Tampilkan postingan dengan label Bola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bola. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Mei 2018


Entah apa yang menjadi pertimbangan Juergen Klopp ketika menawarkan nama Loris Karius kepada manajemen Liverpool untuk meminangnya. Memiliki track record mumpuni soal transfer semenjana dan menjadikan seorang pemain memiliki talenta kelas dunia, manajemen pun tidak berpikir dua kali untuk memenuhi keinginan sang pelatih.

Seperti yang diketahui, Klopp sukses besar dengan transfer pemain kasta bawah. Di Borussia Dortmund ia sukses besar ketika mengorbitkan nama-nama yang sulit ditulis, apalagi dilafalkan seperti Lucasz Piszcek, Jakup Blaszczykowski, Kevin Groskreutz, Sinji Kagawa, hingga striker yang terus berjalan sendiri di tabel top skorer Bundesliga, Robert Lewandowski.

Tapi mungkin manajemen Liverpool lupa bahwa tidak semua transfer Klopp yang serupa berakhir sempurna. Ia gagal bersama pemain antah berantah lain semisal Tinga, Patrick Njambe, Damir Vrancic, bahkan karier Henrikh Mkhitaryan dan Pierre-Emerick Aubameyang juga tidak terlalu mentereng ketika Dortmund masih dikendalikan pelatih berkacamata itu.
gambar: zimbio.com
Datang ke Liverpool, Klopp seperti ingin bernostalgia pada kesuksesannya di Dortmund dengan mendatangkan beberapa nama awam seperti Ragnar Klavan, Dominic Solanke, dan tentu saja Loris Karius. Namun, ada baiknya kita meninggalkan dua nama pertama karena keduanya tidak berkontribusi apa-apa, setidaknya untuk tulisan ini.

Nama Karius sudah menjadi buah bibir ketika ia menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Melwood. Datang ketika berusia 22 tahun dan berstatus sebagai kiper Tim U-21 Jerman, banyak ekspektasi yang menghinggapi dirinya, paling minimal ia harus bisa bermain lebih baik dari Simon Mignolet.

Pada siklus yang berbeda, kehadiran Karius menjadi magnet tersendiri bagi perkembangan populasi suporter Liverpool di seluruh dunia, terutama wanita. Karius bukan hanya dikarunia kehebatan menjaga gawang, ia juga dianugerahi tampang rupawan yang buat sebagian orang, itu sudah cukup menutupi performa di lapangan.
gambar: liverpoolfc.com
Sayangnya, dia datang di waktu yang salah. Tugasnya memikul beban berat gagal ia laksanakan di tahun pertama. Ambisinya menjadikan Mignolet sebagai penyakitan di bangku cadangan justru berbalik padanya karena penampilan buruk dan kesalahan tingkat kacangan yang ia buat. Seketika itu pula, fans perempuan yang memuji ketampanan Karius juga ikut gerah dan tak segan menghujat permainan buruknya.

Tapi Karius tidak menyerah. Ia terus berusaha keras dan melahap latihan dengan semangat. Kesempatan kembali datang musim ini ketika dirinya dipercaya sebagai penjaga gawang utama khusus Liga Champions – awalnya – oleh Klopp. Dewi fortuna kian mendekatinya ketika performa minor Mignolet di Premier League membuat manajer mengambil keputusan penting. Karius resmi jadi pilihan utama untuk semua kompetisi.

Keputusan tersebut terbukti tepat. Sejak dikawal Karius, keperawanan gawang Liverpool mengalami peningkatan. Di Liga Champions, Liverpool mencatatkan enam cleansheet. Sedangkan di Premier League, gawangnya 10 kali tidak kebobolan dari 19 pertandingan, lebih banyak dari Mignolet yang notabene bermain lebih sering.

Karius kian matang sejak dipercaya menjadi kiper utama. Beberapa penyelamatan krusial pun kerap ia lakukan, seperti saat menepis tandukan Shane Long (Southampton), tendangan keras Pablo Sarabia (Sevilla), sepakan melengkung Mohamed Diame (Newcastle United), penalti Harry Klaim Kane (Spurs), hingga tendangan volley Marko Arnautovic.

Dengan penuh kesombongan saya mengatakan Karius layaknya seorang David De Gea, yang hanya menjadi bahan lelucon ketika pertama kali datang ke Manchester United lalu berubah bak pahlawan seorang diri ketika Setan Merah mampu mempertahankan tempat di papan atas. Karius sedang melewati fase yang pernah dirasakan De Gea beberapa waktu lalu. Hingga sebelum final Liga Champions, saya masih yakin dia mampu seperti itu dan Liverpool tidak perlu membeli kiper baru seperti Alisson Becker, terlebih seorang parasit bernama Gianluigi Donnarumma.
gambar: zimbio.com
Semua bayangan saya di atas berjalan mulus hingga final Liga Champions....sepanjang babak pertama. Ia berhasil menunjukkan dirinya layak bermain di final. Terbang menghalau crossing Dani Carvajal, menepis sundulan Cristiano Ronaldo di muka gawang, hingga menghalau sepakan jarak dekat Isco, Karius telah sah menjadi penyelamat Liverpool pada interval pertama.

Tapi apa daya, tuah 45 pertama berubah menjadi tulah pada paruh kedua. Karius membuat dua blunder di luar logika. Gol pertama bisa dikatakan berkat andil kepintaran Karim Benzema yang mengangkat kakinya. Tapi untuk gol kedua yang dicetak Gareth Bale, agama mana yang bisa memaafkan perbuatan horor itu???

Karius tidak hanya menghancurkan harapan Kopites seluruh dunia. Lebih dari itu, ia bisa mengubur kariernya sendiri akibat kesalahan tersebut. Pertandingan final sekaliber Liga Champions, blunder seperti itu, tentu bisa mengganggu psikis sang pemain. Bahkan dia sendiri mengaku tidak bisa tidur setelah pertandingan.

Usai laga pun Karius tidak kuasa menahan tangis sembari memohon ampun kepada fans. Hal serupa terulang ketika skuat The Reds tiba di bandara John Lennon, Liverpool. Karius menuruni tangga pesawat dengan menutupi wajahnya dengan tangan.

Setelah itu penjaga gawang yang pernah menimba ilmu di Manchester City menulis surat terbuka, yang intinya minta maaf pada semua orang. Ia mengaku kekalahan Liverpool disebabkan oleh aksi horornya di bawah mistar.

Dia sudah malu, sudah minta maaf, dan seakan tak sanggup melihat lingkungannya. Sekarang yang harus dilakukan adalah bangkit dan terus memperbaiki diri agar Klopp tidak berpaling darinya pada musim depan. Rekan setim yang saat di lapangan membiarkannnya berjalan sendirian menghampiri fans pun mulai menguatkan sang kiper. Mereka kompak menginginkan Karius bangkit dan terus membenahi performanya. Bahkan Inter Milan dan Napoli juga tidak ketinggalan memberikan dukungan lewat media sosial. Tidak ketinggalan, seorang legenda layar handphone, Mia Khalifa, juga menyemangati pemain yang disekujur tubuhnya dipenuhi tato itu.

Kita sebagai fans pun sudah semestinya kembali memberinya dukungan dan membuat Karius berdiri tegak lagi. Saya pun masih cukup percaya dengan kapabilitasnya untuk terus mengawal gawang Liverpool kecuali Liverpool dapetin Alisson.

Tanpa perlu kita bilang, Karius sudah pasti berpikir untuk bermain lebih baik lagi. Mengubur memori buruk 27 Mei 2018 demi terus berjalan bersama pemain lainnya untuk menggapai prestasi yang sudah menunggu Liverpool di masa mendatang. Semoga!

Selebihnya, sudah sepatutnya Karius mengurangi kegiatannya di media sosial. Tidak perlu juga dia kerap memamerkan kegantengannya di sana jika performa di lapangan justru mengatakan sebaliknya. Mubazir itu namanya.  Cukup performa Paul Pogba di Instagram saja yang mendapat banyak like, tapi dihujat di lapangan.

Selasa, 20 Februari 2018

“Saya main bola karena kehendak tuhan, saya kembali ke Indonesia juga karena kehendak Tuhan,” lebih kurang demikianlah aksi gelandang Sriwijaya FC Palembang, Makan Konate, dalam sebuah iklan Kukubima Ener-G! beberapa waktu lalu. Tentu dia bukanlah satu-satunya pemain bola yang menjadi bintang minuman energi ini, tapi selama ajang Piala Presiden, Konate jadi bintang utamanya.

Saya cukup yakin hanya 1 persen dari kita yang tidak tahu apa itu Kukubima. Bagi yang tidak pernah mengonsumsinya sekali pun, merk ini sudah cukup terkenal di banyak kalangan. Saya sendiri sangat familiar dengan minuman ini, karena kerap mengonsumsinya selepas bermain Futsal, atau hanya sekadar lagi pengen saja. Tidak bisa dipungkiri memang jika minuman ini sangat menyegarkan.

Kemarin, Senin (19/2/2018) bertempat di Pondok Indah Golf Course saya berkesempatan menghadiri acara launching Kukubima Ener-G! yang turut dihadiri beberapa bintang lapangan hijau seperti Hamka Hamzah, Beto Goncalves dari Sriwijaya FC, Demerson, Yandi Sofyan, Miftahul Hamdi dari Bali United, Marko Simic, Maman Abdurrahman dari Persija Jakarta, Reva Adi Utama, Hasim Kipuw dari PSM Makassar, Hadi Abdillah, serta Gilang Ginarsa yang berasal dari PSIS Semarang.

 


Para bintang Liga 1 itu mewakili klub mereka masing-masing yang baru saja menjalin kerja sama dengan Kukubima. Bagi yang mengikuti gelaran Piala Presiden kemarin, tentu sudah melihat lambang Kukubima menempel di jersey kelima kesebelasan tersebut.

Melalui Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul TBK, Bapak Irwan Hidayat, tujuan Kukubima terjun ke ranah sepak bola adalah untuk mendukung kemajuan sepak bola Indonesia, terutama kompetisi Liga 1 yang baru berjalan tahun lalu.
para pemain dan manajemen klub berfoto bersama sebagai tanda terjalinnya kerja sama dengan Kukubima

“Semoga bergabungnya Kukubima di dunia sepak bola bisa membuat banyak orang semakin termotivasi untuk memajukan bola di Indonesia untuk terus berprestasi, baik di kancah nasional maupun internasional, apalagi sekarang kita mau mengadakan Asian Games. Jadi ini bisa dijadikan momen agar olahraga di Indonesia, khususnya sepak bola makin berkembang,” kata beliau, Senin (19/2/2018).

Selain itu, Pak Irawan menambahkan bahwa Kukubima ingin ikut andil dalam perkembangan industri sepak bola Indonesia yang sudah tidak lagi menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk operasional klub, sehingga pihak sponsorlah yang akan menjadi kekuatan utama keberlangsungan sebuah klub dalam mengarungi kompetisi.
Pak Irwan Hidayat saat memaparkan tujuan Kukubima terjun ke dunia sepak bola 

Imbas dari kerja sama ini tentu saja nama Kukubima yang semakin dikenal masyarakat luas, apalagi Persija baru saja menjadi juara Piala Presiden 2018 setelah mengalahkan Bali United di final. Selain itu, Marko Simic juga menyabet dua gelar individu bergengsi, yaitu pemain terbaik dan top skorer turnamen dengan 11 golnya.
dibawa dong sama Simic dua trofinya

“Kami tidak menyangka Persija bisa juara Piala Presiden dan itu berdampak bagus bagi kami sebagai sponsor. Kami ingin semua CSR ikut berpartisipasi memajukan sepak bola dan kompetisi kita agar lebih kompetitif tiap tahunnya,” sambung Pak Irwan.

Kendati demikian, ada yang unik dari launching Kukubima kali ini. Selain sepak bola, produk asli Sido Muncul ini nyatanya memiliki misi lain di luar dunia olahraga, yaitu untuk menyelamatkan Sungai Citarum dari sampah yang selama ini mengancam. Bahkan hal ini menjadi tema utama acara yang diberi nama ‘Ayo Selamatkan Citarum’.

Keadaan sungai Citarum saat ini sudah tercemar berbagai limbah, seperti limbah rumah tangga, limbah industri yang tidak menggunakan IPAL membuat warna air sungai yang makin lama semakin coklat kehitaman, serta limbah peternakan dan perikanan. Tentu ini sangat ironis karena sungai itu punya fungsi yang sangat vital untuk masyarakat, salah satunya adalah menjadi sumber air minum warga sekitar.
salah satu concern Kukubima Ener-G! saat ini, ayo selamatkan Citarum

Sekilas mungkin tidak ada hubungannya minuman energi dengan keadaan lingkungan yang ada. Tapi lagi-lagi Kukubima ingin semua masyarakat sadar bahwa fenomena lingkungan, terutama kebersihan sungai adalah tanggung jawab kita bersama.

Berawal dari inisiatif Pangdam III Siliwangi, Mayjen TNI Doni Monardo, yang kerap membersihkan sungai Citarum bersama anggotanya, Kukubima pun ikut tergerak untuk sama-sama membersihkan kawasan sungai yang selama ini dikenal sebagai tempat yang tidak layak akibat kebiasaan warga yang membuang sampah di tepi sungai.

Gerakan ini dirasa perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran warga agar tidak membuang sampah sembarangan supaya bisa terhindar dari bencana banjir yang selama ini terus menghantui. Apa yang dilakukan Kukubima ini pun bukan hanya sebatas kampanye semata, tapi mereka juga sudah turun langsung untuk membersihkan Sungai Citarum.

Jadi jelas tujuan Kukubima Ener-G sangat bermakna dan tidak cuma untuk kemajuan sepak bola. Lebih dari itu, mereka ingin membentuk kesadaran masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan lama yang masih membuang sampah sembarangan agar lebih aware pada masalah sekitarnya. Karena salah satu cara mencegah terjadi banjir berasal dari kesadaran kita sendiri terhadap lingkungan.


Senin, 29 Januari 2018

gambar: zimbio.com

Sepak bola adalah olahraga rakyat yang tak bisa jauh dari kontroversi. Memang, semua olahraga tak luput dari kontroversi, tapi cabang lain perlahan mulai berbenah dengan segala kemajuan teknologi yang bisa membuat pertandingan menjadi lebih adil dan dapat diterima banyak penggemarnya.

Kita mengenal Tenis sebagai salah satu permainan paling melelahkan. Untuk menghabiskan satu pertandingan saja, ia bisa memakan waktu hingga berjam-jam lamanya. Dulu, permainan yang menggunakan raket ini hanya mengandalkan wasit dan beberapa petugas yang mengamati apakah bola yang dipukul Andre Agassi ketahuan deh umur saya dan kawan-kawannya masuk atau keluar.

Sekarang Tenis sudah menggunakan teknologi yang bernama Hawk Aye. Gunanya tentu saja untuk membantu sang pengadil menentukan keputusan apakah bola masuk dalam garis lapangan atau tidak. Begitupula dengan bulutangkis. Kini, andai Taufik Hidayat masih bermain, ia sudah tak perlu lagi walk out gara-gara wasit yang tidak becus itu ketika berlaga di Asian Games Korea Selatan beberapa tahun lalu. Cukup acungkan tangan ke atas meminta challenge.

Sepak bola juga demikian. Banyaknya kotroversi yang terjadi membuat FIFA sebagai induk organisasi berpikir keras bagaimana membuat olahraga semilyar umat ini bisa lebih berdaulat adil dan makmur. Maka terciptalah Video Assistant Referee, atau kondang dengan sebutan VAR.

Tapi hal itu tidak serta merta membuat semua orang puas. Di Italia dan Jerman (kompetisinya sudah menggunakan VAR) banyak yang tidak puas dengan kinerja teknologi itu. Pasalnya, wasit membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan. Contoh: ketika para pemain sudah meluapkan kegembiran karena berhasil mencetak gol, tiga menit kemudian sang pengadil bisa menganulir gol tersebut setelah melihat tayangan ulang VAR. Kan pemain sama fans jadi ngomong anjeeeeeng kalo gitu.

Salah satu kompetisi elit yang belum menggunakan VAR adalah Liga Inggris. Tapi tampaknya teknologi itu akan segera dipakai Premier League seiring makin seringnya opa Arsene Wenger ngambek karena kinerja wasit, yang menurutnya makin terbelakang.

Tidak bisa dipungkiri memang jika Liga Inggris menjadi sarang kontroversi yang salah satunya disebabkan oleh wasit. Ya, hampir sama dengan Liga Italia. Tapi di Serie A kontroversi hanya tersentralisasi pada pertandingan Juventus saja. di Negeri Ratu Elizabeth, momen-momen itu terjadi merata, terutama setelah Sir Alex Ferguson mangkat dari jabatannya di klub yang itu.

Jauh sebelum Wasit Lee Mason membuat kontroversi karena larinya lebih kencang dari bintang muda Manchester United, Jesse Lingard (LAAAAH), Inggris memiliki satu nama tenar lainnya dalam diri Mark Clattenburg.

Bagi fans Liverpool, Clattenburg dicap sebagai wasit yang selalu membela Manchester United. Sedangkan menurut fans United, ia tak lebih dari sekedar musuh yang harus disoraki tiap meniupkan peluit. (Aneh kan? ya iyalah, kalo nggak ya bukan kontroversi namanya).

Pada 2016 lalu, Clattenburg pernah membuat Raheem Sterling ngamuk karena dianggap handball. Padahal dalam tayangan ulang terlihat jelas bola mengenai badannya. Keputusan ini pun membuat Manchester City takluk 1-2 dari Tottenham Hotspur.

Sedangkan di luar lapangan, wasit 42 tahun itu juga tak luput dari kontroversi. Ia ketahuan selingkuh dengan seorang wanita muda bernama Andrea. Hebatnya, Clattenburg mengaku masih bujangan pada Andrea dan rela melepas jabatannya sebagai wasit demi memulai hidup bersama. Nahasnya, perbuatannya itu diketahui oleh sang istri, Claire, yang melabraknya langsung.

Yang tak kalah kontroversi dari sosok wasit asal Inggris ini adalah ucapan rasisnya kepada pemain Chelsea ketika itu, John Obi Mikel. 2012 lalu, ia dituding mengucapkan kata 'monyet' pada pemain asal Nigeria tersebut. Tak hanya Mikel, ucapan Clattenburg juga menyasar Juan Mata dengan menyebutnya sebagai orang Spanyol yang idiot.

Kendati pada akhirnya ia membantah tuduhan rasis itu, dirinya sudah kadung menjadi buah bibir seantero Inggris dan dunia. Mungkin, entah benar atau salah, hal ini secara ridak langsung membuatnya di deportasi dari Liga Inggris. Sejak musim ini, Clattenburg di pindah tugaskan menuju Arab Saudi.

Lama tak terdengar namanya, Clattenburg tiba-tiba muncul membawa cerita baik nan menghangatkan. Di negara salah satu peserta Piala Dunia 2018 itu, wasit kharismatik ini membuat semua orang takjub dan kembali membicarakannya. Tidak hanya media dari negara asalnya yang terkenal kejam, rekan sejawat, maupun pelaku sepak bola, tapi juga dari warganet yang menyaksikan aksi terbarunya.

Pada sebuah pertandingan bertajuk King's Cup antara Al Feiha vs Al Fateh, Clattenburg mengguncang dunia ketika laga memasuki menit 95 di babak tambahan. Pasalnya, laga yang tengah berjalan panas ini dihentikan oleh sang pengadil. Bukan karena ada pemain yang tergeletak di lapangan, atau lemparan botol dari penonton, apalagi aksi walk out dari salah satu manajer tim. Tapi karena kumandang azan yang menggema di King Salman bin Abdul Aziz Sport City Stadium.


Bukan satu dua menit ia menghentikan laga. Nyaris empat menit pertandingan berhenti hingga azan benar-benar selesai. Penonton, staff pelatih, dan pemain yang berada di bangku cadangan, maupun 22 penggawa yang sedang bertarung di lapangan, semua tampak diam. Suasana hening semakin menambah syahdu lantunan azan dari muazin. Bahkan, komentator yang tadinya bersemangat memandu laga juga larut dalam takbir.

Setelah azan selesai, laga kembali dilanjutkan dengan diawali tepukan tangan penonton yang memadati stadion. Mereka memuji keputusan Clattenburg yang menghentikan laga itu. Ketika video ini tersebar, banyak warganet yang memuji keputusan wasit kelahiran Consett, Inggris. Mereka menganggap sang pengadil telah mempertontonkan rasa hormat yang tinggi kepada orang-orang muslim di seluruh dunia.

Praktis kontroversi yang selama ini melekat dari dirinya berubah menjadi puja-puji. Bukan hanya karena ia menghentikan laga saat azan berkumandang, tapi juga latar belakangnya yang memiliki kepercayaan berbeda dan statusnya sebagai warga Inggris yang baru kali ini bertugas di Timur Tengah, terlebih Arab Saudi yang memiliki peraturan sangat ketat.

Saya tidak tahu apakah semua pertandingan di sana akan dihentikan jika terdengar suara azan karena memang belum melihat video serupa sebelumnya. Tapi setidaknya di Indonesia hal tersebut tidak terjadi di Liga Bank Mandiri, Liga Super Indonesia, Indonesia Super Championship, Liga 1, atau apa pun federasi menamakan kompetisi di tanah air.

Dari banyak stadion, kandang Persiba Balikpapan (sebelum pindah ke Stadion Batakan) memiliki jarak sangat dekat dengan Mesjid. Bahkan kerap terdengar suara azan di tengah-tengah pertandingan. Tapi apakah wasit menghentikan laga? Tidak. Ia tetap melanjutkan, hanya suporter yang berhenti bernyanyi dan menari mendukung klubnya bertanding.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan Clattenburg bisa dibilang sikap luar biasa di tengah kontroversi yang membelenggu sepanjang kariernya. Sebagai orang yang tidak tahu apa maksud dari azan dan bagaimana sakralnya arti azan bagi umat muslim di dunia, dia bukan hanya patut dipuji, tapi juga harus dikenang. Terlebih bagi kita masyarakat Indonesia yang masih harus banyak belajar toleransi dan menghormati agar bisa keluar dari jebakan batman bernama kaum bumi datar, bumi bulat, cebong, atau kaum apalah-apalah itu yang sering dijuluki oleh netizen.

Minggu, 10 Desember 2017


Di Italia, AC Milan adalah klub raksasa. Bersama Juventus dan Inter Milan, mereka bergantian menguasai Serie A. Namun, apa yang ditunjukkan beberapa tahun ke belakang tentu tidak mencerminkan Milan yang sebenarnya. Dengan Inter yang juga kehilangan arah, dua sekota ini terlempar dari persaingan, tidak hanya tiga besar, tapi juga pentas Eropa.

Baik Milan dan Inter seakan bernasib sama dengan klub-klub Indonesia yang kolaps secara prestasi ketika dana APBD dicabut untuk kegiatan sepak bola. Ya, keduanya tidak bisa berbuat banyak ketika tim dililit hutang yang berimbas pada kekuatan pemain yang dimiliki.

Salah satu cara yang dianggap ampuh adalah mendatangkan investor baru untuk memulihkan keuangan tim. Dan keduanya lagi-lagi kompak dalam hal ini. Inter mendahului sang tetangga ketika mendapuk Suning Grup sebagai pemilik klub. Sedangkan I Rossoneri baru beberapa bulan ini dikendalikan oleh Yonghong Li, yang katanya pengusaha tajir Tiongkok.

Namun, di sinilah perbedaan mereka. Milan langsung menggebrak dengan limpahan 12 pemain baru, hanya di musim ini saja. Sedangkan Suning masih dipusingkan dengan keseimbangan neraca keuangan klub sehingga harus berpikir sekian kali untuk menghamburkan uang 200 juta Euro. Bahkan jika digabung dengan dana transfer musim lalu, Suning belum melampaui uang yang dikeluarkan kompatriotnya itu di Milanello musim ini.

I Rossoneri sejatinya sudah berada pada trek yang benar musim lalu. Bersama Vincenzo Montella, mereka kembali menapaki kompetisi Eropa, meskipun hanya sekelas Liga Europa. Setidaknya, prestasi ini lebih baik dari Inter yang lagi-lagi tak tersentuh kompetisi regional.

Dengan pemain yang masih apa adanya, Montella berhasil membuat Milan bermain konsisten sepanjang musim. Bahkan ia suskses menaklukkan Juventus musim lalu. Tapi entah kenapa tuah tersebut tidak berbekas musim ini. Padahal, legenda AS Roma tersebut punya modal lebih bagus nan mumpuni.

Sedangkan Inter, dengan jumlah pemain yang didatangkan musim ini yang hanya setengahnya dari Milan, mereka mampu bertengger di puncak klasemen. Bahkan, sepanjang musim 2017-2018, Skuat Luciano Spalletti belum tersentuh kekalahan. 

gambar dibikinin @andhikamppp
Performa Suso dkk justru limbung musim 2017-2018. Euforia tifosi pun hanya sebatas laga pertama di kualifikasi Liga Europa ketika membenamkan klub asal Makedonia, Shkendija, 6-0, dan tim-tim semenjana lainnya. Itu pun di awal musim. Setelahnya, Milan secara bergantian dilumat oleh klub  Serie A, seperti Lazio, AS Roma, Sampdoria, Inter, dan Napoli.

Rentetan kekalahan dan hasil imbang membuat posisi Montella di ujung tanduk. Hingga akhirnya skor 0- 0 kontra Torino membuat ia harus melepas jabatannya dua hari setelah pertandingan. Menariknya, keputusan itu hanya berselang sehari setelah Massimiliano Mirabelli mengatakan Milan sudah berada di jalur yang tepat bersama eks pelatih Fiorentina tersebut.

Tifosi kemudian gembira mendengar kabar pemecatan itu. Mereka yang tadinya enggan menyaksikan klub kesayangan bertanding selama Montella masih memegang kendali, mulai berani begadang lagi demi melihat 12 pemain baru berlari di lapangan. Namun, di sinilah klub pujaannya mengulang kesalahan yang sama ketika menunjuk Gennaro Gattuso.

Ketika memberhentikan Massimiliano Allegri beberapa musim lalu, Adriano Galliani mengumpulkan legenda klub yang sudah pensiun untuk memulai legacy baru di San Siro. Mulai dari Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, hingga…Christian Brocchi untuk menjadi juru taktik klub pemilik 7 gelar Liga Champions tersebut.

Hasilnya? Tidak hanya nihil, tapi mubazir. Tiga legenda satu generasi itu hanya berkarier singkat dan kian memperkuat status Milan sebagai klub medioker. Masalah keuangan mungkin alasan yang tepat bagi klub untuk mengontrak para debutan itu. Jangankan pelatih, pemain yang didatangkan pun mayoritas hanya berstatus bebas transfer, alias gratis.

Ingin memutus hal tersebut, Galliani memanggil allenatore yang sedang naik daun bersama Sampdoria ketika itu, Sinisa Mihajlovic. Perlu diketahui, penunjukkan ini menyakitkan hati saya sebagai fans pemain yang pernah mencetak hat-trick lewat tendangan bebas itu. Tapi keberadaan Miha nyatanya tidak membuat klub semakin baik. Ia tercatat hanya sukses memproklamirkan Gianluigi Donnarumma dan Alessio Romagnoli sebagai bintang masa depan Il Diavolo Rosso.

Pria Serbia akhirnya diganti oleh Montella, yang juga pernah melatih Sampdoria. Sempat menanjak dengan pemain seadanya di musim pertama, peraih scudetto bersama Roma ketika masih menjadi pemain ini tak berkutik ketika dihadiahi skuat baru sehingga tim diambil alih oleh Rhino yang sebelumnya menjadi Indra Sjafri-nya Milan di U-19.


Satu hal yang diingat banyak orang ketika mendengar nama Gattuso tentu saja sikapnya yang suka berapi-api di lapangan ketika masih aktif bermain – alih-alih prestasi selama menjadi pelatih. Bagaimana tidak, empat tim antah berantah yang ia latih hanya membuat cv-nya jelek.

Menukangi FC Sion, Palermo, Pisa, dan OFI Crete, pria 39 tahun itu tidak pernah menyelesaikan kontraknya. Kariernya selalu berujung pada pemecatan. Menilik pada catatan tersebut, Milan bukan saja mencoba bunuh diri, tapi juga mencari mati, mengingat peran pelatih sangat vital dalam sebuah tim.


Jika manajemen ingin melestarikan para legenda, kenapa mereka tidak memanggil pulang Inzaghi, yang kini sukses membawa Venezia promosi ke Serie B saja? Atau Massimo Oddo, yang meski belum berprestasi tapi karier manajerialnya lebih mumpuni dari pelatih yang semasa bermain dijuluki Hariono-nya Milan tersebut.

Kiprah Gattuso dengan status barunya ini pun mulai bisa ditebak. Ia gagal menang melawan Benevento di laga debut. Untuk diketahui, Benevento adalah satu-satunya tim di lima liga top Eropa yang belum meraih satu poin pun. Heroiknya, poin pertama mereka raih ketika kiper Alberto Brignoli membobol gawang Donnarumma di menit 95 hingga membuat Gattuso tidak bisa tidur setelahnya.

Tidak puas imbang dengan Benevento, Milan kemudian ditaklukkan Rijeka 0-2 di Liga Europa. Mungkin kekalahan ini masih bisa dimaklumi karena dua hal. Pertama, I Rossoneri sudah memastikan lolos ke babak berikutnya. Kedua, pemain yang diturunkan adalah pemain lapis kedua. Oke, klasik. Tapi ya terima saja, toh ada waktunya kita beralasan demikian.

“Performa tim di lapangan adalah tanggung jawab saya sebagai pelatih. Pelatih akan selalu menjadi orang terdepan yang disalahkan pada performa klubnya dan akan selalu begitu,” kurang lebih seperti itulah kata Montella sesaat dirinya dipecat. Dan memang benar, kegagalan sebuah tim adalah kesalahan mutlak juru taktik. Itu sudah menjadi hukum di sepak bola dan tidak bisa dibantah lagi.

Tapi hal lain yang dilupakan Milanisti adalah keberadaan Marco Fassone di belakang layar. Selain mengulang kesalahan dalam menentukan pelatih, klub yang berdiri pada 1899 lampau ini juga mengulang kesalahan Inter saat mempekerjakan pria yang sekilas mirip Lee Mason tersebut. Iya, wasit yang larinya lebih cepat dari Jesse Lingard itu.

Fassone adalah orang di balik transfer-transfer Inter di pada medio 2012 hingga 2015. Saya tidak perlu menyebutkan siapa saja pemain yang ia datangkan ke Appiano Gentile ketika itu. Kalian cukup lihat I Nerazzuri di tabel klasemen saja. Kini dengan kekuatan uang yang dimiliki Milan, kepekaan Fassone terhadap kebutuhan tim tidak juga membaik.

Leonardo Bonucci kini jadi pesakitan di Milan. Ingat gol pemain Austria Wien di San Siro pertengahan November lalu? Atau bagaimana Andre Silva yang tokcer di Timnas Portugal justru belum mencetak satu gol pun di Serie A. Malah hanya seorang Fabio Borini yang mampu tampil konsisten sepanjang musim ini. Oke, maaf.

Jadi, fans Milan tidak perlu lah senang dengan pemecatan Montella dan bangga pada penunjukkan Gattuso. Trofi Liga Champions dan scudetto saat menjadi pemain bukan jadi jaminan saat jadi pelatih. Diego Maradona yang didapuk sebagai tuhan oleh publik Argentina saat masih bermain saja kembali jadi manusia biasa ketika menangani Albiceleste.

Kalau pun keluguan kalian masih berpegang teguh dengan capaian seperti itu, tidak perlu Gattuso yang turun gunung, cukup Valerio Fiori saja. Selain sama-sama setia bersama I Rossoneri, torehan trofinya juga mentereng di Milan. Dan yang pasti pria yang sudah pensiun sejak 2008 silam ini tidak pernah terpeleset.

Tapi, setidaknya Gattuso sudah menunjukkan kemajuan ketika mengalahkan Bologna 2-1 pada giornata ke-16. Ia membawa timnya menang disaat Inter, Juventus, Napoli, dan AS Roma imbang. Serta tentu saja ketika tribun San Siro lebih sepi dari sebelumnya. 





Jumat, 17 November 2017

Nama Diego Costa sudah kadung memiliki kesan buruk bagi seluruh pecinta sepak bola Inggris, termasuk pendukung Chelsea dan saya tentu saja (yang bukan fan Chelsea). Sampai saat ini, sulit rasanya jika kita tidak berpikir negatif tentang perangainya, baik di dalam maupun luar lapangan.

Di dalam lapangan, sudah tidak terhitung jumlah musuh Costa yang tersebar diseantero tim-tim Inggris, Spanyol, dan tentu saja kompatriotnya dari Brasil. Sedangkan di luar sepak bola, banyak orang yang kesal (terutama tetangga) ketika ia tengah asyik berfantasi pada seperempat malam dengan video kualitas 720p selama beberapa menit di kediamannya.

Terkadang saya masih begitu kesal jika mengingat kelakuannya saat Chelsea menghadapi Liverpool beberapa musim lalu. Banyak yang percaya Costa dengan sengaja menginjak Emre Can dan nyaris baku pukul dengan Jordan Henderson juga Martin Skrtel di Stamford Bridge. Tapi ya sudahlah, itu sudah berlalu dan ia tidak melanjutkan perbuatan hina itu di pertemuan kedua klub selanjutnya.
zimbio.com


Beberapa sifat buruk Costa nyatanya tak bisa diterima Antonio Conte di Chelsea. Pelatih asal Italia itu bahkan berani mengeluarkannya dari tim, sekalipun dia adalah faktor vital keberhasilan The Blues menggondol trofi Liga Inggris musim lalu. Costa murka, begitupula sang manajer. Keduanya sama-sama mempertahankan keyakinannya untuk menolak minta maaf.

Pada akhirnya, pemain naturalisasi Spanyol itu pun kabur ke kampung halamannya di Brasil. Menenangkan diri, menunggu Chelsea ikhlas menjualnya ke tim lain. Namun, hal itu tidak mudah ia dapatkan lantaran permintaan mutlaknya yang cukup berat untuk dikabulkan. Bukan. Ia tidak menuntut gaji menjulang pada klub peminat atau fasilitas wahid sebagai syarat dirinya bersedia hengkang. Costa hanya ingin pulang ke Atletico Madrid.

Atletico bukanlah tim pertamanya di Eropa. Ia sempat singgah di Portugal sebelum benar-benar merapat ke klub ibu kota Spanyol itu. Di sana pun dirinya tidak serta merta menjadi penghuni tetap tim utama. Costa bahkan harus empat kali disekolahkan ke klub semenjana, semisal Celta Vigo, Albacete, Real Valladolid, dan tim sekota kelas tiga, Rayo Vallecano.

2007 menginjakkan kaki di Vicente Calderon - kandang Atletico - baru di tahun 2012 namanya lalu-lalang di skuat utama Merah Putih (bukan Indonesia). Namun, pembelajaran itulah yang membuat Costa selalu ingin pulang ke Madrid. Dia tidak kehilangan satu apa pun bersama Chelsea. Gelar top skorer, trofi Liga Inggris, dan gaji melimpah sudah ia rasakan di sana. Tapi ia sadar hanya Atletico tempat impiannya.

Klub yang dilatih legenda Argentina, Diego Simeone, awalnya tidak bisa berbuat banyak karena embargo transfer yang tengah mereka hadapi. Tapi Costa tidak patah arang. Klub kaya baru, AC Milan, coba melihat kesempatan untuk melegonya, sama halnya tim raksasa Turki, fenerbahce, yang bersedia hanya disinggahi Costa selama enam bulan sampai hukuman FIFA kepada Atletico selesai. Namun, ia bergeming.

Costa bukanlah Neymar yang rela diperdagangkan oleh ayahnya. Ia juga bukan Wayne Rooney yang menunggu uzur dan tidak terpakai lagi baru bersedia pulang ke Everton. Costa adalah.....Costa. Pemain bengal berupa tua yang menyimpan cinta untuk satu tim yang menjadi tonggak sejarah kariernya. 

Atletico yang sempat berpikir dua kali memulangkannya akhirnya luluh pada permohonan Costa. Mereka resmi mendatangkan kembali pemain kelahiran Brasil itu September lalu, dengan catatan, Ia baru boleh dimainkan Januari 2018, setelah banned FIFA berakhir. 

Pemain 27 tahun yang tadinya asyik bersantai di Brasil, buru-buru terbang ke Madrid setelah mendengar Chelsea dan Atletico menyetujui kepindahannya. Ia pun menjadi pemain termahal Los Rojiblancos dengan bandrol 50 juta Euro, lebih mahal 15 juta euro ketika Chelsea mendatangkannya dari Atletico 2014 lalu.

Kegalauan Costa sejak Juli lalu pun berakhir klimaks setelah ia akhirnya pulang ke rumah keduanya. Kendati harus sabar menunggu sampai tahun depan, itu tidak masalah. Seperti yang ia katakan, "Saya hanya ingin pulang ke Atletico dan akan menunggu hingga mereka membawa saya,".

Di balik itu semua, ia tetap saja dicaci karena lebih memilih Spanyol sebagai negara yang ia bela, bukan Brasil yang notabene adalah tumpah darahnya. Tapi, lagi-lagi Costa punya alasan cukup kuat berbaju La Furia Roja (julukan Spanyol). Seperti yang diungkapkan beberapa tahun lalu, ia berhutang budi pada Spanyol. Tidak hanya di karier sepak bola, tetapi juga kehidupan sosialnya.

Membela Spanyol bukan berarti dia lupa dengan Brasil. Seperti yag disampaikan di atas, konflik yang dihadapi di Chelsea membuat dirinya pulang ke Lagarto, sebuah kota kecil di Brasil, bukan ke Madrid. Kehidupan sepak bola-nya memang ada di Spanyol, tapi di luar itu, ia adalah seorang anak yang selalu rindu asal usulnya.

Saat ini, Diego da Silva Costa baru saja menuntaskan rasa cintanya yang belum usai di Atletico setelah beberapa tahun berpetualang ke London Barat. Dan setelah ini, jika boleh saya menduga, ia akan menyempurnakan hal yang sama di Brasil nantinya.

Jumat, 02 Juni 2017

Final Liga Champions musim ini akan terasa berbeda pula istimewa. Bagaimana tidak, duel dua kiblat sepak bola Eropa menjadi tajuk utama ketika mereka harus saling sikut di laga pamungkas.
image: mirror.co.uk

Juventus adalah tim besar Italia yang memimpin perolehan trofi domestik selama enam musim terakhir. Bintang tiga pun sudah pantas melingkar di dada panji hitam putih untuk musim depan. Belanja besar nan pintar dari manajemen si nyonya tua harus kita akui berbuah manis.

Sementara Real Madrid, siapa yang tidak mengenal tim ini. Galacticos berjilid yang digelorakan Florentino Perez memang telah membuat tim ibukota Spanyol ini menjadi brand penting sepak bola di era industri. Keberhasilan El Real membangun image di dunia showbiz berbanding lurus dengan apa yang mereka raih di lapangan. Keberhasilan mereka meraih gelar La Liga musim ini menjadi bukti menanjaknya performa skuad Zinedine Zidane.

Kedua kubu tentu bukan kali ini saja bertemu di kompetisi Eropa. Mereka sudah beberapa kali bersua di ajang yang sama sejak dulu. Dari data yang dilansir situs UEFA.com, sejarah pertemuan kedua kesebelasan masih sama kuat. Dari total 16 pertemuan, Juve dan Madrid sama-sama mengemas delapan kemenangan dan dua hasil imbang.

Namun Si Nyonya Tua patut jumawa jika menilik sembilan laga terakhir keduanya. Juventus berhasil memenangkan lima pertandingan sebelumnya. Dan berbanding dengan tiga kemenangan dari pihak Real Madrid. Sedangkan satu pertandingan berakhir imbang.

Jika dilihat dari riwayat pertemuan, Christiano Ronaldo dan kolega wajib waspada dengan ledakan tak terkira dari skuat Massimiliano Allegri. Setidaknya pertemuan terakhir kedua kesebelasan menjadi cerminan, di mana Juventus yang ketika itu tidak diunggulkan mampu menyingkirkan El Real di semifinal UCL dua musim lalu.

Alvaro Morrata, yang ketika itu menjadi penentu laju Juventus ke final kini telah kembali ke Madrid dan siap memberikan terapi kejut pada mantan rekan-rekan setimnya. La Vecchia Signora sendiri bukanlah tanpa amunisi wahid, duet Argentina dalam diri Paulo Dybala-Gonzalo Higuain menjadi jaminan mutu pasukan Allegri akan mengobrak-abrik pertahan Madrid yang dikomandoi sang kapten, Sergio Ramos.

Kehilangan Paul Pogba dan Arturo Vidal tampaknya bukan jadi penghambat performa tim asal Turin tersebut. Terbukti mereka tetap solid dan kokoh di lini tengah. Makin krusialnya peran Miralem Pjanic, Juan Cuadrado, dan Sami Khedira dalam mengalirkan permainan tim menjadi bukti kokohnya lini tengah nyonya besar. belum lagi kecerdikan Paulo Dybala yang membuat Bracelona pulang lebih awal di liga Champions musim ini semakin membuat lini serang Juventus menakutkan.
image: 101greatgoals.com

Di kubu seberang, Real Madrid tidak begitu signifikan merubah skuad mereka. Lini perlini Los Merenggues mayoritas masih dihuni tim Ancelotti kala mereka dikalahkan Juve dua musim lalu. Zidane tampaknya masih sangat percaya dengan Tony Kroos, Luca Modric, Dani Carvahal, Gareth Bale, dan Ronaldo.

Muka-muka lama di atas pun makin padu dengan talenta-talenta baru yang dimiliki El Real seperti Casemiro, Keylor Navas, Marco Asensio, dan tentu saja Alvaro Morrata. Mereka menjadi pelengkap taktik Zidane yang memang memberlakukan rotasi dibeberapa laga. Kebijakan sang entrenador pun berbuah trofi La Liga pertama setelah lima tahun puasa gelar.

perjalanan kedua kesebelasan di liga champions musim ini memang tak begitu jauh berbeda. Keduanya melaju mulus dari babak pertama hingga partai puncak. Meski sama-sama menghadapi lawan berat di perempat final (Real Madrid bertemu Bayern Munchen, sementara Juventus menghadapi Barcelona) keduanya mampu melewati lawan-lawannya. Juve berhasil membenamkan El Barca dengan agregat 3-0, sedangkan Zidane berhasil memukul mundur sang guru, Carlo Ancelotti lewat perpanjangan waktu.

Walau demikian, tim asal Italia lebih menjanjikan dari segi pertahanan. Juve tercatat sebagai tim paling sedikit kebobolan sepanjang turnamen. Tercatat, Gianluigi Buffon hanya tiga kali memungut bola dari jalanya. Lebih mengesankan karena gawang Buffon perawan dalam enam pertandingan beruntun.

Sebaliknya, Real Madrid menjadi tim paling produktif musim ini. 32 gol menjadi bukti ketajaman pasukan Los Blancos dengan trio maut BBC (Bale-Benzema-Christiano Ronaldo) nya. Belum lagi dengan kemunculan Alvaro Morrata yang tetap produktif meski kerap dibangku cadangkan.

Selain statistik kedua klub yang menguntungkan masing-masing kubu, pertemuan Juventus dan Madrid nyatanya tak hanya sebatas catatan di atas lapangan. Lebih dari itu, keterkaitan antar pemainnya juga menjadi fakta menarik yang akan membuat pertandingan semakin memanas.
Gonzalo Higuain, Sami Khedira adalah nama yang pernah membela Madrid beberapa musim. Mereka pula yang membawa El Real merengkuh trofi Liga Spanyol terakhir sebelum Sergio Ramos dan kawan-kawan kembali meraihnya musim ini.

Sedangkan dari kubu lawan, pertemuan kedua klub di final akan menjadi capaian spesial bagi pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane, yang tak lain adalah mantan pemain Juventus. ini akan menjadi pertemuan pertama Zidane melawan mantan klubnya sebagai pelatih. setelah sebelumnya ia juga pernah menghadapi Juve sebagai pemain dan asisten pelatih Madrid.

selain itu, masih hangat dalam ingatan bagaimana Juventus menyelamatkan karir Alvaro Morrata ketika jebolan asli akademi Madrid tersebut tak dapat tempat di skuad utama Carlo Ancelotti beberapa musim lalu. Dua musim bersama La Zebrete membuat Morrata kembali dibutuhkan El Real dan tim nasional Spanyol tentu saja.

Yang tak kalah menarik dari duel ini adalah keberadaan mantan pemain Bracelona, Dani Alves, di Juventus. Semua penggila bola tahu bagaimana tensi tinggi El Classico saat Alves masih berseragam Blaugrana. Ini tentu menjadi catatan tersendiri bagi karir Dani Alves. Dan tentu saja, ia paham betul bagaimana memainkan sisi psikologis penggawa El Real agar terpancing emosinya.

 Dan satu fakta lain yang tak kalah menarik adalah bahwa kedua tim sama-sama ingin mencetak sejarah baru. Real Madrid tentu ingin mengangkat trofi si kuping besar dua musim beruntun, sekaligus memutus kutukan juara bertahan tak pernah mempertahankan gelarnya.

 Sementara Juventus bernafsu menjadi Italiano kedua yang meraih tiga gelar dalam semusim (setelah Internazionale Milan). Terlebih bagi Buffon yang masih penasaran dengan liga Champions, Karena inilah satu-satunya trofi yang belum pernah ia raih. Dengan usianya yang sudah memasuki kepala empat, final yang akan diadakan di Cardiff ini tentu menjadi kesempatan terakhir Gigi Buffon untuk menyempurnakan mimpinya. Dan dapat dipastikan ia akan menjadi pemain tertua yang mengangkat trofi si kuping besar. Jika juara.


Sudah sepatutnya kita menjadi saksi sejarah yang akan tercipta malam nanti. Apakah Real Madrid yang kembali naik singgasana? Atau Juventus yang mengharumkan sepak bola Italia setelah lama tertidur pulas? 

Selasa, 30 Mei 2017

Musim 2016-2017 sudah resmi ditutup minggu lalu, yang kemudian dilengkapi laga puncak Serie A Italia malam tadi. siapa yang juara dan turun kasta sudah dapat dipastikan. Ada beberapa kompetisi yang menelurkan juara baru, seperti Feyenoord di Belanda yang mengakhiri dahaga 18 tahun, dan tentu juara-juara lain yang masih itu-itu saja.

Kompetisi dalam lapangan yang telah berakhir tak mengendurkan kompetisi baru yang siap tersaji di luar lapangan yang tampaknya akan semakin memanas setelah berakhirnya liga. Ya, apalagi jika bukan kepindahan pemain.

Berbicara mengenai para pemain, berakhirnya liga adalah tanda bahwa dimulainya kompetisi lain bagi mereka untuk membuktikan diri apakah layak dihargai mahal dan jadi rebutan, terbuang dari skuat utama lalu dipinjamkan, atau memilih tinggal karena kecintaan.

Kontribusi besar pemain selama merumput di lapangan memang tak selalu berjalan manis. Ada kalanya cerita pahit datang ketika cedera menerjang, ada pula yang merasa terpinggirkan saat kalah bersaing dengan bintang baru yang lebih segar.
image: espnfc.com
Ini pula yang tampaknya sedang dialami Sergio Aguero di Manchester City. Setelah tiap musimnya ia harus bertarung dengan badai cedera yang tak kunjung usai, kini Aguero juga harus menghadapi kenyataan bahwa ia tak lagi sendiri di lini serang The Citizen. Kedatangan Gabriel Jesus di tengah musim ini membuat Aguero memiliki pesaing baru yang tak kalah hebat darinya.

Jesus datang ke Etihad Stadium dengan menyandang sebagai pemain muda terbaik Brazil. Terbang jauh ke daratan Inggris tak membuat nyalinya ciut dan gentar seperti pendahulunya, Robinho. Jesus justru langsung mencetak gol didebutnya bersama City dan terus mencetak gol setelahnya. Hanya cedera panjang yang membuat ia absen di Manchester Biru.

Kehadiran Gabriel Jesus tentu menjadi sinyal bahaya bagi Kun Aguero. Bagaimana tidak, sejak kedatangan mantan pemain Palmeiras ini, Aguero lebih banyak memulai pertandingan dari bangku cadangan. Mencetak lima gol dari enam pertandingan awal yang telah dijalani tentu menjadi alasan logis bagi Pep Guardiola lebih memilih Jesus ketimbang Aguero.

Hal ini tentu tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh menantu Diego Maradona ini, mengingat sebelumnya ia sukses “menyingkirkan” penyerang-penyerang lain dari skuat City. Roque Santa Cruz, Carlos Tevez, Mario Balotelli, dan Edin Zeko adalah nama tenar yang tak berkutik saat harus bersaing dengan Kun Aguero.

Jika melihat dari pencapaiannya musim ini tentu tak ada alasan bagi Guardiola memarkirkannya dibeberapa pertandingan. Meski sempat absen beberapa laga akibat cedera, Aguero tetap produktif dengan mengemas 30 gol dari 43 penampilan disemua ajang.

Pertimbangan strategi tampaknya menjadi alasan kuat Guardiola ketika harus memilih kematangan Aguero atau semangat muda Gabriel Jesus. Kebiasaan Pep yang selalu memainkan satu penyerang tengah mau tak mau membuat Aguero menjadi korban. Meski sempat kembali meraih posisinya pasca cedera panjang yang menimpa Jesus, Aguero harus rela tempatnya direbut kembali.

Perubahan yang dibawa Pep Guardiola memang sudah memakan beberapa veteran. Apa yang dirasakan Sergio Aguero sudah lebih dulu menimpa kiper utama mereka, Joe Hart, yang harus terdepak dari skuat karena strategi ala Guardiola. terdapat pula nama Gael Chlicy, Yaya Toure, Aleksandr Kolarov, Jesus Navas, Dan tentu saja kompatriot Aguero, Pablo Zabaleta yang juga kehilangan tempat di tim utama. Nama terakhir bahkan sudah resmi hengkang ke West Ham United musim depan.

Permainan pressing ketat yang diterapkan Pep memang membuat Aguero tidak nyaman dengan posisinya. Tetap memainkan Kun Aguero seolah menjadi keterpaksaan Pep karena minimnya stok penyerang Manchester City. walau begitu, Kun tetap berusaha keras dan tetap bisa produktif bersama The Citizen. 20 gol yang ia cetak di ajang Premier League menjadi bukti.

Mulai tidak menentunya waktu bermain yang didapat Aguero tentu menjadi tanda tanya besar, tak hanya bagi fans Manchester City sendiri, melainkan para penggemar sepak bola lainnya. Jika dilihat dari kontribusinya selama ini, tentu klub asal kota industri ini masih sangat membutuhkan pemain asal Argentina tersebut, tapi jika keadaannya tidak berubah, sulit rasanya membayangkan seorang Sergio Aguero harus duduk manis di pinggir lapangan.

Dengan talenta yang ia miliki tentu tak heran jika ia ingin pergi dari tim yang telah ia berikan dua gelar Liga Premier. Jika menilik pasar Eropa, tidak sulit bagi mantan pemain Atletico Madrid ini mencari klub baru karena beberapa klub memang sudah menyatakan tertarik memboyongnya. Belum lagi jika pemain bernama lengkap Sergio Leonel Aguero del Castillo ini tertarik mengikuti jejak rekan senegaranya, Carlos Tevez yang silau dengan limpahan uang dari China.

Tercatat ada beberapa tim yang terang-terangan menginginkan jasa pemain yang total telah mengemas 130 gol selama membela Manchester biru. Sebut saja Internazionale Milan yang tengah mencari tandem sepadan Mauro Icardi.

Selain Inter Milan, rival sekota City, yakni Manchester United juga disinyalir tertarik memboyong pemain berusia 30 tahun tersebut. Bahkan Jose Mourinho telah mengajukan tawaran 55 juta Paun dan menawarinya gaji sebesar 12 juta Paun permusim agar sang pemain menyeberang ke Old Trafford.

Jika ia tak ingin mengkhianati fans City, Aguero tak akan kehabisan pilihan. Karena “rumah” pertamanya di Eropa, Atletico Madrid juga tak mau ketinggalan. Memiliki modal kenangan yang indah, Atleti diyakini bisa memantapkan hati Kun Aguero untuk kembali menjajaki kakinya di Vicente Calderon, sekaligus untuk mengantisipasi kepindahan Antoine Griezman yang semakin santer terdengar.

Tidak mau kalah dari Atletico Madrid yang ingin memulangkan Aguero, Independiente, klub tempat di mana Aguero memulai semua cerita sepak bolanya juga ikut meramaikan headline. Berbeda dengan beberapa klub di atas, kabar kembalinya Aguero ke tanah kelahirannya langsung keluar dari mulutnya sendiri.

"Man City sudah tahu tentang apa yang telah saya rencanakan. Mereka tahu saya sangat ingin kembali ke Argentina. Saya akan kembali ke Avellaneda setelah meninggalkan Inggris. Saya memiliki mimpi bermain bersama teman-teman saya di sana," pungkasnya

Ia memang sangat memimpikan kembali membela panji Los Diablos Rojo sebelum pensiun nanti. Dengan sisa kontrak yang akan berakhir tahun depan tentu bukan masalah besar bagi Independiente untuk memulangkan si anak hilang. Keinginan mudik sang pemain yang begitu kuat memang berbanding lurus dengan hasrat tim asal Avellaneda tersebut yang siap menyambutnya kapan saja.

Menarik menanti masa depan pemain berkelas seperti Sergio Aguero. Teka-teki tim mana yang akan ia bela musim depan menjadi bumbu tersendiri di balik kenyamanannya di Manchester selama ini.

Apakah ia akan tetap berkarir, setidaknya satu atau dua tahun lagi di Eropa atau ia memilih kembali pulang dan mengabdi pada tanah yang dijanjikan dan membuat Independiente kembali ditakuti di Argentina dan seluruh Amerika Latin? Semua kemungkinan masih bisa terjadi saat ini.


Jumat, 21 April 2017

Bagi pendukung Nottingham Forrest, nama Brian Clough tak bisa digantikan oleh siapapun. Dua trofi Liga Champions (1979, 1980) dan satu Liga Inggris (1978) menjadi dalil sahih bagi klub kecil ini untuk membangun Brian Clough Stand  di City Ground (kandang Nottingham Forest). Bahkan, fans The Tricky Trees (julukan Nottingham Forest) harus berebut nama “Brian Clough” dengan fans Derby County, yang juga merasakan langsung tuah pria kelahiran Midlesbrough ini.

Bagi kalian yang tidak begitu suka sepak bola, kisah pelatih bernama lengkap Brian Howard Clough ini bisa menjadi peretas jalan kalian untuk mengetahui satu cerita epic di sepak bola Inggris. Sekalipun Clough telah tiada, kisahnya tetap abadi dalam ingatan kita.
sumber: roblufc.org

Film The Damned United adalah salah satu cara untuk mengenang kebesaran seorang Brian Clough.  Film dengan alur cerita maju-mundur ini tak hanya memperlihatkan kebesaran dan kontroversinya seorang Clough, tapi juga mempertontonkan budaya kental orang-orang Inggris di masa itu.

Clough, yang diperankan apik oleh Michael Sheen bukanlah sosok pelatih santun yang biasa kita lihat sekarang-sekarang ini. Ia adalah seorang yang arogan, narsis, rasis, idealis, humoris, dan romantis. Meskipun jumlah film yang dibintanginya kalah banyak dengan Timothy Spall, akting Michael Sheen sangatlah sempurna.   

Pria yang dikenal bermulut besar ini secara perlahan merubah Derby County yang hanya kesebelasan semenjana, di divisi dua pula, menjadi kesebelasan yang mulai diperhitungkan kiprahnya. Dengan Peter Taylor (Timohty Spall) di sisinya, ia berhasil membawa Derby County ke puncak tertinggi sepak bola Inggris.

Ada satu kejadian yang membuat Clough begitu ambisius untuk menang dan naik kasta ke First division (kini bernama Premier League). Dalam sebuah undian babak ketiga Piala FA, Derby County dipertemukan dengan Leeds United, pemuncak teratas Liga Inggris, yang ketika itu diasuh Don Revie.

Clough yang sejak awal mengagumi Don Revie telah mempersiapkan sambutan manis untuk sang idola. Membersihkan ruang ganti pemain dan menyiapkan sampanye adalah jamuan istimewa yang dipersiapkan Clough untuk menyambut sang idola. Dan semua ini ia lakukan dengan tangannya sendiri.

Apa yang kemudian dibayangkan Clough tak berjalan sesuai rencana. Ia diabaikan oleh Revie ketika Clough menyambutnya dan tim Leeds United. Penolakan berjabat tangan yang dilakukan oleh Don Revie ternyata sangat membekas di hati Clough dan menimbulkan satu ambisi baru baginya selain menjadi juara, yaitu mengalahkan Don Revie dengan Leeds Unitednya.

Persaingan tidak sehat antara keduanya ternyata dirasakan oleh banyak orang, tak terkecuali Peter Taylor yang khawatir dengan pengaruh permusuhan ini terhadap peforma Derby County. Dan benar saja, kebencian mendarah daging Clough pada Don Revie akhirnya membawa dampak buruk bagi semua. Tidak Cuma Derby County, tetapi karir Clough beserta Taylor.

Mereka berdua akhirnya dipecat. Keduanya tentu tak ingin pemecatan ini benar-benar terjadi. Tapi komentar-komentar  Clough yang memojokkan jajaran direksi dan pemilik klub mau tak mau membuat mereka didepak dari Derby. Meski sempat protes, Clough tak bisa mengubah keputusan pemilik klub. Akibat hal ini, Peter Taylor pun marah besar padanya.

Cerita baru kembali dimulai oleh Clough-Taylor ketika mereka menerima pinangan Brighton & Holf Albion, klub kecil yang berkubang di divisi tiga Liga. Ambisi besar pemilik senada dengan amibiusnya Clough untuk kembali membangun dinasti baru. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, Leeds United yang baru saja ditinggal sang giver, Don Revie, memanggil Clough untuk merumput di Elland Road (kandang Leeds).

Brian Clough yang sebelumnya sudah terikat kontrak dan dibayar mahal oleh Brighton sangat bernafsu untuk menerima tawaran Leeds. Di sini, perpecahan terjadi antara Clough dan Peter Taylor, yang tetap bersikeras bertahan di Brighton karena ingin menghargai kontraknya. Ya, sejak awal permusuhannya dengan Revie, Clough begitu berambisi dan terobsesi pada Leeds United.

Ambisi Clough mengalahkan Don Revie berbuah petaka. Ia tak hanya kehilangan rekan sejawatnya, tapi juga kehilangan kepercayaan dari seluruh penggawa Leeds United yang ketika itu dikapteni William Bremner. Kalimat “buang semua medali, piala yang kalian raih ke tempat pembuangan sampah yang kalian temui. Karena itu semua kalian dapatkan dengan cara yang kotor” menjadi pembuka dendam skuat Leeds United pada Clough. Ditambah bayang-bayang Don Revie yang terus menghantui di tribun penonton semakin membuat Clough tidak nyaman.
sumber: blog.soton.ac.uk

Alhasil, 44 hari saja ia mengabdi di Elland Road. Rentetan kekalahan di awal musim dan terbenamnya posisi Leeds di dasar klasemen menjadi dosa terbesar Clough yang pindah ke Yorkshire tanpa seorang Peter Taylor di sisinya. Kejadian memalukan ini seakan membuka mata Clough bahwa ia tak bisa berjalan jauh sendiri. Ia butuh seorang yang selama puluhan tahun bersamanya, Peter Taylor.

Bersama kedua putranya, Simon dan Nigel Clough, Brian datang ke kediaman Peter untuk meminta maaf dan kembali merajut cerita baru bersama. 
Brian Clough (kiri) bersama Peter Taylor (kanan)
sumber: dailymail.co.uk



***
Film The Damned United ini menyelipkan kisah cinta akan ke-daerah-an yang sangat kental. Ini bisa terlihat bagaimana kerasnya penolakan Brian Clough kala diajak melatih Brighton karena klub tersebut berasal dari Selatan Inggris. Sedangkan dia asli Middlesbrough, Inggris Utara.

Ketika masih membesut Derby County pun, beberapa pemain yang didatangkan berasal dari kampung halamannya, seperti McGovern, Colin Todd, dan John O’Hare.

Untuk diketahui, orang-orang Italia dan Spanyol tidak begitu mencintai daerahnya sendiri, terutama dalam hal sepak bola. mereka cenderung mendukung tim yang hebat, sekalipun tim itu berasal dari daerah lain.

selaiknya film bertema sejarah lainnya, The Damned United juga memperhatikan setiap keotentikan kejadian. ada beberapa kejadian yang terekam dalam film, nyata terjadi ketika itu. seperti saat Brian Clough disandingkan dengan Don Revie dalam sebuah wawancara televisi sesaat setelah ia dipecat. termasuk setelan jas yang mereka pakai ketika itu pun sama. atau bagaimana Clough berseloroh menantang legenda tinju dunia, Muhammad Ali dalam sebuah acara televisi juga terekam jelas di film produksi tahun 2009 ini.

apa yang kemudian menarik dari settingan film ini adalah ketika deretan pertandingan (sebenarnya) Derby County, termasuk perayaan juara mereka disajikan sedemikian rupa. seluruh kru film sangat piawai membagi sebuah pertandingan sungguhan dengan euforia Brian Clough dan Peter Taylor (Michael Sheen dan Timothy Spall) di pinggir lapangan.

Film ini diangkat dari kisah nyata, yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama karya David Peace. Peace sendiri mengatakan jika versi filmnya berbeda versi tulisannya. Maka dari itu, ia masih berharap jika The Damned United difilmkan kembali, dengan versi hitam putih



Senin, 20 Maret 2017

Banyak pelatih hebat yang sudah berpindah dari satu klub ke klub yang lain, dari satu negara ke negara yang lain, tak terkecuali Josep Guardiola. Mantan pemain Barcelona ini mengawali karir melatihnya dengan membesut klub yang membesarkan namanya, Barcelona, pada 2008 lalu. Tanpa pengalaman melatih tim profesional sebelumnya, Pep, begitu ia disapa, mampu memberikan semua gelar yang tersedia, di tahun pertama.

Klub asal Catalan menjelma menjadi klub paling menakutkan di dunia, yang dikenal dengan permainan tiki-taka nya. Imbasnya, dalam rentang waktu yang lebih singkat, Pep berhasil menyetarakan namanya dengan mendiang Johan Cruyff dalam urusan torehan gelar yang dipersembahkan pada publik Nou Camp.

Seiring waktu berjalan, dan mulai ditebaknya permainan Lionel Messi cs, tiki-taka semakin meredup daya magisnya. Pep akhirnya mundur dari kursi kepelatihan dan memutuskan rehat dari dunia sepak bola,  selama semusim kompetisi. Siapa sangka, Pep, yang sempat mengaku jemu akan permainan tiki-taka yang ia ciptakan, menyeberang ke tanah Bavaria, dan melatih tim tersukses Jerman, Bayern Munchen.

Banyak yang tak percaya dengan keputusan pria asli Catalan ini, karena sebelumya ia lebih santer diberitakan akan melanjutkan karir di Inggris untuk menjadi suksesor Sir Alex Ferguson di Manchester United, atau membangun dinasti baru di Manchester City.

Kekagetan para pengamat sepak bola memang sangat beralasan, sebab di Jerman, tidak ada yang mampu menandingi kedigdayaan FC Hollywood, yang sebelumnya sukses merengkuh treble winner bersama Jupp Heynckes. Tanpa perlawanan berarti dari kompetitor lain, Pep selalu mengangkat trofi Bundesliga sebelum kompetisi berakhir. Musim lalu saja, ia membawa Thomas Muller cs menjadi kampiun liga dengan menyisakan 10 pertandingan. (koreksi jika saya salah)

Sebuah pencapaian domestik yang tidak luar biasa-luar biasa amat, mengingat kompetisi Bundesliga yang hanya melibatkan Bayern Munchen dan Borussia Dortmund saja (beberapa tahun belakangan). Belum lagi kebiasaan FC Hollywood yang selalu menyomot pemain rival, semakin membuat kita ya setidaknya saya tak berdecak kagum dengan pencapaian Pep selama menangani Die Roten.

Satu hal yang membuat pencapaian Pelatih berusia 46 tahun ini biasa-biasa saja di negeri Angela Merkel adalah tidak jelasnya persaingan di papan atas Bundesliga yang selalu berganti kesebelasan. Ada kalanya saingan The Bavarian adalah Schalke 04, di lain waktu, VFB Stuttgart menjadi penantang serius, di musim berikutnya bisa Wolfburg atau Werder Bremen yang menjadi pesaing mereka. Fakta ini kembali mempertegas bahwa Der Klassiker bukan hanya milik Munchen-Dortmund saja. Dan sekarang, pesaing Bayern ke tangga juara justru berasal dari klub promosi, RB Leipzig.

Ketidak luar biasaan pria yang pernah akrab dengan Jose Mourinho ini bisa terlihat jelas di ajang liga Champions Eropa. Meraih 2 trofi bersama Barcelona, Pep melemah di Jerman. Jangankan satu trofi, mencapai final pun, ia tak mampu. Dibantai klub kesayangannya, Barcelona di semifinal dua tahun lalu, Munchen harus angkat kaki di perempat final musim lalu dari Atletico Madrid.

Meraih gelar domestik beruntun di Jerman, membuat Pep Guardiola tak perlu menganggur satu musim lagi untuk mendapatkan tim baru. Manchester City kembali menawarkan kebersamaan yang sempat tertunda. Rayuan Syeih Mansour Al Nahiyan tak mampu ia tolak untuk kedua kali.

Ia datang membawa harapan baru bagi si tetangga berisik, setelah lunglai bersama Pellegrini sebelumnya. Mata uang Poundsterling yang tak berseri ala raja minyak membuat Pep bebas memilih pemain incaran. Kedatangan Ilkay Gundogan, Leroy Sane, John Stones, Claudio Bravo, Nolito, dan kemudian Gabriel Jesus di tengah musim semakin membuat skuat The Cititzen berkilau.

Awal musim ini, City langsung memnucaki Liga Premier Inggris selama berminggu-minggu. Tapi tunggu dulu, ini Liga Inggris. kompetisi yang tidak mungkin menjadi mungkin, sebuah tempat yang di negara lain hanya sebatas dongeng, di Inggris bisa menjadi nyata. Dua kali dilumat klub semenjana seperti Everton 4-0 dan Leicester City, dengan skor 4-2 semakin melengkapi catatan minus Pep lainnya.

Terakhir, City ditahan imbang Liverpool 1-1 di Etihad Stadium. Hasil ini tak ayal menjadi pertanda bahwa Pep tidak cukup mampu mengangkat moral para pemainnya pasca disingkirkan AS Monaco di Stade Louis II.

Ya, rasa sakit tentu masih terasa jelas di pundak penggawa The Citizen kala mereka dipermalukan AS Monaco di Liga Champions, tengah pekan lalu, dengan skor 3-1, setelah sebelumnya unggul 5-3. Sedikit catatan, sebelumnya, tidak ada klub yang tidak lolos jika sudah memasukkan lima gol ke gawang lawan di leg pertama. Rekor ini tentu membuat nama Manchester City dengan Pep Guardiola nya abadi di buku sejarah.
sumber: independent.co.uk
Menjadi raja di Jerman dan menguasai dunia bersama Barcelona, Pep seakan menjadi pelatih yang baru meniti karir ketika menginjakkan kaki di tanah Britania. Tersingkir di babak 16 besar Liga Champions tak ayal membuat Manuel Pellegrini dan Joe Hart tertawa geli di tempat barunya.

Terlebih bagi Joe Hart yang terbuang ke Italia hanya karena tak cocok dengan filosofi bermain ala Pep. Ya, Pep ingin penjaga gawangnya ikut terlibat dalam permainan dengan sepuluh pemain lainnya. 

Bagi saya pribadi, tugas utama kiper adalah menjaga gawang sebaik mungkin dari serangan lawan, bukan ikut bermain bersama bola. Filosofi kiper idaman ala Pep tak hanya membuat Joe Hart terbuang ke Torino, tapi juga mencoreng kapasitas Claudio Bravo sebagai pengganti kiper nomor satu Inggris tersebut.

Bravo yang sukses membawa Chili dua kali meraih Copa Amerika dan satu kali Liga Champions bersama Barcelona harus menjadi bulan-bulanan striker lawan, juga fans lawan yang selalu menyorakinya saat mantan kiper Real Sociedad ini memegang bola. Nasib Bravo semakin tak jelas ketika Willy Caballero merebut tempat utama.

Beberapa catatan minor City musim ini membuat Pep angkat bicara, bahwa ia masih beradaptasi dengan gaya Kick N Rush Premier League memang menjadi alasan kuat tak terbantahkan, meski sebelumnya ia tidak mengalami kendala yang sama di Jerman. Alasan lain yang menurut saya cukup jenaka tentu saja pengakuan Pep yang tak pernah mengajarkan anak asuhnya merebut bola dari pemain lawan.

Hal lain yang dirasa penting dan tak terfikirkan oleh Pep sebelumnya adalah, ini Liga Inggris, bukan La Liga atau Bundesliga. Inggris dikenal memiliki kompetisi paling kompetitif di dunia, karena tidak hanya mengenal dua, atau tiga klub yang bersaing merebut juara. Dalam hal transfer pemain saja, hampir semua tim di EPL setara dan tidak membuat perbedaan jauh antara pemain klub satu dan klub lainnya.

Sedangkan La Liga atau Bundesliga, kita sudah tahu semua. Sudah ada penghuni tetap disinggasana. Berbicara Liga Spanyol maka kita berbicara perebutan juara antara Barcelona dan Real Madrid. Tak hanya juara, kedua kutub berbeda ini juga memonopoli hak siar pertandingan, yang membuat 18 kontestan lain hanya mendapat tak lebih dari setengahnya hak siar Los Cules dan Los Galacticos.

Lain cerita dengan Bayern Munchen di Jerman. Klub, pemain, seakan tak kuasa menolak tawaran dari FC Hollywood jika sudah berkehendak. Melemahkan skuat lawan sudah menjadi cara lawas Munchen dan semakin membuat mereka tak memiliki lawan sepadan, siapa pun pelatihnya. Lawan tangguhnya beberapa musim lalu, Borussia Dortmund pun tak luput dari hal demikian. Mulai dari Mario Gotze, Robert Lewandowski, hingga sang kapten, Mats Hummels memebelot ke Allianz Arena.

Perbedaan Ini pula yang membuat seorang Pep Guardiola tampak kecil di kompetisi Premier League. Bahwa selama ini kebesaran yang ia dapat di semenanjung Iberia dan tanah Bavaria bukan karena kepiawaiannya, melainkan tak ada perlawanan berarti dari kontestan lainnya.

Pep mungkin lupa, kedigdayaannya bersama Barcelona terbantu berkat seorang Lionel Messi,  dan kegagalannya bersama Bayern Munchen di Eropa karena ketiadaan Lionel Messi di skuatnya. Sementara itu, merosotnya performa Manchester City di bawah kendalinya disebabkan ia tak begitu hebat melatih di liga yang jauh lebih kompetitif.

Suka tidak suka, kita harus mengakui jika Jose Mourinho lebih baik ketimbang Pep Guardiola. Tiga trofi domestik dari tiga negara berbeda telah ia raih. Pun dengan dua gelar Liga Champions yang ia dapat dari dua tim berbeda, yang sebelumnya tak diperhitungkan untuk menjadi juara, menjadi bukti sahih lainnya.





Rabu, 15 Maret 2017

Tidak bisa kita pungkiri, sepak bola sudah menjadi komoditas penting bagi pecintanya, atau bahkan bagi pemilik kepentingan di dalamnya. Sebagai olahraga universal, sepak bola telah menjabarkan beribu tafsir yang bisa menelurkan persahabatan bagi mereka yang seiman, walau tak sedikit yang berakhir dengan permusuhan karena berbeda jalan.

Sedari dulu, menyaksikan pertandingan sepak bola hampir pasti kita disuguhkan pertunjukan yang menawarkan keindahan dari setiap pelakunya. Sudah cukup banyak pula strategi dan formasi yang ditemukan para pelatih hebat agar terciptanya pemainan indah yang berujung kemenangan. Hingga kini, formasi-formasi itu pun masih terus berevolusi.

Seperti Belanda yang tersohor dengan Total Football nya yang menekankan pada mobilitas tiap pemain di lapangan, atau Brazil yang menciptakan Jogo Bonito yang indah dan tak bosan untuk terus kita saksikan.

Beda zaman beda permainan. Mungkin ungkapan sederhana ini menjadi cerminan sepak bola era sekarang yang semakin menghambakan pada tiga angka. Tak peduli bermain cantik atau jelek, bertahan atau menyerang, jika kemenangan sudah di tangan, itu semua tidak jadi soal. Sekarang, orang cenderung mengenalnya dengan istilah pragmatis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatis diartikan sebagai sesuatu yang bersifat praktis. Sedangkan menurut para ahli bahasa, pragmatis adalah sebuah konsep yang menekankan pada sisi kepraktisan dibandingkan sisi manfaatnya. Jika di sepak bola, kita bisa menyimpulkan bahwa pragmatis adalah sebuah metode permainan yang hanya bertujuan menghasilkan kemenangan tanpa memperhatikan teknik permainan.

Sebagai contoh, kita kembali lagi pada Brazil dan Belanda. Kedua negara dahulu menciptakan sistem permainan yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Namun, sejak dipimpin Bert Van Marwijk pasca Euro 2008, tim negeri Kincir Angin perlahan mulai meninggalkan Total Football yang kadung melekat dalam budaya sepak bola mereka.

Pelatih yang juga mertua Mark Van Bommel ini membawa De Oranje bermain lebih pragmatis, yang hanya memikirikan kemenangan. Meskipun ia berhasil membawa Sneijder cs ke final piala dunia 2010, namun tak sedikit yang mengkritik permainan mereka, termasuk dari para legendanya sendiri.

Setali tiga uang, Brazil yang tiap tahunnya disesaki talenta dengan kemampuan di atas rata-rata juga bernasib serupa. Carlos Dunga, yang menjalani debut profesional pertama sebagai pelatih kepala tampaknya belum memahami betul apa itu Jogo Bonito yang dulu sempat ia peragakan saat masih aktif bermain. Menyianyiakan bakat luar biasa Robinho, Kaka, Coutinho dan Neymar di atas lapangan menjadi dosa besar Dunga selama melatih tim Samba. Tak heran, jika mantan pemain Fiorentina ini dua kali dipecat dari tim nasional.

Meski sejak diambil alih Tite permainan Tim Samba mulai berubah dan kembali menghibur penontonnya, tetap saja, sepak bola mulai kehilangan sedikit makna dari segi hiburan dan keindahan. Tidak salah memang jika banyak pelatih yang mulai menerapkan permainan pragmatis yang cenderung bertahan jika sudah memimpin pertandingan, karena dalam olah raga apapun, semua tentu ingin berakhir sebagai pemenang.
sumber: olahraga.pro
Di lain pihak, kita bisa dengan senang hati menerima dalih tim-tim semenjana yang menerapkan permainan demikian ketika melawan tim besar. dengan kualitas pemain yang jauh berbeda, satu-satunya cara yang bisa dilakukan tentu saja bertahan sebisa mungkin, dan membuang bola sejauh mungkin agar terhindar dari kekalahan, atau hanya untuk menghindari banjir gol ke gawang.

Tapi apa jadinya jika tim besar menerapkan permainan demikian? Satu dari sekian pelatih hebat yang dikenal pragmatis tentu saja Jose Mourinho. Jose, sebesar apapun mulutnya, ia tetaplah seorang yang realistis dalam sepak bola. “mereka mengendalikan permainan, menekan kami sepanjang laga, tapi pada akhirnya tetap kami yang keluar sebagai pemenang, itu yang penting.” sudah sangat sering Mou berujar seperti itu untuk membungkam para pengkritiknya.

Saat pertandingan leg kedua, babak semifinal Liga Champions 2009 lalu, Inter Milan, tim yang dilatih Mou ketika itu membuat frustasi Barcelona dan seisi Camp Nou, tatkala Inter bermain dengan pertahanan berlipat (setelah unggul 3-1 di leg pertama) yang sekaligus membuat Victor Valdes marah melihat selebrasi The Special One di akhir laga. 

Hingga kini, tim-tim yang dilatih pria Portugal ini akrab dengan permainan membosankan. Bahkan julukan sebagai tim parkir bis akan melekat padanya, di klub manapun ia berada. Julukan ini disematkan karena kebiasaan Mou  yang terlalu bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik cepat. Bagi tim sebesar Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan kini Manchester United, dengan deretan pemain hebat, tentu ini menjadi antitesis  dari filosofi sepak bola menyerang khas tim bertabur bintang itu sendiri.

Meski banyak yang mengkritik strategi ini, permainan pragmatis yang akrab dengan menumpuk pemain di area sendiri ini sedikit banyak menjadi senjata andalan beberapa klub yang semakin berhati-hati dalam melakoni laga maha penting. Seperti final piala dunia 2014 lalu yang mempertemukan Jerman vs Argentina.

Pada masa Maradona dan Franz Beckenbauer, laga kedua negara berjalan sangat menarik. Jual beli serangan tak jarang membuat detak jantung berpacu kencang. Tapi apa yang terjadi di Brazil tiga tahun lalu tentu menjadi antiklimaks dengan apa yang terjadi pada medio 70-80an.

Padahal, kedua kesebelasan memiliki deretan nama yang tak kalah kondang dari pendahulunya, seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, Kun Aguero (Argentina), Thomas Muller, Mesut Ozil, Bastian Scweinsteiger (jerman), yang seharusnya bisa membuat permainan kedua tim lebih hidup.

Final-final selanjutnya dari berbagai ajang pun berakhir sama. Seperti tiga helatan terakhir Liga Champions yang berujung pada adu pinalti dan perpanjangan waktu.Tak ada suguhan menarik selayaknya pertandingan final. Berhati-hati dan menunggu lawan membuat kesalahan menjadi kunci kemenangan. Kita para penonton pun kena imbasnya, dipaksa menunggu  lebih lama hanya untuk menyaksikan satu gol bersarang dijala lawan.

Permainan atraktif nan menghibur memang tidak melulu menghasilkan banyak gol dan berujung kemenangan. Saling serang ke gawang lawan, penyelamatan-penyelamatan penting kiper di mulut gawang menjadi tontonan amat menarik kiranya, sekalipun tidak ada gol yang tercipta.

Tidak mungkin tidak, bahwa semakin banyak orang yang yakin jika keindahan sepak bola semakin pudar tergerus zaman. Memang banyak yang menerima pragmatisme sepak bola jika tim yang dibela meraih kemenangan, tetapi tidak sedikit pula yang tidak senang, sekalipun timnya juga memenangkan pertandingan.

Zdenek Zeman mungkin menjadi segelintir pelatih yang beranggapan bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Ia tak sungkan mengubah formasi tim dari 3-5-2 klasik menjadi 2-3-5 yang menyerang total dan tak lazim dipakai pelatih lainnya. Tak heran, dengan permainan seperti ini, AS Roma dan Pescara menjadi tim paling produktif selama dilatih pria asal Republik Ceko tersebut. Meski torehan ini berbanding lurus dengan catatan kebobolan mereka yang tinggi.

Tapi, sekali lagi, sebosan apapun kita menyaksikan satu pertandingan si kulit bundar, kita tetap saja tak bisa berpaling dari layar. Bahwa di dalam hati ingin segera terlelap dan mata semakin sembab bukanlah jadi soal. Karena semua akan kembali pada hakikat bola sebenarnya sebagai penghibur pula pemersatu sesama.

Kekalahan, kemenangan, kebosanan,  menyatu dalam satu kebahagian bernama sepak bola. seburuk apapun sepak bola, sejengkel apapun kita dibuatnya, ia telah membuat kita melupakan sejenak tekanan hidup yang sehari-hari kita rasakan.

Selebihnya kembali lagi ke kita, apakah tetap mencintai sepak bola dengan semua kebosanan di atas lapangan,  atau beralih ke cabang olah raga lain yang menawarkan sensasi yang berbeda. Tapi menurut saya, kita akan rela begadang dan kemudian tertidur pulas di tengah pertandingan hanya dihadapan sepak bola yang membosankan, ketimbang olah raga lain yang lebih menghibur.