Pertama.
Maaf kepada pembaca yang mungkin bosan dengan tulisan saya belakangan ini, yang
– lagi-lagi – membahas Liverpool. Tapi, ya mau gimana, Liverpool memang tidak
bisa tidak untuk dibahas.
Liga
“malam jumat” yang biasanya hanya jadi selingan liga Champions, kini telah
berubah, menjadi lebih bergengsi seiring pertemuan Liverpool vs Borrusia Dortmund
di perempat final. Pertandingan pertama yang berlangsung di Westfallen stadium,
Dortmund berjalan selaiknya pertandingan sepak bola.
Skor
akhir 1-1 pun mempertegas hubungan baik kedua club, dan kedua supporter tentu
saja. Sambutan hangat fans De Borrusien
pada Jurgen Klopp, yang untuk kali pertama kembali ketempat ia membesarkan
namanya, riuh rendah “You’ll Never Walk Alone” yang bersamaan dinyanyikan seisi
stadion, menjadi cerita indah lain yang menghiasi pertandingan malam itu.
Seminggu
berselang, keindahan itu kembali terulang. Bahkan lebih indah, bagi Liverpool
tentu saja. Pertandingan yang bertepatan dengan 27 tahun tragedi Hillsborough,
ditandai oleh mosaic 96 dari The Kop dan
fans Dortmund yang secara khusus mempersembahkan penghormatan bagi 96 nyawa
yang tak pernah pulang.
Kedua
fans yang kadung bersahabat ternyata tak sejalan dengan pertandingan yang berlangsung.
Tidak ada belas kasih dari pemain-pemain Dortmund yang langsung menjaringkan
dua bola ke gawang Liverpool di 20 menit paruh pertama. Kesalahan komposisi
pemain yang disiapkan Klopp benar-benar dimanfaatkan Dortmund yang langsung
membuat seisi Anfield berharap cemas.
Ungkapan
lawas “semua indah pada waktunya” benar-benar dirasakan seisi Anfield dan juga
penikmat The Reds seluruh dunia.
Perlahan, Liverpool mengejar ketinggalan, walau Dortmund sempat memperluas
jarak yang sekaligus mempersempit nafas Kopites.
Masuknya
Joe Allen guna menyelaraskan lini tengah dan bertambahnya daya gedor Liverpool
dalam diri Daniel Sturridge menjadi titik balik “si merah” guna memberi kado
indah bagi korban Hillsborough. Dua tembok kembar beda warna Liverpool menjadi
penyelamat, ketika Sakho mempertegas ekpresi Jurgen Klopp. Hingga pada
akhirnya, Dejan Lovren membuat Anfield bak tersambar petir, dan membuat sang
pelatih kehabisan ekspresi kala merayakan gol sang stopper di injury time.
Tidak
ada yang percaya dengan kemenangan 4-3 itu, sebelum Klopp mengingatkan para
pemain akan keajaiban pahlawan Istanbul pada pasukannya di jeda babak pertama.
Pemain “mungkin” tidak bisa berbuat banyak jika pelatih asal Jerman itu tidak
berkata “kalian harus mewarisi sesuatu yang indah, yang bisa diceritakan pada
anak cucu kalian” di waktu bersamaan.
Pluit
panjang berdengung, seisi stadion berdiri, bernyanyi, menangis tak percaya
dengan apa yang telah dilakukan Liverpool pada mereka. Tak ada yang beranjak
dari kursinya ketika “You’ll Never Walk Alone” berkumandang dengan nyaringnya.
Kenny Dalglish berderai air mata, Ian Rush dengan lantang ikut berdendang
dengan 45 ribu-an fans lainnya.
Xabi
Alonso, John Arne Riise, Antoine Griezman, Mario Balotelli, dan beberapa mantan
pemain dunia ikut larut dalam keajaiban di Anfield malam itu. Klopp membuat
orang-orang kembali mengingat apa yang terjadi di Istanbul 2005 silam. Ia menciptakan
bagaimana sejarah bisa kembali terulang, bahkan dengan cara yang lebih
melegenda.
Silahkan
orang-orang menyamakan yang terjadi di Anfield sebagai Miracle Of Istanbul jilid 2. Tapi tidak bagi saya. Karena ini
adalah Anfield. Ya, This Is Anfield.
Menghempaskan
Manchester United di babak 16 besar, menjungkalkan Dortmund di babak
selanjutnya, lalu, membalikkan kapal selam kuning, Villareal di semifinal,
Jurgen Klopp kembali membawa anak asuhnya ke final, untuk kedua kalinya, hanya
dalam waktu 3 bulan. Namun sayang, perjuangan the reds kembali berakhir
antiklimaks.
Sama
halnya dengan final pertama. Final kedua Liverpool musim ini kembali berujung
pilu, Liverpool dikalahkan oleh langganan juara liga Eropa, Sevilla. Meski
sempat unggul 1-0 di babak pertama, The
Reds tak kuasa menahan serangan Sevilla yang mampu membobol gawang Mignolet
3 kali.
Apakah
fans harus kecewa? Tentu. Patutkah fans menangis? Itu pasti. Dan, apakah fans
hanya terdiam meratap kekalahan? Tidak, hasil 3-1 tak menghalangi 20 ribu-an travelling kop yang memadati St Jakob
Park untuk menyanyikan You’ll Never Walk Alone di akhir laga. Fans benar-benar
meresapi kalimat Klopp “ kami harus berubah. Dari peragu, menjadi percaya” dan
menjadikan kekalahan ini menjadi pembuka jalan Liverpool untuk meraih piala di
tahun-tahun mendatang.
Perubahan
yang dibawa Jurgen Klopp memang sudah terlihat, tidak hanya pada keseluruhan
tim, melainkan juga individu pemain yang mulai menanjak permainannya, seperti
Dejan Lovren, Adam Lallana, Divock Origi, dan Roberto Firmino. Sementara itu, kejelian
pelatih asal Jerman dalam mengorbitkan pemain “tak bernama” sepertinya kembali
terulang.
Dinasti
baru Jurgen Klopp akan terlihat musim depan, ketika ia mendatangkan penjaga gawang Mainz
05, Loris Karius, gelandang muda Red Star Belgrade, Marko Grujic, bek tangguh
Joel Matip, dan pemain masa depan Polandia, Piotr Zielinski, yang semuanya
didapatkan dengan harga miring. Belum lagi, kedatangan Mario Gotze yang
sepertinya hanya menunggu waktu.
Dibawah
asuhan Klopp, fans kembali melihat sosok Bill Shankly dan Bob Pasley dalam
dirinya. Dua sosok pelatih legendaris Liverpool yang bergelimang gelar tanpa
sosok pemain bintang, dan membawa The Reds ke puncak kejayaan setelah mengalami
masa keterpurukan.
Liverpool
telah mengajarkan kita bahwa harapan itu selalu ada. Dengan rasa percaya, dan
setia. Bagi saya pribadi, musim ini adalah musim paling membahagiakan. Bukan
dari segi prestasi tentu saja, melainkan sisi emosional. Diawali dengan
kedatangan Jurgen Klopp, performa tim yang masih naik-turun, hingga pertemuan
Liverpool dengan Dortmund yang menawarkan kisah luar biasa antar kedua
supporternya, dan kembali, kegagalan The Anfield Gank mengangkat gelar.
Liverpool
memang selalu memberi harapan, menjunjung tinggi kepercayaan, dan mengajarkan
kesetiaan. Ia tidak perlu gelar untuk mendatangkan para penyayang. Kebesaran
club, megahnya atmosfir supporter dalam memberi dukungan telah – sejenak –
menyisihkan kata “gelar” dalam benak fans untuk mencintai club Merseyside
tersebut.
Liverpool
kembali tidak mendapatkan apa-apa musim ini. tapi percayalah, fans tidak
akan berhenti mencintai mereka, begitupula mereka, yang akan terus memberi
secercah harapan di kemudian hari ( walau entah sampai kapan ). Ketika
club-club lain tidak bisa menyajikan sesuatu yang lain, selain gelar. Liverpool
bisa mempersembahkan banyak hal, yang lebih berharga ketimbang juara.
Jika
sudah begini, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencintai Liverpool.
![]() |
Sumber Gambar : andhikamppp.com |