Martunis pun gantian menyambangi Ronaldo di Portugal dan menjadi tamu kehormatan di negara Eusobio tersebut, dia pun berkesempatan menonton langsung pertandingan Kualifikasi piala dunia 2006 antara Portugal vs Finlandia, tidak sampai disitu, Martunis bahkan duduk disamping pemain yang jersey nya ia pakai ketika musibah tsunami terjadi, Rui Costa.
Martunis dan legenda hidup Portugal, Eusebio ketika menyaksikan pertandingan Portugal vs Finlandia (sumber: pinteres.com)


Cristiano Ronaldo, merupakan pemain tersukses Portugal bahkan dunia. Sudah banyak trofi yang ia menangkan, sudah tak terhitung pula gol yang ia cetak bersama club dan negaranya, kekayaan yang melimpah ruah nyatanya tak membuat ia lupa dengan anak asuhnya yang tinggal puluhan ribu mil dari benua  Eropa.
Ketika awal tahun lalu ia kembali datang ke tanah air, dia pun tak lupa untuk turut mengundang Martunis ke Bali, tempat dimana Ronaldo singgah. Cristiano yang terakhir bertemu martunis ketika masih kecil, terkaget-kaget ketika melihat sang bocah sudah tumbuh dewasa dan piawai bermain bola.

Ketika semua orang di Indonesia, dan bahkan di Aceh mulai lupa dengan kisah Martunis, club penuh sejarah di Portugal, club dengan penghasil pemain nomor wahid  dunia, Sporting Lisbon, tidak pernah lupa dengan  bocah Aceh ini. disaat pencinta bola tanah air terbuai dengan fenomena konyol bernama Andik Vermansyah yang mengaku dirinya didekati Sporting Lisbon.

Tanpa basa basi, tanpa sorotan media lokal, dan mungkin tanpa disadari oleh dia sendiri, Martunis sudah terbang ke Portugal untuk menandatangani kontrak bermain di akademi Sporting Lisbon. Sebuah akademi yang sudah menghasilkan pemain terbaik dunia semacam Luis Figo, Pedro Pauleta, Luis Nani, dan tentu Cristiano Ronaldo.
bersama idolanya, di sela-sela latihan Sproting Lisbon (sumber: goaceh.com)


Sebuah mimpi semua anak di dunia, sebuah harapan yang nyatanya hanya menjadi mimpi semu bagi seorang pemain profesional sekelas Andik Vermansyah, dapat diwujudkan oleh seorang bocah yang untuk mengejar mimpinya ke Portugal harus berjuang bertaruh nyawa, yang tak pernah terbayangkan oleh kita sebelumnya.

Martunis yang kini berusia 17 tahun patut bangga dengan apa yang telah ia capai sejauh ini, walau dengan segala penderitaan yang dialami selama musibah 12 tahun lalu. Kehilangan hampir seluruh keluarga akibat tsunami tak menyulutkan niatnya untuk terus menyambung hidup, dengan tekat pantang menyerah yang turut dibantu Ronaldo sebagai pedoman hidupnya.

Kini martunis bisa menapak tilas perjalanan karir sang mega bintang di Sporting Lisbon, leóes – julukan Sporting bahkan mewariskan nomor punggung 28 kepadanya, nomor pertama yang dikenakan Ronaldo ketika memperkuat Sporting.

Namun, di balik itu semua memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan Martunis mencapai akademi Sporting Lisbon berbau keberuntungan dan jasa Cristiano Ronaldo. Karena kita sendiri tentu tidak tahu sejauh mana keahliannya mengolah bola di lapangan. Tapi apapun itu, kita patut bangga dengan pencapaiannya saat ini, toh, kalaupun kemampuannya belum teruji sekarang dia tentu masih bisa belajar di akademi Lisbon, masih cukup panjang waktu yang ia miliki untuk bisa menjadi pemain bola profesional.

Sekalipun dia tidak mampu menembus tim utama Sporting Lisbon di masa mendatang, dia tentu akan diterima kembali dengan cinta rakyat Indonesia di tanah air dan bisa berbagi ilmu yang didapat dari akademi terbaik Eropa tersebut. Tidak menutup kemungkinan pula ia bermain di liga Indonesia dan tentunya mewujudkan mimpi seluruh anak Indonesia untuk membela negara di ajang internasional.

Tapi, sekali lagi, doa rakyat aceh, juga Indonesia menyertainya untuk bisa menembus tim utama The Lions dan menjadikan ia satu-satunya anak asli Indonesia yang bermain di kancah tertinggi Eropa dan membawa kebanggaan teramat dalam bagi kita, Indonesia.

Pada akhirnya, sepak bola lagi-lagi menunjukkan sisi humanis yang sangat manis untuk kita pelajari. Sepak bola, khususnya Sporting Lisbon telah mengajari kita semua apa arti sepak bola yang sebenarnya melalui hal yang paling dasar. Sebuah club besar yang tidak melulu hanya menghargai pemain besar telah membuka mata kita apa arti kehidupan antar sesama yang sebenarnya. Melalui sepak bola kita bisa menyatukan dunia dengan segala kegetirannya.


Pernah Paul McCartney mengungkapkan satu kalimat kepada John Lennon “Music is Music, Simple”. Maka, kali ini mari sama-sama kita mengatakan “Football is Football, Simple”