Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya pada saya “mas, enakan di Aceh apa di sini (Jakarta)?,” sebuah pertanyaan yang biasa saya terima saat bertemu teman baru.

Betul, saya adalah orang Aceh, dan sejak 2007 pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sampai sekarang pun, jika bertemu teman baru, lingkungan baru, hal tersebut serasa wajib menjadi pertanyaan, walau terkadang hanya untuk menambah kadar basa-basi dalam percakapan.

Hampir 10 tahun saya meninggalkan ketenangan kampung halaman untuk mencari ilmu dan bertarung dengan keriuhan khas ibukota yang sekaligus membuat Jakarta menjadi berarti buat saya. Tapi itu tak mampu membuat saya berpaling dari Aceh sebagai tanah saya, darah saya. Jakarta yang penuh pikuk gedung-gedung menjulang dengan deretan kendaraan yang makin enggan bergerak sangat kontras dengan suasana Aceh yang apa adanya, tapi sangat bersahaja. Ini pula yang membuat saya bangga pada Aceh, dengan segala yang ia punya.

Lahir dan besar di Aceh, tepatnya di desa Cotgirek yang berjarak 20-30 kilo meter dari Lhokseumawe, tidak ada yang tidak saya ingat ketika harus mengulang lagi memori di masa lalu. Sebuah pengingat yang membuat saya bersyukur karena lahir dan tinggal di sana, juga karena mempunyai mereka semua yang selalu dirindukan.

Ketika Jakarta semakin dikuasai gedung-gedung menjulang, Aceh (khususnya kampung saya) masih setia dengan apa yang ia punya. Sesuatu yang berharga yang semakin mustahil kita temui di ibukota, yaitu lapangan sepak bola. Sedangkan di Aceh, hampir setiap kelurahan terdapat lapangan sepak bola, baik berukuran sedang, hingga yang besar. Dari yang ada tiang gawang, sampai yang hanya menggunakan tumpukan sendal sebagai pertanda siapa yang kalah dan menang.

Bermain sepak bola rasa-rasanya menjadi kesenangan tak terhingga bagi kami semua di sana. Sedari SD hingga SMA kami bermain bola bersama, di lapangan yang sama. Tgk Raja Husein nama lapangannya. Sebuah nama yang saya tidak tahu dari mana asal, dan apa filosofinya. Biarlah, kami hanya ingin bermain bola, bukan mempertanyakan sejarah.

Lapangan Tgk Raja Husein sebenarnya memiliki permukaan tanah yang tidak begitu rata, dan bisa menyebabkan kejadian-kejadian “magis” kala bola menyentuh bagian tanah yang tidak rata itu. Bola yang seharusnya tidak gol bisa berbuah gol karenanya, juga sebaliknya. Meski demikian, lapangan ini berukuran sangat besar, walaupun, sekali lagi, hampir setiap sudutnya kita akan menemukan compang-camping tanah yang tak merata.

Lapangan ini tampaknya akan mubazir jika hanya dimainkan oleh dua kesebelasan saja. Karena memiliki ukuran yang besar, tak jarang lapangan Tgk Raja Husein dipakai untuk dua, atau tiga pertandingan sekaligus. Lapangan utama biasa digunakan untuk mereka yang dewasa, sementara dua sisi di sebelahnya kami gunakan. Jika di luar sana sepak bola tidak mengenal warna dan bahasa, maka di lapangan kami sepak bola tidak mengenal cuaca dan berapa.

Kami tidak begitu ambil pusing dengan cuaca tiap sorenya. Karena ada satu hal yang membuat kami was-was dari sekedar hujan dan lapangan berlumpur. Yaitu seberapa besar amukan orang tua di rumah ketika kami pulang dengan warna pakaian yang berbeda. Saat air hujan mengalir deras kami tetap berlari melawan dingin, (terkadang, memang ini yang kami harapkan). Ketika matahari masih tegak berdiri, kami pun tak mengurangi kecepatan lari kala mengejar bola. Hujan kami lawan, matahari kami kalahkan. Semua kami lakukan atas dasar kata yang sama, bahagia. Tak peduli dengan seringai orang tua walaupun dalam hati kami ketakutan yang selalu kalap saat mendapati anaknya pulang dengan tubuh lusuh berlumpur atau kulit yang menggelap dengan aroma tak sedap.

Tidak ada anak-anak seusia saya yang menghabiskan sore nya selain di lapangan. Baik yang hanya sekedar melihat kami menendang bola, atau ikut menendang bersama. Umur yang masih belia, tanpa kejuaraan apa-apa, tentu memungkinkan kami untuk bermain dengan berapa pun jumlah orangnya. Jika tengah sepi, tentu dibawah 11 orang dalam satu tim, tapi kalau sudah ramai, bisa 15 orang satu tim. Dan mau tidak mau kami harus menjauhkan jarak antar gawang sendal agar tidak terjadi penumpukan pemain di lapangan.

Tak ada satu sore pun kami lewatkan di luar lapangan, bagaimana pun keadaan lapangannya. Becek atau kering, banyak pacat (sejenis Lintah) atau tidak, pakai sepatu atau nyeker, buat kami tidak ada beda. Karena masih ada dari kami yang tidak memiliki sepatu bola, kadang ada yang bengkak kakinya karena beradu dengan yang memakai sepatu bola. Bayangkan, kaki telanjang dihadapkan dengan sepatu bola yang dalam sekali injakan bisa bikin kaki seperti dipelintir berulang kali.

Bermain bola tiap sorenya, sudah pasti membuat saya gemar nonton bola. Baik liga tarkam yang saya tonton langsung di lapangan maupun pertandingan kelas dunia di televisi. Saya lahir dari seorang Milanisti (sebutan kepada fans AC Milan) dan tumbuh menjadi…Interisti (sebutan kepada fans Inter Milan). Perbedaan tak lazim yang membuat seisi kampung sering menaikkan tensi emosi kami berdua jika kedua tim sedang bertanding. Rumah saya, di Cotgirek selalu ramai kala Derby Milano diselenggarakan. Mereka tentu memiliki tv di rumahnya sendiri. Tapi, apa mau dikata, perbedaan saya dan bapaklah yang mengantar mereka nonton bareng di rumah kami. Tentu mereka tak begitu peduli dengan hasil pertandingan, karena mereka hanya ingin “menjaga kalian, biar nggak ribut kalo Shevchenko atau Vieri ngegolin,” canda seorang tetangga sambil tertawa geli. (ya, saya masih ingat perkataan itu)

Sejak masih muda, bapak juga bermain bola di lapangan Tgk Raja Husein, sama seperti saya. Kami bermain bola di tempat yang sama, dalam waktu yang berbeda, dan dengan kemampuan yang berbeda pula. Bapak terlalu tangguh jika dibandingkan dengan saya. Selayaknya Johan Cruyff dan Jordi Cruyff (anaknya). Sama-sama lahir di stadion Amsterdam Arena, siapa yang bisa menyangkal kehebatan Cruyff senior? Dan sudah semestinya, tak ada yang tega mensejajarkannya dengan si junior? Begitupula saya dan bapak.

Banyak anak seusia saya di sana tumbuh dengan cara yang sama. Kenal sepak bola karena orang tua, bermain bola di lapangan Tgk Raja Husein pun atas anjuran orang tua (karena dekat dari rumah). Bertumbuh dewasanya kami tak menyurutkan pandangan kami untuk berpaling dari lapangan kesayangan. Teknologi yang makin mutakhir juga tak sanggup menandingi kenikmatan kami dalam menghabiskan hari di lapangan sepak bola. Bagi saya dan beberapa kawan lainnya yang sudah menetap di kota berbeda, tentu akan sangat rindu jika mengingat itu.

Saya sudah berada jauh dari Aceh, sudah lama pula saya menetap di ibukota. Dengan segala kemudahan, kelebihan (juga kemewahan) yang dimiliki Jakarta, membuat saya betah tinggal di sini. Sebuah sifat alamiah (menurut saya) ketika kita sudah menetap 10 tahun lamanya di suatu tempat.

Ketika dihadapkan dengan pertanyaan di atas, antara Aceh dan Jakarta, dengan tenang saya menjawab, Aceh. Sekalipun saya sudah nyaman tinggal di Jakarta. Tapi, sekali lagi, Jakarta hanya tempat tinggal saya, bukan rumah saya. Dan bagi saya, hanya desa Cotgirek, Aceh Utara yang pantas disebut rumah. Sebuah Tempat yang mengawali tangis saya di dunia, tempat saya memulai mimpi dan cita-cita. Rumah pula yang menjadi alat pengingat dari mana kita berasal dan menjadi alasan kita untuk pulang. Seperti kata Ralph Waldo Emerson “rumah ialah tempat yang ingin kau tinggalkan ketika sedang tumbuh dan ingin kau kembali ketika mulai menua,”



Lelahkah kita dengan gonjang-ganjing pilkada yang – mungkin bahkan – tuhan pun tak tahu kapan selesainya? Twitter, Facebook selalu membombardir kita lewat mereka yang katanya relawan masing-masing jagoan dengan kedegilannya masing-masing.
sumber: bbc.com

Mereka pula yang selama ini menyuramkan penglihatan kita akan kebenaran yang hakiki. Menuduh yang satu menggunakan ayat tuhan untuk kepentingan politiknya. Padahal, ia pun memperkuat argumen pembelaan juga dengan ayat tuhan. Memperdagangkan firman tuhan sesuai kepentingan dengan tafsir berbeda memang sudah menjadi komoditas nasional ( meski yang satu menolak dianggap sebagai pengobral ayat suci al’quran). Dalam sekejap mata, negeri kita penuh sesak dengan ahli tafsir.

Ahmad Sahal, misalnya. Penduduk twitter mana yang tak tahu ustadz satu ini. sekolah tinggi nan jauh hingga ke Pennsylvania, AS sana, beliau kini sibuk membenarkan akhlak orang-orang yang menurutnya radikal dan menjadi cerobong ISIS – yang lagi-lagi menurut beliau – akan membawa Indonesia ke gerbang kehancuran, hanya karena berbeda pilihan.

Saya tidak begitu mengenal Ahmad Sahal dan saya pastikan dia juga tidak kenal saya, saya hanya orang yang dulu sempat menikmati tausiyah beliau di Twitter tentang toleransi dan keberagaman. Bahasanya yang sederhana tapi bermakna cukup dalam makin membuat saya betah berlama-lama baca cuitan Ahmad Sahal. Pengetahuannya tentang sejarah Islam lintas zaman semakin membuat saya belajar banyak tentang peradaban Islam di masa lalu. Ia pun cukup pintar menjawab pertanyaan netizen yang tetap setia di jalur agama, tanpa tedeng aling-aling pilkada.

Berbicara politik kita selalu berbicara tentang kepentingan dan hawa nafsu, baik itu pribadi ataupun golongan. Kepentingan politik pula yang sedang kita alami kala dihadapkan oleh dua reklamasi, Bali dan Jakarta. Ketika dua kota penting Indonesia yang sebenarnya berjauhan ini dirundung masalah yang sama. Band Superman Is Dead berhasil mengumpulkan jutaan orang untuk menolak reklamasi Tanjung Benoa. Termasuk kita yang di Jakarta ikut teriak satu suara.

Kepekaan kita pada Bali hilang tak berjejak saat ibukota negara diancam isu yang sama. Bahkan Superman Is Dead yang vocal ikut terdiam. Berharap Slank yang bersuara? Duh gusti, maafkan kebodohan saya ini. Kita di Jakarta berkeyakinan bahwa reklamasi di Bali beda peruntukannya dengan Jakarta. Padahal sama-sama reklamasi, sama-sama men-darat-kan lautan (ibukota). celakanya, ketika ditanya apa yang membedakan dua reklamasi ini, tidak ada yang bisa menjawab.

Kita mengagungkan mereka yang menentang laut dewata berubah fungsi alamaiahnya dengan kemungkinan buruk yang kelak terjadi. Sementara di Jakarta? Tidak ada yang lebih agung selain berteman sesama mereka sambil berseloroh primitif pada orang-orang menentang laut ibukota yang tengah diambang perubahan wujudnya.

Beberapa tahun ini, nafsu politik telah menjatuhkan harga diri kita hingga titik paling nadir. Hancurnya pertemanan karena yang satu mempermasalahkan agama dan yang satu tidak, menabikan sosok petahana dan yang satu tidak, mengkritik keras yang berlawanan dengan kita sementara yang satu tidak. Semua itu kita lakukan dari hal paling dasar hingga pada titik yang sebenarnya di luar jangkauan. Tapi kita tetap memaksakan diri untuk melakukan itu hanya demi dia yang kita tuan-agungkan. Lihat apa yang terjadi pada trah Soekarna sekarang, ketika putri yang satu lalu-lalang berdampingan dengan presiden, sementara putri lainnya diburu aparat karena diduga ingin menjatuhkan presiden.

Si putri yang bergerilya tentu tak sendiri. Bersama beberapa kolega ia ditangkap tepat di hari bersejarah, 212. Kita tentu anti dengan tindakan represif seperti penangkapan yang hanya bermodal “diduga”. Sialnya, beberapa dari kita ikut bersuka saat Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Rahmawati Soekarnoputri, Sri Bintang, dan lainnya dibawa ke polda metro jaya bahkan saat matahari belum menampakkan diri, selayaknya tentara yang gembira kala menyeret Wiji Thukul dan kawan-kawannya ditangkap dengan tuduhan yang sama.

Ya, kita lupa dengan apa yang dulu sempat kita lawan. Kita lupa jika dulu kita pernah bicara “TIDAK” dan sekarang kita hanya bisa bilang “IYA” pada si penguasa. Suka atau tidak, Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah sekalipun menangkap Fadjroel Rachman yang ketika itu itu lantang bersuara ingin menjatuhkan SBY dan sempat ingin mengkudetanya dari kursi presiden. Fadjroel yang mempunyai kekuatan media saja tidak pernah disentil SBY, kenapa sekarang kita begitu takut dengan orang-orang macam Ahmad Dhani dan Ratna Sarumpaet yang tidak memiliki kekuatan apa-apa?

Kepentingan dan hawa nafsu pula yang tampaknya membuat Ahmad Sahal kehilangan nalar ilmiahnya. Kini, ia hanya peduli pada akhlak umat yang tidak memilih calon yang sama dengannya. Toleransi yang ia junjung memang masih menjadi senjata andalan, namun tak jarang, apa yang ia katakan melampaui batas pembahasan yang sedang dikaji. Seperti saat ia menyerang Pandji Pragiwaksono yang berlawanan pilihan dengannya.

Gus Sahal (setidaknya itu sapaan netizen padanya) dengan yakin mempertanyakan komitmen idolanya Pandji yang hanya menyambangi FPI tapi tidak berani mendatangi kaum minoritas lainnya seperti Syiah, Ahmadiyah, dan….LGBT. seperti yang kita ketahui, kaum Syiah yang sempat bermasalah terjadi di Sampang, Madura. Bukan Jakarta. Sementara Ahmadiyah juga sempat geger di Bogor. Bukan Jakarta.  sementara kita sedang berbicara pilkada Jakarta, bukan daerah lainnya. Sementara LGBT? Saya gantian bertanya, apakah orang yang sudah banyak menafsirkan hadist dan beberapa ayat Al’quran ini pro LGBT?

Ahmad Sahal juga sepertinya hanya menaruh perhatian pada orang-orang yang sepaham pilihan dengannya atau yang berseberangan sekalian agar bisa ia ceramahi dan meng-ISIS-kan mereka. Sementara saya, siapa sih saya? Tak pernah sekalipun mention saya dibalas beliau. Yang menyakitkan hati adalah ketika beliau bercuit “menyerahkan kasus Ahok pada proses hukum=menerima apapun keputusan hukum. Kalo Ahok diputus nggak salah, ya jangan ngancam-ngancam dan ngamuk-ngamuk,” sebuah pernyataan tendesius, menurut saya. “menerima apapun keputusan hukum” tapi mengapa hanya “kalo Ahok diputus nggak bersalah” saja yang ia pertanyakan?

Ini pula yang membuat saya tertawa geli membacanya sekaligus membalikkan pertanyaan Gus Sahal “kalo misal, misal lho ya. Ahok diputus bersalah, gimana?,” sudah barang tentu beliau tak sanggup menerima kenyataan itu dan tak mampu untuk tidak ngamuk-ngamuk di linimasa. hingga kini, pertanyaan sederhana itu pun urung ia jawab.

Seberapa hebatkah pemimpin sekarang sehingga tiap kesalahan yang ia perbuat terasa berat untuk kita kritisi? Seberapa manusiawi kah pemimpin kita, sehingga tiap dalam ketidaktahuan kebijakan yang dibuat kita ikut lupa pada sebuah kesalahan fatal? Seberapa besarkan pemimpin kita, sehingga apa yang ia ucap menjadi kebenaran bagi kita semua? Seberapa pintarkah pemimpin kita, sehingga semua kebijakan yang diambil kita yakini seakan datang dari tuhan? Yang kemudian menuduh mereka yang tak sepaham sebagai kumpulan orang radikal, curut ISIS, otak (nanah) sesat, dan melenceng dari ajaran tuhan yang penuh cinta? Dan, seberapa sucinya pemimpin kita sehingga kita rela hancur oleh adu domba, akibat ketamakan mereka?

Untuk menjadi objektif saja, kita harus menjadi bagian dari mereka. Sedikit saja melenceng, bersiap diserbu oleh teman-temannya. Seperti Ulil Abshar Abdalla yang langsung dihardik “duh, mas Ulil kok udah nggak objektif lagi ya? Udah beda sekarang. Mas Ulil punya kepentingan ya sekarang? Oh iya, partainya kan punya calon juga,” saat Ulil baru sekali saja mengkritisi calon petahana.

Saya bukanlah pembenci petahana. Saya justru memilih petahana untuk kembali duduk di balai kota, sekalipun saya bukan warganya. Saya hanya pembenci sebagian dari kita yang selalu mendewakan penguasa dan membutakan mata kita, membisukan suara kita, menulikan pendengaran kita pada sebuah kebenaran lain yang terjadi dihadapan kita.

Sadarkah kita jika tiap kontroversi yang selalu ia cipta berbuah dari kebodohan kita yang selalu membela? Ia tak pernah belajar dari apa yang selama ini dia ucap karena selalu ada kita yang membela mati-matian tanpa sekalipun mengkritisi apa yang dia buat? Ingat, seburuk-buruknya pemimpin akan baik pula jika dalam tiap perbuatannya selalu kita ingatkan dan kita kritisi. Sebaliknya, sebaik apapun pemimpin, ia akan menjadi buruk jika dalam tiap tindak-tanduknya selalu kita bela, sekalipun itu salah. Sehingga membuat dia bisa berbuat seenaknya karena banyak dari kita yang akan rela menerima kesalahannya.