“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti,” pertanyaan yang kini muncul adalah; siapa yang bisa mengisi kehilangan itu? Siapa yang mampu menggantikan Banda Neira? Ya, si empunya lagu mengumumkan bahwa mereka resmi membubarkan diri dari belantika musik (indie) tanah air.

Bang Yos (bukan Sutiyoso) mengagetkan saya pagi kemarin ketika membagi tautan berita bahwa Banda Neira bubar. Tak lama, dalam sebuah percakapan di W-Buy, Benaaa menyeringai pilu mengatakan hal yang sama. Lewat huruf yang dirunut sebesar gaban, hatinya hancur mendengar band yang dihuni dua orang ini bubar. Sementara Andhikamppp? Tahu apa dia  tentang Banda Neira!
sumber: dibandaneira.tumblr.com
Saya? Tentu juga kaget dengan keputusan itu. Tapi, sebelum kabar tersebut mengudara di linimasa, saya sedikit banyaknya mengetahui rencana tersebut beberapa bulan yang lalu. Dalam sebuah wawancara di Jogja, yang kemudian tersebar di Youtube dan saya saksikan, mereka memang sudah memikirkan wacana itu. tapi tentu saja bukan bubar, melainkan vacum sementara.

Keputusan tersebut diambil tidak lama setelah mereka merampungkan album kedua. Apa mau dikata, itu memang sudah menjadi kesepakatan bersama. Rara terbang ke Eropa untuk melanjutkan S2, sedangkan Ananda kembali ke Jakarta untuk bekerja seperti sedia kala.

Banda Neira, yang katanya sebuah proyek iseng telah menjelma menjadi parameter selera musik kita. Hanya dengan dawai gitar, mereka menghipnotis kita yang pada awalnya menerka “lagu siapa sih ini?,” mereka yang awalnya hanya menjadikan Banda Neira sebagai kegiatan paruh waktu nyatanya sudah membuat kita setia mendengar karyanya sepanjang waktu.

Lagu-lagu yang mereka tulis juga bukan main syahdunya. Sekalipun tema dari lagu yang mereka cipta cukup sederhana, tapi tiap kata yang mereka tulis tak jarang, tak pernah terpikir oleh kita sebelumnya. Siapa yang tak larut kala medengar Sampai Jadi Debu, Pelukis Langit, Matahari Pagi, juga lagu lainnya. Sebuah rangkaian kata sederhana dalam setiap lirik yang mempunyai makna begitu dalam bagi siapa saja yang mendengar.

Sepasang anak muda yang bisa jadi lebih muda dari saya sudah berhasil menghipnotis umat manusia, bukan hanya karena lagunya, bukan juga karena keduanya, tapi juga karena bubarnya mereka yang meninggalkan derai air mata pendengarnya.

Tidak ada yang menyangka jika keduanya sepakat berhenti berkarya mengingat umur Banda Neira sendiri masih sangat belia. Juga dengan karya mereka yang masih sangat kuat di telinga, membuat berhentinya mereka terasa tabu untuk kita terima.

Mengenal Banda Neira dan menyesali bubarnya mereka, sudah sepantasnya kita harus mengetahui siapa sebenarnya kedua pemusik ini. Siapa yang menyangka, di balik keteduhan lirik yang dicipta, keduanya sangat aktif dibeberapa kegiatan di luar musik. Ananda Badudu, ia bahkan sempat aktif di organisasi kemahasiswaan yang dicap radikal dan ke-kiri-an oleh karena militansinya dalam menyuarakan kebenaran lewat tulisan-tulisannya yang tajam. Dalam kesendirian, ia lebih menikmati jiwanya dirasuki pemikiran Marxisme dan Marheinisme.

Setali tiga uang, Rara Sekar, yang berasal dari kampus yang sama, juga bergabung dengan Ananda di bawah payung organisasi yang sama pula. Sudah barang tentu, masuknya Rara ke Media Parahyangan (MP) atas dorongan Ananda yang memang kakak kelasnya, juga ketua MP ketika itu. Selain itu, Rara juga sempat pindah ke Bali, namun tetap menjaga komunikasi dengan Ananda dan tetap berkarya bersama meski berada di pulau yang berbeda. Ke-aktivis-an Rara semakin kental saat ia bergabung dengan komunitas Taman 65 yang vokal menyuarakan keadilan tentang korban 65 yang tak pernah terselesaikan.

Siapa pula yang menyangka jika mereka sejatinya adalah seorang jurnalis, pewarta yang saban hari berlalu-lalang mencari berita. Ke-radikal-an Ananda sendiri berhasil ditampung harian Tempo yang kredibel. Sementara keberanian Rara telah mendapuknya menjadi bagian dari Kontras dan LSM pencarian orang hilang selama orde baru, bentukan almarhum Munir.

Perhatian keduanya terhadap mereka yang tak pernah pulang terpancar jelas ketika Banda Neira memusikalisasi karya-karya para pendahulunya. Seperti lagu “Mawar” yang menjadi pilar kerinduan Wiji Thukul pada Sipon (istrinya) di masa pelarian. Atau lagu “Tini dan Yanti” yang mengekspresikan kecintaan Ida Bagus Santosa pada istrinya (Tini) dan calon anak mereka (Yanti) yang ditulis lirih di tembok jeruji.

Pemikiran-pemikiran yang sama, tergabung dalam berbagai organisasi yang sering dibilang “kiri” dan radikal semakin meyatukan sesamanya dalam menciptakan sebuah kata dan menjadi harmonisasi yang indah dalam setiap nada yang dilantunkan.

Saya sendiri hanyalah anak baru yang tidak banyak tahu tentang band indie tanah air. Termasuk Banda Neira, yang baru beberapa bulan ini saya ketahui dan langsung mengagumi. Jujur saja, sosok Rara Sekar dengan rambut nge-boob yang disempurnakan kacamata yang melingkar di matanya lah yang mengawali rasa penasaran saya pada karya mereka berdua.

Kesedihan memang tak bisa dihindarkan. Kecintaan saya pada Banda Neira yang baru beberapa bulan terpaksa berujung lara ketika Ananda Badudu dan Rara Sekar memutuskan berpisah. Dan tatkala nama Banda Neira sudah menjadi debu, biarlah kita menyimpannya dalam satu ruang yang berada tepat di bawah matahari pagi agar si pelukis langit tetap mewarnai ketiadaan Banda Neira. Dan kita, para pendengar setia, sudah sepantasnya selalu di sebelah mereka, sebagai kawan.





Belakangan, cukup banyak teman blogger yang menulis dengan tema utama, tutorial. Apapun itu. Dari tutorial berhijab yang baik dan benar, tutorial cara nyisir rambut agar lurus terurai selayaknya kak Dian Sastro di iklan, tutorial macarin seorang blogger hits ( lengkap dengan minimum DA/PA, alexa rank, niche blog, berapa kali di endorse produk, berapa kali dapat sepaket goodie bag cantik, hingga jumlah followers di media sosial lengkap dengan riwayat livetweet selama menjadi blogger), tutorial manasin motor supaya bisa jalan dan si dia tidak menunggu terlalu lama di Semarang, dan masih banyak lagi.

Untuk mengimbangi pergaulan dunia blogger yang semakin kapitalis halah, saya pun mencoba mengikuti arus yang ada. Hingga tercetuslah tutorial berikut ini. Eh, cara sih lebih tepatnya. Karena menurut saya tutorial terkesan terlalu menggurui.

Kita akhiri mukaddimah di atas dan lanjut ke inti cerita *olesin pomade 2 kilo*. Sebagai penyembah berhala bernama sepak bola, saya mempunyai beberapa cara agar kamu bisa menjadi fans sepak bola. Cara-cara ini khusus untuk kamu yang merasa wanita, laki-laki juga boleh nyimak sih kalo pacarnya gila bola. Begini;
sumber: benuailmu.com
1.      Keluarga
Tidak perlu jauh-jauh, keluarga bisa menjadi gerbang utama kamu agar suka sepak bola. Minimal, salah satu anggota keluargamu suka bola. Baik itu bapak, adik, atau pun abang kamu. Tapi akan lebih menjanjikan sih bapak, ya. Gini, tiap malam minggu tiba, kamu yang malam minggunya nggak ada yang jemput, otomatis akan mengisi waktu dengan menonton tv. Dan di saat yang sama, bapak kamu sedang asyik-asyiknya nonton bola yang tidak berjeda itu. Mulai dari liga Inggris, Spanyol, Jerman, Italia, hingga liga Torabika Cempiyensip antara Persipura vs Manchester United yang secara marathon berganti mewarnai layar kaca.

Dari pada malam minggu kamu hanya melihat media sosial yang sialnya, semua teman dunia maya mu sedang update lagi berduaan sama pasangan yang membuat kamu semakin tersiksa dan terus meronta akan status jomblo mu itu, maka mau tidak mau kamu akan ikut nonton sepak bola, bersama ayah tercinta. Dengan kehangatan khas seorang ayah, tanpa sadar kamu pun ikut larut pada sebuah euforia bernama sepak bola.

2,         Teman
Jika sekiranya keluarga tidak berhasil bikin kamu suka sepak bola, maka pengaruh teman bisa menjadi obat ampuh agar kamu mencintai sepak bola. Sebagai tempat pelarian ketika sedang dalam masalah, baik dengan pacar (kalo punya) dan keluarga, teman memiliki tingkat mempengaruhi yang cukup tinggi.
Di saat kamu sedang durjana meratapi nasib kesendirianmu di malam minggu, ditambah bapakmu di rumah asyik nonton sepak bola, dan ibumu makin hanyut dengan Tukang Bubur Naik Haji (yang sudah tidak ada lagi tukang buburnya. Ironis) pastinya kamu akan memohon pada seorang teman untuk menemani.
sumber: kompasiana.com
Dengan persiapan matang, dibalut baju merah merona (sesuai permintaan teman) kamu pun melangkah dengan pasti ke tempat yang sudah dijanjikan. Tanpa disadari, tempat yang dimaksud menjadi ajang acara nonton bareng sepak bola temanmu beserta koleganya. Perih? Bisa iya, bisa tidak. Toh, pakaianmu sudah seirama dengan para fans di sana. Jadi? Nikmati saja. Apa kamu mau maksa temenmu buat pindah tempat? Lho kok ya kamu nyolot sih? Udah ditemenin juga. Cih.

3.         Pemain Ganteng
Ini bisa dijadikan alasan untuk kaum hawa mencintai sepak bola. Semakin maraknya wanita yang mencintai si kulit bundar memang diakibatkan, salah satunya tampang pemain yang rupawan. Siapa yang sanggup mengedipkan mata (walau sedetik saja) ketika melihat David Beckham sedang mengambil ancang-ancang menendang bola? Kurang ajarnya, bapak satu ini makin tua malah makin jadi gantengnya.

Sebebal apapun kebencian kamu pada sepak bola, tentu kamu akan melongo juga ketika melihat aksi pemain-pemain yang tampan nan rupawan. Apalagi jika bola yang kamu tonton adalah liga Italia atau Spanyol dengan ciri khas kehangatan pemain-pemain latinnya.

Dalam ambekan yang sedang membuncah pada pacar sekalipun, akan muncul senyum sumringah ketika layar tv menyorot Adam Lallana, Emre Can, atau Loris Karius. Yha, Liverpool semua aja, Nda. Bahkan jika kamu penggemar om-om berjakun juga tidak perlu khawatir, masih ada paman Diego Costa yang akan membuat pacarmu gelap mata dan berasa tak berguna. Percaya atau tidak, cara ini berhasil saya buktikan. Tapi dulu, dulu banget.

4.         Pacar
Apa yang akan dilakukan seseorang pada pasangan? Ya, menuruti apa keinginannya. Demi menyenangkan tambatan hati agar tak lari ke hati yang lain. Salah satu cara jitu adalah menemaninya nonton bola. Tentu kamu akan meng-iya-kan saat doi ingin pergi nobar. Meski dengan berat hati, kamu pun setia menemani, agar tidak kehilangan satu momen penting pun selama menjalin kasih untuk diceritakan pada anak cucu kelak (kalo jadi). Terlebih lagi jika hubungan kamu masih seumur jagung. Sudah barang tentu kamu hanya manggut-manggut saja, kan? Kan? Ingat. You go, I go.

Pacar adalah senjata paling ampuh dan alasan paling cieee-able agar kamu suka sepak bola. Yha ((((cieee-able)))). Demi menjaga malam minggu kamu agar tetap berkualitas, nobar seakan menjadi kewajiban yang harus dijalani. Karena kamu tidak hanya bisa nobar, tapi juga bisa memadu kasih bersama. Dengan puluhan orang lainnya. hahah
sumber: bintang.com


Satu fakta baru yang perlu kamu ketahui adalah, malam minggu bukanlah waktu yang tepat untuk pacaran. Melainkan waktu bagi pecinta sepak bola memadu kasih antar sesamanya. Para expert politik pun dibabat habis oleh anak bola di lini masa tiap malam minggu tiba.   

Demikianlah tulisan receh saya tentang cara agar kamu suka sepak bola. Cara-cara di atas berlaku untuk semua kalangan dengan semua tingkatan kebencian pada sepak bola.

Bahkan buat kamu yang benci sepak bola sejak dalam kandungan, cara-cara di atas bisa kamu aplikasikan sendiri. Niscaya, kamu akan jatuh cinta dibuatnya. Jika tidak juga, silakan berteman dengan mereka-mereka yang pernah disebutkan seorang pujangga bernamaYosfiqar Iqbal dalam sebuah percakapan bersama.


Tulisan tentang cara lainnya bisa kamu lihat di


"Tulisan ini adalah proyek menulis dari w-buy"









Bentornato Serie A
sumber: redaksisport.com

 Bukan, saya bukan buzzer Trans 7 yang menjadi official TV partner Liga Italia. Saya hanya pecinta keindahan Liga Italia yang gaungnya kembali bisa kita rasa, seiring mengudaranya Serie A di layar kaca.

Sudah cukup lama memang kita tidak bisa menikmati para gladiator lapangan hijau dari negeri pizza. 
Kepopuleran yang terus merosot, ditambah minimnya pemain bintang memaksa stasiun televisi (lokal) enggan membeli hak siar Liga Italia. Lowongnya kursi-kursi tribun tifosi di stadion semakin menenggelamkan gemerlap Liga yang sempat mahsyur pada medio 90-an hingga awal millenium baru.

Banyak yang beranggapan jika merosotnya liga Italia diakibatkan oleh kasus calciopolli yang menggerogoti negara yang baru saja di tinggal perdana menterinya tersebut, pada 2006 lalu, belum lagi kiprah club-club Italia yang tidak bisa melaju lebih jauh di kancah Eropa semakin membuat Serie A di tinggal oleh penggemar setianya, juga para pemilik media televisi.

Di Indonesia sendiri, hampir semua stasiun TV pernah merasakan dampak manis akibat menyajikan Liga Italia. Mulai dari ANTV, RCTI, SCTV, Indosiar, Trans 7, Kompas TV, hingga TVRI. Dan tiga tahun terakhir, tidak ada satu media televisi pun yang sudi menayangkan Serie A dengan beberapa alasan. Hingga pada akhirnya, musim ini Serie A kembali ke pangkuan Trans 7 yang mulai memanjakan tifosi tanah air sejak dua minggu lalu. Meskipun tidak menayangkan sejak awal musim, para pecinta keindahan sepak bola Italia di Indonesia tetap mengapresiasi dan angkat topi pada stasiun TV yang kebetulan satu grup dengan tempat perusahaan saya bekerja.

Kita semua kembali disuguhkan sepak bola indah khas Italia tanpa harus membayar satu rupiah pun di penghujung bulan. Meski saat ini pihak Trans 7 hanya bisa menyanggupi satu pertandingan dalam satu minggu, ini tentu tidak menjadi soal. Karena nyatanya, ini hanya permulaan agar ke depan Trans 7  bisa menayangkan 2 atau bahkan 3 pertandingan setiap minggu nya. Semoga.

Meski sempat kecewa karena batalnya Derby Milano tersiar di layar kaca. Seminggu berselang, kegelisahan pecinta liga Italia benar-benar terbayar saat Inter Milan v Fiorentina kembali menghiasi TV kita. Terutama saya yang sangat haus akan kerinduan menyaksikan La Beneamata (julukan Inter Milan) bertanding. Terus terang saja, terakhir kali saya menyaksikan Inter bermain kala melakoni Derby Milano dua musim lalu yang dimenangkan Inter lewat gol backhill Rodrigo Palacio. Bukannya tak cinta dan tak sayang, apa boleh dikata, Erik Tohir telah merusak cerita indah saya.

Apa yang dirindukan penggemar sepak bola Italia pun terbayar lunas, setidaknya itu dirasakan fans Inter Milan di tanah air setelah pihak TV memilih menayangkan club pujaan mereka. Perasaan Interisti pun semakin berbinar kala club kesayangan bermain kesetanan pada awal laga dan langsung unggul 3-0 pada 20 menit pertama.

Yang benar-benar dirindukan itu pun kembali. Sebuah kerinduan yang tak bisa diganti oleh liga Spanyol dan Inggris. Bahkan Liverpool sekalipun. Menyaksikan kemenangan Inter untuk pertama kali diiringi gemuruh seisi Gueseppe Meazza. Lewat dentuman-dentuman ledakan yang acap kali menghiasi pertandingan Serie A seakan membawa saya kembali ke zaman di mana liga Italia menjadi komoditi nomor satu pecinta sepak bola Indonesia.

Kita tidak akan bisa mendengar semacam ledakan di Liga Eropa lainnya. Karena hanya memang Liga Italia yang bisa menawarkan hal itu. ketika di Inggris, Spanyol, dan Jerman menganggap itu membahayakan, Liga Italia tetap menjadikannya sebuah keindahan yang selalu  dirindukan.

Nostalgia Serie A Italia semakin terasa nikmatnya saat disetiap gol tercipta, seluruh penonton meneriakkan nama belakang sang pencetak gol secara serempak. Terhitung hingga tiga atau sampai lima kali para tifosi meneriakkan nama pencetak gol yang dikomandoi oleh leader mereka. Dan lagi-lagi, ini tidak saya temukan kala menyaksikan pertandingan di Inggris atau Spanyol.

Budaya seporter-seporter di Italia memang sedikit berbeda dibanding seporter yang ada di Spanyol dan Inggris. Mereka cenderung sama dengan fans asal Eropa timur atau Turki yang spontan dan terkesan beringas dalam mendukung tim. Di waktu yang bersamaan, fans-fans di Inggris dikenal sangat “santun” mendukung tim kesayangan, bahkan saat awayday sekalipun (terlepas dari aksi Hooligans tim nasionalnya yang brutal).

Kita hampir mustahil melihat stadion di Italia tanpa amukan asap yang mengepung seisi lapangan. Sekalipun tribun penonton tidak terisi penuh, tapi hampir bisa dipastikan jika lapangan pertandingan menjadi gelap dipenuhi asap yang berasal dari flare dan smoke bomb. Dan semakin indah oleh kibaran banner-banner besar serta bendera raksasa yang selalu menghiasi stadion.

Belakangan, di Inggris, Liverpool beberapa kali mulai mewarnai tiap sudut stadion dengan smoke bomb merah yang kerap mengasapi saat tim kesayangannya mencetak gol. Tapi sialnya, club harus menanggung hal tersebut kala FA menjatuhi sanksi akibat ulah Liverpudlian. Alasannya cukup sederhana, smoke bomb, flare, dan sejenisnya memang dilarang di sepak bola Britania.

Beberapa tahun lalu, ketika Liga Italia masih mendapat tempat di TV Indonesia, mata saya harus menatap lebih dalam ke pertandingan akibat lapangan yang tertutup pekatnya asap dari para seporter. Terkesan mengerikan memang, tapi itu lah identitas mereka, daya tarik mereka. Dan itu pula yang selalu saya rindukan dari Liga Italia.

Untuk beberapa kalangan, hanya buang-buang waktu saja menyaksikan liga Italia karena permainannya yang lambat dan cenderung membosankan, tapi bagi pecinta keindahan sepak bola, Liga Italia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, lewat fenomena seporter yang tanpa takut membela tim kesayangan, hingga panorama gol-gol indah dari para gladiatornya yang hanya terjadi di liga Italia. Bagi saya, tidak ada pemain dari belahan dunia manapun yang mampu mencetak gol semagis Fransesco Totti atau Antonio DI Natale.

Maka tidak ada kata terlambat sekiranya media tanah air baru memanjakan pecinta Serie A di tengah kompetisi. Seperti kata Fiersa Besari sekalipun saya bukan penggemar blio dan tidak pernah baca buku-bukunya “seperti dendam, rindu juga harus dibalas tuntas,”. Karena liga Italia selalu menawarkan kita sebuah keindahan sepak bola. Ya, Beauty Of Serie A.
sumber: radarindo.com

Selamat datang kembali, Serie A

  
Di sebuah ruangan saya tertegun, merasa hampa di tengah keramaian, tertunduk lesu di samping kolega yang saling bercengkrama. Mata saya, hati saya, pikiran saya, tertuju lurus ke headline berita yang muncul di lini masa.

Keesokan harinya, hati saya makin lirih saat melihat foto seorang anak yang duduk hingga tertunduk di antara tribun penonton yang tak berpenghuni, seolah ia tak sanggup melihat masa depan dan tak ingin melihat ke belakang. Sejenak namun penuh khitmat ia memanjat doa untuk mereka yang baru saja tiada, memupuk kembali harapan yang sempat sirna lewat memori indah dari para pahlawannya.
bola.net
Chapecoense, club Serie A Brazil yang setahun belakangan menjadi buah bibir di dataran Amerika Latin karena keberhasilan mereka menembus final Copa Sudamericana menjadi inti cerita. Tidak ada yang menyangka (termasuk mereka yang ada di sana) bahwa malam itu adalah terakhir kali mereka melihat dunia.
Gelar yang mereka idamkan sejak lama, yang sudah di depan mata, tak pernah benar-benar menghiasi lemari Stadion Arena Conda, yang pada akhirnya, gelar tersebut turut serta mereka bawa ke surga, bersama 71 nyawa yang juga terbang ke sana.

Ini tentu bukan kejadian pertama di dunia sepak bola. Jauh sebelum kecelakaan pesawat menimpa skuat Chapecoense, Manchester United dan Torino sudah lebih dulu merasakan betapa pilunya tragedi serupa. Dengan korban nyawa yang tak terkira.

4 Mei 1949, menjadi hari yang tak pernah bisa dilupakan seisi penduduk kota Turin. Torino, club besar Italia (ketika itu) memulai cerita getir tersebut. Peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Superga ini menewaskan seluruh awak pesawat, tak terkecuali punggawa Torino, yang saat itu dihuni pemain-pemain bintang. Lebih pahit, peristiwa nahas ini sekaligus memutus rantai sebuah generasi emas di masanya.

Lawatan Torino ke Lisbon, Portugal, untuk memenuhi undangan pemain Benfica, Francisco Jose Ferreira yang hendak gantung sepatu berbuah petaka. Kepulangan mereka ke Turin tak direstui semesta. Badai besar datang, menghantam pesawat hingga ke perosok bukit Superga, yang kemudian melenyapkan semua kebahagiaan mereka, nyawa mereka, hingga tak tersisa.

Italia berduka, bukan hanya karena kehilangan generasi emasnya, tapi kehilangan orang-orang yang tak berdosa, orang-orang yang mereka cinta. Torino, tanpa para bintangnya seolah enggan melanjutkan liga, karena hanya menyisakan para pemain belia. Hingga pada akhirnya, pertolongan datang dari seluruh belahan Italia. Salah satunya, Inter Milan yang turut serta membantu dan memberikan Scudeto Serie A nya untuk Il Toro.

Sandro Mazzola, yang ayahnya menjadi korban Superga (Valentino Mazzola) sekejap jatuh hati pada Internazionale, dan ingin membalas jasa club asal Milan tersebut dengan memperkuat tim dan mempersembahkan banyak gelar bergengsi, yang kemudian menjadikannya legenda hidup Nerrazzuri.

Sejarah kelam itu pun berlanjut. Tepat di Bandara Munich, Jerman Barat (saat itu Jerman masih terbagi 2 bagian), menjadi hari paling kelabu bagi sepak bola Inggris. Manchester United, club besar Britania raya menambah kelam cerita dari dunia sepak bola. Hampir serupa dengan apa yang terjadi pada Torino, pesawat yang ditumpangi “The Busby Babes” gagal lepas landas. Landasan pacu yang sudah tertutup salju harus memaksa pesawat kembali jatuh dan menewaskan sebagian pemain United.

Menyisakan pemain seadanya, termasuk Sir Bobby Charlton yang selamat dari peristiwa, United kembali melanjutkan hidup di belantara sepak bola Inggris. Alhasil, mereka tak dapat berbuat banyak, dan terkatung-katung beberapa musim di klasemen. Tawaran Liverpool untuk meminjamkan beberapa pemainnya juga tak serta merta memperbaiki posisi “Setan Merah”. Selayaknya Torino yang kehilangan generasi emasnya, Manchester merah kembali dari titik nol untuk menjadi club tersukses Inggris hingga saat ini.

Seperti Torino dan Manchester United, dunia kembali berkabung untuk Chapecoense yang tengah menggoreskan tinta emas di kancah Conmebol. Mengingat, club yang berdiri pada 1975 itu baru promosi ke kasta tertinggi liga Brazil pada 2014 lalu. Tidak hanya Brazil, seisi dunia menangis mendengar kabar yang tak pernah kita inginkan itu.

Pasca tragedi, pemerintah Brazil menetapkan hari berkabung nasional selama 3 hari, otoritas liga pun menghentikan semua pertandingan di semua tingkat kompetisi untuk mendoakan mereka yang tak pernah kembali, kompetisi di belahan benua lain menunduk sejenak, silent of minute diheningkan khusus untuk saudara seperjuangannya.

Stadion Arena Conda bergemuruh pilu dua hari setelahnya, puluhan ribu orang memadati kandang Chapecoense untuk memberi penghormatan terakhir. Warna hijau (warna kebesaran club) menyatu bersama puluhan ribu gugusan cahaya yang dipancarkan seisi stadion, tangisan puluhan ribu orang pun pecah ketika layar raksasa memperlihatkan wajah-wajah pahlawan mereka yang sekarang sudah di surga.

Di Kolombia sendiri, tepatnya di kandang Atletico Nacional, tempat di mana semestinya Chapecoense berada, doa juga dipanjatkan oleh seluruh fans Atletico. Tak satu pun fans tuan rumah yang batal hadir setelah kejadian. Mereka justru berbondong-bondong, serempak mengenakan pakaian putih untuk mengiringi calon lawannya (yang tak pernah tiba) ke tempat peristirahatan terakhir. Tak sampai di situ, club papan atas Kolombia tersebut memohon kepada Conmebol agar trofi juara Sudamericana diberikan kepada Chapecoense.
bola.okezone.com
Dengan segala kerendahan hati, sepak bola lagi-lagi mengajarkan kita apa itu kehidupan dari titik paling dasar. Club-club besar Brazil seperti Palmeiras, Corinthians, Santos mengajukan para pemainnya untuk memperkuat Chapecoense secara cuma-cuma. Bahkan, club asal Paraguay, Libertad, juga melakukan hal yang sama. Tujuannya jelas, agar Chape tetap hidup, agar para fansnya tidak kehilangan harapan, agar generasi yang sudah tertulis tidak hilang begitu saja. Tak sampai di situ, seluruh club di Brazil juga memohon kepada CBF (federasi sepak bola Brazil) agar Chape tidak di degradasi, setidaknya hingga tiga tahun mendatang.

Sekali lagi, sisi humanis sepak bola kembali tampak jelas dari semua insannya. Kita tentu masih ingat petaka yang menghampiri Alberto Morossini yang meregang nyawa di tengah lapangan. Ketika pemain Livorno tersebut tak mampu bangkit setelah beberapa kali jatuh akibat serangan jantung. Italia berkabung, seluruh kegiatan liga, baik Serie A hingga liga Pro dihentikan selama dua minggu lamanya untuk mengenang kepergian pemain pinjaman Udinese terebut. Tak hanya itu, Udinese sebagai club pemilik Morossini pun berjanji akan membiayai kehidupan seluruh keluarga yang ia tinggalkan, sebagai penghormatan terakhir padanya.

Atau bagaimana perhatian fans Aston Villa yang tak pernah pudar pada mantan kapten mereka, Stiliyan Petrov yang harus gantung sepatu lebih awal akibat penyakit Leukemia akut yang ia derita. Pemain berdarah Bulgaria tersebut dilarang bermain sepak bola setelah di diagnosis dokter bahwa penyakitnya dapat membahayakan nyawa sang kapten jika tetap bermain bola. Fans pun tak henti-hentinya memberi dukungan untuk kapten pujaan mereka.

Tak tanggung-tanggung, setiap pertandingan Aston Villa berlangsung di kandang, fans selalu berdiri dan bertepuk tangan tepat di menit ke 19 (19 adalah nomor punggung Petrov di Villa) sebagai bentuk dukungan agar Petrov kuat menghadapi penyakit yang ia derita. Hingga pada akhirnya, angka 19 pun di pensiunkan The Villans untuk menghormati jasa mantan pemain CSKA Sofia tersebut.

Sebagai club yang sebelum kejadian namanya begitu asing di telinga kita, tentu Chapecoense akan terus menelurkan cerita-cerita inspirasi bagi kita semua, tidak hanya mereka, tapi seluruh insan sepak bola yang akan turut serta menyempurnakan harapan para pemuja yang telah ditinggal pahlawannya. Seperti Ronaldinho Gaucho dan Juan Roman Riquelme yang sukarela turun gunung untuk kembali menyinari cahaya seisi Arena Conda.

Sepak bola, sebesar apapun kebencian kita padanya, nyatanya kita tidak bisa mendustakan diri bahwa ia banyak mengajarkan kita bagaimana memperlakukan manusia lewat cerita getir tak terkira. Tak peduli asal negara, antara siapa dan siapa, atau siapa dan untuk apa. Atas namanya, sepak bola tak hanya menjalani sebuah kehidupan, tetapi juga menghidupi kehidupan. Lewat sepak bola pula, kita bisa memanusiakan manusia (lainnya).