Sebagai warga pinggiran Jakarta yang telah menetap
hampir 10 tahun lamanya, terima atau tidak, hal ini telah membuat saya secara
otomatis mengikuti langkah Persija Jakarta di kompetisi sepak bola Indonesia.
Walaupun bukan penduduk asli Jakarta, mendukung Persija dirasa perlu untuk saya
lakukan karena Macan Kemayoran masih bermain di liga tertinggi Indonesia. Agak
tidak mungkin rasanya jika saya tetap mendukung Persiraja Banda Aceh yang kini entah
di mana rimbanya.
Sebagai Jak Mania karbitan, saya tentu prihatin dengan keadaan Persija beberapa tahun belakangan. Performa tim yang buruk, pula manajemen yang tidak becus mengurus tim telah membuat Persija semakin jauh tertinggal dari lawan klasiknya, seperti Persib Bandung dan Arema Malang. Status sebagai tim ibukota tak berbanding lurus dengan capaian mereka selama ini. Jangankan berprestasi di atas lapangan, membayar gaji pemain saja manajemen masih keteteran.
Seperti kebanyakan tim-tim di Indonesia, kemunduran Persija
disebabkan oleh pencabutan dana APBD yang selama ini menjadi sumber uang Persija.
Hal ini membuat manajemen harus memutar otak untuk mencari dana segar melalui sponsorship. Celakanya, manuver
manajemen macan kemayoran untuk mencari sponsor masih jalan di tempat. Ini bisa
kita lihat bagaimana kondisi Persija sekarang yang hanya dihuni oleh pemain
muda nir pengalaman, tidak seperti Persija yang dulu kita kenal yang penuh
pemain bintang. Hal lain yang mencolok dari Persija adalah kosongnya Jersey mereka
dari brand-brand sponsor. Padahal, sekali lagi, mereka tim ibukota.
![]() |
sumber: fourfourtwo.com |
Ini tentu bertolak belakang dengan Persib Bandung yang
jersey nya selalu disesaki brand besar. Bahkan 2 musim lalu, Persib harus
membagi 2 jersey mereka (saat bermain di AFC Cup dan Liga Super Indonesia) agar
semua brand bisa tampak di dada, depan dan belakang, lengan kanan, lengan kiri.
Bukan hanya kalah pamor dari Persib, Persija juga kian
tertinggal dari “saudara jauhnya” Arema Malang yang terus mendapat dana baru
dari sponsor yang bekerja sama dengan mereka. Dalam mengarungi musim ini saja,
Singo Edan sudah kebanjiran brand anyar yang kian membanjiri jubah birunya
dengan “iklan”.
Tentu bukan hanya 2 club ini yang sudah mendahului Persija
dalam urusan bisnis komersil. Persipura Jayapura, Mitra Kukar, bahkan club baru
seperti Bali United dan Bhayangkara FC jauh lebih sehat keuangannya dibanding
Persija Jakarta. Sehatnya keuangan beberapa tim di atas juga berbanding lurus
dengan performa mereka di atas lapangan dan menjadi garansi pemain bintang agar
mau dipinang.
Berkebalikan dengan beberapa tim tersebut, keadaan Persija
yang apa adanya – juga – berbanding lurus dengan performa mereka dan kualitas
pemain yang dimiliki. Di ajang ISC lalu saja, macan kemayoran hanya mampu duduk
di peringkat 14 klasemen akhir. Sekalipun mereka memulangkan Greg Nwokolo dan
Emanuel Pacho Kemogne ke ibukota, permainan tim asuhan Zein Alhadad tidak juga
membaik sepanjang kompetisi.
Jelang digulirkannya Liga 1 Indonesia, dan telah tersingkirnya
mereka dari ajang pramusim bertajuk piala presiden, Persija dituntut untuk
terus melakukan pembenahan. Mereka berhasil mendatangkan bek muda potensial,
Ryuji Utomo dari Arema dan menyeleksi beberapa pemain luar negeri untuk
melengkapi slot pemain asing. Tapi lagi-lagi, pergerakan mereka di bursa
transfer masih jalan di tempat karena terkedala tuntutan gaji pemain incaran.
Keberadaan Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan tentu menjadi
pertanda bahwa Persija memang tak memiliki pilihan lain selain mempertahankan
pemain yang kian dimakan usia. Masalah lain yang tak kalah penting tentu saja
kandang Persija. Jakarta, terlebih lagi Jabodetabek memiliki beberapa stadion
berstandar internasional, seperti stadion Patriot di Bekasi, Pakansari di
Cibinong, dan tentu saja Gelora Bung Karno di Senayan. Tapi Persija selalu
terusir dari rumahnya sendiri. Sejak tak lagi menempati stadion Lebak Bulus
sebagai home base beberapa tahun
lalu, Macan kemayoran mulai akrab sebagai tim musafir selama beberapa musim. Tak
jarang Jak Mania harus rela pindah kandang ke Manahan Solo, Gelora Delta
Sidoarjo, atau Mangguharjo di Sleman untuk mendukung tim pujaan. Rencana
manajemen yang ingin menggunakan stadion Patriot Bekasi pun masih simpang siur
kejelasannya karena pengelola stadion meminta mahar sewa lapangan yang tidak
kecil nominalnya.
Persija Jakarta. Mungkin hanya mereka club ibukota yang
melarat dari semua aspek sepak bola. Seburuk-buruknya performa Hertha Berlin di
Bundesliga, mereka masih bisa mendatangkan banyak sponsor dan tak perlu minggat
dari Olympiade stadion Berlin. Atau bagaimana keterpurukan negara Yunani yang
tidak berdampak banyak pada club ibukota, AEK Athena yang sempat dirundung
masalah finansial tapi tetap bertengker di 5 besar liga.
Memang tidak semua tim ibukota berada di papan atas. Tapi
tentu saja, apa yang terjadi pada Persija Jakarta, pemegang 1 gelar juara (
sejak era liga), club dengan sejarah panjang, pencetak pemain masa depan
Indonesia dan memiliki basis suporter yang luar biasa setia, keadaan sekarang
ini tentu menjadi dosa besar yang harus ditebus dengan satu perubahan besar
dari semua elemen Persija Jakarta.