Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu , dalam rangka memperingati Hari Film Nasional, Ridho Arbain merangkum beberapa film Indonesia terbaik versinya. Dari sekian film, hanya beberapa yang saya tahu, selebihnya saya tidak mengetahui beberapa film lainnya.

Tulisan ini bukan semata-mata untuk meramaikan Hari Film Nasional yang dirayakan kemarin, tulisan ini hanya untuk melengkapi rangkuman terbaik film Indonesia yang dipublikasikan oleh Ridho Arbain kemarin.  Jadi maafkan, jika tulisan ini tidak diawali narasi yang panjang.

Mungkin Ridho lupa beberapa film – yang saya bilang – terbaik yang luput dari pengamatannya. Entah karena dia belum nonton, atau memang kurang mengena di hatinya. Tapi saya rasa, film-film berikut bisa membuat kita sejenak melupakan kedigdayaan hollywood di bioskop tanah air.
sumber: muvila.com
Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta
Mungkin kita lupa jika karir Reza Rahadian bisa laku seperti sekarang berkat film drama keluarga ini. Film dengan alur cerita sederhana namun memiliki makna yang mendalam ini menjadi salah satu film yang wajib kalian saksikan. Saya yakin banyak yang dari kalian sudah menonton Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta, mengingat film garapan Benni Setiawan ini dirilis 2010 lalu dan sudah berulang kali ditayangkan di televisi.

Film ini mengisahkan hubungan antara Reza rahadian (Rosid) dan Laura Basuki (Delia) yang terhalang tembok besar tepat dihadapan mereka. Yap, agama. Rosid adalah seorang muslim idealis yang tak ingin masalah agama menjadi pembatas setiap gerak-geriknya, terlebih Rosid adalah penggila sastra dan terobsesi oleh WS Rendra.

Sementara Delia, seorang gadis cantik nan mempesona yang jatuh hati pada Rosid. Permasalahan pun datang silih berganti, mengingat Delia seorang Katolik yang berasal dari keluarga serba berkecukupan. Mereka sadar dengan semua konsekuensi dari hubungannya.

Film ini menjadi satu dari sedikit film yang mengangkat kisah cinta beda agama, beda budaya, beda strata sosial, yang kemudian dikemas menjadi film yang sangat manis untuk ditonton. Ada kalanya kita dibuat mendayu oleh hubungan Rosid dan Delia yang mengindahkan semua perbedaan yang begitu mendasar. Namun tak jarang pula kita berpeluh lara melihat perjuangan keduanya mempertahankan cinta di balik tembok raksasa yang menghadang.

Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta semakin menunjukkan kualitasnya ketika pada akhir cerita mereka tetap tidak bersama, kendati kedua keluarga sudah saling menerima. “sebenarnya kita masih bisa sama-sama ya. Tapi kalo kita terusin, pasti banyak yang terluka ya. Buat apa bahagia kalo banyak yang nagis,” tegas Delia dalam sebuah percakapan dengan Rosid. Kisah cinta penuh perjuangan yang menguras hati dan air mata memang tidak selalu berakhir bersama.

Republik Twitter
Apa yang terjadi sekarang-sekarang ini di dunia maya sudah terekam jelas dalam film bertajuk Republik Twitter pada 2012 lalu. Memasuki era digital, apa-apa yang terjadi dikehidupan sehari-hari membuat kita berkewajiban untuk menyebarkannya di dunia maya, terutama Twitter. Ini pula yang membawa Sukmo (Abimana) dan Hanum (Laura Basuki) merajut cerita.

Perkenalan keduanya lewat jejaring berlambang burung tersebut telah membawa Sukmo berangkat ke Jakarta untuk menyusul pujaan hatinya. Apa yang diharapkan Sukmo memang tak berjalan mulus, tapi ia membuka jalan lain sebagai buzzer salah seorang bakal calon gubernur ibukota. Berbekal kemahiran dan ketelitiannya mengelola twitter, Sukmo bersama rekan lainnya dibayar oleh seorang pejabat untuk mempromosikan salah satu sosok untuk meningkatkan popularitas orang tersebut. Meskipun sosoknya tidak pernah menampakkan jati diri dihadapan publik, tapi namanya kadung terkenal di twitter, berkat publisitas yang dilakukan Sukmo dan teman-temannya.

Ini pula yang membuat Sukmo kembali mendapat simpati Hanum, yang bekerja di salah satu media ibukota. Apa yang dilakukan Sukmo di balik akun-akun twitter yang ia kelola menjadi titik balik karir Hanum yang sempat berpikir untuk berhenti kerja.

Hingga kini, kekuatan twitter dan media sosial (pada umumnya) cukup ampuh membentuk opini publik. Ratusan buzzer, baik yang bertuan ataupun tidak, telah ikut membawa pengguna media sosial terbelah menjadi dua, dan telah menghasilkan cukup banyak penghujat, juga penjilat.

Filosofi Kopi
Ada berapa banyak kedai kopi di Jabodetabek sebelum Filosofi Kopi mengudara di bioskop? Sila bandingkan dengan berapa banyak keberadaan kedai kopi pasca beredarnya film Filosofi Kopi! Alur cerita film ini mungkin memang sederhana, tapi jika kita melihat lebih dalam, film ini menawarkan kita sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya, yaitu kopi. Filosofi Kopi  telah merubah paradigma masyarakat luas tentang kopi, bahwa kopi tidak hanya melulu perihal warkop (warung kopi) atau kebesaran Starbuck. Tapi juga tentang bagaimana cara membuat, mengolah, menanam, dan bagaimana cara menghasilkan sajian yang nikmat.

Filosofi Kopi juga telah menghasilkan dampak yang sangat massif terhadap pertumbuhan kedai-kedai kopi yang otentik dan memiliki signature nya masing-masing. Film yang mengharuskan Chiko Jerikko sekolah barista untuk mendalami perannya sebagai Ben, si barista flamboyan ini juga membuka mata kita, bahwa kopi, seenak apapun itu, akan berbeda rasanya jika dibuat oleh orang yang berbeda, sekalipun jenis kopi yang dibuat sama.

Cahaya Dari Timur
Ke-lupa-an Mas Ridho yang cukup fatal menurut saya adalah mengindahkan film garapan Angga Dwimas Sasongko ini. Film yang berangkat dari kisah nyata ini telah membuka mata kita bagaimana Ramdani Lestaluhu, Alfin Tuassalamony, Hendra Adi Bayaw, dan pemain lainnya semasa kecil, ketika perang masih berkecamuk di Maluku. banyak dari mereka yang kehilangan orang tua atau saudara akibat perang, yang kemudian turut serta membentuk pandangan mereka bahwa perang adalah jalan terbaik untuk balas dendam.

Kemudian Sani Tawainela (Chiko Jerikko) hadir membawa harapan, membawa jalan terang bagi anak-anak di Tulehu, lewat sepak bola. bersama temannya, Raffi, niat awal Sani yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pelarian anak-anak dari perang justru membuka jalan baru mereka semua ketika Sani dan Raffi memutuskan membentuk Sekolah Sepak Bola (SSB).

Kehidupan Sani yang serba pas-pasan membuat ia dirundung dilema saat dihadapkan kewajibannya sebagai seorang suami pula seorang ayah, dan kewajibannya sebagai pelatih panutan anak-anak Tulehu yang bermain bola karenanya. Konflik juga tidak hanya terjadi antara Sani dan Haspa (istrinya) tetapi juga antara Sani dan Raffi, yang sekaligus membuat pemain SSB Tulehu Putra terbelah.

Seperti yang kita ketahui bersama, kerusuhan Maluku dipicu oleh sensitifitas agama. Agama juga menjadi masalah baru bagi Sani ketika melebur tim Tulehu Putera dan SMP Passo menjadi satu untuk mewakili Maluku di turnamen tingkat nasional di jakarta. Tugas Sani selanjutnya pun tidak hanya tentang strategi permainan, tapi juga menyatukan visi pemain dan merubah paradigma anak asuhnya yang berbeda keyakinan bahwa mereka bukanlah Tulehu, bukan pula passo. Tapi mereka semua Maluku.

Seperti karya seni lainnya, film juga menimbulkan kesan yang berbeda-beda dari penontonnya, tergantung selera dari masing-masing individunya, karena semua orang memiliki pendapat yang berbeda. Jadi wajar kiranya jika Rido Arbain tidak mencantumkan film-film di atas karena berbedanya selera saya dan dia dalam menilai sebuah karya.


Bisa karena terbiasa. Ungkapan tersebut merupakan satu dari sekian banyak ungkapan yang susah untuk dibantah. Sudah tak terhitung jumlah manusia yang menjadi bisa karena terbiasa, sekalipun itu bukanlah keahlian mereka sesungguhnya.

Menjadi bisa tentu bukan sekedar menjalani suatu hal yang baru – misalnya – tanpa belajar dan kerja keras. Karena apapun yang kita lakukan di dunia tak luput dari proses belajar. Albert Einstein mengubah dunia karena ia terus belajar dari kesalahan-kesalahan ekperimennya hingga membuat ia bisa, dan jadi fenomenal.

Rafael Nadal bisa menjadi petenis terbaik Spanyol sepanjang masa karena ia terus belajar dan terbiasa mengayunkan raketnya, ketimbang menendang bola seperti sang ayah. SBY bisa menelurkan beberapa album karena ia – juga – terbiasa mendendangkan lagu di  twitter waktu senggang.

Banyak dari kita yang pada akhirnya bisa melakukan suatu hal, meski pada awalnya sulit – bahkan untuk sekedar – membayangkannya. Apa sebabnya? Ya, karena kita mulai terbiasa melakukan hal tersebut. Seperti kebanyakan teman-teman blogger misalnya, tentu tidak semua dari kalian membayangkan jika akan menjadi seorang blogger dan wara-wiri dari satu acara ke acara lainnya, mengendorse merk satu sampai merk lainnya. Bahkan tidak sedikit dari kalian yang menjadikan nge blog sebagai wadah mendulang uang.

Saya adalah bagian dari kalian yang bisa karena terbiasa. Tak pernah terlintas dalam pikiran jika kini saya menjadi seorang blogger. Hmmm...gadungan memang, karena tidak pernah diundang dalam setiap event blogger, atau mendapat rupiah dari hasil menulis di blog. Tapi tetap saja kan, punya blog, dotcom pula. Paripurna sudah.

Selain dikarenakan DA/PA, Alexa Rank, dan segala perintilan-perintilan penilaian lainnya yang jauh dari kata mumpuni, yang membuat saya tak pernah diundang ke sebuah acara, atau apapun itu namanya, karena hingga saat ini saya masih merasa sok idealis jika berbicara masalah tersebut. Tema-tema dalam setiap tulisan saya pun masih itu-itu saja, jika bukan sepak bola, ya politik, atau masalah sosial, atau sepak bola yang saya kaitkan ke dalam politik yang kemudian menjadi masalah sosial kita. Yha

Keinginan saya ngeblog tidaklah terencana, malah dadakan, terkesan nekat bahkan. Bermula dari rasa galau akibat tekanan hidup yang melanda bangsat drama banget ini, saya pikir, satu hal yang bisa mengisi kegamangan hidup dan rasa bersalah yang teramat sangat, yang saya alami ketika itu hanyalah menulis.

Saya tidak pernah mengikuti latihan menulis sebelumnya, dasar-dasar menulis pun saya tidak tahu. Dan blog? Apalagi ini, saya bahkan tidak tahu menahu apa itu blog. Hingga tulisan pertama saya selesai pun, saya bingung hendak kemana mengabadikan tulisan itu, hingga pada akhirnya seorang teman menyarankan saya agar ngeblog, padahal dia bukan blogger.

Muncul kali pertama dengan rentetan tulisan sepak bola, dengan nama blog yang – juga – sangat sepak bola, membuat saya mantap sebagai penulis bola saja. Kepercayaan diri saya pun semakin tinggi saat menyadari bahwa masih sedikit, hampir tidak ada bahkan (sepenglihatan saya di grup blogger yang saya ikuti) blogger sepak bola di Indonesia.

Bertambahnya bahan bacaan, dan mulai tertariknya saya membaca buku (setelah sebelumnya hanya baca essay-essay sepak bola dan politik) membuat saya mencoba menulis di luar sepak bola. hingga akhirnya muncul beberapa tulisan bernada sarkastis, review film, dan tulisan-tulisan nyeleneh lainnya.

Hingga sekarang, sudah berbagai jenis tulisan saya hasilkan. Apakah tulisan saya bagus? Belum tentu, tapi saya yakin jika dilihat dari awal saya menulis hingga kini, tulisan saya semakin membaik kualitasnya (setidaknya ini pengakuan dari beberapa teman). Namun, masih ada dua jenis tulisan yang masih enggan saya lakukan. Yaitu tulisan mengenai travelling dan kuliner. Jika menilik judul di atas, tentu hal ini bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk saya lakukan di kemudian hari.

Pertanyaannya, kapan saya mau nulis travelling atau kuliner? Jawabannya, mbuhlah...

keagungan kalimat "bisa karena terbiasa" akhirnya telah membawa kita ke sebuah fenomena yang tak biasa, fenomena yang sejatinya berada di luar nalar sehat kita. yap, Andhika Manggala Kangen Band bisa menjadi pejabat Partai Demokrat.   






  
Banyak pelatih hebat yang sudah berpindah dari satu klub ke klub yang lain, dari satu negara ke negara yang lain, tak terkecuali Josep Guardiola. Mantan pemain Barcelona ini mengawali karir melatihnya dengan membesut klub yang membesarkan namanya, Barcelona, pada 2008 lalu. Tanpa pengalaman melatih tim profesional sebelumnya, Pep, begitu ia disapa, mampu memberikan semua gelar yang tersedia, di tahun pertama.

Klub asal Catalan menjelma menjadi klub paling menakutkan di dunia, yang dikenal dengan permainan tiki-taka nya. Imbasnya, dalam rentang waktu yang lebih singkat, Pep berhasil menyetarakan namanya dengan mendiang Johan Cruyff dalam urusan torehan gelar yang dipersembahkan pada publik Nou Camp.

Seiring waktu berjalan, dan mulai ditebaknya permainan Lionel Messi cs, tiki-taka semakin meredup daya magisnya. Pep akhirnya mundur dari kursi kepelatihan dan memutuskan rehat dari dunia sepak bola,  selama semusim kompetisi. Siapa sangka, Pep, yang sempat mengaku jemu akan permainan tiki-taka yang ia ciptakan, menyeberang ke tanah Bavaria, dan melatih tim tersukses Jerman, Bayern Munchen.

Banyak yang tak percaya dengan keputusan pria asli Catalan ini, karena sebelumya ia lebih santer diberitakan akan melanjutkan karir di Inggris untuk menjadi suksesor Sir Alex Ferguson di Manchester United, atau membangun dinasti baru di Manchester City.

Kekagetan para pengamat sepak bola memang sangat beralasan, sebab di Jerman, tidak ada yang mampu menandingi kedigdayaan FC Hollywood, yang sebelumnya sukses merengkuh treble winner bersama Jupp Heynckes. Tanpa perlawanan berarti dari kompetitor lain, Pep selalu mengangkat trofi Bundesliga sebelum kompetisi berakhir. Musim lalu saja, ia membawa Thomas Muller cs menjadi kampiun liga dengan menyisakan 10 pertandingan. (koreksi jika saya salah)

Sebuah pencapaian domestik yang tidak luar biasa-luar biasa amat, mengingat kompetisi Bundesliga yang hanya melibatkan Bayern Munchen dan Borussia Dortmund saja (beberapa tahun belakangan). Belum lagi kebiasaan FC Hollywood yang selalu menyomot pemain rival, semakin membuat kita ya setidaknya saya tak berdecak kagum dengan pencapaian Pep selama menangani Die Roten.

Satu hal yang membuat pencapaian Pelatih berusia 46 tahun ini biasa-biasa saja di negeri Angela Merkel adalah tidak jelasnya persaingan di papan atas Bundesliga yang selalu berganti kesebelasan. Ada kalanya saingan The Bavarian adalah Schalke 04, di lain waktu, VFB Stuttgart menjadi penantang serius, di musim berikutnya bisa Wolfburg atau Werder Bremen yang menjadi pesaing mereka. Fakta ini kembali mempertegas bahwa Der Klassiker bukan hanya milik Munchen-Dortmund saja. Dan sekarang, pesaing Bayern ke tangga juara justru berasal dari klub promosi, RB Leipzig.

Ketidak luar biasaan pria yang pernah akrab dengan Jose Mourinho ini bisa terlihat jelas di ajang liga Champions Eropa. Meraih 2 trofi bersama Barcelona, Pep melemah di Jerman. Jangankan satu trofi, mencapai final pun, ia tak mampu. Dibantai klub kesayangannya, Barcelona di semifinal dua tahun lalu, Munchen harus angkat kaki di perempat final musim lalu dari Atletico Madrid.

Meraih gelar domestik beruntun di Jerman, membuat Pep Guardiola tak perlu menganggur satu musim lagi untuk mendapatkan tim baru. Manchester City kembali menawarkan kebersamaan yang sempat tertunda. Rayuan Syeih Mansour Al Nahiyan tak mampu ia tolak untuk kedua kali.

Ia datang membawa harapan baru bagi si tetangga berisik, setelah lunglai bersama Pellegrini sebelumnya. Mata uang Poundsterling yang tak berseri ala raja minyak membuat Pep bebas memilih pemain incaran. Kedatangan Ilkay Gundogan, Leroy Sane, John Stones, Claudio Bravo, Nolito, dan kemudian Gabriel Jesus di tengah musim semakin membuat skuat The Cititzen berkilau.

Awal musim ini, City langsung memnucaki Liga Premier Inggris selama berminggu-minggu. Tapi tunggu dulu, ini Liga Inggris. kompetisi yang tidak mungkin menjadi mungkin, sebuah tempat yang di negara lain hanya sebatas dongeng, di Inggris bisa menjadi nyata. Dua kali dilumat klub semenjana seperti Everton 4-0 dan Leicester City, dengan skor 4-2 semakin melengkapi catatan minus Pep lainnya.

Terakhir, City ditahan imbang Liverpool 1-1 di Etihad Stadium. Hasil ini tak ayal menjadi pertanda bahwa Pep tidak cukup mampu mengangkat moral para pemainnya pasca disingkirkan AS Monaco di Stade Louis II.

Ya, rasa sakit tentu masih terasa jelas di pundak penggawa The Citizen kala mereka dipermalukan AS Monaco di Liga Champions, tengah pekan lalu, dengan skor 3-1, setelah sebelumnya unggul 5-3. Sedikit catatan, sebelumnya, tidak ada klub yang tidak lolos jika sudah memasukkan lima gol ke gawang lawan di leg pertama. Rekor ini tentu membuat nama Manchester City dengan Pep Guardiola nya abadi di buku sejarah.
sumber: independent.co.uk
Menjadi raja di Jerman dan menguasai dunia bersama Barcelona, Pep seakan menjadi pelatih yang baru meniti karir ketika menginjakkan kaki di tanah Britania. Tersingkir di babak 16 besar Liga Champions tak ayal membuat Manuel Pellegrini dan Joe Hart tertawa geli di tempat barunya.

Terlebih bagi Joe Hart yang terbuang ke Italia hanya karena tak cocok dengan filosofi bermain ala Pep. Ya, Pep ingin penjaga gawangnya ikut terlibat dalam permainan dengan sepuluh pemain lainnya. 

Bagi saya pribadi, tugas utama kiper adalah menjaga gawang sebaik mungkin dari serangan lawan, bukan ikut bermain bersama bola. Filosofi kiper idaman ala Pep tak hanya membuat Joe Hart terbuang ke Torino, tapi juga mencoreng kapasitas Claudio Bravo sebagai pengganti kiper nomor satu Inggris tersebut.

Bravo yang sukses membawa Chili dua kali meraih Copa Amerika dan satu kali Liga Champions bersama Barcelona harus menjadi bulan-bulanan striker lawan, juga fans lawan yang selalu menyorakinya saat mantan kiper Real Sociedad ini memegang bola. Nasib Bravo semakin tak jelas ketika Willy Caballero merebut tempat utama.

Beberapa catatan minor City musim ini membuat Pep angkat bicara, bahwa ia masih beradaptasi dengan gaya Kick N Rush Premier League memang menjadi alasan kuat tak terbantahkan, meski sebelumnya ia tidak mengalami kendala yang sama di Jerman. Alasan lain yang menurut saya cukup jenaka tentu saja pengakuan Pep yang tak pernah mengajarkan anak asuhnya merebut bola dari pemain lawan.

Hal lain yang dirasa penting dan tak terfikirkan oleh Pep sebelumnya adalah, ini Liga Inggris, bukan La Liga atau Bundesliga. Inggris dikenal memiliki kompetisi paling kompetitif di dunia, karena tidak hanya mengenal dua, atau tiga klub yang bersaing merebut juara. Dalam hal transfer pemain saja, hampir semua tim di EPL setara dan tidak membuat perbedaan jauh antara pemain klub satu dan klub lainnya.

Sedangkan La Liga atau Bundesliga, kita sudah tahu semua. Sudah ada penghuni tetap disinggasana. Berbicara Liga Spanyol maka kita berbicara perebutan juara antara Barcelona dan Real Madrid. Tak hanya juara, kedua kutub berbeda ini juga memonopoli hak siar pertandingan, yang membuat 18 kontestan lain hanya mendapat tak lebih dari setengahnya hak siar Los Cules dan Los Galacticos.

Lain cerita dengan Bayern Munchen di Jerman. Klub, pemain, seakan tak kuasa menolak tawaran dari FC Hollywood jika sudah berkehendak. Melemahkan skuat lawan sudah menjadi cara lawas Munchen dan semakin membuat mereka tak memiliki lawan sepadan, siapa pun pelatihnya. Lawan tangguhnya beberapa musim lalu, Borussia Dortmund pun tak luput dari hal demikian. Mulai dari Mario Gotze, Robert Lewandowski, hingga sang kapten, Mats Hummels memebelot ke Allianz Arena.

Perbedaan Ini pula yang membuat seorang Pep Guardiola tampak kecil di kompetisi Premier League. Bahwa selama ini kebesaran yang ia dapat di semenanjung Iberia dan tanah Bavaria bukan karena kepiawaiannya, melainkan tak ada perlawanan berarti dari kontestan lainnya.

Pep mungkin lupa, kedigdayaannya bersama Barcelona terbantu berkat seorang Lionel Messi,  dan kegagalannya bersama Bayern Munchen di Eropa karena ketiadaan Lionel Messi di skuatnya. Sementara itu, merosotnya performa Manchester City di bawah kendalinya disebabkan ia tak begitu hebat melatih di liga yang jauh lebih kompetitif.

Suka tidak suka, kita harus mengakui jika Jose Mourinho lebih baik ketimbang Pep Guardiola. Tiga trofi domestik dari tiga negara berbeda telah ia raih. Pun dengan dua gelar Liga Champions yang ia dapat dari dua tim berbeda, yang sebelumnya tak diperhitungkan untuk menjadi juara, menjadi bukti sahih lainnya.





Tidak bisa kita pungkiri, sepak bola sudah menjadi komoditas penting bagi pecintanya, atau bahkan bagi pemilik kepentingan di dalamnya. Sebagai olahraga universal, sepak bola telah menjabarkan beribu tafsir yang bisa menelurkan persahabatan bagi mereka yang seiman, walau tak sedikit yang berakhir dengan permusuhan karena berbeda jalan.

Sedari dulu, menyaksikan pertandingan sepak bola hampir pasti kita disuguhkan pertunjukan yang menawarkan keindahan dari setiap pelakunya. Sudah cukup banyak pula strategi dan formasi yang ditemukan para pelatih hebat agar terciptanya pemainan indah yang berujung kemenangan. Hingga kini, formasi-formasi itu pun masih terus berevolusi.

Seperti Belanda yang tersohor dengan Total Football nya yang menekankan pada mobilitas tiap pemain di lapangan, atau Brazil yang menciptakan Jogo Bonito yang indah dan tak bosan untuk terus kita saksikan.

Beda zaman beda permainan. Mungkin ungkapan sederhana ini menjadi cerminan sepak bola era sekarang yang semakin menghambakan pada tiga angka. Tak peduli bermain cantik atau jelek, bertahan atau menyerang, jika kemenangan sudah di tangan, itu semua tidak jadi soal. Sekarang, orang cenderung mengenalnya dengan istilah pragmatis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatis diartikan sebagai sesuatu yang bersifat praktis. Sedangkan menurut para ahli bahasa, pragmatis adalah sebuah konsep yang menekankan pada sisi kepraktisan dibandingkan sisi manfaatnya. Jika di sepak bola, kita bisa menyimpulkan bahwa pragmatis adalah sebuah metode permainan yang hanya bertujuan menghasilkan kemenangan tanpa memperhatikan teknik permainan.

Sebagai contoh, kita kembali lagi pada Brazil dan Belanda. Kedua negara dahulu menciptakan sistem permainan yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Namun, sejak dipimpin Bert Van Marwijk pasca Euro 2008, tim negeri Kincir Angin perlahan mulai meninggalkan Total Football yang kadung melekat dalam budaya sepak bola mereka.

Pelatih yang juga mertua Mark Van Bommel ini membawa De Oranje bermain lebih pragmatis, yang hanya memikirikan kemenangan. Meskipun ia berhasil membawa Sneijder cs ke final piala dunia 2010, namun tak sedikit yang mengkritik permainan mereka, termasuk dari para legendanya sendiri.

Setali tiga uang, Brazil yang tiap tahunnya disesaki talenta dengan kemampuan di atas rata-rata juga bernasib serupa. Carlos Dunga, yang menjalani debut profesional pertama sebagai pelatih kepala tampaknya belum memahami betul apa itu Jogo Bonito yang dulu sempat ia peragakan saat masih aktif bermain. Menyianyiakan bakat luar biasa Robinho, Kaka, Coutinho dan Neymar di atas lapangan menjadi dosa besar Dunga selama melatih tim Samba. Tak heran, jika mantan pemain Fiorentina ini dua kali dipecat dari tim nasional.

Meski sejak diambil alih Tite permainan Tim Samba mulai berubah dan kembali menghibur penontonnya, tetap saja, sepak bola mulai kehilangan sedikit makna dari segi hiburan dan keindahan. Tidak salah memang jika banyak pelatih yang mulai menerapkan permainan pragmatis yang cenderung bertahan jika sudah memimpin pertandingan, karena dalam olah raga apapun, semua tentu ingin berakhir sebagai pemenang.
sumber: olahraga.pro
Di lain pihak, kita bisa dengan senang hati menerima dalih tim-tim semenjana yang menerapkan permainan demikian ketika melawan tim besar. dengan kualitas pemain yang jauh berbeda, satu-satunya cara yang bisa dilakukan tentu saja bertahan sebisa mungkin, dan membuang bola sejauh mungkin agar terhindar dari kekalahan, atau hanya untuk menghindari banjir gol ke gawang.

Tapi apa jadinya jika tim besar menerapkan permainan demikian? Satu dari sekian pelatih hebat yang dikenal pragmatis tentu saja Jose Mourinho. Jose, sebesar apapun mulutnya, ia tetaplah seorang yang realistis dalam sepak bola. “mereka mengendalikan permainan, menekan kami sepanjang laga, tapi pada akhirnya tetap kami yang keluar sebagai pemenang, itu yang penting.” sudah sangat sering Mou berujar seperti itu untuk membungkam para pengkritiknya.

Saat pertandingan leg kedua, babak semifinal Liga Champions 2009 lalu, Inter Milan, tim yang dilatih Mou ketika itu membuat frustasi Barcelona dan seisi Camp Nou, tatkala Inter bermain dengan pertahanan berlipat (setelah unggul 3-1 di leg pertama) yang sekaligus membuat Victor Valdes marah melihat selebrasi The Special One di akhir laga. 

Hingga kini, tim-tim yang dilatih pria Portugal ini akrab dengan permainan membosankan. Bahkan julukan sebagai tim parkir bis akan melekat padanya, di klub manapun ia berada. Julukan ini disematkan karena kebiasaan Mou  yang terlalu bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik cepat. Bagi tim sebesar Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan kini Manchester United, dengan deretan pemain hebat, tentu ini menjadi antitesis  dari filosofi sepak bola menyerang khas tim bertabur bintang itu sendiri.

Meski banyak yang mengkritik strategi ini, permainan pragmatis yang akrab dengan menumpuk pemain di area sendiri ini sedikit banyak menjadi senjata andalan beberapa klub yang semakin berhati-hati dalam melakoni laga maha penting. Seperti final piala dunia 2014 lalu yang mempertemukan Jerman vs Argentina.

Pada masa Maradona dan Franz Beckenbauer, laga kedua negara berjalan sangat menarik. Jual beli serangan tak jarang membuat detak jantung berpacu kencang. Tapi apa yang terjadi di Brazil tiga tahun lalu tentu menjadi antiklimaks dengan apa yang terjadi pada medio 70-80an.

Padahal, kedua kesebelasan memiliki deretan nama yang tak kalah kondang dari pendahulunya, seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, Kun Aguero (Argentina), Thomas Muller, Mesut Ozil, Bastian Scweinsteiger (jerman), yang seharusnya bisa membuat permainan kedua tim lebih hidup.

Final-final selanjutnya dari berbagai ajang pun berakhir sama. Seperti tiga helatan terakhir Liga Champions yang berujung pada adu pinalti dan perpanjangan waktu.Tak ada suguhan menarik selayaknya pertandingan final. Berhati-hati dan menunggu lawan membuat kesalahan menjadi kunci kemenangan. Kita para penonton pun kena imbasnya, dipaksa menunggu  lebih lama hanya untuk menyaksikan satu gol bersarang dijala lawan.

Permainan atraktif nan menghibur memang tidak melulu menghasilkan banyak gol dan berujung kemenangan. Saling serang ke gawang lawan, penyelamatan-penyelamatan penting kiper di mulut gawang menjadi tontonan amat menarik kiranya, sekalipun tidak ada gol yang tercipta.

Tidak mungkin tidak, bahwa semakin banyak orang yang yakin jika keindahan sepak bola semakin pudar tergerus zaman. Memang banyak yang menerima pragmatisme sepak bola jika tim yang dibela meraih kemenangan, tetapi tidak sedikit pula yang tidak senang, sekalipun timnya juga memenangkan pertandingan.

Zdenek Zeman mungkin menjadi segelintir pelatih yang beranggapan bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Ia tak sungkan mengubah formasi tim dari 3-5-2 klasik menjadi 2-3-5 yang menyerang total dan tak lazim dipakai pelatih lainnya. Tak heran, dengan permainan seperti ini, AS Roma dan Pescara menjadi tim paling produktif selama dilatih pria asal Republik Ceko tersebut. Meski torehan ini berbanding lurus dengan catatan kebobolan mereka yang tinggi.

Tapi, sekali lagi, sebosan apapun kita menyaksikan satu pertandingan si kulit bundar, kita tetap saja tak bisa berpaling dari layar. Bahwa di dalam hati ingin segera terlelap dan mata semakin sembab bukanlah jadi soal. Karena semua akan kembali pada hakikat bola sebenarnya sebagai penghibur pula pemersatu sesama.

Kekalahan, kemenangan, kebosanan,  menyatu dalam satu kebahagian bernama sepak bola. seburuk apapun sepak bola, sejengkel apapun kita dibuatnya, ia telah membuat kita melupakan sejenak tekanan hidup yang sehari-hari kita rasakan.

Selebihnya kembali lagi ke kita, apakah tetap mencintai sepak bola dengan semua kebosanan di atas lapangan,  atau beralih ke cabang olah raga lain yang menawarkan sensasi yang berbeda. Tapi menurut saya, kita akan rela begadang dan kemudian tertidur pulas di tengah pertandingan hanya dihadapan sepak bola yang membosankan, ketimbang olah raga lain yang lebih menghibur.



Antiklimaks terjadi minggu kemarin, ketika kedigdayaan Pusamania Borneo FC (PBFC) di Jalak Harupat tak tersisa di Stadion Pakansari, Cibinong. Tanpa ampun, Arema Malang melumat klub asal Samarinda itu dengan lima gol dan hanya berbalas satu.

Mari kita tinggalkan jalannya pertandingan yang membuat nama Christian Gonzales patut dikenang, dan mengalihkan perhatian pada satu sosok yang juga harus kita kenang, tak lain dan tak bukan, ia adalah pelatih PBFC, Ricky Nelson namanya.

Sebagai olahraga yang semakin menunjukkan identitas maskulin dalam setiap gerak-gerik para pelakunya, sepak bola tak hanya terus berkembang dalam segi permainannya saja, namun perkembangan zaman juga turut serta mengubah paradigma pelatih-pelatih untuk – setidaknya – berpenampilan lebih rapi agar sedap dipandang mata.

Jas adalah salah satu upaya mereka untuk menunjukkan ke-maskulin-an nya dan menjadi cara tak langsung agar mereka merasa lebih dihormati. Tentu bukan pemain yang sedang berlari merebut bola yang mengenakan setelan jas lengkap, melainkan para peramu taktik di pinggir lapangan yang 90 menit mengamati jalannya pertandingan.

Di belahan Eropa dan Amerika, sudah cukup lazim kita menemukan pelatih yang mengenakan jas saat tim nya berlaga. Ada beberapa hal yang membuat mereka selalu memakai jas selama pertandingan berlangsung, seperti budaya dan cuaca.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sebuah negara beriklim tropis, yang rasa-rasanya dapat menguras keringat jika seorang pelatih memakai jas dipinggir lapangan. Namun, fakta tersebut bukan penghalang bagi Ricky Nelson yang baru-baru ini menjadi buah bibir. Bukan hanya karena berhasil mengantar Pesut Mahakam ke partai final Piala Presiden, tetapi juga karena jas yang selalu ia kenakan saat mendampingi anak asuhnya berlaga.

Ricky bukanlah orang bule yang membawa budaya memakai jas dipinggir lapangan ke Indonesia. Ia seorang Indonesia tulen asal Kupang yang memecah ketabuan pemakaian jas di sepak bola tanah air. Bukan tanpa alasan memang jika banyak pelatih di Indonesia, baik yang pribumi maupun yang berasal dari mancanegara tidak memakai jas selayaknya liga-liga di Eropa.

Suhu Indonesia yang rata-rata berkisar 22-35 derajat celcius tampaknya menjadi alasan masuk akal bagi para pelatih asing untuk menanggalkan jas di lemari pakaiannya. Tentu mereka tak ingin mandi keringat hanya gara-gara berdiri di pinggir lapangan.
sumber: bolaindo.com
Seperti yang dilakukan Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara FC yang enggan memakai jas selama berkarir di nusantara. Seperti kita ketahui bersama, mantan pelatih Mitra Kukar ini kerap mengenakan setelan jas kala membesut tim nasional Filipina di ajang piala AFF 2010 lalu. Saat mendampingi The Azkal (julukan Filipina) bermain di Gelora Bung Karno pun, pelatih yang memenuhi tubuhnya dengan tatoo ini bergaya parlente dengan setelan jas yang biasa ia pakai.

Panasnya iklim tropis Indonesia tentu menjadi alasan kuat pelatih asal Inggris ini untuk berpenampilan lebih casual di pinggir lapangan. Atau bule-bule lain yang menukangi klub-klub Indonesia, seperti Robert Rene Albert (PSM Makasar), dan Hans Peter Schaller (Bali United) yang memang terbiasa dengan udara dingin ala Eropa.

Serupa dengan kenyataan, tidak semua pelatih di liga-liga Eropa dan Amerika yang berpenampilan parlente kala mendampingi timnya bertanding, hal demikian juga terjadi di Indonesia, bahwa tidak semua pelatih bergaya casual saat berada di pinggir lapangan. Dan Ricky Nelson menjadi salah satu diantara sedikit pelatih yang tidak berpenampilan casual tersebut.

Kebiasaan Ricky memakai jas bukan baru dilakukan satu, dua tahun ini, melainkan sudah bertahun-tahun sejak ia masih menukangi tim junior Villa 2000. Tanpa memedulikan cuaca panas dan terik matahari, jas hitam, lengkap dengan dasi yang melingkar, tetap ia pakai. Semua ini dilakukan Ricky demi menghargai profesinya sebagai pelatih sepak bola.

Seperti yang dilansir CNNIndonesia.com, ia mengatakan bahwa ini bentuk respek terhadap semua pelaku sepak bola. Berpakaian rapi, terutama mengenakan jas formal adalah bagian penting dari itu. “Bagaimana menurut anda ketika pelatih protes ke wasit, meskipun dengan maksud yang baik, tapi cuma pakai celana pendek dan topi terbalik? Bagi saya, itu sudah mengurangi respek pada wasit,” lanjut Ricky.

Tidak hanya Ricky, kini pelatih-pelatih muda lainnya juga mulai mengikuti jejak pria yang pada tanggal 5 Maret lalu genap berusia 37 tahun tersebut. Meski hanya memakai kemeja formal dan celana panjang, tapi Nil Maizar, Djajang Nurjaman,  dan Aji Santoso sedikit banyak telah mengubah wajah sepak bola Indonesia.

Meski begitu, tak sedikit pula yang mencibir gaya berpakaian Ricky dan berpendapat bahwa ia memakai jas tidak pada tempatnya, apalagi jika pertandingan diadakan pada siang hari. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa maksud Ricky memakai jas hanya untuk gaya-gayaan semata agar tampak seperti pelatih-pelatih top Eropa kebanyakan.

Cibiran serta hinaan bukanlah hal yang perlu dianggap serius olehnya. Bahkan ia menambahkan, salah satu hal penting yang mengukuhkan prinsip berpakainnya adalah studi banding yang ia lakukan di Jerman 2012 lalu, yang menunjukkan beberapa aspek psikologis yang bisa mempengaruhi bagi siapa saja yang mengenakan pakaian formal.

Kini, jas tidak hanya menjadi bagian dari budaya bangsa Eropa, atau untuk menjaga kehangatan saja, tapi sudah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, termasuk sepak bola yang mampu menunjukkan respek antar sesamanya.



Kita mengenal Mesut Ozil, Ilkay Gundogan, Emre Can, dan Mehmet Scholl sebagai punggawa tim nasional Jerman, tapi satu hal yang tidak bisa kita pungkiri adalah, kenyataan bahwa mereka murni berdarah Turki. Atau si kembar Hamid dan Halil Altintop yang lahir dan besar di Gelsenkirchen, Jerman (Halil dan Hamid Altintop memilih membela Turki)

tentu ini bukan kali pertama orang Turki membela negara lain di sebuah ajang internasional. Salah satu faktor yang mengakibatkan berpalingnya mereka dari tanah airnya karena mereka tidak dilahirkan di Turki, melainkan di negara lain yang bertetangga dengan Turki, seperti Jerman, Swiss, Austria, dan beberapa negara Eropa Lainnya.

Jika kita membuka peta dunia, akan tampak jelas bahwa sebagian besar wilayah Turki terletak di Benua Asia, bahkan ibukota negara, Ankara, juga berada di dataran Asia. Namun, sebagian kecil negara Timur Tengah ini berada di kawasan Eropa, seperti Istanbul yang menjadi kota terbesar di Turki.

Di dunia sepak bola, Turki lebih memilih berada di bawah naungan Uefa (federasi sepak bola Eropa) ketimbang mengabdi di Asia bersama AFC-nya. Mereka memang tidak serta merta memilih Eropa untuk dijadikan home base nya, karena sejak dulu, pendiri Turki, Mustafa Kemal Attaturk selalu mengidentikkan Turki sebagai bangsa Eropa. Dan sebuah kebetulan pula jika dulu mereka memang sempat menguasai sebagian wilayah Eropa. Jadi tak heran kiranya dengan apa yang mereka lakukan sekarang.

Turki yang sejak dari awal keikut sertaanya sebagai anggota FIFA tidak pernah mewakili Asia, ditambah orientasi ekonomi politik yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Eropa semakin membuat negara sekuler ini enggan beranjak dari teritori sepak bola nya. Keputusan ini pun membuat sepak bola Turki jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di Asia. Sempat menjadi semi finalis di piala dunia 2002 Korea-Jepang, Arda Turan cs kembali menggoreskan tinta emas saat menjadi semi finalis di Piala Eropa 2008.

Meski setelahnya capaian Turki di Piala Dunia dan Eropa merosot tajam, kompetisi Liga Turki semakin dikenal khalayak ramai. Membaiknya sarana penunjang seperti stadion, tempat latihan, dan keberanian klub untuk mendatangkan pemain bintang menjadi bukti bahwa sepak bola Turki tak hanya ingin menjadi tamu di kompetisi Eropa, mereka juga ingin bersaing menjadi yang terbaik.
sumber: goal.com
Kini, kita tak hanya mengenal Galatasaray, Fenerbahce, Besiktas, atau stadion Attaturk yang terkenal lewat keajaiban Liverpool pada 2005 lalu saja, tapi juga kemunculan Trabzonspor, Bursaspor, dan tim lain yang mulai hilir mudik di kompetisi Eropa.

keberanian masing-masing pemilik klub membayar mahal pemain incaran juga ikut meningkatkan kualitas Süper Lig Turki. Sebelum memasuki masa millenium baru, mungkin hanya Grame Souness, nama tenar yang pernah merumput di Liga Turki kala membela Galatasaray, yang kemudian membuatnya terkenal karena ulah beraninya  yang membuat fans Fenerbahce murka.

Kini, Süper Lig Turki lebih banyak dan beranimendatangkan pemain bintang seperti Didier Drogba dan Lukas Podolski yang sempat bermain untuk Galatasaray, Wesley Sneijder yang masih setia bersama The Aslan (julukan Galatasaray), atau nama lain yang menjadi perhatian tentu saja Luis Nani dan Robin Van Persie yang sempat dan masih membela panji Fenerbahce, serta Mario Gomez dan Ricardo Quaresma yang didatangkan Besiktas.

Menariknya, bukan hanya tiga klub besar asal Istanbul tersebut yang mampu mendatangkan nama-nama terkenal, klub semacam Trabzonspor dan Antalyaspor pun mulai mencuri perhatian. Trabzonspor yang pernah mengenyam arena Liga Champions beberapa musim lalu mendatangkan Marko Marin dan berhasil memulangkan Halil Altintop ke negara leluhurnya. Satu nama yang kemudian mencuri perhatian adalah Samuel Eto’o yang kembali merumput setelah tidak memiliki klub pasca kontraknya habis di Everton. Alih-alih membela salah satu tim yang disebut di atas, Eto’o justru menerima pinangan klub promosi, Antalyaspor, 2015 lalu, yang baru merasakan kompetisi tertinggi di negara yang tak masuk persekutuan Uni Eropa tersebut.

Kedatangan para pemain jempolan berbanding lurus dengan pamor Süper Lig yang semakin menjadi bahan perbincangan. Animo penonton yang hadir ke stadion juga melonjak tajam menjadi 2.578.561 orang (tff.org) demi melihat pemain kesayangan lebih dekat karena selama ini mereka hanya bisa menyaksikannya di televisi. Seperti yang kita ketahui bersama, fans di Turki memang dikenal keras dalam mendukung tim kesayangan dan tak ramah dengan klub pendatang.

Berbicara fans di sepak bola Turki, tidak lengkap rasanya jika kita tidak membahas bagaimana mereka melakukan Intimidasi tiada henti pada lawan yang datang,siapa pun lawan mereka. Ratusan flare yang “membakar” stadion dan gemuruh seporter dengan tingkat kebisingan mencapai 131 desibel – hampir menyamai suara Jet tempur yang hendak lepas landas – menjadi satu cerita tak terlupakan dari suporter yang bertandang ke Turki .

Teror ultras Turki tak hanya lewat suara dan dentuman kembang api, lewat spanduk raksasa bertuliskan “welcome to the hell” atau pelesetan slogan Liverpool yang diubah pendukung Besiktas menjadi “Liverpool, you’ll walk alone here” saat klub asal Inggris tersebut kembali ke Attaturk stadium di ajang Liga Eropa 2014 lalu, menjadi pesan tersendiri bagi setiap tamu yang datang bahwa tak ada ramah tamah di negara yang sempat bersitegang dengan Rusia ini.  
sumber: dailymail.co.uk

Denyut nadi sepak bola Turki tak hanya dirasakan pada kompetisi dan fanatisme fansnya, tapi telah membangkitkan bibit muda bertalenta yang telah lama kita tunggu setelah masa emas Hakan Sukur, Rustu Rechber, dan Emre Bilozoglu. Kebintangan Arda Turan di Barcelona seolah merefleksikan gairah pemuda-pemuda Turki yang pantang menyerah untuk mengejar mimpi sepak bola mereka.


Semakin matangnya Arda Turan dan Nuri Sahin tak menutup gerbang generasi baru bagi sepak bola negara yang dipimpin oleh Racip Tayyip Erdogan ini. Kini kita telah melihat bahwa Turki memiliki bintang-bintang masa depan yang siap menggebrak dunia dalam diri Hakan Calhanoglu, Emre Mor, dan Salih Ucan yang akan menjadi perpaduan indah bersama Selcuk Inan, Burak Yilmaz,Mehmet Topal, dan lainnya.