Puluhan tahun lamanya
fans Liverpool dan Manchester United bermusuhan, hampir mustahil disatukan. Namun,
tidak ada salahnya sesama fans berbaju merah ini berjalan beriringan, minimal
untuk musim ini saja.
The
Red Devils dan The
Reds mengawali musim 2015-2016 dengan beberapa catatan gemilang sebelum “setan
merah” kembali pada filosofi awal sang pelatih dan “si merah” berganti karakter
britania raya ke semangat pantang menyerah ala Jerman.
Pada awal kedatangan
Jurgen Klopp ke Anfield, fans United masih bisa santai karena penampilan tim
kesayangan mereka masih terbilang konsisten. Lama kelamaan, Manchunian mulai resah dengan penampilan
club pujaan yang terus menurun, ditambah keengganan meneer untuk turun dari jabatan. Di lain pihak, euforia kedatangan Jurgen
Klopp mulai memudar dalam benak The Kop
karena permainan cepat dan lugas Klopp tidak sesuai dengan kemampuan pemain
yang dimiliki.
Wayne Rooney sudah
kembali konsisten mencetak gol, tapi hasil akhir United belum bisa dikatakan
konsisten, begitupula dengan Liverpool yang mulai rajin membobol jala lawan,
begitu pula dengan gawang Mignolet yang semakin mudah ditembus striker lawan.
MU mulai terlempar
dari empat besar. Liverpool? Mereka bahkan sudah lebih dulu terjun ke peringkat
8 klasemen. Tidak bersaing di papan atas, jauh dari kata rebutan gelar. Lalu,
kenapa kedua fans club ini tidak berdamai untuk sesaat? Bersatu agar musim
depan mereka kembali bersaing di empat besar dan kembali bermusuhan seperti
sedia kala.
Jika musim-musim
sebelumnya, saya ( Liverpool ) dan beberapa teman ( MU ) selalu membanggakan
club masing-masing lewat kemenangan yang diraih, menghina Liverpool atau MU
jika menelan kekalahan, kini, pembahasan kami seputar kedua club kesayangan
hanyalah tentang kekalahan, permainan tim yang membosankan, dan – tidak
ketinggalan – menyumpahi beberapa pemain andalan.
Kesamaan club kota
pelabuhan dan industri ini tidak sebatas itu. Kekompakan mereka juga terlihat
jelas di udara ketika #MoyesOut berkibar di langit Old Trafford yang kemudian
diikuti fans Liverpool dua tahun kemudian, saat
#RodgersOut terbang di atas Anfield.
Sudah berbulan-bulan
ini, fans United dibuat kesal dengan Managing Director club, Ed Woodward yang
belum juga memecat Louis Van Gaal. Sama halnya dengan Kopites yang sudah muak melihat wajah Ian Ayre yang tidak pernah
becus membeli pemain mahal.
Fans United tidak
perlu malu dengan wonder kids
Belanda, Memphis Depay yang bertransformasi jadi “wanted” di Old Trafford.
hilang ketajaman, hilang waktu bermain, dan kehilangan nama besar. Sama halnya
dengan pendukung Liverpool yang tidak usah sungkan mengakui Cristian Benteke
tidak lebih cepat dari Mario Balotelli atau tidak lebih tangguh ketimbang Andy
Caroll.
Kedua pemain berharga
selangit ini menjadi jembatan penghubung
kedua club yang sepertinya sudah ditakdirkan sejalan oleh tuhan. Depay lebih
banyak bergaya diluar lapangan ketimbang memperbaiki gaya permainannya, sementara
Benteke malah berani mematahkan kacamata Jurgen Klopp daripada membobol gawang
lawan.
Musim lalu. Liverpool
kembali menginjakkan kaki di arena liga Champions, meninggalkan United yang tak
mampu beranjak dari papan tengah. Sayang, perjalanan club Merseyside langsung kandas di babak grup dan terlempar ke Europa League.
Musim ini, Manchester
merah seolah de javu dengan capaian
Liverpool tahun lalu. Ketika mereka meninggalkan Liverpool di Inggris untuk
mentas ke liga Champions. Alhasil, United pun tidak beranjak lebih jauh.
Terhenti di fase grup dan juga terdampar ke liga Eropa.
Terlemparnya kedua
club penuh tradisi ini di kancah besar eropa selama dua tahun beruntun akhirnya
berujung klimaks, ketika The Reds Liverpool untuk pertama kalinya bersua Manchester
United di liga Eropa kamis ini. ( benci untuk mencinta mana lagi yang kau ingkari? Hah! )
Kesamaan-kesamaan
inilah yang harus menjadi concern
kedua supporter. Suka tidak suka, mereka adalah inspirasi dari Naif Band dalam
menciptakan lagu Benci Untuk Mencinta. Yang dibutuhkan sekarang adalah kepekaan
kedua insan jika sebenarnya mereka saling sayang, saling membutuhkan, dan saling
menguatkan.
Manchunian
dan Liverpudlian lebih baik
menyatukan kekuatan untuk menggusur Leicester City yang tiba-tiba fans
kekiniannya mulai mewabah di tanah air, dan juga Totenham Hotspurs yang
keberadaan suporternya di Indonesia antara ada dan tiada. Ini perlu dilakukan
supaya ruh liga Inggris kembali menguat seperti dulu dan Premier League tidak
kehilangan peminat seperti Serie A akibat kemunduran dua Milano.
Lebih penting lagi,
supaya kita, penggila bola tidak buta oleh prestasi sesaat club dan kekuatan
kapitalis yang bisa membeli piala dengan uang melimpah, tanpa proses dan kerja
keras.
![]() |
Sumber gambar : Bola.net |