Ajari kami membencimu… ajari kami membencimu… ajari kami
membencimu. Itulah anehdot yang kerap muncul dalam benak fans Liverpool di
Indonesia ( mungkin juga dunia ) ketika melihat performa tim kesayangannya
naik turun tak menentu.
Sebagai club sepak bola yang melegenda di Britania dengan
kilauan prestasi masa lampau, Liverpool FC seakan tenggelam, tergerus zaman
yang semakin mengedepankan uang dalam meraih gelar. Peradaban sepak bola
Inggris yang sejak dulu di kuasai oleh Liverpool dan Manchester United dengan
mengedepankan pemain binaan, kini telah bergeser terlalu jauh dari sejarah –
mungkin dari hakikat sepak bola itu sendiri – ketika gelar juara dengan mudah
di cetak oleh limpahan uang yang dimiliki club sekarang.
Chelsea menjadi pioneer bagaimana
uang bisa dengan mudah membeli piala, dan menarik perhatian fans, tentu saja.
Keperkasaan The Blues di setiap bursa
transfer akhirnya diikuti oleh Manchester City yang mendadak besar dengan
sendirinya. Kedua club kaya ini dengan cepat menjadi penguasa liga, padahal
sebelumnya mereka hanyalah penghuni setia club medioker Inggris.
Gagal menjadi juara, atau kalah di beberapa pertandingan saja,
seperti neraka jahanam bagi fans Chelsea dan City. Hastag bertebaran
dimana-mana, twitwar seperti sudah menjadi keharusan bagi mereka yang tak
terima clubnya dihina, bagaikan tengah perang salib.
Ini tentu menjadi kebalikan dari kami, fans Liverpool yang
selalu dan akan tetap sabar melihat performa The Reds. Kalah dalam satu pertandingan saja bukan menjadi soal,
karena kami yakin pertandingan selanjutnya, Liverpool akan lebih baik lagi –
walaupun ujungnya kalah lagi, kalah lagi. Pun dengan gelar juara, dari saya
lahir sampai brewokan seperti sekarang, dari singa Liga Inggris masih utuh hingga musim depan tinggal kepalanya doang ( musim depan Barclays bukan sponsor liga
Inggris lagi ) saya belum pernah melihat Liverpool mengangkat trofi liga.
Fans Chelsea dan City selalu membanggakan gelar-gelar yang
mereka dapatkan beberapa tahun ini sembari menyembah syukur pada uang yang
dimiliki pemilik club masing-masing. Sementara fans Liverpool hanya bisa nepok jidat saat club lagi-lagi gagal
meraih juara dengan imingan kode penghibur “next season better”. Padahal, sudah
beberapa season ini Liverpool tidak jua better.
musim ini saja, Liverpool masih terseok-seok di papan tengah dan baru saja terseingkir dari piala FA setelah ditaklukan oleh Westham United di Upton Park tengah pekan lalu. sebagai catatan, musim ini Liverpool belum pernah menang ketika berhadapan dengan The Hammers ( julukan Westham ).
dengan pemain alakadar, ditambah badai cedera yang menimpa pemain kunci, belum lagi keadaan Daniel Sturridge yang selama ini gaji nya habis untuk biaya operasi, tentu semakin membuat kesabaran kami diatas normal. "Tim butuh penyegaran untuk membangun ulang fondasinya". Ah, kalimat ini rasa-rasanya sudah basi terdengar di telinga, jika tiap tahunnya club hanya mendatangkan pemain "kelas 3" untuk bermain di liga sekejam Inggris.
Jika pada musim berikutnya Liverpool tetap gagal meraih gelar,
fans tentu tidak kehabisan akal untuk sekedar memperpanjang nafas kebanggaan,
karena sejarah gemilang akan selalu menjadi bom atom bagi fans lawan. Terutama
Chelsea dan City yang memang tidak mempunyai sejarah. pertanyaan kemudian adalah, mau sampai kapan para Liverpudlian membanggakan sejarah?
Sebelum meraih gelar
pertamanya tahun 2004 lalu, terakhir kali Chelsea juara Inggris adalah 50 tahun
sebelumnya ( hitung sendiri tahun berapa ). Sementara City, saya tidak tahu
kapan terakhir kali mereka juara Inggris ( mungkin kakek saya pun masih didalam
orok ketika itu ) sebelum raja minyak timur tengah membeli club kota Manchester
tersebut.
Sebagai club klasik nan saklek. Sejatinya, fans Liverpool adalah
pemegang teguh paham Catenaccio ala
sepak bola Italia. Yang mana, Catenaccio
dikenal dengan permainan bertahan – kadang membosankan – yang sewaktu-waktu akan
melakukan serangan balik mematikan, tanpa ada yang bisa membendungnya sampai
akhirnya meraih kemenangan.
Itu pula yang tertanam di
benak para kopites. Meskipun diserang bertubi-tubi fans lawan karena lamanya
club tak mengangkat piala, atau bahkan yang terbaru adalah tragedi
terpelesetnya sang legenda, Steven Gerrard, fans hanya akan menunggu, hingga pada
satu waktu tertentu, kopites akan
menyerang balik hanya dengan satu kata saja, satu kata yang membuat fans club
mana pun akan berhenti berkoar. Ya, sejarah.
Oleh karena itu, kami fans Liverpool – wabil khusus saya – ingin
meminta kiat-kiat pada fans Chelsea atau
City, agar kami bisa sesekali membenci Liverpool, atau tanpa rasa bersalah
mau menghina Liverpool jika tim sedang kalah tanpa mengungkit kembali masa
lalu.
Terlebih saya, yang ingin menjadi selebtwit yang tanpa henti mencaci siapa saja yang menjelekkan
Liverpool, sebagaimana yang biasa fans Chelsea lakukan di media sosial. Ini
serius, tidak ada unsur kesengajaan apalagi cerita fiktif laiknya Ganteng
Ganteng Serigala.
Jika ada fans Chelsea atau City yang baca curcolan ini. tolong, dengar laraku. Bukan, ini bukan lagu nya
Noah, tapi memang teriakan saya yang ingin sesekali belajar membenci Liverpool dan
hendak berguru kepada suhu-suhu sekalian.