Baru-baru ini saya sempat dihardik seseorang begini “susah sih kalo emang nggak punya passion nulis,” di sebuah percakapan grup. Cukup beralasan memang ia berkata demikian, ia jengah melihat tulisan saya yang masih salah spasi, salah ukuran gambar, ya intinya salah lah.
source: lapastelly.com


Sebagai penganut hadist sahih “perempuan selalu benar” saya pun mengakui kesalahan-kesalahan itu. Dan memang hal tersebut masih menjadi permasalahan dalam diri saya, gaya penulisan saya. Tapi, ini bukan perihal passion tentu saja.

Hmmm…gimana ya, sebenarnya saya ingin mengatakan ini pada beliau, tapi ya itu tadi, akan terbentur hadist di atas. Oleh karena itu saya jadikan tulisan saja (yang sepertinya akan tetap ada kesalahan-kesalahan tata bahasa…hahaha)

Tak bisa dipungkiri, keberanian saya untuk menulis hanya modal nekat semata. Rasa malas yang sering menghinggapi ketika harus membaca buku yang terus menumpuk semakin menghanyutkan saya dalam kegamangan tata penulisan yang benar. Saya cukup jarang memerhatikan tanda baca, spasi, dan bahasa. Sedari awal membaca, saya selalu terfokus dengan isi cerita dan mengabaikan hal lain yang sama pentingnya.
Tapi sekali lagi, ini bukanlah masalah passion. Ini lebih kepada masalah tidak mau belajar dan lebih teliti lagi. Sebagai pembaca, saya lebih nyaman membaca sebuah tulisan yang memiliki kekuatan dalam cerita, sekalipun banyak spasi yang ke sana sini, tanda baca dan kata yang tidak sesuai kaidah bahasa, dari pada saya harus membaca tulisan yang sangat detail dengan segala tetek bengek KBBI tapi abai dengan isi cerita dan cara menyajikannya. Dan ini cukup sering saya temukan ketika membaca beberapa tulisan yang sangat rapi secara kaidah bahasa, tapi hancur dari segi cerita. Ini opini saya pribadi lho ya!

Memang, jika isi cerita sama bagusnya dengan tata bahasa akan menjadi sempurna untuk kita baca. Semua orang pun menjadikan kedua hal ini sebagai kewajiban yang harus dilakukan, tak terkecuali saya. Tetapi tidak jarang saya tetap bisa menikmati tulisan yang hanya fokus pada isi ceritanya.

Dan percayalah, lambat laun, setiap membaca sebuah karya, saya semakin concern dengan setiap kata yang ditulis. Diksi-diksi yang diciptakan semakin saya dalami, tata bahasa yang baik dan benar pun semakin saya geluti, supaya kualitas tulisan saya membaik. Bukan untuk menumbuhkan passion tentu saja. Karena, jika tidak punya passion tidak mungkin saya berani menulis dengan modal nekat tadi. Tanpa passion pula, mustahil rasanya blogspot berubah menjadi com yang kemudian berbuah Tetralogy Pramoedya Ananta Toer.

“Tulisan yang baik adalah tulisan yang berasal dari kegelisahan,” kata seorang penulis terkenal (saya lupa namanya). Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, latar belakang dari setiap isi tulisan saya memang berdasarkan kalimat di atas. Baik itu sepak bola, politik, sosial budaya, bahkan tulisan hiburan pun berawal dari kegelisahan yang muncul dari pemikiran saya. 

Lagi-lagi. Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, tanpa sadar saya telah mengamini apa yang selama ini Pram katakan, “menulis adalah sebuah keberanian. Dan keberanian adalah ketulusan,” lewat modal nekat yang saya katakan di atas. Sepemahaman saya, nekat juga merupakan bagian dari passion, bukan? Jadi, selama proses pembelajaran ini berlangsung, dengan segala hormat saya bertanya, passion setingkat apa yang kamu tuntut dari tulisan saya? Apakah saya harus menggebu-gebu layaknya mz Komo yang senantiasa mengumbar urat nadi dalam setiap kata yang diucap ketika memandu dede-dede galau di “Katakan Putus”? atau kah, passion saya harus selantang suara mz Cakra Khan yang semakin serak-serak seret itu? atau jangan-jangan, saya harus menjadi bloger goodie bag dulu untuk mengukur sejauh mana passion saya?

Dari sini, muncul kegelisahan baru dalam diri saya, apakah mereka yang menulis hanya untuk alasan komersil masih memiliki passion yang sama saat pertama kali menulis?  

Hingga kini (dan nanti), alasan saya nge blog hanya menulis, dan berbagi cerita, itu saja. Alih-alih memikirkan berapa DA/PA, berapa Alexa Rank, berapa followers di Twitter (terlebih lagi Instagram). Jangankan mikirin istilah-istilah di atas, sampai sekarang saya bahkan tidak tahu dan terkesan tidak mau tahu apa itu DA/PA, apa itu Alexa Rank yang diagung-agungkan para bloger. 

Di sisi lain, saya cukup sepakat dengan pendapat salah satu teman, yang menekankan bahwa tidak ada masalah passion yang hinggap di benak saya. Tapi tidak mau belajar, dan membenahi kesalahan yang lalu, yang memang sangat tampak dan menjadi titik lemah di tulisan-tulisan saya selama ini.

Sekalipun menurut logika beliau saya tetap tidak memiliki passion, toh, saya masih bisa bersyukur dengan keadaan seperti ini. Setidaknya tanpa passion yang ia maksud itu, saya tak perlu repot-repot mengejar dateline. Ya, dateline



2016 masih menyisakan satu bulan lagi. Tapi tidak berarti sebelas bulan nihil cerita dari tahun Monyet api ini. Bukan cerita biasa pastinya (karena saya memang tidak suka hal yang biasa) terus aja nda.

Ada beberapa kejadian di tahun ini yang membuat saya berdecak kagum, mengernyitkan tawa, menyumpah serapah, atau hanya sekedar menghela nafas. Meski semua kejadian tidak terekam jelas di ingatan, tapi cukup menguras perhatian saya untuk tidak berpaling sedetikpun dari (jika boleh saya katakan sebagai) beberapa fenomena ini.

1.       Leicester City
Kejutan pertama datang dari ranah sepak bola, ketika Leicester City menghancurkan harapan semua orang saat mereka menasbihkan diri menjadi raja baru di Inggris. Tidak ada yang menyangka The Foxes (julukan Leicester) menjuarai liga. Hanya bermodalkan pemain seadanya, ditambah pelatih yang (juga) hanya seorang Claudio Ranieri, Leicester menggila sepanjang musim 2015-2016.

Lebih gila lagi, “si rubah” menjuarai liga sebelum kompetisi berakhir. Konsistensi permainan tim membuat Riyadh Mahrez, Ngolo Kante, Jamie Vardy, dan kolega menenggelamkan skuat mewah duo Manchester, Chelsea, Arsenal, terlebih lagi…..Liverpool.

Hingga jelang berakhirnya kompetisi pun, kita semua masih percaya jika mereka akan terpeleset di penghujung liga. Bahkan, Gary Lineker berani bertaruh tanpa busana jika club milik taipan Thailand tersebut benar-benar menjadi juara. Sampai pada akhrnya Leicester benar-benar membuktikan bahwa ketidakmungkinan bukan hanya terjadi dalam dongeng saja.

Kehebohan Leicester City pun berlanjut musim ini, tapi dengan cerita sebaliknya. Ketika kedigdayaan mereka musim lalu hilang tak tersisa. Terjebak di posisi 13 klasemen, tanpa nama Jamie Vardy di table Topscore, mereka akhirnya kembali menginjak tanah setelah sepanjang musim lalu terbang ke atas.

2.       Portugal
Setali tiga uang dengan Leicester city di Inggris. Portugal melengkapi keajaiban sepak bola tahun ini, saat Cristiano Ronaldo cs berhasil membuat perusahaan judi rugi miliaran Euro di bursa taruhan. Melaju ke semifinal tanpa mencatatkan satu pun kemenangan, Negara semenanjung Iberia berhasil menggotong piala Henry Delaunay untuk kali pertama.

Menginjakkan kaki di final dan berhadapan dengan tuan rumah, Perancis, jelas tidak ada yang memiliki nyali lebih untuk menjagokan Selecao, apalagi Perancis memiliki rekor mentereng selama turnamen berlangsung.

Maruah Portugal semakin hancur saat pangeran lapangan mereka, Cristiano Ronaldo meringis sakit karena cedera, yang sekaligus membuat CR7 bergelimang air mata ketika ditandu keluar lapangan. Seluruh pemain, fans, seolah pasrah menanti berapa gol yang dilesakkan Perancis ke gawang mereka.

Hingga pada akhirnya, Eder muncul sebagai dewa penyelamat saat gol nya di masa extra time menghilangkan rasa sakit dan tangis seorang Cristiano. Juga membuat hutang Luis Figo, Rui Costa, Pauleta pada 2004 lalu terbayar lunas. Meski permainan Portugal tidak menghibur (bahkan cenderung membosankan), tim besutan Fernando Santos memang layak mendapatkan gelar pertama mereka.

3.       Mars Perindo
Tidak ada hal yang lebih menarik di dunia ini selain fenomena politik Indonesia. Kali ini, saya ingin bertanya terlebih dahulu. Adakah dari kalian yang tidak hafal mars Perindo? Lho, ada ya. Lancang betul kalian ini nggak hafal mars Perindo. Nggak punya TV kalian?

Begini ya, kanal TV pak HT ini kan banyak. RCTI, Global TV, MNC TV, I News TV, belum lagi channel-channel yang tersebar di Indovision. Dengan media sebanyak itu, neraka jahanam telah menunggu kalian yang nggak hafal lagu tersebut. Belum lagi, saban iklan mengudara di layar tv, mars Perindo senantiasa menemani. Bahkan, jika di kalkulasikan, kemunculan mars Perindo (bisa jadi) sudah setara dengan penayangan Tukang Bubur Naik Haji. Masih belum hafal juga? Memang, kalian semua penuh dosa, pak HT suci!!!

Dengan fakta di atas, kalian masih menginkari jika Perindo itu benar-benar ada? Kalian masih meragukan kapabilitas pak HT yang mampu mensejahterakan bangsa ini dari……………..basement hingga lantai 29 MNC Tower?  Dan kalian masih mengira jika bu Lilliana Tanoe selalu tegang di depan kamera? Hastapilulloh. Kita sama gaes.

4.       Demo 411
Sudah setiap tahun, demo menjadi sebuah keharusan di negeri ini. Baik itu mahasiswa, buruh, atau PNS. Tapi, yang terjadi awal bulan ini menjadi pembeda. Aksi yang tepat dilakukan selepas shalat Jum’at meninggalkan cerita tersendiri. Bagaimana tidak, aksi yang di prakarsai Front Pembela Islam (FPI) ini tidak hanya berasal dari massa ibukota, tapi juga seluruh Indonesia.

Tidak Cuma FPI pula yang ambil bagian, tetapi hampir semua ormas juga larut dalam demo itu. Tak heran, jika separuh ibukota menjadi lautan putih. tidak ada ketakutan berarti ketika semua elemen merangsek ke titik temu, Bunderan HI, yang diiringi lantunan takbir sepanjang jalan.

Terlepas dari benar tidaknya bahwa aksi “411” ditunggangi kepentingan poiitik, bagi saya, aksi ini tetaplah menjadi pembeda. beda karena semua umat bersatu, beda karena mereka yang dikenal anarkis (baca: FPI) bisa menjaga ketertiban selama demo berlangsung. Walau akhirnya massa HMI yang mengawali keributan

5.       Laundry Dirjen HAM
Inilah kasus yang paling menjijikkan tahun ini. Ketika se-indonesia berang karena bukti TPF Munir hilang, Dirjen HAM, Mualimin Abdi, justru kelimpungan mendapati jas dan batiknya kusut setelah menggunakan jasa laundry.

Tidak main-main, blio tanpa ampun menuntut pengusaha laundry ganti rugi sebesar 200 juta. Duh gusti, ini bajunya cuma kusut, bukan hilang atau berubah warna. Lha langsung nuntut ganti rugi. Sepenting itu kah baju kusut ketimbang nyawa seseorang yang masih belum dipertanggung jawabkan? Belum mengembalikan hak keluarga Munir yang dirampas, dirjen HAM justru ingin merampok hak orang lain dengan menuntut orang seenak udelnya.

Sekalipun tuntutan tersebut dicabut, kejadian ini tetaplah menjadi catatan memalukan bagi dirjen HAM yang katanya memperjuangkan hak-hak manusia. Sekaligus membuka mata kita bahwa semua elemen di atas sana memang di didik bagai priayi yang cengeng.

6.       Jaket Jokowi
Jujur, saya kurang mengerti kenapa kejadian ini bisa menjadi viral. Entah di mana pula istimewanya jaket tersebut. Memang presiden nggak boleh pake jaket? Saya pun tidak tahu asal muasal Jokowi memakai jaket yang disinyalir produksi Zara itu.

Yang pasti kita sudah terlalu lebay dalam bertindak. Lebay bukan karena dalam sekejap kita memburu jaket sejenis (baik yang asli atau juga KW) tapi lebay karena di era kepemimpinan SBY, tidak satu album pun kita sudi membeli karya blio. Padahal sudah lima album dikeluarkan selama 10 tahun menjabat kepala Negara. Rakyat macam apa kalian? Hah!!!

7.       Donald Trump
Mari kita sambut dengan penuh gemuruh presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump. Untuk yang satu ini, bisa dikatakan mimpi di siang bolong bagi Trump sendiri. Betapa tidak, selama kampanye ia lebih banyak dicaci karena banyak kebijakannya yang tidak populis dan mengundang amarah.

Ini juga diperkuat dengan rasa jumawa Hillary Clinton yang sudah yakin jika kemenangannya hanya menunggu waktu. Tapi, lagi-lagi, ini 2016. Tahun dimana sesuatu yang mustahil akan terjadi.  Selisih suara yang tipis akhirnya mengantar Trump (dengan leluconnya) duduk di gedung putih.
nationalreview.com
Lucunya, pasca kemenangan Trump, rakyat Amerika turun ke jalan di beberapa Negara bagian menolak hasil pemilu, dan tak jarang berakhir ricuh. Bahkan katanya ada pula yang pindah warga Negara karena enggan dipimpin oleh pengusaha sukses tersebut.

Dengan segala popularitas yang Trump miliki, ia mampu menghipnotis warga Amerika untuk memilihnya. Meskipun kebijakan Trump akan merugikan banyak orang (siapa tahu lho ya) mereka tidak peduli. Mengingat yang membuat mereka memilih seorang Republikan bukanlah sosok Donald Trump sendiri. Melainkan Fadli Zon dan Setya Novanto.

Hingga pada akhirnya. Keajaiban-keajaiban tahun ini pun mencapai pada puncaknya. Sebuah klimaks dari semua kisah di atas. Keajaiban yang membuat hujan sedari awal enggan beranjak dari setiap cerita. Sebuah cerita yang rasa-rasanya tidak cukup hanya diungkapkan lewat kata, melainkan dengan rasa. Karena ini bukan tentang mereka. Tetapi, KITA. 


hijau hitam kini kembali
tegakkan panji
panji keadilan
sumber: kanetindonesia.com

lirik di atas adalah sepenggal semboyan wajib organisasi mahasiswa terbesar tanah air. Organisasi yang telah menghasilkan bapak-bapak bangsa negeri ini. Termasuk di dalamnya, Munir Thalib Said.

Tidak cuma Munir dan bapak-bapak tersebut yang bangga menjadi bagian dari organisasi ini. Saya, yang bukan apa-apa juga turut bangga menjadi bagian tak terpisahkan (secara moral) dari sang hijau hitam.

Kepekaan Munir pada rakyat telah membuat nyawanya dihilangkan oleh mereka yang takut kejahatannya dibongkar. Sungguh sayang, karena tak terasa kejadian ini seolah dilupakan oleh generasi selanjutnya yang buta, bisu, dan tuli akan sejarah yang pernah mendera negeri ini.

Popularitas Pilkada (pemilu), tebalnya kantong senior di pemerintahan, rasa-rasanya sukar untuk ditolak generasi sekarang. Sehingga, yang terjadi kemudian adalah gejala-gejala dehumanisme yang semakin banal mengatasnamakan kehidupan berdemokrasi. Tentu bagi mereka tak jadi soal menabrak peraturan dan meninggalkan sang pahlawan kemanusiaan dalam kubangan misteri. Karena satu, yang penting kanda senang.

Mereka, yang sejatinya mahasiswa, sudah dibebani kepentingan pemilik modal dari level paling dasar. Level yang seharusnya dimanfaatkan untuk belajar dan meramu pola pikir agar tetap menjunjung panji keadilan. Kini, keharusan itu pun direnggut oleh para senior yang membutuhkan dukungan dari bawah. Yang sialnya, mereka di bawah juga tidak kalah merengek memohon satu, dua proyek.

Kader baru, yang sedari awal diimingi nama-nama menawan yang telah berjasa dalam perjalanan bangsa ini, akhirnya hancur perlahan akibat ketamakan dan kelaparan mereka sendiri yang ingin sesegera mungkin naik kelas, tanpa mengikuti proses terlebih dahulu, tanpa belajar dan memilah mana yang benar mana yang buruk, mana kanda yang baik, mana kanda yang busuk.

Akibatnya, mereka lupa dengan identitasnya, lupa AD/ART yang tertulis jelas di buku sakunya. Lebih parah lagi, mereka lupa dan acuh pada orang yang telah membesarkan organisasinya. Orang yang nyawanya dirampas paksa di udara.

Lalu. Apa yang mereka bela? Apa yang mereka perjuangkan? Apa yang mereka kerjakan? Seperti kalimat di atas, mereka hanya mengikuti kehendak para kanda di mejanya (juga di penjara). Melakukan apa yang sudah diperintah. Sebagaimana kanda-kanda itu yang sudah (me)lupa(kan) Munir Thalib Said, dan menurunkannya pada mereka. Kawan-kawan saya.

Ketika bukti Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir dinyatakan hilang (jika tidak mau dikatakan dihilangkan), mereka yang notabene berada di bawah payung yang sama dengan almarhum justru tidak bergeming satu huruf pun. Aksi? Jangankan ini, sekedar kicauan di media sosial pun tak dijamah selayaknya pasangan calon pemimpin yang saban hari didukung. Lebih gawat lagi, tak ada satupun kader organisasi berlambang bulan bintang ini yang mempertanyakan bukti TPF tersebut (seingat saya).

Mereka, kebanyakan kader-kader organisasi yang bersejarah itu, secara berkala menistakan jubahnya sendiri, men-durhaka-kan diri dari seorang yang bernama Munir. Sebuah generasi baru yang enggan menggali kembali sejarah untuk mencari kebenaran “yang lain” dalam sebuah catatan masa lalu. Padahal, mereka para saksi sejarah yang harus, dan terus mengungkapkan kebenaran.

Alih-alih mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam kasus Munir, mereka, justru asyik mengamankan kekayaan tirani paling sohor di negeri ini. Membela mati-matian koruptor yang istrinya seorang walikota pinggiran Jakarta, dan bersaudari gubernur yang sudah di penjara.

Atau, menjadi tameng nomor satu mantan ketua pengurus besar yang entah kapan menggantungkan dirinya di Monas, dan kini justru mengibarkan partai baru (di balik jeruji) setelah pecah kongsi dengan partai penguasa sebelumnya. (saya belum tahu apakah partai nya lolos verifikasi Kemenkumham. Karena sudah tidak terdengar lagi gaungnya)

Mereka rela mengorbankan keadilan dan nuraninya demi berbakti pada kanda-kandanya yang laknat itu, hanya karena sang kanda royal dalam setiap kegiatan keorganisasian. Pertanyaannya adalah, di mana nilai-nilai dasar perjuangan yang selalu didengungkan? Ketika yang diperjuangkan hanya berlaku pada kanda yang masih hidup sekalipun di penjara dan menghidupi mereka.

Hal demikian tampaknya sudah menjadi mata rantai yang berjenjang setiap organisasi, terlebih organisasi mahasiswa yang tak bisa lepas dari para senior yang sudah nyaman di kursinya. Belum lagi, budaya meminta yang tiap kali wajib dilakukan jika telah tiba jadwal pelatihan. Meminta, lalu mengabdi pada yang memberi. Tanpa peduli dengan nilai-nilai kebenaran.

Menjual nama kanda-kanda yang sudah besar di negeri ini tidak salah memang, bahkan ini perlu dilakukan untuk menimbulkan ketertarikan bagi kader baru yang memang butuh sosok panutan. Tapi tentu kita tidak perlu membela mereka yang salah, yang menimbun kasus, dan terpenjara. Kita tidak perlu repot menjadi relawan para terdakwa, memuji setinggi langit, bolak-balik penjara untuk membesuk agar dapur organisasi tetap mengepul.

Di lain sisi, kita lupa dengan kanda yang bertaruh nyawa untuk membesarkan negeri ini, mengharumkan organisasi ini, seorang kanda yang telah mengembalikan hak asasi jutaan warga negara, yang tragisnya tak mampu menyentuh hati para dinda masa kini yang semakin culas, yang hanya berorientasi pada rupiah dan keagungan semu seniornya. Ada dimana mereka ketika kawan-kawan Kontras serta Suciwati (istri Munir) harus bertarung sekali lagi untuk mengungkapkan keadilan?

Seperti yang pernah diungkapkan Soe Hok Gie, ketragisan suatu idealisme adalah saat harus berhadapan dengan culasnya kekuasaan. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan. Pemuda-pemuda Indonesia yang penuh dengan idealisme akhirnya hanya punya dua pilihan. Pertama, tetap bertahan dengan idealisme mereka. Menjadi manusia yang non-kompromisitis dan orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala:”dia pandai dan jujur, tapi sayang kakinya tak menginjak tanah,” atau dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus, bergabung dengan mereka yang kuat (partai, ABRI, ormas, klik dan lainnya) dan belajar teknik memfitnah dan menjilat, lengkap dengan ironi dan tragiknya.

Apa yang ditakutkan Gie memang terlihat nyata saat ini, bahkan lebih binal ketika tidak ada idealisme yang berbekas dalam benak mereka-mereka ini ketika setiap kompromi yang dilakukan tak sebanding dengan harga diri yang dipertaruhkan. Hingga muncul nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Abdullah Puteh, Andi Mallarangeng, dan yang terbaru, Irman Gusman.

Mendengar lirik agung di atas, sudah sepatutnya, juga seharusnya kita semua sadar seberapa penting kata-kata itu diciptakan, seberapa besar perjuangan pendahulu kita memperjuangkan itu, dan seberapa besar pula harapan mereka melihat kita melanjutkan perjuangan yang telah mereka perjuangkan.

Organisasi ini, organisasi kita, sudah kepalang besar dan tetap akan menjadi besar tanpa nama-nama di atas. Bukan mereka yang membuat organisasi kita sebesar ini. Sebaliknya, dengan tingkah pola mereka lah kita jadi malu, organisasi kita menjadi hancur karena kedegilan mereka kanda-kanda laknat. Untuk itu, tidak perlu lah kita menjilat ia yang sudah di penjara, merawat hartanya, dan meneruskan birahi politiknya.

            Saya tentu tidak menjadi paling benar akan hal ini, tidak juga merasa paling suci dari mereka yang satu payung organisasi dengan saya. Tapi, bagi saya, lebih baik berterus terang walaupun ada kemungkinan ditolak, bahkan ditindak. Karena, lebih baik saya bertindak keliru dari pada tidak bertindak karena takut salah. Lagi-lagi, Soe Hok Gie.

Tentu kita tidak ingin lagu "Darah Juang" hanya sebatas melafalkan, tanpa mengamalkannya. Karena sesungguhnya, memperjuangkan keadilan dan membela pelaku keadilan jauh lebih bermakna dari pada menikmati (dan menjadi boneka) kemunafikan. 

#SaveHMI



 



Tuhan menciptakan alam raya ini dengan segala keindahan dan keagungannya, dan kita sebagai makhluk ciptaannya pun diwajibkan untuk selalu mensyukuri apa pemberian tuhan, tak terkecuali musibah. Sudah cukup banyak musibah yang terjadi di dunia dengan jutaan nyawa melayang, salah satunya adalah tragedi gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh.

Sebagai provinsi paling ujung barat Indonesia, Aceh berbatasan langsung dengan samudera hindia yang juga terhubung dengan laut Australia, sehingga tidak heran jika hampir semua daerah di Aceh memiliki pantai yang indah, dan menjadi destinasi wisata favorit para pelancong.

Tepat hari minggu pukul 9 pagi, tanggal 26 desember 2004, Nanggroe Aceh Darrussalam diterjang musibah terdahsyat, gempa berkekuatan 8,9 skala richter yang kemudian diikuti dengan gelombang pasang setinggi 10 meter menyapu bersih seluruh pesisir pantai Aceh. Amukan ombak laut yang tak bisa dibendung dengan apapun ini meratakan seluruh daerah yang berdekatan dengan bibir pantai seperti Meulaboh, Calang, sampai ke ibukota provinsi, Banda Aceh. Tidak ada tempat untuk berlindung ketika air laut datang, kecuali mesjid-mesjid yang tetap kokoh berdiri berkat kebesaran ilahi.

Tsunami yang menurut para ahli Geologi hanya terjadi 200 tahun sekali, dalam sekejap amukannya menghancurkan Serambi Mekkah, tidak ada yang disisakan dari bencana ini kecuali rasa pilu paling dalam warganya, dan mayat yang bergelimpangan disetiap sudut jalan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda apa-apa, tuhan menegur keras rakyat aceh dengan bencana maha besar yang merenggut nyawa hampir 200 ribu jiwa ini.

Tapi di balik setiap musibah tuhan selalu menyelibkan keberkahan yang bisa dirasakan umatnya, dan setidaknya Aceh mendapatkan dua keberkahan yang dijanjikan tuhan kepada umatnya di daerah yang menerapkan Syariat Islam ini. Yang pertama, provinsi paling barat Indonesia ini, yang selama belasan tahun dibelenggu konflik antara Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) dan pemerintah Indonesia akhirnya berdamai pada 15 agustus 2005 – sebuah impian rakyat aceh yang ingin hidup damai tanpa kekerasan akhirnya terwujud. Dan yang kedua, munculnya bocah bernama Martunis yang sekarang sudah menjadi bagian dari club bersejarah Portugal, Sporting Lisbon.

Pagi hari saat tsunami menerjang Aceh, Martunis, yang ketika itu berusia 7 tahun sedang asyik bermain bola bersama beberapa teman sepermainannya. Mengenakan baju tim nasional Portugal bertuliskan Rui Costa, ia terhempas puluhan ribu mil ke tengah tengah samudera Hindia dan terombang-ambing selama puluhan hari dengan hanya berbekal batang pohon yang mengapung, ia tiada henti berjuang untuk terus hidup walau hanya bisa “menikmati” asinnya air laut, pekatnya batang pohon yang dimakan untuk mengisi perut. Tentu itu bukan makanan yang dikehendakinya, tapi apa lagi yang harus dilakukan di tengah laut selama puluhan hari.

Tidak lama setelah itu, tuhan lagi-lagi menunjukkan kebesarannya dengan “mengirim” sebuah kapal dan helikopter asal Belanda untuk menolong Martunis yang sudah tidak tahan dengan “kehidupannya” di laut lepas. Penderitaan selama terjebak di laut pun terbayar seiring pemberitaan yang dilakukan televisi Belanda yang merekamnya sembari memakai jersey negara Portugal.

Tuhan seakan sudah menakdirkannya untuk memakai seragam Portugal pada hari itu, dan berkat “Rui Costa” inilah yang menggugah warga dunia akan dirinya dan tentu negara Portugal yang menaruh simpati amat tinggi untuknya.

Portugal yang ketika itu masih diperkuat generasi emas dengan Rui Costa di dalamnya, Pauleta sebagai penyerang, Luis Figo sebagai rajanya, dan tentu kemunculan bintang baru mereka Cristiano Ronaldo yang masih berumur 20 tahun, bahu membahu membantu Martunis dan rakyat aceh selama rekonstruksi berjalan. Bahkan – menurut saya – mereka menjadikan Martunis sebagai duta negaranya. Baik federasi, pelatih, hingga presiden Portugal mengundang Martunis untuk berkunjung ke negara Eropa barat tersebut.
Martunis bersama seluruh skuat Portugal (sumber: tempo.com)


Tapi lebih dari itu, Martunis mendapatkan perhatian yang luar biasa dari idolanya, Cristiano Ronaldo. Dia menemukan seorang panutan, seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup di tengah laut, seseorang yang selama ini dipanggil dengan sebutan abang dalam diri Cristiano Ronaldo.

Baju Portugal yang ia kenakan telah membawa Cristiano Ronaldo menginjakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah selama beberapa hari, hanya untuk menjenguk sang “adik” di kota kelahirannya – seingat   saya, Ronaldo adalah pesepakbola dunia pertama yang berkunjung ke Aceh. Kedatangannya tersebut telah membuat Aceh kembali dibanjiri oleh lautan manusia, tidak ada sudut yang tersisa di Banda Aceh karena orang-orang yang ingin melihat sang superstar dari dekat.
kedatangan Ronaldo ke Aceh pasca Tsunami (sumber: liputan6.com)


Seperti ingin membalas jasanya, Martunis pun gantian menyambangi Ronaldo di Portugal dan menjadi tamu kehormatan di negara Eusobio tersebut, dia pun berkesempatan menonton langsung pertandingan Kualifikasi piala dunia 2006 antara Portugal vs Finlandia, tidak sampai disitu, Martunis bahkan duduk disamping pemain yang jersey nya ia pakai ketika musibah tsunami terjadi, Rui Costa.
Martunis dan legenda hidup Portugal, Eusebio ketika menyaksikan pertandingan Portugal vs Finlandia (sumber: pinteres.com)


Cristiano Ronaldo, merupakan pemain tersukses Portugal bahkan dunia. Sudah banyak trofi yang ia menangkan, sudah tak terhitung pula gol yang ia cetak bersama club dan negaranya, kekayaan yang melimpah ruah nyatanya tak membuat ia lupa dengan anak asuhnya yang tinggal puluhan ribu mil dari benua  Eropa.
Ketika awal tahun lalu ia kembali datang ke tanah air, dia pun tak lupa untuk turut mengundang Martunis ke Bali, tempat dimana Ronaldo singgah. Cristiano yang terakhir bertemu martunis ketika masih kecil, terkaget-kaget ketika melihat sang bocah sudah tumbuh dewasa dan piawai bermain bola.

Ketika semua orang di Indonesia, dan bahkan di Aceh mulai lupa dengan kisah Martunis, club penuh sejarah di Portugal, club dengan penghasil pemain nomor wahid  dunia, Sporting Lisbon, tidak pernah lupa dengan  bocah Aceh ini. disaat pencinta bola tanah air terbuai dengan fenomena konyol bernama Andik Vermansyah yang mengaku dirinya didekati Sporting Lisbon.

Tanpa basa basi, tanpa sorotan media lokal, dan mungkin tanpa disadari oleh dia sendiri, Martunis sudah terbang ke Portugal untuk menandatangani kontrak bermain di akademi Sporting Lisbon. Sebuah akademi yang sudah menghasilkan pemain terbaik dunia semacam Luis Figo, Pedro Pauleta, Luis Nani, dan tentu Cristiano Ronaldo.
bersama idolanya, di sela-sela latihan Sproting Lisbon (sumber: goaceh.com)


Sebuah mimpi semua anak di dunia, sebuah harapan yang nyatanya hanya menjadi mimpi semu bagi seorang pemain profesional sekelas Andik Vermansyah, dapat diwujudkan oleh seorang bocah yang untuk mengejar mimpinya ke Portugal harus berjuang bertaruh nyawa, yang tak pernah terbayangkan oleh kita sebelumnya.

Martunis yang kini berusia 17 tahun patut bangga dengan apa yang telah ia capai sejauh ini, walau dengan segala penderitaan yang dialami selama musibah 12 tahun lalu. Kehilangan hampir seluruh keluarga akibat tsunami tak menyulutkan niatnya untuk terus menyambung hidup, dengan tekat pantang menyerah yang turut dibantu Ronaldo sebagai pedoman hidupnya.

Kini martunis bisa menapak tilas perjalanan karir sang mega bintang di Sporting Lisbon, leóes – julukan Sporting bahkan mewariskan nomor punggung 28 kepadanya, nomor pertama yang dikenakan Ronaldo ketika memperkuat Sporting.

Namun, di balik itu semua memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan Martunis mencapai akademi Sporting Lisbon berbau keberuntungan dan jasa Cristiano Ronaldo. Karena kita sendiri tentu tidak tahu sejauh mana keahliannya mengolah bola di lapangan. Tapi apapun itu, kita patut bangga dengan pencapaiannya saat ini, toh, kalaupun kemampuannya belum teruji sekarang dia tentu masih bisa belajar di akademi Lisbon, masih cukup panjang waktu yang ia miliki untuk bisa menjadi pemain bola profesional.

Sekalipun dia tidak mampu menembus tim utama Sporting Lisbon di masa mendatang, dia tentu akan diterima kembali dengan cinta rakyat Indonesia di tanah air dan bisa berbagi ilmu yang didapat dari akademi terbaik Eropa tersebut. Tidak menutup kemungkinan pula ia bermain di liga Indonesia dan tentunya mewujudkan mimpi seluruh anak Indonesia untuk membela negara di ajang internasional.

Tapi, sekali lagi, doa rakyat aceh, juga Indonesia menyertainya untuk bisa menembus tim utama The Lions dan menjadikan ia satu-satunya anak asli Indonesia yang bermain di kancah tertinggi Eropa dan membawa kebanggaan teramat dalam bagi kita, Indonesia.

Pada akhirnya, sepak bola lagi-lagi menunjukkan sisi humanis yang sangat manis untuk kita pelajari. Sepak bola, khususnya Sporting Lisbon telah mengajari kita semua apa arti sepak bola yang sebenarnya melalui hal yang paling dasar. Sebuah club besar yang tidak melulu hanya menghargai pemain besar telah membuka mata kita apa arti kehidupan antar sesama yang sebenarnya. Melalui sepak bola kita bisa menyatukan dunia dengan segala kegetirannya.


Pernah Paul McCartney mengungkapkan satu kalimat kepada John Lennon “Music is Music, Simple”. Maka, kali ini mari sama-sama kita mengatakan “Football is Football, Simple”