Baru-baru ini saya sempat dihardik seseorang begini “susah
sih kalo emang nggak punya passion
nulis,” di sebuah percakapan grup. Cukup beralasan memang ia berkata demikian,
ia jengah melihat tulisan saya yang masih salah spasi, salah ukuran gambar, ya intinya
salah lah.
![]() |
source: lapastelly.com |
Sebagai penganut hadist sahih “perempuan selalu benar” saya
pun mengakui kesalahan-kesalahan itu. Dan memang hal tersebut masih menjadi
permasalahan dalam diri saya, gaya penulisan saya. Tapi, ini bukan perihal passion tentu saja.
Hmmm…gimana ya, sebenarnya saya ingin mengatakan ini pada
beliau, tapi ya itu tadi, akan terbentur hadist di atas. Oleh karena itu saya
jadikan tulisan saja (yang sepertinya akan tetap ada kesalahan-kesalahan tata
bahasa…hahaha)
Tak bisa dipungkiri, keberanian saya untuk menulis hanya
modal nekat semata. Rasa malas yang sering menghinggapi ketika harus membaca
buku yang terus menumpuk semakin menghanyutkan saya dalam kegamangan tata penulisan
yang benar. Saya cukup jarang memerhatikan tanda baca, spasi, dan bahasa.
Sedari awal membaca, saya selalu terfokus dengan isi cerita dan mengabaikan hal
lain yang sama pentingnya.
Tapi sekali lagi, ini bukanlah masalah passion. Ini lebih kepada masalah tidak mau belajar dan lebih
teliti lagi. Sebagai pembaca, saya lebih nyaman membaca sebuah tulisan yang
memiliki kekuatan dalam cerita, sekalipun banyak spasi yang ke sana sini, tanda
baca dan kata yang tidak sesuai kaidah bahasa, dari pada saya harus membaca
tulisan yang sangat detail dengan segala tetek bengek KBBI tapi abai dengan isi
cerita dan cara menyajikannya. Dan ini cukup sering saya temukan ketika membaca
beberapa tulisan yang sangat rapi secara kaidah bahasa, tapi hancur dari segi
cerita. Ini opini saya pribadi lho ya!
Memang, jika isi cerita sama bagusnya dengan tata bahasa
akan menjadi sempurna untuk kita baca. Semua orang pun menjadikan kedua hal ini
sebagai kewajiban yang harus dilakukan, tak terkecuali saya. Tetapi tidak
jarang saya tetap bisa menikmati tulisan yang hanya fokus pada isi ceritanya.
Dan percayalah, lambat laun, setiap membaca sebuah karya,
saya semakin concern dengan setiap
kata yang ditulis. Diksi-diksi yang diciptakan semakin saya dalami, tata bahasa
yang baik dan benar pun semakin saya geluti, supaya kualitas tulisan saya membaik. Bukan untuk menumbuhkan passion
tentu saja. Karena, jika tidak punya passion
tidak mungkin saya berani menulis dengan modal nekat tadi. Tanpa passion pula, mustahil rasanya blogspot
berubah menjadi com yang kemudian berbuah Tetralogy Pramoedya Ananta Toer.
“Tulisan yang baik adalah tulisan yang berasal dari
kegelisahan,” kata seorang penulis terkenal (saya lupa namanya). Tanpa rasa
jumawa, tidak pula merasa superior, latar belakang dari setiap isi tulisan saya
memang berdasarkan kalimat di atas. Baik itu sepak bola, politik, sosial budaya, bahkan tulisan hiburan pun berawal dari kegelisahan yang muncul dari
pemikiran saya.
Lagi-lagi. Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, tanpa
sadar saya telah mengamini apa yang selama ini Pram katakan, “menulis adalah
sebuah keberanian. Dan keberanian adalah ketulusan,” lewat modal nekat yang
saya katakan di atas. Sepemahaman saya, nekat juga merupakan bagian dari passion, bukan? Jadi, selama proses
pembelajaran ini berlangsung, dengan segala hormat saya bertanya, passion setingkat apa yang kamu tuntut
dari tulisan saya? Apakah saya harus menggebu-gebu layaknya mz Komo yang
senantiasa mengumbar urat nadi dalam setiap kata yang diucap ketika memandu
dede-dede galau di “Katakan Putus”? atau kah, passion saya harus selantang
suara mz Cakra Khan yang semakin serak-serak seret itu? atau
jangan-jangan, saya harus menjadi bloger goodie bag dulu untuk mengukur
sejauh mana passion saya?
Dari sini, muncul kegelisahan baru dalam diri saya, apakah
mereka yang menulis hanya untuk alasan komersil masih memiliki passion yang sama saat pertama kali
menulis?
Hingga kini (dan nanti), alasan saya nge blog hanya
menulis, dan berbagi cerita, itu saja. Alih-alih memikirkan berapa DA/PA,
berapa Alexa Rank, berapa followers di Twitter (terlebih lagi Instagram).
Jangankan mikirin istilah-istilah di atas, sampai sekarang saya bahkan tidak
tahu dan terkesan tidak mau tahu apa itu DA/PA, apa itu Alexa Rank yang
diagung-agungkan para bloger.
Di sisi lain, saya cukup sepakat dengan pendapat salah satu teman, yang menekankan bahwa tidak ada masalah passion yang hinggap di
benak saya. Tapi tidak mau belajar, dan membenahi kesalahan yang lalu, yang
memang sangat tampak dan menjadi titik lemah di tulisan-tulisan saya selama ini.
Sekalipun menurut logika beliau saya tetap tidak memiliki
passion, toh, saya masih bisa bersyukur dengan keadaan seperti ini. Setidaknya
tanpa passion yang ia maksud itu, saya tak perlu repot-repot mengejar dateline.
Ya, dateline