Jakarta baru saja melantik pemimpin barunya. Tanda-tanda kemajuan ibu kota kian terasa di depan mata. Ya... Setidaknya untuk saya. Karena dua pribumi itu lah saya nulis lagi di blog ini. 

Tadinya saya seolah dikutuk karena tidak menulis pasca-tulisan buzzer xl beberapa bulan lalu. Tapi sehari setelah gubernur dilantik saya baru sadar ternyata memang saya malas. Bukan pula karena buzzer yang sudah merambah dunia akting ratusan episode.

Sebenarnya saya punya tulisan baru pada pertengahan September lalu. Tapi entah ini persekutuan tuhan atau apa, akhirnya saya baru memutuskan nulisnya sekarang.  

Saya tahu, pak anis dan bang sandi masih kelimpungan, kaget, dan kaku menjalani amanah baru ini. Ada pun saya sebagai warga Jakarta pinggiran pemuja ibu Airin ingin merekomendasikan orang-orang yang cakap untuk membantu kinerja bapak dan abang. Yang pasti, mereka adalah pribumi tulen. 

tribunnews.com

Sebelumnya saya ingin bercerita sedikit. Awal dibentuknya kabinet kerja Presiden Jokowi, beliau sempat dikritik karena mempekerjakan orang-orang yang dekat dengan Megawati (saya tidak perlu jelaskan siapa orang ini). 


Dengan santai presiden menjawab "Ya kalo ada orang yang dekat dan kita kenal baik, kenapa harus pake orang yang nggak kita kenal,"  kira-kira begitu lah intinya. 

Atas dasar itu pula saya memberanikan diri untuk memberi sedikit masukan pada Pak Gub dan Bang Wagub baru. Sekiranya nanti orang-orang ini mampu membuat Jakarta jauh lebih baik, saya bersedia selipkan nomor rekening agar bapak tidak bingung harus berterima kasih ke mana. 


Mungkin orang-orang seperti Fahri Hamzah, Pandji, Ahmad Dani, terlebih lagi Fadli Zon (yang menurut kawan saya, orang ini masa muda nya seorang tekno-blogger) bisa menjadi bumerang bagi elektabilitas bapak, saya berani jamin orang-orang yang saya rekomendasikan ini akan memperkuat posisi bapak di balai kota. 

Pak Anis dan Bang Sandi mesti tahu, di balik jutaan harap warga dki, nama Yosfiqar, atau yang akrab disapa Naq Ummi dengan sebutan Iqbal ini merupakan orang yang pertama mengucap takbir setelah anda berdua dinyatakan menang.

Ia bisa dijadikan alat propaganda laiknya Pandji di media sosial. Kemampuan keduanya pun setara, Pandji bahkan masih beberapa tingkat di bawahnya. Ia  bisa menggiring opini publik tanpa ada yang tersakiti. Asal jangan ada yang mengungkit selebrasi jemur baju ala Mauro Icardi, surga dunia maya ada digenggaman.


Bayangkan, ketika dia diserang, misalnya dari Tsamara Amany perihal pribumi, dengan menawan Bang Yos berkata "Pribumi pribumi apa yang bikin nggak bisa tidur?" saya berani bertaruh Dik Sam langsung mengucap ampun sambil bertekuk lutut.

Seperti pula Pandji yang kerap mengajak para Stand Up Comedy-an muda tur luar kota, Bang Yos senantiasa membawa netizen liburan ke beberapa spot pilihan tanpa harus memilah jumlah follower dan bagian dari blogger hits atau bukan. 

Orang kedua yang kompeten adalah Fandi. Kita semua tahu Pak Anis bisa menenggelamkan rakyat hanya bermodalkan kata. Keberadaan Fandi di dalam tim saya rasa sangat dibutuhkan untuk memperkuat harmonisasi keduanya. 

Sekiranya Pak Anis atau Bang Sandi ingin nulis buku biografi, sudah ada Fandi yang membantu. Jika ini tercapai, saya yakin buku tersebut tebalnya akan melebihi buku Ensiklopedia Islam yang dulu saya baca di perpustakaan sekolah.

Selain itu, Fandi bisa dijadikan penulis teks pidato kenegaraan atau juru bicara sekalian. Asal jangan diposisikan sebagai admin pemda di twitter. Karena bisa jadi upaya media sosial berlambang burung itu menambah karakter menjadi 280 kata bisa sia-sia. 

Selanjutnya, saya rasa keberadaan orang ini sangat fundamental. Namanya Andhika, atau Ia lebih ikhlas namanya disebut Ucha. Layaknya ungkapan "apa artinya Fahri Hamzah tanpa Fadli Zon" ini pula yang terjadi jika keberadaan Bang Yos tak diimbangi dengan kehadiran Ucha di sampingnya. 

Pak Anis, Bang Sandi. Ucha ini fighter ulung, perusak mental orang, senantiasa menjatuhkan lawan di segala medan. Jika Fahri Hamzah dianggap sudah overrated, Ucha lah yang pas menggantikan. Terlebih lawan politik anda ada yang jomblo dan tidak mendapat perhatian, serahkan padanya.

Kendati suka berapi-api, apa yang dia suarakan ada benarnya. Banyak malah. Persis seperti politisi PKS itu. Jadi, daripada dia selalu dikaitkan dengan vokalis band yang merupakan aset bangsa, lebih baik Ucha mendapat posisi yang layak di tim anda. 

Dengan kondisi anda yang insyaallah banyak hatersnya, keberadaan Ucha sangat penting demi menjaga bargain politik dihadapan penguasa negeri. Yang penting adalah dia tidak perlu digaji, cukup bayar dengan buku Tere Liye, bahagia dia.

Satu orang yang dirasa perlu mengimbangi dream team ini adalah Oky Maulana Saraswati. Apa artinya tim yang kuat tanpa makanan yang berkhasiat? Dengan bekaldarinyokap, baik Bang Yos, Fandi, dan Ucha bisa bekerja lebih maksimal. 

Oky juga bisa menjadi penengah jika sewaktu-waktu Ucha mempertanyakan kesendirian Bang Yos. Dan yang paling penting adalah Oky bisa dengan lembut menyerang buzzer lawan.


Jakarta, dengan kesemerawutannya menjadi oase tersendiri sebagai ibu kota Negara dan pusat pemerintahan. Ditambah dengan prediksi jika Jakarta terancam lumpuh pada 2030 nanti tentu menjadi momok besar bagi kita semua.

Acakadutnya jalanan ibu kota pun semakin parah Beberapa bulan terakhir. Di beberapa kawasan, terutama pusat-pusat perkantoran, sedang dibangun jembatan layang dan perlintasan MRT yang memakan banyak bahu jalan. Dan salah satu akbat dari peyempitan jalan itu tentu saja kemacetan yang kian panjang tanpa mengenal “tengah pekan” dan “akhir pekan”.

Ini pun saya rasakan hari minggu (16/7/17) kemarin kala harus saling tikung menikung dengan pengendara lainnya kalo nikung kamu sih mending ya untuk menghadiri acara peluncuran sistem transportasi online yang diadakan di kantor BPTJ Kementerian Perhubungan, di Pancoran.

Acara peluncuran sistem transportasi online ini dikemas apik, yang menghadirkan Raim La Ode, si stand up comedyan, yang tampaknya nyambi jadi duta transportasi. Tapi tentu bukan dia bintang utama hari itu, melainkan Ibu Airin Rahmy Diani yang masyaallah cantiknya. Ya, blio Walikota saya.
saat peluncuran sistem online di resmikan oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya

Lewat BPTJ (Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek) Kemenhub meluncurkan sistem perizinan transportasi online pada hari minggu kemarin, yang dihadiri langsung oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya dan Walikota Tangerang Selatan yang masyaallah cantiknya itu.

Peluncuran ini memang harus dilakukan agar perusahaan transportasi, baik yang konvensional ataupun online tidak lagi terjadi pergesekan karena tidak jelasnya trayek yang berlaku pada transportasi online.

Dalam rapat kerja yang digelar pada Kamis (13/7/17) BPTJ mengungkapkan bahwa pemanfaatan sistem perizinan online ini bersifat cepat, mudah, efisien dan efektif dalam memberi layanan yang terukur.

Bambang Prihartono, selaku plt Kepala BPTJ menambahkan, bahwa keunggulan sistem online ini adalah non tunai dan telah terintegrasi dengan sistem SIMPONI Kementerian Keuangan. Nantinya operator angkutan langsung menerima e-billing PNBP melalui email tanpa harus ke kantor BPTJ, ini sekaligus bisa meminimalisir praktek pungli. tambah Bambang Prihartono.

Rapat kerja BPTJ pun langsung direspon oleh pihak-pihak terkait. Bersama Kemenhub meresmikan perizinan tersebut yang disaksikan langsung oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya.

Dalam sambutannya, Budi Karya mengungkapkan satu fakta yang cukup mencengangkan. Bahwa warga Jabodetabek melakukan 45 juta kali pergerakan dalam sehari, yang dominan dilakukan saat jam-jam sibuk, seperti pagi dan sore hari.

Fakta ini tentu menjadi alarm bagi kita semua. Sebagai kota megapolitan, pemerintah diwajibkan untuk mengakomodir kebutuhan warga Jakarta dan sekitarnya dalam hal kelancaran aktivitas sehari-hari. Transportasi, yang menjadi tulang punggung aktivitas warga terus membenahi diri dari segala sisi.

sadar dengan semakin maraknya sistem berbasis digital, Sistem online ini pun tidak hanya berlaku dalam hal legalitas saja, namun juga bisa untuk merealisasikan armada baru, serta peremajaannya.

Pembaharuan sistem transportasi ini tidak hanya membidik para pengguna alat transportasinya saja, tetapi juga untuk menertibkan para pramudi agar tidak ugal-ugalan dan membahayakan penumpang.

Ya, salah satu kegunaan sistem ini adalah untuk mengontrol si pengemudi agar tetap mengemudikan kendaraannya sesuai standar yang dianjurkan. Baik dari segi kecepatan (di jalan lurus atau tikungan), pengereman, hingga lamanya ngetem, semua terkontrol by sistem.

Selebihnya, tinggal kita yang wajib memanfaatkan fasilitas ini sebaik mungkin. Dengan kenyamanan dan fasilitas yang terus dikembangkan moda transportasi di Jakarta, tentu tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi. Dan dengan sendirinya, kita bisa mengurangi kemacetan Jakarta yang semakin menjadi.





Semua orang menangisi kepergian Julia Perez. Baik sesama artis, orang biasa, pecinta sepak bola, hingga para pemain bola. Sialnya, di balik kabar duka tersebut masih ada orang yang masih mencoba mengambil keuntungan di media sosial, yang biasa kita kenal dengan sebutan buzzer.

 Entah dari mana asal muasal buzzer dan entah siapa pula pencetusnya. Yang jelas mereka telah masuk ke sendi-sendi kehidupan bersosial media kita semua. Hal ini memang tak lepas dari kejelian merk-merk ternama yang melihat potensi besar sebagai media promosi ampuh abad ini. Celakanya, bal-balan para buzzer di media sosial makin tidak beretika.
image: merdeka.com

Dengan kontrak yang – tampaknya sangat panjang mau tak mau membuat si buzzer memutar otak 360 derajat untuk mencari tema apa yang hendak dijadikan objek twit berbayar mereka. Salah satu yang mencengangkan adalah kabar duka perihal meninggalnya artis Julia Perez yang ternyata jadi bahan empuk si buzzer memproklamirkan kedahsyatan produk yang mereka jual.

Saya juga tidak paham apakah buzzer-buzzer ini di briefing terlebih dahulu oleh si empunya brand sebelum fardhu ain ngebuzz dilaksanakan, atau mereka memiliki grup WA untuk saling mengkoordinir anggota lainnya dalam tugas sehari-harinya. Entahlah. Yang jelas beberapa dari mereka sudah sangat keterlaluan.

kabut duka d kalangan seleb ind, Kak Jupe yg tangguh n ceria pulang k Rahmatullah #RIPJupe. Langsung tahu dr aksesXL berita & internet lancar.” Demikian twit akun bernama @cputriarty. Tidak ada satu huruf atau tanda baca yang saya ubah dari yang mba ini twit.

Dan yang tak kalah kampretnya adalah twit beberapa waktu lalu, yang lagi-lagi berasal dari buzzer provider yang sama, berbunyi; “innalillahi wainnailaihirojiun, pagi2 dapet info musibah di Garut banjir lg dan ada korban jiwa, pake XL jadi Cepat dpt infonya dr teman.” seru akun bernama @AlfanRenata. Lagi, tidak ada satu huruf dan tanda baca yang saya ubah dari yang aa ini twit.

Betapa bedebahnya kedua orang ini sampai-sampai kabar duka dijadikan objek ambil untung mereka. Apakah di Indonesia tidak ada kejadian lain yang lebih pantas untuk dijadikan bahan promosi sebuah brand? Atau mungkin kedua manusia ini tidak ada saudara, teman, friend zone, pacar, mantan, temannya pacar, mantan temannya pacar, pacar yang kemudian jadi teman, teman yang kemudian jadi pacar, untuk dijadikan bahan twit XL nya?

Misal; “nggak nyangka puluhan tahun temenan sekarang aku bisa jadian sama kamu. Semua ini berkat jaringan XL yang super cepat tanpa PHP. Coba 20 tahun lalu aku pake XL, mungkin sekarang anak kita udah pake XL juga.”

Atau kenapa lau berdua nggak manfaatin bulan suci yang penuh rahmat dan cerita ini menjadi lumbung rekening buzz kalian selama sebulan penuh tanpa harus keluar dari koridor-koridor Ramadhan.

Misalkan lagi; “berkat internet super dahsyat dari XL, jualan takjil ku lebih laku dari pada jualan provider tetangga sebelah. Terima kasih XL.” Atau jika twit kalian mau lebih bertenaga bisa begini; “berbulan-bulan menetap di Arab, akhirnya Habib Rizieq mau pulang ke Indonesia setelah di WA sama Firza pake nomor XL yang enggak ada matinya.”

Saya rasa, twit-twit seperti ini lebih bisa diterima pengguna sosial media. Ya setidaknya mereka terhibur hatinya dan tidak membayangkan botol berisi satu liter bensin sebagai extra joss segar selama menjalankan ibadah puasa.

 Oh mba, oh aa, kenapa kecil sekali lingkar otak kalian sehingga dua contoh receh yang saya paparkan tidak terpikir sedikitpun dibenak kalian? Hambok ya bodoh jangan segitunya lah. Atau jangan-jangan, mungkin kalian buzzer spesialis bencana? Sehingga merasa perlu mengaitkannya di setiap jualan kalian?

Hal lain yang menjadi ketakutan saya adalah antum berdua, atau mungkin brand di tempat kalian bernaung akan merasa bahagia tatkala berita duka datang menghampiri kita semua. Bagaimana tidak, setiap ada bencana atau kabar duka, saya mulai membayangkan kalian akan mengolah jempol-jempol manis kalian dengan senyum merekah karena menemukan objek baru memanen rupiah.

Selaras dengan kedua buzzer di atas,orang-orang yang nge retweet cuitan mereka (kebanyakan buzzer juga) sama bedebahnya. Bodoh tiada tara.
  
Terakhir. Buat siapapun yang berwenang di XL, hambok ya dididik lho buzzernya. Jangan cuma dilihat dari jumlah followernya saja. karena tidak menutup kemungkinan itu follower beli semua.

Saran saya hanya satu buat antum berdua. mikir!!!


Final Liga Champions musim ini akan terasa berbeda pula istimewa. Bagaimana tidak, duel dua kiblat sepak bola Eropa menjadi tajuk utama ketika mereka harus saling sikut di laga pamungkas.
image: mirror.co.uk

Juventus adalah tim besar Italia yang memimpin perolehan trofi domestik selama enam musim terakhir. Bintang tiga pun sudah pantas melingkar di dada panji hitam putih untuk musim depan. Belanja besar nan pintar dari manajemen si nyonya tua harus kita akui berbuah manis.

Sementara Real Madrid, siapa yang tidak mengenal tim ini. Galacticos berjilid yang digelorakan Florentino Perez memang telah membuat tim ibukota Spanyol ini menjadi brand penting sepak bola di era industri. Keberhasilan El Real membangun image di dunia showbiz berbanding lurus dengan apa yang mereka raih di lapangan. Keberhasilan mereka meraih gelar La Liga musim ini menjadi bukti menanjaknya performa skuad Zinedine Zidane.

Kedua kubu tentu bukan kali ini saja bertemu di kompetisi Eropa. Mereka sudah beberapa kali bersua di ajang yang sama sejak dulu. Dari data yang dilansir situs UEFA.com, sejarah pertemuan kedua kesebelasan masih sama kuat. Dari total 16 pertemuan, Juve dan Madrid sama-sama mengemas delapan kemenangan dan dua hasil imbang.

Namun Si Nyonya Tua patut jumawa jika menilik sembilan laga terakhir keduanya. Juventus berhasil memenangkan lima pertandingan sebelumnya. Dan berbanding dengan tiga kemenangan dari pihak Real Madrid. Sedangkan satu pertandingan berakhir imbang.

Jika dilihat dari riwayat pertemuan, Christiano Ronaldo dan kolega wajib waspada dengan ledakan tak terkira dari skuat Massimiliano Allegri. Setidaknya pertemuan terakhir kedua kesebelasan menjadi cerminan, di mana Juventus yang ketika itu tidak diunggulkan mampu menyingkirkan El Real di semifinal UCL dua musim lalu.

Alvaro Morrata, yang ketika itu menjadi penentu laju Juventus ke final kini telah kembali ke Madrid dan siap memberikan terapi kejut pada mantan rekan-rekan setimnya. La Vecchia Signora sendiri bukanlah tanpa amunisi wahid, duet Argentina dalam diri Paulo Dybala-Gonzalo Higuain menjadi jaminan mutu pasukan Allegri akan mengobrak-abrik pertahan Madrid yang dikomandoi sang kapten, Sergio Ramos.

Kehilangan Paul Pogba dan Arturo Vidal tampaknya bukan jadi penghambat performa tim asal Turin tersebut. Terbukti mereka tetap solid dan kokoh di lini tengah. Makin krusialnya peran Miralem Pjanic, Juan Cuadrado, dan Sami Khedira dalam mengalirkan permainan tim menjadi bukti kokohnya lini tengah nyonya besar. belum lagi kecerdikan Paulo Dybala yang membuat Bracelona pulang lebih awal di liga Champions musim ini semakin membuat lini serang Juventus menakutkan.
image: 101greatgoals.com

Di kubu seberang, Real Madrid tidak begitu signifikan merubah skuad mereka. Lini perlini Los Merenggues mayoritas masih dihuni tim Ancelotti kala mereka dikalahkan Juve dua musim lalu. Zidane tampaknya masih sangat percaya dengan Tony Kroos, Luca Modric, Dani Carvahal, Gareth Bale, dan Ronaldo.

Muka-muka lama di atas pun makin padu dengan talenta-talenta baru yang dimiliki El Real seperti Casemiro, Keylor Navas, Marco Asensio, dan tentu saja Alvaro Morrata. Mereka menjadi pelengkap taktik Zidane yang memang memberlakukan rotasi dibeberapa laga. Kebijakan sang entrenador pun berbuah trofi La Liga pertama setelah lima tahun puasa gelar.

perjalanan kedua kesebelasan di liga champions musim ini memang tak begitu jauh berbeda. Keduanya melaju mulus dari babak pertama hingga partai puncak. Meski sama-sama menghadapi lawan berat di perempat final (Real Madrid bertemu Bayern Munchen, sementara Juventus menghadapi Barcelona) keduanya mampu melewati lawan-lawannya. Juve berhasil membenamkan El Barca dengan agregat 3-0, sedangkan Zidane berhasil memukul mundur sang guru, Carlo Ancelotti lewat perpanjangan waktu.

Walau demikian, tim asal Italia lebih menjanjikan dari segi pertahanan. Juve tercatat sebagai tim paling sedikit kebobolan sepanjang turnamen. Tercatat, Gianluigi Buffon hanya tiga kali memungut bola dari jalanya. Lebih mengesankan karena gawang Buffon perawan dalam enam pertandingan beruntun.

Sebaliknya, Real Madrid menjadi tim paling produktif musim ini. 32 gol menjadi bukti ketajaman pasukan Los Blancos dengan trio maut BBC (Bale-Benzema-Christiano Ronaldo) nya. Belum lagi dengan kemunculan Alvaro Morrata yang tetap produktif meski kerap dibangku cadangkan.

Selain statistik kedua klub yang menguntungkan masing-masing kubu, pertemuan Juventus dan Madrid nyatanya tak hanya sebatas catatan di atas lapangan. Lebih dari itu, keterkaitan antar pemainnya juga menjadi fakta menarik yang akan membuat pertandingan semakin memanas.
Gonzalo Higuain, Sami Khedira adalah nama yang pernah membela Madrid beberapa musim. Mereka pula yang membawa El Real merengkuh trofi Liga Spanyol terakhir sebelum Sergio Ramos dan kawan-kawan kembali meraihnya musim ini.

Sedangkan dari kubu lawan, pertemuan kedua klub di final akan menjadi capaian spesial bagi pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane, yang tak lain adalah mantan pemain Juventus. ini akan menjadi pertemuan pertama Zidane melawan mantan klubnya sebagai pelatih. setelah sebelumnya ia juga pernah menghadapi Juve sebagai pemain dan asisten pelatih Madrid.

selain itu, masih hangat dalam ingatan bagaimana Juventus menyelamatkan karir Alvaro Morrata ketika jebolan asli akademi Madrid tersebut tak dapat tempat di skuad utama Carlo Ancelotti beberapa musim lalu. Dua musim bersama La Zebrete membuat Morrata kembali dibutuhkan El Real dan tim nasional Spanyol tentu saja.

Yang tak kalah menarik dari duel ini adalah keberadaan mantan pemain Bracelona, Dani Alves, di Juventus. Semua penggila bola tahu bagaimana tensi tinggi El Classico saat Alves masih berseragam Blaugrana. Ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi karir Dani Alves. Dan tentu saja, ia paham betul bagaimana memainkan sisi psikologis penggawa El Real agar terpancing emosinya.

 Dan satu fakta lain yang tak kalah menarik adalah bahwa kedua tim sama-sama ingin mencetak sejarah baru. Real Madrid tentu ingin mengangkat trofi si kuping besar dua musim beruntun, sekaligus memutus kutukan juara bertahan tak pernah mempertahankan gelarnya.

 Sementara Juventus bernafsu menjadi Italiano kedua yang meraih tiga gelar dalam semusim (setelah Internazionale Milan). Terlebih bagi Buffon yang masih penasaran dengan liga Champions, Karena inilah satu-satunya trofi yang belum pernah ia raih. Dengan usianya yang sudah memasuki kepala empat, final yang akan diadakan di Cardiff ini tentu menjadi kesempatan terakhir Gigi Buffon untuk menyempurnakan mimpinya. Dan dapat dipastikan ia akan menjadi pemain tertua yang mengangkat trofi si kuping besar. Jika juara.


Sudah sepatutnya kita menjadi saksi sejarah yang akan tercipta malam nanti. Apakah Real Madrid yang kembali naik singgasana? Atau Juventus yang mengharumkan sepak bola Italia setelah lama tertidur pulas? 
Musim 2016-2017 sudah resmi ditutup minggu lalu, yang kemudian dilengkapi laga puncak Serie A Italia malam tadi. siapa yang juara dan turun kasta sudah dapat dipastikan. Ada beberapa kompetisi yang menelurkan juara baru, seperti Feyenoord di Belanda yang mengakhiri dahaga 18 tahun, dan tentu juara-juara lain yang masih itu-itu saja.

Kompetisi dalam lapangan yang telah berakhir tak mengendurkan kompetisi baru yang siap tersaji di luar lapangan yang tampaknya akan semakin memanas setelah berakhirnya liga. Ya, apalagi jika bukan kepindahan pemain.

Berbicara mengenai para pemain, berakhirnya liga adalah tanda bahwa dimulainya kompetisi lain bagi mereka untuk membuktikan diri apakah layak dihargai mahal dan jadi rebutan, terbuang dari skuat utama lalu dipinjamkan, atau memilih tinggal karena kecintaan.

Kontribusi besar pemain selama merumput di lapangan memang tak selalu berjalan manis. Ada kalanya cerita pahit datang ketika cedera menerjang, ada pula yang merasa terpinggirkan saat kalah bersaing dengan bintang baru yang lebih segar.
image: espnfc.com
Ini pula yang tampaknya sedang dialami Sergio Aguero di Manchester City. Setelah tiap musimnya ia harus bertarung dengan badai cedera yang tak kunjung usai, kini Aguero juga harus menghadapi kenyataan bahwa ia tak lagi sendiri di lini serang The Citizen. Kedatangan Gabriel Jesus di tengah musim ini membuat Aguero memiliki pesaing baru yang tak kalah hebat darinya.

Jesus datang ke Etihad Stadium dengan menyandang sebagai pemain muda terbaik Brazil. Terbang jauh ke daratan Inggris tak membuat nyalinya ciut dan gentar seperti pendahulunya, Robinho. Jesus justru langsung mencetak gol didebutnya bersama City dan terus mencetak gol setelahnya. Hanya cedera panjang yang membuat ia absen di Manchester Biru.

Kehadiran Gabriel Jesus tentu menjadi sinyal bahaya bagi Kun Aguero. Bagaimana tidak, sejak kedatangan mantan pemain Palmeiras ini, Aguero lebih banyak memulai pertandingan dari bangku cadangan. Mencetak lima gol dari enam pertandingan awal yang telah dijalani tentu menjadi alasan logis bagi Pep Guardiola lebih memilih Jesus ketimbang Aguero.

Hal ini tentu tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh menantu Diego Maradona ini, mengingat sebelumnya ia sukses “menyingkirkan” penyerang-penyerang lain dari skuat City. Roque Santa Cruz, Carlos Tevez, Mario Balotelli, dan Edin Zeko adalah nama tenar yang tak berkutik saat harus bersaing dengan Kun Aguero.

Jika melihat dari pencapaiannya musim ini tentu tak ada alasan bagi Guardiola memarkirkannya dibeberapa pertandingan. Meski sempat absen beberapa laga akibat cedera, Aguero tetap produktif dengan mengemas 30 gol dari 43 penampilan disemua ajang.

Pertimbangan strategi tampaknya menjadi alasan kuat Guardiola ketika harus memilih kematangan Aguero atau semangat muda Gabriel Jesus. Kebiasaan Pep yang selalu memainkan satu penyerang tengah mau tak mau membuat Aguero menjadi korban. Meski sempat kembali meraih posisinya pasca cedera panjang yang menimpa Jesus, Aguero harus rela tempatnya direbut kembali.

Perubahan yang dibawa Pep Guardiola memang sudah memakan beberapa veteran. Apa yang dirasakan Sergio Aguero sudah lebih dulu menimpa kiper utama mereka, Joe Hart, yang harus terdepak dari skuat karena strategi ala Guardiola. terdapat pula nama Gael Chlicy, Yaya Toure, Aleksandr Kolarov, Jesus Navas, Dan tentu saja kompatriot Aguero, Pablo Zabaleta yang juga kehilangan tempat di tim utama. Nama terakhir bahkan sudah resmi hengkang ke West Ham United musim depan.

Permainan pressing ketat yang diterapkan Pep memang membuat Aguero tidak nyaman dengan posisinya. Tetap memainkan Kun Aguero seolah menjadi keterpaksaan Pep karena minimnya stok penyerang Manchester City. walau begitu, Kun tetap berusaha keras dan tetap bisa produktif bersama The Citizen. 20 gol yang ia cetak di ajang Premier League menjadi bukti.

Mulai tidak menentunya waktu bermain yang didapat Aguero tentu menjadi tanda tanya besar, tak hanya bagi fans Manchester City sendiri, melainkan para penggemar sepak bola lainnya. Jika dilihat dari kontribusinya selama ini, tentu klub asal kota industri ini masih sangat membutuhkan pemain asal Argentina tersebut, tapi jika keadaannya tidak berubah, sulit rasanya membayangkan seorang Sergio Aguero harus duduk manis di pinggir lapangan.

Dengan talenta yang ia miliki tentu tak heran jika ia ingin pergi dari tim yang telah ia berikan dua gelar Liga Premier. Jika menilik pasar Eropa, tidak sulit bagi mantan pemain Atletico Madrid ini mencari klub baru karena beberapa klub memang sudah menyatakan tertarik memboyongnya. Belum lagi jika pemain bernama lengkap Sergio Leonel Aguero del Castillo ini tertarik mengikuti jejak rekan senegaranya, Carlos Tevez yang silau dengan limpahan uang dari China.

Tercatat ada beberapa tim yang terang-terangan menginginkan jasa pemain yang total telah mengemas 130 gol selama membela Manchester biru. Sebut saja Internazionale Milan yang tengah mencari tandem sepadan Mauro Icardi.

Selain Inter Milan, rival sekota City, yakni Manchester United juga disinyalir tertarik memboyong pemain berusia 30 tahun tersebut. Bahkan Jose Mourinho telah mengajukan tawaran 55 juta Paun dan menawarinya gaji sebesar 12 juta Paun permusim agar sang pemain menyeberang ke Old Trafford.

Jika ia tak ingin mengkhianati fans City, Aguero tak akan kehabisan pilihan. Karena “rumah” pertamanya di Eropa, Atletico Madrid juga tak mau ketinggalan. Memiliki modal kenangan yang indah, Atleti diyakini bisa memantapkan hati Kun Aguero untuk kembali menjajaki kakinya di Vicente Calderon, sekaligus untuk mengantisipasi kepindahan Antoine Griezman yang semakin santer terdengar.

Tidak mau kalah dari Atletico Madrid yang ingin memulangkan Aguero, Independiente, klub tempat di mana Aguero memulai semua cerita sepak bolanya juga ikut meramaikan headline. Berbeda dengan beberapa klub di atas, kabar kembalinya Aguero ke tanah kelahirannya langsung keluar dari mulutnya sendiri.

"Man City sudah tahu tentang apa yang telah saya rencanakan. Mereka tahu saya sangat ingin kembali ke Argentina. Saya akan kembali ke Avellaneda setelah meninggalkan Inggris. Saya memiliki mimpi bermain bersama teman-teman saya di sana," pungkasnya

Ia memang sangat memimpikan kembali membela panji Los Diablos Rojo sebelum pensiun nanti. Dengan sisa kontrak yang akan berakhir tahun depan tentu bukan masalah besar bagi Independiente untuk memulangkan si anak hilang. Keinginan mudik sang pemain yang begitu kuat memang berbanding lurus dengan hasrat tim asal Avellaneda tersebut yang siap menyambutnya kapan saja.

Menarik menanti masa depan pemain berkelas seperti Sergio Aguero. Teka-teki tim mana yang akan ia bela musim depan menjadi bumbu tersendiri di balik kenyamanannya di Manchester selama ini.

Apakah ia akan tetap berkarir, setidaknya satu atau dua tahun lagi di Eropa atau ia memilih kembali pulang dan mengabdi pada tanah yang dijanjikan dan membuat Independiente kembali ditakuti di Argentina dan seluruh Amerika Latin? Semua kemungkinan masih bisa terjadi saat ini.


Bagi pendukung Nottingham Forrest, nama Brian Clough tak bisa digantikan oleh siapapun. Dua trofi Liga Champions (1979, 1980) dan satu Liga Inggris (1978) menjadi dalil sahih bagi klub kecil ini untuk membangun Brian Clough Stand  di City Ground (kandang Nottingham Forest). Bahkan, fans The Tricky Trees (julukan Nottingham Forest) harus berebut nama “Brian Clough” dengan fans Derby County, yang juga merasakan langsung tuah pria kelahiran Midlesbrough ini.

Bagi kalian yang tidak begitu suka sepak bola, kisah pelatih bernama lengkap Brian Howard Clough ini bisa menjadi peretas jalan kalian untuk mengetahui satu cerita epic di sepak bola Inggris. Sekalipun Clough telah tiada, kisahnya tetap abadi dalam ingatan kita.
sumber: roblufc.org

Film The Damned United adalah salah satu cara untuk mengenang kebesaran seorang Brian Clough.  Film dengan alur cerita maju-mundur ini tak hanya memperlihatkan kebesaran dan kontroversinya seorang Clough, tapi juga mempertontonkan budaya kental orang-orang Inggris di masa itu.

Clough, yang diperankan apik oleh Michael Sheen bukanlah sosok pelatih santun yang biasa kita lihat sekarang-sekarang ini. Ia adalah seorang yang arogan, narsis, rasis, idealis, humoris, dan romantis. Meskipun jumlah film yang dibintanginya kalah banyak dengan Timothy Spall, akting Michael Sheen sangatlah sempurna.   

Pria yang dikenal bermulut besar ini secara perlahan merubah Derby County yang hanya kesebelasan semenjana, di divisi dua pula, menjadi kesebelasan yang mulai diperhitungkan kiprahnya. Dengan Peter Taylor (Timohty Spall) di sisinya, ia berhasil membawa Derby County ke puncak tertinggi sepak bola Inggris.

Ada satu kejadian yang membuat Clough begitu ambisius untuk menang dan naik kasta ke First division (kini bernama Premier League). Dalam sebuah undian babak ketiga Piala FA, Derby County dipertemukan dengan Leeds United, pemuncak teratas Liga Inggris, yang ketika itu diasuh Don Revie.

Clough yang sejak awal mengagumi Don Revie telah mempersiapkan sambutan manis untuk sang idola. Membersihkan ruang ganti pemain dan menyiapkan sampanye adalah jamuan istimewa yang dipersiapkan Clough untuk menyambut sang idola. Dan semua ini ia lakukan dengan tangannya sendiri.

Apa yang kemudian dibayangkan Clough tak berjalan sesuai rencana. Ia diabaikan oleh Revie ketika Clough menyambutnya dan tim Leeds United. Penolakan berjabat tangan yang dilakukan oleh Don Revie ternyata sangat membekas di hati Clough dan menimbulkan satu ambisi baru baginya selain menjadi juara, yaitu mengalahkan Don Revie dengan Leeds Unitednya.

Persaingan tidak sehat antara keduanya ternyata dirasakan oleh banyak orang, tak terkecuali Peter Taylor yang khawatir dengan pengaruh permusuhan ini terhadap peforma Derby County. Dan benar saja, kebencian mendarah daging Clough pada Don Revie akhirnya membawa dampak buruk bagi semua. Tidak Cuma Derby County, tetapi karir Clough beserta Taylor.

Mereka berdua akhirnya dipecat. Keduanya tentu tak ingin pemecatan ini benar-benar terjadi. Tapi komentar-komentar  Clough yang memojokkan jajaran direksi dan pemilik klub mau tak mau membuat mereka didepak dari Derby. Meski sempat protes, Clough tak bisa mengubah keputusan pemilik klub. Akibat hal ini, Peter Taylor pun marah besar padanya.

Cerita baru kembali dimulai oleh Clough-Taylor ketika mereka menerima pinangan Brighton & Holf Albion, klub kecil yang berkubang di divisi tiga Liga. Ambisi besar pemilik senada dengan amibiusnya Clough untuk kembali membangun dinasti baru. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, Leeds United yang baru saja ditinggal sang giver, Don Revie, memanggil Clough untuk merumput di Elland Road (kandang Leeds).

Brian Clough yang sebelumnya sudah terikat kontrak dan dibayar mahal oleh Brighton sangat bernafsu untuk menerima tawaran Leeds. Di sini, perpecahan terjadi antara Clough dan Peter Taylor, yang tetap bersikeras bertahan di Brighton karena ingin menghargai kontraknya. Ya, sejak awal permusuhannya dengan Revie, Clough begitu berambisi dan terobsesi pada Leeds United.

Ambisi Clough mengalahkan Don Revie berbuah petaka. Ia tak hanya kehilangan rekan sejawatnya, tapi juga kehilangan kepercayaan dari seluruh penggawa Leeds United yang ketika itu dikapteni William Bremner. Kalimat “buang semua medali, piala yang kalian raih ke tempat pembuangan sampah yang kalian temui. Karena itu semua kalian dapatkan dengan cara yang kotor” menjadi pembuka dendam skuat Leeds United pada Clough. Ditambah bayang-bayang Don Revie yang terus menghantui di tribun penonton semakin membuat Clough tidak nyaman.
sumber: blog.soton.ac.uk

Alhasil, 44 hari saja ia mengabdi di Elland Road. Rentetan kekalahan di awal musim dan terbenamnya posisi Leeds di dasar klasemen menjadi dosa terbesar Clough yang pindah ke Yorkshire tanpa seorang Peter Taylor di sisinya. Kejadian memalukan ini seakan membuka mata Clough bahwa ia tak bisa berjalan jauh sendiri. Ia butuh seorang yang selama puluhan tahun bersamanya, Peter Taylor.

Bersama kedua putranya, Simon dan Nigel Clough, Brian datang ke kediaman Peter untuk meminta maaf dan kembali merajut cerita baru bersama. 
Brian Clough (kiri) bersama Peter Taylor (kanan)
sumber: dailymail.co.uk



***
Film The Damned United ini menyelipkan kisah cinta akan ke-daerah-an yang sangat kental. Ini bisa terlihat bagaimana kerasnya penolakan Brian Clough kala diajak melatih Brighton karena klub tersebut berasal dari Selatan Inggris. Sedangkan dia asli Middlesbrough, Inggris Utara.

Ketika masih membesut Derby County pun, beberapa pemain yang didatangkan berasal dari kampung halamannya, seperti McGovern, Colin Todd, dan John O’Hare.

Untuk diketahui, orang-orang Italia dan Spanyol tidak begitu mencintai daerahnya sendiri, terutama dalam hal sepak bola. mereka cenderung mendukung tim yang hebat, sekalipun tim itu berasal dari daerah lain.

selaiknya film bertema sejarah lainnya, The Damned United juga memperhatikan setiap keotentikan kejadian. ada beberapa kejadian yang terekam dalam film, nyata terjadi ketika itu. seperti saat Brian Clough disandingkan dengan Don Revie dalam sebuah wawancara televisi sesaat setelah ia dipecat. termasuk setelan jas yang mereka pakai ketika itu pun sama. atau bagaimana Clough berseloroh menantang legenda tinju dunia, Muhammad Ali dalam sebuah acara televisi juga terekam jelas di film produksi tahun 2009 ini.

apa yang kemudian menarik dari settingan film ini adalah ketika deretan pertandingan (sebenarnya) Derby County, termasuk perayaan juara mereka disajikan sedemikian rupa. seluruh kru film sangat piawai membagi sebuah pertandingan sungguhan dengan euforia Brian Clough dan Peter Taylor (Michael Sheen dan Timothy Spall) di pinggir lapangan.

Film ini diangkat dari kisah nyata, yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama karya David Peace. Peace sendiri mengatakan jika versi filmnya berbeda versi tulisannya. Maka dari itu, ia masih berharap jika The Damned United difilmkan kembali, dengan versi hitam putih



Di dunia ini pasti ada satu atau dua, atau banyak hal yang tidak kita sukai. Baik itu perihal seseorang, sebuah tempat, sebuah karya, atau apapun itu yang berhubungan dengan keduniawi-an. Dan biasanya, hal-hal yang tidak disukai itu akan mengganggu ketentraman hidup kita. Sebagai manusia yang menganggap diri sendiri idealis saya mencoba membagi beberapa hal yang tidak saya sukai. Apa saja:

Bani Taplak vs Bani Bumi Datar
Bagi yang sudah baca beberapa tulisan saya perihal pilkada, tentu kalian tahu kenapa saya tidak suka dengan kedua kubu "relawan" ini. Bagai benih tanaman yang semakin tumbuh, ketidaksukaan saya pada mereka semua pun makin hari semakin besar saja. jadi.....next

Selebtwit
Sebagai pengguna setia Twitter ada kalanya kekhitmatan saya berselancar di Twitter terganggu dengan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai selebtwit. Dari sekian banyak selebtwit, Ada beberapa diantara mereka yang masuk daftar hitam saya. Seperti Adelladellaideunited (bener nggak tuh? Ya anggap bener ajalah ya), Falla Adinda, dan Fiersa Besari (Fiersa juga seorang penulis dan penyanyi).
sumber: playbuzz.com
Tentu saya tidak memfollow ketiganya,tapi saya bisa melihat twit mereka dari reetweet-an beberapa teman Twitter saya. Mungkin alasan saya tidak suka ketiganya terhitung alasan yang receh, karena twit yang mereka buat terkadang penting enggak penting, nyambung atau enggak nyambung. Celakanya, twit-twit yang sejatinya bisa kita tulis sendiri itu selalu di reetweet oleh banyak orang. Ya, alasan saya yang receh berbanding lurus dengan twit mereka yang receh pula.

Untuk karya Fiersa Besari di dunia literasi atau musik sendiri, bait-bait kata yang ia gunakan terlalu bombastis, mengawang, muluk-muluk, dan berat rasanya untuk bisa dinikmati oleh orang macam saya (padahal baru liat judulnya doang, belom isinya. Hahaha. Apalo? Apalo? Apalo?)

Sudah semestinya kalian me-reetweet twitnya mz @kening_lebar yang selalu menebar gelak tawa dan mewaraskan dunia. Ini serius!!!

Penyanyi dan Penulis
Bagi yang menjadi teman Path saya, tentu kalian tahu ini bukan?
sumber: penulis


Kalo enggak tahu, hambok ya di buka lho sekali-kali. Masa chek in Path pas liburan atau lagi ke tempat-tempat kece doang. Ahelah

Saya yakin, banyak di dunia ini, atau setidaknya di Indonesia memiliki penyanyi yang enggak banget dan menciptakan lagu yang enggak kalah enggak bangetnya dari si penyanyi. Untuk mz Virgoun yang salamnya kepada dik Starla tak tersampaikan karena selalu bentrok dengan para Anak Langit, juga mz Alexander Thian yang tampaknya ngefans sekali dengan grup band asal Inggris, Keane, atau Almost is Never Enough nya Ariana Grande yang bisa kita nikmati dalam bentuk buku (entah siapa nama penulisnya). Pesan saya hanya satu, lebih selektiflah dalam memilih judul.

Dan Tere Liye. Muda-mudi mana yang tak tahu buku-bukunya? Ia adalah satu dari sekian banyak penulis Indonesia yang bukunya berserakan di toko-toko buku besar.di toko, Sudut, dan di rak sebelah mana kalian tidak menemukan buku Tere Liye yang judulnya telah melebihi gelar Scotish Premier League nya Glasgow Celtic?

Di balik rentetan buku yang telah ia cetak, ternyata Tere Liye adalah seorang yang buta sejarah, buta pada sebuah kebenaran masa lalu yang kini ia rasakan sendiri buah kenikmatannya. Berpegang teguh pada satu kedunguan bahwa hanya kaum agamis yang berjuang dalam memerdekakan negeri ini tanpa andil orang-orang nasionalis di dalamnya. Ini tentu menjadi kebodohan paripurna di abad 21. Dan mungkin saja, Tere Liye adalah satu-satunya penulis di muka bumi yang buta akan sejarah bangsanya sendiri.

Ernest Hemingway, Noam Chomsky, dan Liverpool
Bagian ini berbeda dengan tiga bagian di atasnya. Saya suka dengan karya-karya Noam Chomsky dan Ernest Hemingway. Banyak pula dari kita yang mengamini tulisan-tulisan Chomsky yang dituangkan dalam buku“How The World Works” atau “Who Rules The World”. Dan siapa juga yang tak tersihir jiwanya ketika membaca “Lelaki Tua dan Laut” yang telah dicetak puluhan kali, atau kumpulan cerita pendek yang dikemas menjadi satu dalam sebuah buku karya agung Ernest Hemingway.

Dalam sebuah catatan yang katanya sangat rahasia terdapat nama kedua penulis mahsyur ini yang dipekerjakan CIA sebagai alat propaganda mereka. Jika memang benar adanya, tentu kenyataan ini sulit untuk kita terima. Terlebih pada Noam Chomsky yang karyanya tak jarang menyudutkan Amerika Serikat sendiri. Tapi kemudian apakah saya membenci keduanya? Karya-karya nya? Belum tentu . karena pemikiran-pemikiran mereka sedikit banyaknya telah mempengaruhi pemikiran saya.

Lalu Liverpool? Sungguh disayangkan, saya baru menyadari bahwa tim asal Merseyside ini tidak bagus-bagus amat (jika kata bapuk terlalu berat untuk diucapkan) setelah saya mencintai Liverpool begitu dalam.

buzzer
buzzer yang saya maksud di sini tentu saja buzzer politik bukan buzzer sebuah produk yang tiap waktu memenuhi linimasa twitter. Ada beberapa buzzer yang tidak saya follow karena alasan tertentu. Ada pula buzzer yang tetap saya follow sekalipun tak jarang pandangannya berbeda dengan saya.

Akhmad Sahal, Tsamara Amani, Kang Dede, dan Fadjroel Rahman. Makin hari saya semakin tidak mengerti  dengan orang-orang ini. Pembelaan yang kian banal mereka pada jagoannya terkadang membuat “relawan” ini tampak bodoh lagi dungu. Orang-orang dengan pendidikan tinggi seperti mereka seakan rela menggadaikan isi kepala demi langgengnya jalan calon gubernur duduk kembali di balai kota.

Ketidak sukaan ini tidak serta merta membuat saya meng-unfollow mereka. Saya justru tetap setia menjadi pengikut mereka dengan tujuan ingin melihat sejauh mana kepentingan menghancurkan pikiran. Tak jarang, saya beberapa kali mempertanyakan apa yang mereka utarakan di twitter.

Seperti Akhmad Sahal yang tetap melihat celah dalam kasus penyiraman air keras yang diderita penyidik KPK baru-baru ini, Novel Baswedan yang kemudian ia bandingkan dengan sosok Anies Baswedan. “Gus, suku Mante juga tahu kalo kasus Novel hubungannya sama E-KTP, bukan Pilkada DKI”.

Atau bagaimana ambisi Tsamara Amani (yang ingin menjadi gubernur Jakarta suatu hari nanti dan mengidolai sosok Megawati Soekarno Putri) yang kerap mengajak kaum perempuan untuk terjun langsung ke dunia politik. “Mba Tsamara yang cantik, Ahok dan Jokowi yang bersih saja, imejnya langsung jelek saat jadi pejabat tinggi karena politik praktis negeri ini”.

Saya bukannya tidak percaya dengan kapabilitas Tsamara. Dengan kondisi politik nasional yang semakin menjijikkan, seharusnya Tsamara tahu itu, dan ingat dengan apa yang dulu pernah dilontarkan Soe Hok Gie; Politik tai kucing.

Loh wan. Kok buzzer nomor tiga enggak lo sebutin? Buat apa gue sebutin. Pertama, buzzernya enggak ada yang kompeten. Kedua, gue enggak suka sama calonnya.

Dari paragraf pertama hingga paragraf kesekian, ada beberapa orang yang tidak ingin saya ketahui karena saya terlanjur menangkap pesan jelek terhadapnya. Namun ada pula yang tetap ingin saya ikuti kiprahnya (walau sama menjijikkannya) hanya untuk mengukur ke-netral-an saya dalam bersikap, dan tentu saja demi terpenuhinya birahi nyinyir saya. hahaha



Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu , dalam rangka memperingati Hari Film Nasional, Ridho Arbain merangkum beberapa film Indonesia terbaik versinya. Dari sekian film, hanya beberapa yang saya tahu, selebihnya saya tidak mengetahui beberapa film lainnya.

Tulisan ini bukan semata-mata untuk meramaikan Hari Film Nasional yang dirayakan kemarin, tulisan ini hanya untuk melengkapi rangkuman terbaik film Indonesia yang dipublikasikan oleh Ridho Arbain kemarin.  Jadi maafkan, jika tulisan ini tidak diawali narasi yang panjang.

Mungkin Ridho lupa beberapa film – yang saya bilang – terbaik yang luput dari pengamatannya. Entah karena dia belum nonton, atau memang kurang mengena di hatinya. Tapi saya rasa, film-film berikut bisa membuat kita sejenak melupakan kedigdayaan hollywood di bioskop tanah air.
sumber: muvila.com
Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta
Mungkin kita lupa jika karir Reza Rahadian bisa laku seperti sekarang berkat film drama keluarga ini. Film dengan alur cerita sederhana namun memiliki makna yang mendalam ini menjadi salah satu film yang wajib kalian saksikan. Saya yakin banyak yang dari kalian sudah menonton Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta, mengingat film garapan Benni Setiawan ini dirilis 2010 lalu dan sudah berulang kali ditayangkan di televisi.

Film ini mengisahkan hubungan antara Reza rahadian (Rosid) dan Laura Basuki (Delia) yang terhalang tembok besar tepat dihadapan mereka. Yap, agama. Rosid adalah seorang muslim idealis yang tak ingin masalah agama menjadi pembatas setiap gerak-geriknya, terlebih Rosid adalah penggila sastra dan terobsesi oleh WS Rendra.

Sementara Delia, seorang gadis cantik nan mempesona yang jatuh hati pada Rosid. Permasalahan pun datang silih berganti, mengingat Delia seorang Katolik yang berasal dari keluarga serba berkecukupan. Mereka sadar dengan semua konsekuensi dari hubungannya.

Film ini menjadi satu dari sedikit film yang mengangkat kisah cinta beda agama, beda budaya, beda strata sosial, yang kemudian dikemas menjadi film yang sangat manis untuk ditonton. Ada kalanya kita dibuat mendayu oleh hubungan Rosid dan Delia yang mengindahkan semua perbedaan yang begitu mendasar. Namun tak jarang pula kita berpeluh lara melihat perjuangan keduanya mempertahankan cinta di balik tembok raksasa yang menghadang.

Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta semakin menunjukkan kualitasnya ketika pada akhir cerita mereka tetap tidak bersama, kendati kedua keluarga sudah saling menerima. “sebenarnya kita masih bisa sama-sama ya. Tapi kalo kita terusin, pasti banyak yang terluka ya. Buat apa bahagia kalo banyak yang nagis,” tegas Delia dalam sebuah percakapan dengan Rosid. Kisah cinta penuh perjuangan yang menguras hati dan air mata memang tidak selalu berakhir bersama.

Republik Twitter
Apa yang terjadi sekarang-sekarang ini di dunia maya sudah terekam jelas dalam film bertajuk Republik Twitter pada 2012 lalu. Memasuki era digital, apa-apa yang terjadi dikehidupan sehari-hari membuat kita berkewajiban untuk menyebarkannya di dunia maya, terutama Twitter. Ini pula yang membawa Sukmo (Abimana) dan Hanum (Laura Basuki) merajut cerita.

Perkenalan keduanya lewat jejaring berlambang burung tersebut telah membawa Sukmo berangkat ke Jakarta untuk menyusul pujaan hatinya. Apa yang diharapkan Sukmo memang tak berjalan mulus, tapi ia membuka jalan lain sebagai buzzer salah seorang bakal calon gubernur ibukota. Berbekal kemahiran dan ketelitiannya mengelola twitter, Sukmo bersama rekan lainnya dibayar oleh seorang pejabat untuk mempromosikan salah satu sosok untuk meningkatkan popularitas orang tersebut. Meskipun sosoknya tidak pernah menampakkan jati diri dihadapan publik, tapi namanya kadung terkenal di twitter, berkat publisitas yang dilakukan Sukmo dan teman-temannya.

Ini pula yang membuat Sukmo kembali mendapat simpati Hanum, yang bekerja di salah satu media ibukota. Apa yang dilakukan Sukmo di balik akun-akun twitter yang ia kelola menjadi titik balik karir Hanum yang sempat berpikir untuk berhenti kerja.

Hingga kini, kekuatan twitter dan media sosial (pada umumnya) cukup ampuh membentuk opini publik. Ratusan buzzer, baik yang bertuan ataupun tidak, telah ikut membawa pengguna media sosial terbelah menjadi dua, dan telah menghasilkan cukup banyak penghujat, juga penjilat.

Filosofi Kopi
Ada berapa banyak kedai kopi di Jabodetabek sebelum Filosofi Kopi mengudara di bioskop? Sila bandingkan dengan berapa banyak keberadaan kedai kopi pasca beredarnya film Filosofi Kopi! Alur cerita film ini mungkin memang sederhana, tapi jika kita melihat lebih dalam, film ini menawarkan kita sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya, yaitu kopi. Filosofi Kopi  telah merubah paradigma masyarakat luas tentang kopi, bahwa kopi tidak hanya melulu perihal warkop (warung kopi) atau kebesaran Starbuck. Tapi juga tentang bagaimana cara membuat, mengolah, menanam, dan bagaimana cara menghasilkan sajian yang nikmat.

Filosofi Kopi juga telah menghasilkan dampak yang sangat massif terhadap pertumbuhan kedai-kedai kopi yang otentik dan memiliki signature nya masing-masing. Film yang mengharuskan Chiko Jerikko sekolah barista untuk mendalami perannya sebagai Ben, si barista flamboyan ini juga membuka mata kita, bahwa kopi, seenak apapun itu, akan berbeda rasanya jika dibuat oleh orang yang berbeda, sekalipun jenis kopi yang dibuat sama.

Cahaya Dari Timur
Ke-lupa-an Mas Ridho yang cukup fatal menurut saya adalah mengindahkan film garapan Angga Dwimas Sasongko ini. Film yang berangkat dari kisah nyata ini telah membuka mata kita bagaimana Ramdani Lestaluhu, Alfin Tuassalamony, Hendra Adi Bayaw, dan pemain lainnya semasa kecil, ketika perang masih berkecamuk di Maluku. banyak dari mereka yang kehilangan orang tua atau saudara akibat perang, yang kemudian turut serta membentuk pandangan mereka bahwa perang adalah jalan terbaik untuk balas dendam.

Kemudian Sani Tawainela (Chiko Jerikko) hadir membawa harapan, membawa jalan terang bagi anak-anak di Tulehu, lewat sepak bola. bersama temannya, Raffi, niat awal Sani yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pelarian anak-anak dari perang justru membuka jalan baru mereka semua ketika Sani dan Raffi memutuskan membentuk Sekolah Sepak Bola (SSB).

Kehidupan Sani yang serba pas-pasan membuat ia dirundung dilema saat dihadapkan kewajibannya sebagai seorang suami pula seorang ayah, dan kewajibannya sebagai pelatih panutan anak-anak Tulehu yang bermain bola karenanya. Konflik juga tidak hanya terjadi antara Sani dan Haspa (istrinya) tetapi juga antara Sani dan Raffi, yang sekaligus membuat pemain SSB Tulehu Putra terbelah.

Seperti yang kita ketahui bersama, kerusuhan Maluku dipicu oleh sensitifitas agama. Agama juga menjadi masalah baru bagi Sani ketika melebur tim Tulehu Putera dan SMP Passo menjadi satu untuk mewakili Maluku di turnamen tingkat nasional di jakarta. Tugas Sani selanjutnya pun tidak hanya tentang strategi permainan, tapi juga menyatukan visi pemain dan merubah paradigma anak asuhnya yang berbeda keyakinan bahwa mereka bukanlah Tulehu, bukan pula passo. Tapi mereka semua Maluku.

Seperti karya seni lainnya, film juga menimbulkan kesan yang berbeda-beda dari penontonnya, tergantung selera dari masing-masing individunya, karena semua orang memiliki pendapat yang berbeda. Jadi wajar kiranya jika Rido Arbain tidak mencantumkan film-film di atas karena berbedanya selera saya dan dia dalam menilai sebuah karya.


Bisa karena terbiasa. Ungkapan tersebut merupakan satu dari sekian banyak ungkapan yang susah untuk dibantah. Sudah tak terhitung jumlah manusia yang menjadi bisa karena terbiasa, sekalipun itu bukanlah keahlian mereka sesungguhnya.

Menjadi bisa tentu bukan sekedar menjalani suatu hal yang baru – misalnya – tanpa belajar dan kerja keras. Karena apapun yang kita lakukan di dunia tak luput dari proses belajar. Albert Einstein mengubah dunia karena ia terus belajar dari kesalahan-kesalahan ekperimennya hingga membuat ia bisa, dan jadi fenomenal.

Rafael Nadal bisa menjadi petenis terbaik Spanyol sepanjang masa karena ia terus belajar dan terbiasa mengayunkan raketnya, ketimbang menendang bola seperti sang ayah. SBY bisa menelurkan beberapa album karena ia – juga – terbiasa mendendangkan lagu di  twitter waktu senggang.

Banyak dari kita yang pada akhirnya bisa melakukan suatu hal, meski pada awalnya sulit – bahkan untuk sekedar – membayangkannya. Apa sebabnya? Ya, karena kita mulai terbiasa melakukan hal tersebut. Seperti kebanyakan teman-teman blogger misalnya, tentu tidak semua dari kalian membayangkan jika akan menjadi seorang blogger dan wara-wiri dari satu acara ke acara lainnya, mengendorse merk satu sampai merk lainnya. Bahkan tidak sedikit dari kalian yang menjadikan nge blog sebagai wadah mendulang uang.

Saya adalah bagian dari kalian yang bisa karena terbiasa. Tak pernah terlintas dalam pikiran jika kini saya menjadi seorang blogger. Hmmm...gadungan memang, karena tidak pernah diundang dalam setiap event blogger, atau mendapat rupiah dari hasil menulis di blog. Tapi tetap saja kan, punya blog, dotcom pula. Paripurna sudah.

Selain dikarenakan DA/PA, Alexa Rank, dan segala perintilan-perintilan penilaian lainnya yang jauh dari kata mumpuni, yang membuat saya tak pernah diundang ke sebuah acara, atau apapun itu namanya, karena hingga saat ini saya masih merasa sok idealis jika berbicara masalah tersebut. Tema-tema dalam setiap tulisan saya pun masih itu-itu saja, jika bukan sepak bola, ya politik, atau masalah sosial, atau sepak bola yang saya kaitkan ke dalam politik yang kemudian menjadi masalah sosial kita. Yha

Keinginan saya ngeblog tidaklah terencana, malah dadakan, terkesan nekat bahkan. Bermula dari rasa galau akibat tekanan hidup yang melanda bangsat drama banget ini, saya pikir, satu hal yang bisa mengisi kegamangan hidup dan rasa bersalah yang teramat sangat, yang saya alami ketika itu hanyalah menulis.

Saya tidak pernah mengikuti latihan menulis sebelumnya, dasar-dasar menulis pun saya tidak tahu. Dan blog? Apalagi ini, saya bahkan tidak tahu menahu apa itu blog. Hingga tulisan pertama saya selesai pun, saya bingung hendak kemana mengabadikan tulisan itu, hingga pada akhirnya seorang teman menyarankan saya agar ngeblog, padahal dia bukan blogger.

Muncul kali pertama dengan rentetan tulisan sepak bola, dengan nama blog yang – juga – sangat sepak bola, membuat saya mantap sebagai penulis bola saja. Kepercayaan diri saya pun semakin tinggi saat menyadari bahwa masih sedikit, hampir tidak ada bahkan (sepenglihatan saya di grup blogger yang saya ikuti) blogger sepak bola di Indonesia.

Bertambahnya bahan bacaan, dan mulai tertariknya saya membaca buku (setelah sebelumnya hanya baca essay-essay sepak bola dan politik) membuat saya mencoba menulis di luar sepak bola. hingga akhirnya muncul beberapa tulisan bernada sarkastis, review film, dan tulisan-tulisan nyeleneh lainnya.

Hingga sekarang, sudah berbagai jenis tulisan saya hasilkan. Apakah tulisan saya bagus? Belum tentu, tapi saya yakin jika dilihat dari awal saya menulis hingga kini, tulisan saya semakin membaik kualitasnya (setidaknya ini pengakuan dari beberapa teman). Namun, masih ada dua jenis tulisan yang masih enggan saya lakukan. Yaitu tulisan mengenai travelling dan kuliner. Jika menilik judul di atas, tentu hal ini bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk saya lakukan di kemudian hari.

Pertanyaannya, kapan saya mau nulis travelling atau kuliner? Jawabannya, mbuhlah...

keagungan kalimat "bisa karena terbiasa" akhirnya telah membawa kita ke sebuah fenomena yang tak biasa, fenomena yang sejatinya berada di luar nalar sehat kita. yap, Andhika Manggala Kangen Band bisa menjadi pejabat Partai Demokrat.   






  
Banyak pelatih hebat yang sudah berpindah dari satu klub ke klub yang lain, dari satu negara ke negara yang lain, tak terkecuali Josep Guardiola. Mantan pemain Barcelona ini mengawali karir melatihnya dengan membesut klub yang membesarkan namanya, Barcelona, pada 2008 lalu. Tanpa pengalaman melatih tim profesional sebelumnya, Pep, begitu ia disapa, mampu memberikan semua gelar yang tersedia, di tahun pertama.

Klub asal Catalan menjelma menjadi klub paling menakutkan di dunia, yang dikenal dengan permainan tiki-taka nya. Imbasnya, dalam rentang waktu yang lebih singkat, Pep berhasil menyetarakan namanya dengan mendiang Johan Cruyff dalam urusan torehan gelar yang dipersembahkan pada publik Nou Camp.

Seiring waktu berjalan, dan mulai ditebaknya permainan Lionel Messi cs, tiki-taka semakin meredup daya magisnya. Pep akhirnya mundur dari kursi kepelatihan dan memutuskan rehat dari dunia sepak bola,  selama semusim kompetisi. Siapa sangka, Pep, yang sempat mengaku jemu akan permainan tiki-taka yang ia ciptakan, menyeberang ke tanah Bavaria, dan melatih tim tersukses Jerman, Bayern Munchen.

Banyak yang tak percaya dengan keputusan pria asli Catalan ini, karena sebelumya ia lebih santer diberitakan akan melanjutkan karir di Inggris untuk menjadi suksesor Sir Alex Ferguson di Manchester United, atau membangun dinasti baru di Manchester City.

Kekagetan para pengamat sepak bola memang sangat beralasan, sebab di Jerman, tidak ada yang mampu menandingi kedigdayaan FC Hollywood, yang sebelumnya sukses merengkuh treble winner bersama Jupp Heynckes. Tanpa perlawanan berarti dari kompetitor lain, Pep selalu mengangkat trofi Bundesliga sebelum kompetisi berakhir. Musim lalu saja, ia membawa Thomas Muller cs menjadi kampiun liga dengan menyisakan 10 pertandingan. (koreksi jika saya salah)

Sebuah pencapaian domestik yang tidak luar biasa-luar biasa amat, mengingat kompetisi Bundesliga yang hanya melibatkan Bayern Munchen dan Borussia Dortmund saja (beberapa tahun belakangan). Belum lagi kebiasaan FC Hollywood yang selalu menyomot pemain rival, semakin membuat kita ya setidaknya saya tak berdecak kagum dengan pencapaian Pep selama menangani Die Roten.

Satu hal yang membuat pencapaian Pelatih berusia 46 tahun ini biasa-biasa saja di negeri Angela Merkel adalah tidak jelasnya persaingan di papan atas Bundesliga yang selalu berganti kesebelasan. Ada kalanya saingan The Bavarian adalah Schalke 04, di lain waktu, VFB Stuttgart menjadi penantang serius, di musim berikutnya bisa Wolfburg atau Werder Bremen yang menjadi pesaing mereka. Fakta ini kembali mempertegas bahwa Der Klassiker bukan hanya milik Munchen-Dortmund saja. Dan sekarang, pesaing Bayern ke tangga juara justru berasal dari klub promosi, RB Leipzig.

Ketidak luar biasaan pria yang pernah akrab dengan Jose Mourinho ini bisa terlihat jelas di ajang liga Champions Eropa. Meraih 2 trofi bersama Barcelona, Pep melemah di Jerman. Jangankan satu trofi, mencapai final pun, ia tak mampu. Dibantai klub kesayangannya, Barcelona di semifinal dua tahun lalu, Munchen harus angkat kaki di perempat final musim lalu dari Atletico Madrid.

Meraih gelar domestik beruntun di Jerman, membuat Pep Guardiola tak perlu menganggur satu musim lagi untuk mendapatkan tim baru. Manchester City kembali menawarkan kebersamaan yang sempat tertunda. Rayuan Syeih Mansour Al Nahiyan tak mampu ia tolak untuk kedua kali.

Ia datang membawa harapan baru bagi si tetangga berisik, setelah lunglai bersama Pellegrini sebelumnya. Mata uang Poundsterling yang tak berseri ala raja minyak membuat Pep bebas memilih pemain incaran. Kedatangan Ilkay Gundogan, Leroy Sane, John Stones, Claudio Bravo, Nolito, dan kemudian Gabriel Jesus di tengah musim semakin membuat skuat The Cititzen berkilau.

Awal musim ini, City langsung memnucaki Liga Premier Inggris selama berminggu-minggu. Tapi tunggu dulu, ini Liga Inggris. kompetisi yang tidak mungkin menjadi mungkin, sebuah tempat yang di negara lain hanya sebatas dongeng, di Inggris bisa menjadi nyata. Dua kali dilumat klub semenjana seperti Everton 4-0 dan Leicester City, dengan skor 4-2 semakin melengkapi catatan minus Pep lainnya.

Terakhir, City ditahan imbang Liverpool 1-1 di Etihad Stadium. Hasil ini tak ayal menjadi pertanda bahwa Pep tidak cukup mampu mengangkat moral para pemainnya pasca disingkirkan AS Monaco di Stade Louis II.

Ya, rasa sakit tentu masih terasa jelas di pundak penggawa The Citizen kala mereka dipermalukan AS Monaco di Liga Champions, tengah pekan lalu, dengan skor 3-1, setelah sebelumnya unggul 5-3. Sedikit catatan, sebelumnya, tidak ada klub yang tidak lolos jika sudah memasukkan lima gol ke gawang lawan di leg pertama. Rekor ini tentu membuat nama Manchester City dengan Pep Guardiola nya abadi di buku sejarah.
sumber: independent.co.uk
Menjadi raja di Jerman dan menguasai dunia bersama Barcelona, Pep seakan menjadi pelatih yang baru meniti karir ketika menginjakkan kaki di tanah Britania. Tersingkir di babak 16 besar Liga Champions tak ayal membuat Manuel Pellegrini dan Joe Hart tertawa geli di tempat barunya.

Terlebih bagi Joe Hart yang terbuang ke Italia hanya karena tak cocok dengan filosofi bermain ala Pep. Ya, Pep ingin penjaga gawangnya ikut terlibat dalam permainan dengan sepuluh pemain lainnya. 

Bagi saya pribadi, tugas utama kiper adalah menjaga gawang sebaik mungkin dari serangan lawan, bukan ikut bermain bersama bola. Filosofi kiper idaman ala Pep tak hanya membuat Joe Hart terbuang ke Torino, tapi juga mencoreng kapasitas Claudio Bravo sebagai pengganti kiper nomor satu Inggris tersebut.

Bravo yang sukses membawa Chili dua kali meraih Copa Amerika dan satu kali Liga Champions bersama Barcelona harus menjadi bulan-bulanan striker lawan, juga fans lawan yang selalu menyorakinya saat mantan kiper Real Sociedad ini memegang bola. Nasib Bravo semakin tak jelas ketika Willy Caballero merebut tempat utama.

Beberapa catatan minor City musim ini membuat Pep angkat bicara, bahwa ia masih beradaptasi dengan gaya Kick N Rush Premier League memang menjadi alasan kuat tak terbantahkan, meski sebelumnya ia tidak mengalami kendala yang sama di Jerman. Alasan lain yang menurut saya cukup jenaka tentu saja pengakuan Pep yang tak pernah mengajarkan anak asuhnya merebut bola dari pemain lawan.

Hal lain yang dirasa penting dan tak terfikirkan oleh Pep sebelumnya adalah, ini Liga Inggris, bukan La Liga atau Bundesliga. Inggris dikenal memiliki kompetisi paling kompetitif di dunia, karena tidak hanya mengenal dua, atau tiga klub yang bersaing merebut juara. Dalam hal transfer pemain saja, hampir semua tim di EPL setara dan tidak membuat perbedaan jauh antara pemain klub satu dan klub lainnya.

Sedangkan La Liga atau Bundesliga, kita sudah tahu semua. Sudah ada penghuni tetap disinggasana. Berbicara Liga Spanyol maka kita berbicara perebutan juara antara Barcelona dan Real Madrid. Tak hanya juara, kedua kutub berbeda ini juga memonopoli hak siar pertandingan, yang membuat 18 kontestan lain hanya mendapat tak lebih dari setengahnya hak siar Los Cules dan Los Galacticos.

Lain cerita dengan Bayern Munchen di Jerman. Klub, pemain, seakan tak kuasa menolak tawaran dari FC Hollywood jika sudah berkehendak. Melemahkan skuat lawan sudah menjadi cara lawas Munchen dan semakin membuat mereka tak memiliki lawan sepadan, siapa pun pelatihnya. Lawan tangguhnya beberapa musim lalu, Borussia Dortmund pun tak luput dari hal demikian. Mulai dari Mario Gotze, Robert Lewandowski, hingga sang kapten, Mats Hummels memebelot ke Allianz Arena.

Perbedaan Ini pula yang membuat seorang Pep Guardiola tampak kecil di kompetisi Premier League. Bahwa selama ini kebesaran yang ia dapat di semenanjung Iberia dan tanah Bavaria bukan karena kepiawaiannya, melainkan tak ada perlawanan berarti dari kontestan lainnya.

Pep mungkin lupa, kedigdayaannya bersama Barcelona terbantu berkat seorang Lionel Messi,  dan kegagalannya bersama Bayern Munchen di Eropa karena ketiadaan Lionel Messi di skuatnya. Sementara itu, merosotnya performa Manchester City di bawah kendalinya disebabkan ia tak begitu hebat melatih di liga yang jauh lebih kompetitif.

Suka tidak suka, kita harus mengakui jika Jose Mourinho lebih baik ketimbang Pep Guardiola. Tiga trofi domestik dari tiga negara berbeda telah ia raih. Pun dengan dua gelar Liga Champions yang ia dapat dari dua tim berbeda, yang sebelumnya tak diperhitungkan untuk menjadi juara, menjadi bukti sahih lainnya.





Tidak bisa kita pungkiri, sepak bola sudah menjadi komoditas penting bagi pecintanya, atau bahkan bagi pemilik kepentingan di dalamnya. Sebagai olahraga universal, sepak bola telah menjabarkan beribu tafsir yang bisa menelurkan persahabatan bagi mereka yang seiman, walau tak sedikit yang berakhir dengan permusuhan karena berbeda jalan.

Sedari dulu, menyaksikan pertandingan sepak bola hampir pasti kita disuguhkan pertunjukan yang menawarkan keindahan dari setiap pelakunya. Sudah cukup banyak pula strategi dan formasi yang ditemukan para pelatih hebat agar terciptanya pemainan indah yang berujung kemenangan. Hingga kini, formasi-formasi itu pun masih terus berevolusi.

Seperti Belanda yang tersohor dengan Total Football nya yang menekankan pada mobilitas tiap pemain di lapangan, atau Brazil yang menciptakan Jogo Bonito yang indah dan tak bosan untuk terus kita saksikan.

Beda zaman beda permainan. Mungkin ungkapan sederhana ini menjadi cerminan sepak bola era sekarang yang semakin menghambakan pada tiga angka. Tak peduli bermain cantik atau jelek, bertahan atau menyerang, jika kemenangan sudah di tangan, itu semua tidak jadi soal. Sekarang, orang cenderung mengenalnya dengan istilah pragmatis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatis diartikan sebagai sesuatu yang bersifat praktis. Sedangkan menurut para ahli bahasa, pragmatis adalah sebuah konsep yang menekankan pada sisi kepraktisan dibandingkan sisi manfaatnya. Jika di sepak bola, kita bisa menyimpulkan bahwa pragmatis adalah sebuah metode permainan yang hanya bertujuan menghasilkan kemenangan tanpa memperhatikan teknik permainan.

Sebagai contoh, kita kembali lagi pada Brazil dan Belanda. Kedua negara dahulu menciptakan sistem permainan yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Namun, sejak dipimpin Bert Van Marwijk pasca Euro 2008, tim negeri Kincir Angin perlahan mulai meninggalkan Total Football yang kadung melekat dalam budaya sepak bola mereka.

Pelatih yang juga mertua Mark Van Bommel ini membawa De Oranje bermain lebih pragmatis, yang hanya memikirikan kemenangan. Meskipun ia berhasil membawa Sneijder cs ke final piala dunia 2010, namun tak sedikit yang mengkritik permainan mereka, termasuk dari para legendanya sendiri.

Setali tiga uang, Brazil yang tiap tahunnya disesaki talenta dengan kemampuan di atas rata-rata juga bernasib serupa. Carlos Dunga, yang menjalani debut profesional pertama sebagai pelatih kepala tampaknya belum memahami betul apa itu Jogo Bonito yang dulu sempat ia peragakan saat masih aktif bermain. Menyianyiakan bakat luar biasa Robinho, Kaka, Coutinho dan Neymar di atas lapangan menjadi dosa besar Dunga selama melatih tim Samba. Tak heran, jika mantan pemain Fiorentina ini dua kali dipecat dari tim nasional.

Meski sejak diambil alih Tite permainan Tim Samba mulai berubah dan kembali menghibur penontonnya, tetap saja, sepak bola mulai kehilangan sedikit makna dari segi hiburan dan keindahan. Tidak salah memang jika banyak pelatih yang mulai menerapkan permainan pragmatis yang cenderung bertahan jika sudah memimpin pertandingan, karena dalam olah raga apapun, semua tentu ingin berakhir sebagai pemenang.
sumber: olahraga.pro
Di lain pihak, kita bisa dengan senang hati menerima dalih tim-tim semenjana yang menerapkan permainan demikian ketika melawan tim besar. dengan kualitas pemain yang jauh berbeda, satu-satunya cara yang bisa dilakukan tentu saja bertahan sebisa mungkin, dan membuang bola sejauh mungkin agar terhindar dari kekalahan, atau hanya untuk menghindari banjir gol ke gawang.

Tapi apa jadinya jika tim besar menerapkan permainan demikian? Satu dari sekian pelatih hebat yang dikenal pragmatis tentu saja Jose Mourinho. Jose, sebesar apapun mulutnya, ia tetaplah seorang yang realistis dalam sepak bola. “mereka mengendalikan permainan, menekan kami sepanjang laga, tapi pada akhirnya tetap kami yang keluar sebagai pemenang, itu yang penting.” sudah sangat sering Mou berujar seperti itu untuk membungkam para pengkritiknya.

Saat pertandingan leg kedua, babak semifinal Liga Champions 2009 lalu, Inter Milan, tim yang dilatih Mou ketika itu membuat frustasi Barcelona dan seisi Camp Nou, tatkala Inter bermain dengan pertahanan berlipat (setelah unggul 3-1 di leg pertama) yang sekaligus membuat Victor Valdes marah melihat selebrasi The Special One di akhir laga. 

Hingga kini, tim-tim yang dilatih pria Portugal ini akrab dengan permainan membosankan. Bahkan julukan sebagai tim parkir bis akan melekat padanya, di klub manapun ia berada. Julukan ini disematkan karena kebiasaan Mou  yang terlalu bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik cepat. Bagi tim sebesar Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan kini Manchester United, dengan deretan pemain hebat, tentu ini menjadi antitesis  dari filosofi sepak bola menyerang khas tim bertabur bintang itu sendiri.

Meski banyak yang mengkritik strategi ini, permainan pragmatis yang akrab dengan menumpuk pemain di area sendiri ini sedikit banyak menjadi senjata andalan beberapa klub yang semakin berhati-hati dalam melakoni laga maha penting. Seperti final piala dunia 2014 lalu yang mempertemukan Jerman vs Argentina.

Pada masa Maradona dan Franz Beckenbauer, laga kedua negara berjalan sangat menarik. Jual beli serangan tak jarang membuat detak jantung berpacu kencang. Tapi apa yang terjadi di Brazil tiga tahun lalu tentu menjadi antiklimaks dengan apa yang terjadi pada medio 70-80an.

Padahal, kedua kesebelasan memiliki deretan nama yang tak kalah kondang dari pendahulunya, seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, Kun Aguero (Argentina), Thomas Muller, Mesut Ozil, Bastian Scweinsteiger (jerman), yang seharusnya bisa membuat permainan kedua tim lebih hidup.

Final-final selanjutnya dari berbagai ajang pun berakhir sama. Seperti tiga helatan terakhir Liga Champions yang berujung pada adu pinalti dan perpanjangan waktu.Tak ada suguhan menarik selayaknya pertandingan final. Berhati-hati dan menunggu lawan membuat kesalahan menjadi kunci kemenangan. Kita para penonton pun kena imbasnya, dipaksa menunggu  lebih lama hanya untuk menyaksikan satu gol bersarang dijala lawan.

Permainan atraktif nan menghibur memang tidak melulu menghasilkan banyak gol dan berujung kemenangan. Saling serang ke gawang lawan, penyelamatan-penyelamatan penting kiper di mulut gawang menjadi tontonan amat menarik kiranya, sekalipun tidak ada gol yang tercipta.

Tidak mungkin tidak, bahwa semakin banyak orang yang yakin jika keindahan sepak bola semakin pudar tergerus zaman. Memang banyak yang menerima pragmatisme sepak bola jika tim yang dibela meraih kemenangan, tetapi tidak sedikit pula yang tidak senang, sekalipun timnya juga memenangkan pertandingan.

Zdenek Zeman mungkin menjadi segelintir pelatih yang beranggapan bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Ia tak sungkan mengubah formasi tim dari 3-5-2 klasik menjadi 2-3-5 yang menyerang total dan tak lazim dipakai pelatih lainnya. Tak heran, dengan permainan seperti ini, AS Roma dan Pescara menjadi tim paling produktif selama dilatih pria asal Republik Ceko tersebut. Meski torehan ini berbanding lurus dengan catatan kebobolan mereka yang tinggi.

Tapi, sekali lagi, sebosan apapun kita menyaksikan satu pertandingan si kulit bundar, kita tetap saja tak bisa berpaling dari layar. Bahwa di dalam hati ingin segera terlelap dan mata semakin sembab bukanlah jadi soal. Karena semua akan kembali pada hakikat bola sebenarnya sebagai penghibur pula pemersatu sesama.

Kekalahan, kemenangan, kebosanan,  menyatu dalam satu kebahagian bernama sepak bola. seburuk apapun sepak bola, sejengkel apapun kita dibuatnya, ia telah membuat kita melupakan sejenak tekanan hidup yang sehari-hari kita rasakan.

Selebihnya kembali lagi ke kita, apakah tetap mencintai sepak bola dengan semua kebosanan di atas lapangan,  atau beralih ke cabang olah raga lain yang menawarkan sensasi yang berbeda. Tapi menurut saya, kita akan rela begadang dan kemudian tertidur pulas di tengah pertandingan hanya dihadapan sepak bola yang membosankan, ketimbang olah raga lain yang lebih menghibur.