Baru-baru
ini saya mendapati himbauan kepolisian kota Banda Aceh dari seorang teman yang
menetap disana. Isinya lebih kurang mengajak warga Aceh agar tidak terlalu
berlama-lama duduk di kedai kopi yang semakin membludak di Serambi Mekkah.
Tentu
saja himbauan ini perlu kita apresiasi bersama, dan untuk pertama kalinya pula,
saya berani mengangkat topi dan membuka baju – bila perlu – sebagai bukti
dukungan kepada kepolisian setempat yang akhirnya bisa bersikap kritis dan
cerdas terhadap kehidupan sosial di sekitar mereka.
Dan
akhirnya pula, kita tidak perlu menganjing-anjingkan para polisi yang seenak
perutnya menilang pengendara motor disana-sini, dan tak jarang meminta uang
damai senilai 50 ribu rupiah, walau terkadang mereka menolaknya ketika sedang menjadi
aktor “86” di salah satu TV swasta.
Sebagai
orang Aceh, saya sangat mengamini himbauan polres kota Banda Aceh tersebut
sambil ketawa haha-hihi membayangkan para tengku-tengku
di sana yang sedang terbuai dengan aroma khas kopi Aceh yang aduhai, lalu
kenikmatan itu “terganggu” oleh lantunan suara adzan. Saya juga tidak sanggup
membayangkan bagaimana masamnya muka mereka ketika dihadapkan oleh banner yang terpampang di depan polres
Banda aceh tersebut.
![]() |
banner polres Banda Aceh (sumber: bintang.com) |
Kopi
dan islam, memang menjadi ciri khas tersendiri di Nanggroe Aceh Darussalam dan
memang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Kopi
beserta jutaan kedainya bahkan sudah muncul sejak zaman Belanda dulu, yang
masih bertahan dan sepertinya akan semakin berkembang sekarang ini, mengingat
kedai-kedai kopi di Aceh yang semakin besar nan mewah, juga dilengkapi
fasilitas wifi. Siapa pula yang tak sanggup berlama-lama jika sudah dimanjakan
seperti ini?
Ini
pula yang membuat penghuni kedai kopi di Aceh tidak hanya dikuasai oleh para pria,
kini kalangan wanita dari segala umur pun sudah mulai meramaikan kedai-kedai
kopi dan semakin mempertegas status warga Aceh sebagai penggila kopi yang
paling malas. Malas karena tidak ingin beranjak sejengkalpun dari meja kopinya
hingga berjam-jam lamanya.
Berlama-lama
di kedai kopi memang tidak diatur dalam Qanun syariat disana, karena hal ini
memang tidak melanggar aturan apapun dan merugikan siapapun. Mungkin ini pula
yang membuat polisi bertindak sedemikian cerdas dan mendahului polisi syariat
yang tidak berbuat apa-apa tentang fenomena ini. Tujuannya sangat jelas,
yaitu untuk menyentil mereka yang merasa paling benar perihal agama, namun
tetap bermalas-malasan di kedai kopi meski kumandang adzan sudah menggema.
Islam
adalah agama mayoritas di Aceh, dan menjadi gerbang utama penyebaran islam di
nusantara melalui kerajaan Samudera Pasai. Namun begitu, Hukum syariat yang ditegakkan
di Aceh memang tidak lebih lama dari keberadaan kedai dan budaya ngopi disana. Tapi,
disaat keberadaan kedai kopi semakin mewabah dengan segala fasilitasnya, syariat
islam di Aceh sendiri justru semakin mengalami kemunduran ( setidaknya itu yang
saya lihat ).
Jika
beberapa tahun lalu, polisi syariat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Wilayatul Hisbah, yang akrab ditelinga orang Aceh dengan sebutan “WH” sangat
rajin berlalu-lalang, bolak-balik tak karuan untuk menindak kakak-kakak yang
tidak memakai kerudung dan abang-abang yang mengenakan celana nanggung.
Bahkan, dulunya, WH ini rela nyebur ke pantai
untuk menindak adek-abang yang sedang pacaran sambil berpegang tangan, ala FTV
zaman kekinian. Sekarang, jangankan nyebur ke pantai, panas-panasan dijalanan
pun, mereka sudah jarang kelihatan. Yang pasti menurut saya, penegakan syariat
islam di Aceh sudah agak melonggar.
Ya,
ketika wanita ibukota berama-ramai memakai jilbab dengan segala inovasinya, beberapa kakak-kakak di Aceh malah menanggalkan jilbabnya secara berkala. Artinya,
meskipun kerudungnya masih nyangkut di
kepala, tapi rambut mereka masih terurai bebas dicelah-celah penutup kepalanya
bagai ekor kuda. Belum lagi dengan baju yang super pendek – tak jarang ketat –
yang menutupi tubuhnya. “nggak usah pakai kerudung sekalian”, kalau boleh saya
berpendapat.
Hal
ini bisa terjadi dikarenakan kelalaian dari pihak polisi syariat yang semakin ogah menindak warganya, dan sekarang mereka
hanya sesekali melakukan sweeping ala
razia kendaraan bermotor yang biasa dilakukan oleh polisi konvensional.
Tapi,
setidaknya, pelaksanaan syariat islam di Aceh masih kental terasa ketika
memasuki bulan ramadhan, dan hari jum’at. Dua tahun lalu, ketika saya pulang
kesana untuk menikmati ramadhan dan lebaran dikampung halaman, seluruh kedai
kopi ataupun kedai-kedai lainnya tertutup rapat bagi para konsumen saat waktu
shalat taraweh tiba. Walaupun ketika waktu berbuka puasa tiba ramai dikunjungi
warga.
Sementara
di hari jum’at ( termasuk diluar bulan puasa ) toko-toko, kedai kopi, dan
segala macam jenis perdagangan berhenti beroperasi, transportasi seperti tukang
becak, labi-labi ( sejenis angkot ) juga berhenti beroperasi. Jika mereka nekat
melayani konsumen, maka bersiaplah ditindak oleh WH. Semua ini dilakukan oleh
WH untuk menegakkan ajaran islam agar warganya tidak ketinggalan 5 waktu. Hal
ini dilakukan polisi syariat Tentu tanpa imbalan serupiah pun dan tidak ada pula
undian motor yang dijanjikan kepada warganya.
Baiklah,
kita kembali ke topik utama, kedai kopi. Apa yang dilakukan oleh polisi kota
Banda Aceh ini sungguh ironis memang. Ironis bukan karena kebudayaan Aceh yang
sangat membanggakan “ngopi”, tapi ironis karena fakta yang menunjukkan bahwa
polisi konvensional lah yang mengeluarkan maklumat tersebut, bukan polisi
syariat yang lebih berwenang dan memiliki tanggung jawab moral untuk masalah
ini.
Lalu,
ada apa dengan polisi syariat yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman
itu? apa yang terjadi pada mereka? Kemana mereka pergi ketika polres Banda Aceh
mengeluarkan himbauan seperti itu? hmmm…mungkin mereka sedang ikut ber haha
hihi dengan para tengku di kedai kopi sambil menikmati fasilitas wifi. Eh….