Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Maret 2017

Tidak bisa kita pungkiri, sepak bola sudah menjadi komoditas penting bagi pecintanya, atau bahkan bagi pemilik kepentingan di dalamnya. Sebagai olahraga universal, sepak bola telah menjabarkan beribu tafsir yang bisa menelurkan persahabatan bagi mereka yang seiman, walau tak sedikit yang berakhir dengan permusuhan karena berbeda jalan.

Sedari dulu, menyaksikan pertandingan sepak bola hampir pasti kita disuguhkan pertunjukan yang menawarkan keindahan dari setiap pelakunya. Sudah cukup banyak pula strategi dan formasi yang ditemukan para pelatih hebat agar terciptanya pemainan indah yang berujung kemenangan. Hingga kini, formasi-formasi itu pun masih terus berevolusi.

Seperti Belanda yang tersohor dengan Total Football nya yang menekankan pada mobilitas tiap pemain di lapangan, atau Brazil yang menciptakan Jogo Bonito yang indah dan tak bosan untuk terus kita saksikan.

Beda zaman beda permainan. Mungkin ungkapan sederhana ini menjadi cerminan sepak bola era sekarang yang semakin menghambakan pada tiga angka. Tak peduli bermain cantik atau jelek, bertahan atau menyerang, jika kemenangan sudah di tangan, itu semua tidak jadi soal. Sekarang, orang cenderung mengenalnya dengan istilah pragmatis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatis diartikan sebagai sesuatu yang bersifat praktis. Sedangkan menurut para ahli bahasa, pragmatis adalah sebuah konsep yang menekankan pada sisi kepraktisan dibandingkan sisi manfaatnya. Jika di sepak bola, kita bisa menyimpulkan bahwa pragmatis adalah sebuah metode permainan yang hanya bertujuan menghasilkan kemenangan tanpa memperhatikan teknik permainan.

Sebagai contoh, kita kembali lagi pada Brazil dan Belanda. Kedua negara dahulu menciptakan sistem permainan yang tidak semua orang bisa mempraktekkannya. Namun, sejak dipimpin Bert Van Marwijk pasca Euro 2008, tim negeri Kincir Angin perlahan mulai meninggalkan Total Football yang kadung melekat dalam budaya sepak bola mereka.

Pelatih yang juga mertua Mark Van Bommel ini membawa De Oranje bermain lebih pragmatis, yang hanya memikirikan kemenangan. Meskipun ia berhasil membawa Sneijder cs ke final piala dunia 2010, namun tak sedikit yang mengkritik permainan mereka, termasuk dari para legendanya sendiri.

Setali tiga uang, Brazil yang tiap tahunnya disesaki talenta dengan kemampuan di atas rata-rata juga bernasib serupa. Carlos Dunga, yang menjalani debut profesional pertama sebagai pelatih kepala tampaknya belum memahami betul apa itu Jogo Bonito yang dulu sempat ia peragakan saat masih aktif bermain. Menyianyiakan bakat luar biasa Robinho, Kaka, Coutinho dan Neymar di atas lapangan menjadi dosa besar Dunga selama melatih tim Samba. Tak heran, jika mantan pemain Fiorentina ini dua kali dipecat dari tim nasional.

Meski sejak diambil alih Tite permainan Tim Samba mulai berubah dan kembali menghibur penontonnya, tetap saja, sepak bola mulai kehilangan sedikit makna dari segi hiburan dan keindahan. Tidak salah memang jika banyak pelatih yang mulai menerapkan permainan pragmatis yang cenderung bertahan jika sudah memimpin pertandingan, karena dalam olah raga apapun, semua tentu ingin berakhir sebagai pemenang.
sumber: olahraga.pro
Di lain pihak, kita bisa dengan senang hati menerima dalih tim-tim semenjana yang menerapkan permainan demikian ketika melawan tim besar. dengan kualitas pemain yang jauh berbeda, satu-satunya cara yang bisa dilakukan tentu saja bertahan sebisa mungkin, dan membuang bola sejauh mungkin agar terhindar dari kekalahan, atau hanya untuk menghindari banjir gol ke gawang.

Tapi apa jadinya jika tim besar menerapkan permainan demikian? Satu dari sekian pelatih hebat yang dikenal pragmatis tentu saja Jose Mourinho. Jose, sebesar apapun mulutnya, ia tetaplah seorang yang realistis dalam sepak bola. “mereka mengendalikan permainan, menekan kami sepanjang laga, tapi pada akhirnya tetap kami yang keluar sebagai pemenang, itu yang penting.” sudah sangat sering Mou berujar seperti itu untuk membungkam para pengkritiknya.

Saat pertandingan leg kedua, babak semifinal Liga Champions 2009 lalu, Inter Milan, tim yang dilatih Mou ketika itu membuat frustasi Barcelona dan seisi Camp Nou, tatkala Inter bermain dengan pertahanan berlipat (setelah unggul 3-1 di leg pertama) yang sekaligus membuat Victor Valdes marah melihat selebrasi The Special One di akhir laga. 

Hingga kini, tim-tim yang dilatih pria Portugal ini akrab dengan permainan membosankan. Bahkan julukan sebagai tim parkir bis akan melekat padanya, di klub manapun ia berada. Julukan ini disematkan karena kebiasaan Mou  yang terlalu bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik cepat. Bagi tim sebesar Chelsea, Inter Milan, Real Madrid, dan kini Manchester United, dengan deretan pemain hebat, tentu ini menjadi antitesis  dari filosofi sepak bola menyerang khas tim bertabur bintang itu sendiri.

Meski banyak yang mengkritik strategi ini, permainan pragmatis yang akrab dengan menumpuk pemain di area sendiri ini sedikit banyak menjadi senjata andalan beberapa klub yang semakin berhati-hati dalam melakoni laga maha penting. Seperti final piala dunia 2014 lalu yang mempertemukan Jerman vs Argentina.

Pada masa Maradona dan Franz Beckenbauer, laga kedua negara berjalan sangat menarik. Jual beli serangan tak jarang membuat detak jantung berpacu kencang. Tapi apa yang terjadi di Brazil tiga tahun lalu tentu menjadi antiklimaks dengan apa yang terjadi pada medio 70-80an.

Padahal, kedua kesebelasan memiliki deretan nama yang tak kalah kondang dari pendahulunya, seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, Kun Aguero (Argentina), Thomas Muller, Mesut Ozil, Bastian Scweinsteiger (jerman), yang seharusnya bisa membuat permainan kedua tim lebih hidup.

Final-final selanjutnya dari berbagai ajang pun berakhir sama. Seperti tiga helatan terakhir Liga Champions yang berujung pada adu pinalti dan perpanjangan waktu.Tak ada suguhan menarik selayaknya pertandingan final. Berhati-hati dan menunggu lawan membuat kesalahan menjadi kunci kemenangan. Kita para penonton pun kena imbasnya, dipaksa menunggu  lebih lama hanya untuk menyaksikan satu gol bersarang dijala lawan.

Permainan atraktif nan menghibur memang tidak melulu menghasilkan banyak gol dan berujung kemenangan. Saling serang ke gawang lawan, penyelamatan-penyelamatan penting kiper di mulut gawang menjadi tontonan amat menarik kiranya, sekalipun tidak ada gol yang tercipta.

Tidak mungkin tidak, bahwa semakin banyak orang yang yakin jika keindahan sepak bola semakin pudar tergerus zaman. Memang banyak yang menerima pragmatisme sepak bola jika tim yang dibela meraih kemenangan, tetapi tidak sedikit pula yang tidak senang, sekalipun timnya juga memenangkan pertandingan.

Zdenek Zeman mungkin menjadi segelintir pelatih yang beranggapan bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Ia tak sungkan mengubah formasi tim dari 3-5-2 klasik menjadi 2-3-5 yang menyerang total dan tak lazim dipakai pelatih lainnya. Tak heran, dengan permainan seperti ini, AS Roma dan Pescara menjadi tim paling produktif selama dilatih pria asal Republik Ceko tersebut. Meski torehan ini berbanding lurus dengan catatan kebobolan mereka yang tinggi.

Tapi, sekali lagi, sebosan apapun kita menyaksikan satu pertandingan si kulit bundar, kita tetap saja tak bisa berpaling dari layar. Bahwa di dalam hati ingin segera terlelap dan mata semakin sembab bukanlah jadi soal. Karena semua akan kembali pada hakikat bola sebenarnya sebagai penghibur pula pemersatu sesama.

Kekalahan, kemenangan, kebosanan,  menyatu dalam satu kebahagian bernama sepak bola. seburuk apapun sepak bola, sejengkel apapun kita dibuatnya, ia telah membuat kita melupakan sejenak tekanan hidup yang sehari-hari kita rasakan.

Selebihnya kembali lagi ke kita, apakah tetap mencintai sepak bola dengan semua kebosanan di atas lapangan,  atau beralih ke cabang olah raga lain yang menawarkan sensasi yang berbeda. Tapi menurut saya, kita akan rela begadang dan kemudian tertidur pulas di tengah pertandingan hanya dihadapan sepak bola yang membosankan, ketimbang olah raga lain yang lebih menghibur.



Senin, 13 Maret 2017

Antiklimaks terjadi minggu kemarin, ketika kedigdayaan Pusamania Borneo FC (PBFC) di Jalak Harupat tak tersisa di Stadion Pakansari, Cibinong. Tanpa ampun, Arema Malang melumat klub asal Samarinda itu dengan lima gol dan hanya berbalas satu.

Mari kita tinggalkan jalannya pertandingan yang membuat nama Christian Gonzales patut dikenang, dan mengalihkan perhatian pada satu sosok yang juga harus kita kenang, tak lain dan tak bukan, ia adalah pelatih PBFC, Ricky Nelson namanya.

Sebagai olahraga yang semakin menunjukkan identitas maskulin dalam setiap gerak-gerik para pelakunya, sepak bola tak hanya terus berkembang dalam segi permainannya saja, namun perkembangan zaman juga turut serta mengubah paradigma pelatih-pelatih untuk – setidaknya – berpenampilan lebih rapi agar sedap dipandang mata.

Jas adalah salah satu upaya mereka untuk menunjukkan ke-maskulin-an nya dan menjadi cara tak langsung agar mereka merasa lebih dihormati. Tentu bukan pemain yang sedang berlari merebut bola yang mengenakan setelan jas lengkap, melainkan para peramu taktik di pinggir lapangan yang 90 menit mengamati jalannya pertandingan.

Di belahan Eropa dan Amerika, sudah cukup lazim kita menemukan pelatih yang mengenakan jas saat tim nya berlaga. Ada beberapa hal yang membuat mereka selalu memakai jas selama pertandingan berlangsung, seperti budaya dan cuaca.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sebuah negara beriklim tropis, yang rasa-rasanya dapat menguras keringat jika seorang pelatih memakai jas dipinggir lapangan. Namun, fakta tersebut bukan penghalang bagi Ricky Nelson yang baru-baru ini menjadi buah bibir. Bukan hanya karena berhasil mengantar Pesut Mahakam ke partai final Piala Presiden, tetapi juga karena jas yang selalu ia kenakan saat mendampingi anak asuhnya berlaga.

Ricky bukanlah orang bule yang membawa budaya memakai jas dipinggir lapangan ke Indonesia. Ia seorang Indonesia tulen asal Kupang yang memecah ketabuan pemakaian jas di sepak bola tanah air. Bukan tanpa alasan memang jika banyak pelatih di Indonesia, baik yang pribumi maupun yang berasal dari mancanegara tidak memakai jas selayaknya liga-liga di Eropa.

Suhu Indonesia yang rata-rata berkisar 22-35 derajat celcius tampaknya menjadi alasan masuk akal bagi para pelatih asing untuk menanggalkan jas di lemari pakaiannya. Tentu mereka tak ingin mandi keringat hanya gara-gara berdiri di pinggir lapangan.
sumber: bolaindo.com
Seperti yang dilakukan Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara FC yang enggan memakai jas selama berkarir di nusantara. Seperti kita ketahui bersama, mantan pelatih Mitra Kukar ini kerap mengenakan setelan jas kala membesut tim nasional Filipina di ajang piala AFF 2010 lalu. Saat mendampingi The Azkal (julukan Filipina) bermain di Gelora Bung Karno pun, pelatih yang memenuhi tubuhnya dengan tatoo ini bergaya parlente dengan setelan jas yang biasa ia pakai.

Panasnya iklim tropis Indonesia tentu menjadi alasan kuat pelatih asal Inggris ini untuk berpenampilan lebih casual di pinggir lapangan. Atau bule-bule lain yang menukangi klub-klub Indonesia, seperti Robert Rene Albert (PSM Makasar), dan Hans Peter Schaller (Bali United) yang memang terbiasa dengan udara dingin ala Eropa.

Serupa dengan kenyataan, tidak semua pelatih di liga-liga Eropa dan Amerika yang berpenampilan parlente kala mendampingi timnya bertanding, hal demikian juga terjadi di Indonesia, bahwa tidak semua pelatih bergaya casual saat berada di pinggir lapangan. Dan Ricky Nelson menjadi salah satu diantara sedikit pelatih yang tidak berpenampilan casual tersebut.

Kebiasaan Ricky memakai jas bukan baru dilakukan satu, dua tahun ini, melainkan sudah bertahun-tahun sejak ia masih menukangi tim junior Villa 2000. Tanpa memedulikan cuaca panas dan terik matahari, jas hitam, lengkap dengan dasi yang melingkar, tetap ia pakai. Semua ini dilakukan Ricky demi menghargai profesinya sebagai pelatih sepak bola.

Seperti yang dilansir CNNIndonesia.com, ia mengatakan bahwa ini bentuk respek terhadap semua pelaku sepak bola. Berpakaian rapi, terutama mengenakan jas formal adalah bagian penting dari itu. “Bagaimana menurut anda ketika pelatih protes ke wasit, meskipun dengan maksud yang baik, tapi cuma pakai celana pendek dan topi terbalik? Bagi saya, itu sudah mengurangi respek pada wasit,” lanjut Ricky.

Tidak hanya Ricky, kini pelatih-pelatih muda lainnya juga mulai mengikuti jejak pria yang pada tanggal 5 Maret lalu genap berusia 37 tahun tersebut. Meski hanya memakai kemeja formal dan celana panjang, tapi Nil Maizar, Djajang Nurjaman,  dan Aji Santoso sedikit banyak telah mengubah wajah sepak bola Indonesia.

Meski begitu, tak sedikit pula yang mencibir gaya berpakaian Ricky dan berpendapat bahwa ia memakai jas tidak pada tempatnya, apalagi jika pertandingan diadakan pada siang hari. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa maksud Ricky memakai jas hanya untuk gaya-gayaan semata agar tampak seperti pelatih-pelatih top Eropa kebanyakan.

Cibiran serta hinaan bukanlah hal yang perlu dianggap serius olehnya. Bahkan ia menambahkan, salah satu hal penting yang mengukuhkan prinsip berpakainnya adalah studi banding yang ia lakukan di Jerman 2012 lalu, yang menunjukkan beberapa aspek psikologis yang bisa mempengaruhi bagi siapa saja yang mengenakan pakaian formal.

Kini, jas tidak hanya menjadi bagian dari budaya bangsa Eropa, atau untuk menjaga kehangatan saja, tapi sudah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, termasuk sepak bola yang mampu menunjukkan respek antar sesamanya.



Senin, 09 Januari 2017

Lelahkah kita dengan gonjang-ganjing pilkada yang – mungkin bahkan – tuhan pun tak tahu kapan selesainya? Twitter, Facebook selalu membombardir kita lewat mereka yang katanya relawan masing-masing jagoan dengan kedegilannya masing-masing.
sumber: bbc.com

Mereka pula yang selama ini menyuramkan penglihatan kita akan kebenaran yang hakiki. Menuduh yang satu menggunakan ayat tuhan untuk kepentingan politiknya. Padahal, ia pun memperkuat argumen pembelaan juga dengan ayat tuhan. Memperdagangkan firman tuhan sesuai kepentingan dengan tafsir berbeda memang sudah menjadi komoditas nasional ( meski yang satu menolak dianggap sebagai pengobral ayat suci al’quran). Dalam sekejap mata, negeri kita penuh sesak dengan ahli tafsir.

Ahmad Sahal, misalnya. Penduduk twitter mana yang tak tahu ustadz satu ini. sekolah tinggi nan jauh hingga ke Pennsylvania, AS sana, beliau kini sibuk membenarkan akhlak orang-orang yang menurutnya radikal dan menjadi cerobong ISIS – yang lagi-lagi menurut beliau – akan membawa Indonesia ke gerbang kehancuran, hanya karena berbeda pilihan.

Saya tidak begitu mengenal Ahmad Sahal dan saya pastikan dia juga tidak kenal saya, saya hanya orang yang dulu sempat menikmati tausiyah beliau di Twitter tentang toleransi dan keberagaman. Bahasanya yang sederhana tapi bermakna cukup dalam makin membuat saya betah berlama-lama baca cuitan Ahmad Sahal. Pengetahuannya tentang sejarah Islam lintas zaman semakin membuat saya belajar banyak tentang peradaban Islam di masa lalu. Ia pun cukup pintar menjawab pertanyaan netizen yang tetap setia di jalur agama, tanpa tedeng aling-aling pilkada.

Berbicara politik kita selalu berbicara tentang kepentingan dan hawa nafsu, baik itu pribadi ataupun golongan. Kepentingan politik pula yang sedang kita alami kala dihadapkan oleh dua reklamasi, Bali dan Jakarta. Ketika dua kota penting Indonesia yang sebenarnya berjauhan ini dirundung masalah yang sama. Band Superman Is Dead berhasil mengumpulkan jutaan orang untuk menolak reklamasi Tanjung Benoa. Termasuk kita yang di Jakarta ikut teriak satu suara.

Kepekaan kita pada Bali hilang tak berjejak saat ibukota negara diancam isu yang sama. Bahkan Superman Is Dead yang vocal ikut terdiam. Berharap Slank yang bersuara? Duh gusti, maafkan kebodohan saya ini. Kita di Jakarta berkeyakinan bahwa reklamasi di Bali beda peruntukannya dengan Jakarta. Padahal sama-sama reklamasi, sama-sama men-darat-kan lautan (ibukota). celakanya, ketika ditanya apa yang membedakan dua reklamasi ini, tidak ada yang bisa menjawab.

Kita mengagungkan mereka yang menentang laut dewata berubah fungsi alamaiahnya dengan kemungkinan buruk yang kelak terjadi. Sementara di Jakarta? Tidak ada yang lebih agung selain berteman sesama mereka sambil berseloroh primitif pada orang-orang menentang laut ibukota yang tengah diambang perubahan wujudnya.

Beberapa tahun ini, nafsu politik telah menjatuhkan harga diri kita hingga titik paling nadir. Hancurnya pertemanan karena yang satu mempermasalahkan agama dan yang satu tidak, menabikan sosok petahana dan yang satu tidak, mengkritik keras yang berlawanan dengan kita sementara yang satu tidak. Semua itu kita lakukan dari hal paling dasar hingga pada titik yang sebenarnya di luar jangkauan. Tapi kita tetap memaksakan diri untuk melakukan itu hanya demi dia yang kita tuan-agungkan. Lihat apa yang terjadi pada trah Soekarna sekarang, ketika putri yang satu lalu-lalang berdampingan dengan presiden, sementara putri lainnya diburu aparat karena diduga ingin menjatuhkan presiden.

Si putri yang bergerilya tentu tak sendiri. Bersama beberapa kolega ia ditangkap tepat di hari bersejarah, 212. Kita tentu anti dengan tindakan represif seperti penangkapan yang hanya bermodal “diduga”. Sialnya, beberapa dari kita ikut bersuka saat Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Rahmawati Soekarnoputri, Sri Bintang, dan lainnya dibawa ke polda metro jaya bahkan saat matahari belum menampakkan diri, selayaknya tentara yang gembira kala menyeret Wiji Thukul dan kawan-kawannya ditangkap dengan tuduhan yang sama.

Ya, kita lupa dengan apa yang dulu sempat kita lawan. Kita lupa jika dulu kita pernah bicara “TIDAK” dan sekarang kita hanya bisa bilang “IYA” pada si penguasa. Suka atau tidak, Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah sekalipun menangkap Fadjroel Rachman yang ketika itu itu lantang bersuara ingin menjatuhkan SBY dan sempat ingin mengkudetanya dari kursi presiden. Fadjroel yang mempunyai kekuatan media saja tidak pernah disentil SBY, kenapa sekarang kita begitu takut dengan orang-orang macam Ahmad Dhani dan Ratna Sarumpaet yang tidak memiliki kekuatan apa-apa?

Kepentingan dan hawa nafsu pula yang tampaknya membuat Ahmad Sahal kehilangan nalar ilmiahnya. Kini, ia hanya peduli pada akhlak umat yang tidak memilih calon yang sama dengannya. Toleransi yang ia junjung memang masih menjadi senjata andalan, namun tak jarang, apa yang ia katakan melampaui batas pembahasan yang sedang dikaji. Seperti saat ia menyerang Pandji Pragiwaksono yang berlawanan pilihan dengannya.

Gus Sahal (setidaknya itu sapaan netizen padanya) dengan yakin mempertanyakan komitmen idolanya Pandji yang hanya menyambangi FPI tapi tidak berani mendatangi kaum minoritas lainnya seperti Syiah, Ahmadiyah, dan….LGBT. seperti yang kita ketahui, kaum Syiah yang sempat bermasalah terjadi di Sampang, Madura. Bukan Jakarta. Sementara Ahmadiyah juga sempat geger di Bogor. Bukan Jakarta.  sementara kita sedang berbicara pilkada Jakarta, bukan daerah lainnya. Sementara LGBT? Saya gantian bertanya, apakah orang yang sudah banyak menafsirkan hadist dan beberapa ayat Al’quran ini pro LGBT?

Ahmad Sahal juga sepertinya hanya menaruh perhatian pada orang-orang yang sepaham pilihan dengannya atau yang berseberangan sekalian agar bisa ia ceramahi dan meng-ISIS-kan mereka. Sementara saya, siapa sih saya? Tak pernah sekalipun mention saya dibalas beliau. Yang menyakitkan hati adalah ketika beliau bercuit “menyerahkan kasus Ahok pada proses hukum=menerima apapun keputusan hukum. Kalo Ahok diputus nggak salah, ya jangan ngancam-ngancam dan ngamuk-ngamuk,” sebuah pernyataan tendesius, menurut saya. “menerima apapun keputusan hukum” tapi mengapa hanya “kalo Ahok diputus nggak bersalah” saja yang ia pertanyakan?

Ini pula yang membuat saya tertawa geli membacanya sekaligus membalikkan pertanyaan Gus Sahal “kalo misal, misal lho ya. Ahok diputus bersalah, gimana?,” sudah barang tentu beliau tak sanggup menerima kenyataan itu dan tak mampu untuk tidak ngamuk-ngamuk di linimasa. hingga kini, pertanyaan sederhana itu pun urung ia jawab.

Seberapa hebatkah pemimpin sekarang sehingga tiap kesalahan yang ia perbuat terasa berat untuk kita kritisi? Seberapa manusiawi kah pemimpin kita, sehingga tiap dalam ketidaktahuan kebijakan yang dibuat kita ikut lupa pada sebuah kesalahan fatal? Seberapa besarkan pemimpin kita, sehingga apa yang ia ucap menjadi kebenaran bagi kita semua? Seberapa pintarkah pemimpin kita, sehingga semua kebijakan yang diambil kita yakini seakan datang dari tuhan? Yang kemudian menuduh mereka yang tak sepaham sebagai kumpulan orang radikal, curut ISIS, otak (nanah) sesat, dan melenceng dari ajaran tuhan yang penuh cinta? Dan, seberapa sucinya pemimpin kita sehingga kita rela hancur oleh adu domba, akibat ketamakan mereka?

Untuk menjadi objektif saja, kita harus menjadi bagian dari mereka. Sedikit saja melenceng, bersiap diserbu oleh teman-temannya. Seperti Ulil Abshar Abdalla yang langsung dihardik “duh, mas Ulil kok udah nggak objektif lagi ya? Udah beda sekarang. Mas Ulil punya kepentingan ya sekarang? Oh iya, partainya kan punya calon juga,” saat Ulil baru sekali saja mengkritisi calon petahana.

Saya bukanlah pembenci petahana. Saya justru memilih petahana untuk kembali duduk di balai kota, sekalipun saya bukan warganya. Saya hanya pembenci sebagian dari kita yang selalu mendewakan penguasa dan membutakan mata kita, membisukan suara kita, menulikan pendengaran kita pada sebuah kebenaran lain yang terjadi dihadapan kita.

Sadarkah kita jika tiap kontroversi yang selalu ia cipta berbuah dari kebodohan kita yang selalu membela? Ia tak pernah belajar dari apa yang selama ini dia ucap karena selalu ada kita yang membela mati-matian tanpa sekalipun mengkritisi apa yang dia buat? Ingat, seburuk-buruknya pemimpin akan baik pula jika dalam tiap perbuatannya selalu kita ingatkan dan kita kritisi. Sebaliknya, sebaik apapun pemimpin, ia akan menjadi buruk jika dalam tiap tindak-tanduknya selalu kita bela, sekalipun itu salah. Sehingga membuat dia bisa berbuat seenaknya karena banyak dari kita yang akan rela menerima kesalahannya.



Jumat, 16 Desember 2016

Bentornato Serie A
sumber: redaksisport.com

 Bukan, saya bukan buzzer Trans 7 yang menjadi official TV partner Liga Italia. Saya hanya pecinta keindahan Liga Italia yang gaungnya kembali bisa kita rasa, seiring mengudaranya Serie A di layar kaca.

Sudah cukup lama memang kita tidak bisa menikmati para gladiator lapangan hijau dari negeri pizza. 
Kepopuleran yang terus merosot, ditambah minimnya pemain bintang memaksa stasiun televisi (lokal) enggan membeli hak siar Liga Italia. Lowongnya kursi-kursi tribun tifosi di stadion semakin menenggelamkan gemerlap Liga yang sempat mahsyur pada medio 90-an hingga awal millenium baru.

Banyak yang beranggapan jika merosotnya liga Italia diakibatkan oleh kasus calciopolli yang menggerogoti negara yang baru saja di tinggal perdana menterinya tersebut, pada 2006 lalu, belum lagi kiprah club-club Italia yang tidak bisa melaju lebih jauh di kancah Eropa semakin membuat Serie A di tinggal oleh penggemar setianya, juga para pemilik media televisi.

Di Indonesia sendiri, hampir semua stasiun TV pernah merasakan dampak manis akibat menyajikan Liga Italia. Mulai dari ANTV, RCTI, SCTV, Indosiar, Trans 7, Kompas TV, hingga TVRI. Dan tiga tahun terakhir, tidak ada satu media televisi pun yang sudi menayangkan Serie A dengan beberapa alasan. Hingga pada akhirnya, musim ini Serie A kembali ke pangkuan Trans 7 yang mulai memanjakan tifosi tanah air sejak dua minggu lalu. Meskipun tidak menayangkan sejak awal musim, para pecinta keindahan sepak bola Italia di Indonesia tetap mengapresiasi dan angkat topi pada stasiun TV yang kebetulan satu grup dengan tempat perusahaan saya bekerja.

Kita semua kembali disuguhkan sepak bola indah khas Italia tanpa harus membayar satu rupiah pun di penghujung bulan. Meski saat ini pihak Trans 7 hanya bisa menyanggupi satu pertandingan dalam satu minggu, ini tentu tidak menjadi soal. Karena nyatanya, ini hanya permulaan agar ke depan Trans 7  bisa menayangkan 2 atau bahkan 3 pertandingan setiap minggu nya. Semoga.

Meski sempat kecewa karena batalnya Derby Milano tersiar di layar kaca. Seminggu berselang, kegelisahan pecinta liga Italia benar-benar terbayar saat Inter Milan v Fiorentina kembali menghiasi TV kita. Terutama saya yang sangat haus akan kerinduan menyaksikan La Beneamata (julukan Inter Milan) bertanding. Terus terang saja, terakhir kali saya menyaksikan Inter bermain kala melakoni Derby Milano dua musim lalu yang dimenangkan Inter lewat gol backhill Rodrigo Palacio. Bukannya tak cinta dan tak sayang, apa boleh dikata, Erik Tohir telah merusak cerita indah saya.

Apa yang dirindukan penggemar sepak bola Italia pun terbayar lunas, setidaknya itu dirasakan fans Inter Milan di tanah air setelah pihak TV memilih menayangkan club pujaan mereka. Perasaan Interisti pun semakin berbinar kala club kesayangan bermain kesetanan pada awal laga dan langsung unggul 3-0 pada 20 menit pertama.

Yang benar-benar dirindukan itu pun kembali. Sebuah kerinduan yang tak bisa diganti oleh liga Spanyol dan Inggris. Bahkan Liverpool sekalipun. Menyaksikan kemenangan Inter untuk pertama kali diiringi gemuruh seisi Gueseppe Meazza. Lewat dentuman-dentuman ledakan yang acap kali menghiasi pertandingan Serie A seakan membawa saya kembali ke zaman di mana liga Italia menjadi komoditi nomor satu pecinta sepak bola Indonesia.

Kita tidak akan bisa mendengar semacam ledakan di Liga Eropa lainnya. Karena hanya memang Liga Italia yang bisa menawarkan hal itu. ketika di Inggris, Spanyol, dan Jerman menganggap itu membahayakan, Liga Italia tetap menjadikannya sebuah keindahan yang selalu  dirindukan.

Nostalgia Serie A Italia semakin terasa nikmatnya saat disetiap gol tercipta, seluruh penonton meneriakkan nama belakang sang pencetak gol secara serempak. Terhitung hingga tiga atau sampai lima kali para tifosi meneriakkan nama pencetak gol yang dikomandoi oleh leader mereka. Dan lagi-lagi, ini tidak saya temukan kala menyaksikan pertandingan di Inggris atau Spanyol.

Budaya seporter-seporter di Italia memang sedikit berbeda dibanding seporter yang ada di Spanyol dan Inggris. Mereka cenderung sama dengan fans asal Eropa timur atau Turki yang spontan dan terkesan beringas dalam mendukung tim. Di waktu yang bersamaan, fans-fans di Inggris dikenal sangat “santun” mendukung tim kesayangan, bahkan saat awayday sekalipun (terlepas dari aksi Hooligans tim nasionalnya yang brutal).

Kita hampir mustahil melihat stadion di Italia tanpa amukan asap yang mengepung seisi lapangan. Sekalipun tribun penonton tidak terisi penuh, tapi hampir bisa dipastikan jika lapangan pertandingan menjadi gelap dipenuhi asap yang berasal dari flare dan smoke bomb. Dan semakin indah oleh kibaran banner-banner besar serta bendera raksasa yang selalu menghiasi stadion.

Belakangan, di Inggris, Liverpool beberapa kali mulai mewarnai tiap sudut stadion dengan smoke bomb merah yang kerap mengasapi saat tim kesayangannya mencetak gol. Tapi sialnya, club harus menanggung hal tersebut kala FA menjatuhi sanksi akibat ulah Liverpudlian. Alasannya cukup sederhana, smoke bomb, flare, dan sejenisnya memang dilarang di sepak bola Britania.

Beberapa tahun lalu, ketika Liga Italia masih mendapat tempat di TV Indonesia, mata saya harus menatap lebih dalam ke pertandingan akibat lapangan yang tertutup pekatnya asap dari para seporter. Terkesan mengerikan memang, tapi itu lah identitas mereka, daya tarik mereka. Dan itu pula yang selalu saya rindukan dari Liga Italia.

Untuk beberapa kalangan, hanya buang-buang waktu saja menyaksikan liga Italia karena permainannya yang lambat dan cenderung membosankan, tapi bagi pecinta keindahan sepak bola, Liga Italia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, lewat fenomena seporter yang tanpa takut membela tim kesayangan, hingga panorama gol-gol indah dari para gladiatornya yang hanya terjadi di liga Italia. Bagi saya, tidak ada pemain dari belahan dunia manapun yang mampu mencetak gol semagis Fransesco Totti atau Antonio DI Natale.

Maka tidak ada kata terlambat sekiranya media tanah air baru memanjakan pecinta Serie A di tengah kompetisi. Seperti kata Fiersa Besari sekalipun saya bukan penggemar blio dan tidak pernah baca buku-bukunya “seperti dendam, rindu juga harus dibalas tuntas,”. Karena liga Italia selalu menawarkan kita sebuah keindahan sepak bola. Ya, Beauty Of Serie A.
sumber: radarindo.com

Selamat datang kembali, Serie A

  

Jumat, 25 November 2016

Baru-baru ini saya sempat dihardik seseorang begini “susah sih kalo emang nggak punya passion nulis,” di sebuah percakapan grup. Cukup beralasan memang ia berkata demikian, ia jengah melihat tulisan saya yang masih salah spasi, salah ukuran gambar, ya intinya salah lah.
source: lapastelly.com


Sebagai penganut hadist sahih “perempuan selalu benar” saya pun mengakui kesalahan-kesalahan itu. Dan memang hal tersebut masih menjadi permasalahan dalam diri saya, gaya penulisan saya. Tapi, ini bukan perihal passion tentu saja.

Hmmm…gimana ya, sebenarnya saya ingin mengatakan ini pada beliau, tapi ya itu tadi, akan terbentur hadist di atas. Oleh karena itu saya jadikan tulisan saja (yang sepertinya akan tetap ada kesalahan-kesalahan tata bahasa…hahaha)

Tak bisa dipungkiri, keberanian saya untuk menulis hanya modal nekat semata. Rasa malas yang sering menghinggapi ketika harus membaca buku yang terus menumpuk semakin menghanyutkan saya dalam kegamangan tata penulisan yang benar. Saya cukup jarang memerhatikan tanda baca, spasi, dan bahasa. Sedari awal membaca, saya selalu terfokus dengan isi cerita dan mengabaikan hal lain yang sama pentingnya.
Tapi sekali lagi, ini bukanlah masalah passion. Ini lebih kepada masalah tidak mau belajar dan lebih teliti lagi. Sebagai pembaca, saya lebih nyaman membaca sebuah tulisan yang memiliki kekuatan dalam cerita, sekalipun banyak spasi yang ke sana sini, tanda baca dan kata yang tidak sesuai kaidah bahasa, dari pada saya harus membaca tulisan yang sangat detail dengan segala tetek bengek KBBI tapi abai dengan isi cerita dan cara menyajikannya. Dan ini cukup sering saya temukan ketika membaca beberapa tulisan yang sangat rapi secara kaidah bahasa, tapi hancur dari segi cerita. Ini opini saya pribadi lho ya!

Memang, jika isi cerita sama bagusnya dengan tata bahasa akan menjadi sempurna untuk kita baca. Semua orang pun menjadikan kedua hal ini sebagai kewajiban yang harus dilakukan, tak terkecuali saya. Tetapi tidak jarang saya tetap bisa menikmati tulisan yang hanya fokus pada isi ceritanya.

Dan percayalah, lambat laun, setiap membaca sebuah karya, saya semakin concern dengan setiap kata yang ditulis. Diksi-diksi yang diciptakan semakin saya dalami, tata bahasa yang baik dan benar pun semakin saya geluti, supaya kualitas tulisan saya membaik. Bukan untuk menumbuhkan passion tentu saja. Karena, jika tidak punya passion tidak mungkin saya berani menulis dengan modal nekat tadi. Tanpa passion pula, mustahil rasanya blogspot berubah menjadi com yang kemudian berbuah Tetralogy Pramoedya Ananta Toer.

“Tulisan yang baik adalah tulisan yang berasal dari kegelisahan,” kata seorang penulis terkenal (saya lupa namanya). Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, latar belakang dari setiap isi tulisan saya memang berdasarkan kalimat di atas. Baik itu sepak bola, politik, sosial budaya, bahkan tulisan hiburan pun berawal dari kegelisahan yang muncul dari pemikiran saya. 

Lagi-lagi. Tanpa rasa jumawa, tidak pula merasa superior, tanpa sadar saya telah mengamini apa yang selama ini Pram katakan, “menulis adalah sebuah keberanian. Dan keberanian adalah ketulusan,” lewat modal nekat yang saya katakan di atas. Sepemahaman saya, nekat juga merupakan bagian dari passion, bukan? Jadi, selama proses pembelajaran ini berlangsung, dengan segala hormat saya bertanya, passion setingkat apa yang kamu tuntut dari tulisan saya? Apakah saya harus menggebu-gebu layaknya mz Komo yang senantiasa mengumbar urat nadi dalam setiap kata yang diucap ketika memandu dede-dede galau di “Katakan Putus”? atau kah, passion saya harus selantang suara mz Cakra Khan yang semakin serak-serak seret itu? atau jangan-jangan, saya harus menjadi bloger goodie bag dulu untuk mengukur sejauh mana passion saya?

Dari sini, muncul kegelisahan baru dalam diri saya, apakah mereka yang menulis hanya untuk alasan komersil masih memiliki passion yang sama saat pertama kali menulis?  

Hingga kini (dan nanti), alasan saya nge blog hanya menulis, dan berbagi cerita, itu saja. Alih-alih memikirkan berapa DA/PA, berapa Alexa Rank, berapa followers di Twitter (terlebih lagi Instagram). Jangankan mikirin istilah-istilah di atas, sampai sekarang saya bahkan tidak tahu dan terkesan tidak mau tahu apa itu DA/PA, apa itu Alexa Rank yang diagung-agungkan para bloger. 

Di sisi lain, saya cukup sepakat dengan pendapat salah satu teman, yang menekankan bahwa tidak ada masalah passion yang hinggap di benak saya. Tapi tidak mau belajar, dan membenahi kesalahan yang lalu, yang memang sangat tampak dan menjadi titik lemah di tulisan-tulisan saya selama ini.

Sekalipun menurut logika beliau saya tetap tidak memiliki passion, toh, saya masih bisa bersyukur dengan keadaan seperti ini. Setidaknya tanpa passion yang ia maksud itu, saya tak perlu repot-repot mengejar dateline. Ya, dateline



Rabu, 09 November 2016

hijau hitam kini kembali
tegakkan panji
panji keadilan
sumber: kanetindonesia.com

lirik di atas adalah sepenggal semboyan wajib organisasi mahasiswa terbesar tanah air. Organisasi yang telah menghasilkan bapak-bapak bangsa negeri ini. Termasuk di dalamnya, Munir Thalib Said.

Tidak cuma Munir dan bapak-bapak tersebut yang bangga menjadi bagian dari organisasi ini. Saya, yang bukan apa-apa juga turut bangga menjadi bagian tak terpisahkan (secara moral) dari sang hijau hitam.

Kepekaan Munir pada rakyat telah membuat nyawanya dihilangkan oleh mereka yang takut kejahatannya dibongkar. Sungguh sayang, karena tak terasa kejadian ini seolah dilupakan oleh generasi selanjutnya yang buta, bisu, dan tuli akan sejarah yang pernah mendera negeri ini.

Popularitas Pilkada (pemilu), tebalnya kantong senior di pemerintahan, rasa-rasanya sukar untuk ditolak generasi sekarang. Sehingga, yang terjadi kemudian adalah gejala-gejala dehumanisme yang semakin banal mengatasnamakan kehidupan berdemokrasi. Tentu bagi mereka tak jadi soal menabrak peraturan dan meninggalkan sang pahlawan kemanusiaan dalam kubangan misteri. Karena satu, yang penting kanda senang.

Mereka, yang sejatinya mahasiswa, sudah dibebani kepentingan pemilik modal dari level paling dasar. Level yang seharusnya dimanfaatkan untuk belajar dan meramu pola pikir agar tetap menjunjung panji keadilan. Kini, keharusan itu pun direnggut oleh para senior yang membutuhkan dukungan dari bawah. Yang sialnya, mereka di bawah juga tidak kalah merengek memohon satu, dua proyek.

Kader baru, yang sedari awal diimingi nama-nama menawan yang telah berjasa dalam perjalanan bangsa ini, akhirnya hancur perlahan akibat ketamakan dan kelaparan mereka sendiri yang ingin sesegera mungkin naik kelas, tanpa mengikuti proses terlebih dahulu, tanpa belajar dan memilah mana yang benar mana yang buruk, mana kanda yang baik, mana kanda yang busuk.

Akibatnya, mereka lupa dengan identitasnya, lupa AD/ART yang tertulis jelas di buku sakunya. Lebih parah lagi, mereka lupa dan acuh pada orang yang telah membesarkan organisasinya. Orang yang nyawanya dirampas paksa di udara.

Lalu. Apa yang mereka bela? Apa yang mereka perjuangkan? Apa yang mereka kerjakan? Seperti kalimat di atas, mereka hanya mengikuti kehendak para kanda di mejanya (juga di penjara). Melakukan apa yang sudah diperintah. Sebagaimana kanda-kanda itu yang sudah (me)lupa(kan) Munir Thalib Said, dan menurunkannya pada mereka. Kawan-kawan saya.

Ketika bukti Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir dinyatakan hilang (jika tidak mau dikatakan dihilangkan), mereka yang notabene berada di bawah payung yang sama dengan almarhum justru tidak bergeming satu huruf pun. Aksi? Jangankan ini, sekedar kicauan di media sosial pun tak dijamah selayaknya pasangan calon pemimpin yang saban hari didukung. Lebih gawat lagi, tak ada satupun kader organisasi berlambang bulan bintang ini yang mempertanyakan bukti TPF tersebut (seingat saya).

Mereka, kebanyakan kader-kader organisasi yang bersejarah itu, secara berkala menistakan jubahnya sendiri, men-durhaka-kan diri dari seorang yang bernama Munir. Sebuah generasi baru yang enggan menggali kembali sejarah untuk mencari kebenaran “yang lain” dalam sebuah catatan masa lalu. Padahal, mereka para saksi sejarah yang harus, dan terus mengungkapkan kebenaran.

Alih-alih mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam kasus Munir, mereka, justru asyik mengamankan kekayaan tirani paling sohor di negeri ini. Membela mati-matian koruptor yang istrinya seorang walikota pinggiran Jakarta, dan bersaudari gubernur yang sudah di penjara.

Atau, menjadi tameng nomor satu mantan ketua pengurus besar yang entah kapan menggantungkan dirinya di Monas, dan kini justru mengibarkan partai baru (di balik jeruji) setelah pecah kongsi dengan partai penguasa sebelumnya. (saya belum tahu apakah partai nya lolos verifikasi Kemenkumham. Karena sudah tidak terdengar lagi gaungnya)

Mereka rela mengorbankan keadilan dan nuraninya demi berbakti pada kanda-kandanya yang laknat itu, hanya karena sang kanda royal dalam setiap kegiatan keorganisasian. Pertanyaannya adalah, di mana nilai-nilai dasar perjuangan yang selalu didengungkan? Ketika yang diperjuangkan hanya berlaku pada kanda yang masih hidup sekalipun di penjara dan menghidupi mereka.

Hal demikian tampaknya sudah menjadi mata rantai yang berjenjang setiap organisasi, terlebih organisasi mahasiswa yang tak bisa lepas dari para senior yang sudah nyaman di kursinya. Belum lagi, budaya meminta yang tiap kali wajib dilakukan jika telah tiba jadwal pelatihan. Meminta, lalu mengabdi pada yang memberi. Tanpa peduli dengan nilai-nilai kebenaran.

Menjual nama kanda-kanda yang sudah besar di negeri ini tidak salah memang, bahkan ini perlu dilakukan untuk menimbulkan ketertarikan bagi kader baru yang memang butuh sosok panutan. Tapi tentu kita tidak perlu membela mereka yang salah, yang menimbun kasus, dan terpenjara. Kita tidak perlu repot menjadi relawan para terdakwa, memuji setinggi langit, bolak-balik penjara untuk membesuk agar dapur organisasi tetap mengepul.

Di lain sisi, kita lupa dengan kanda yang bertaruh nyawa untuk membesarkan negeri ini, mengharumkan organisasi ini, seorang kanda yang telah mengembalikan hak asasi jutaan warga negara, yang tragisnya tak mampu menyentuh hati para dinda masa kini yang semakin culas, yang hanya berorientasi pada rupiah dan keagungan semu seniornya. Ada dimana mereka ketika kawan-kawan Kontras serta Suciwati (istri Munir) harus bertarung sekali lagi untuk mengungkapkan keadilan?

Seperti yang pernah diungkapkan Soe Hok Gie, ketragisan suatu idealisme adalah saat harus berhadapan dengan culasnya kekuasaan. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan. Pemuda-pemuda Indonesia yang penuh dengan idealisme akhirnya hanya punya dua pilihan. Pertama, tetap bertahan dengan idealisme mereka. Menjadi manusia yang non-kompromisitis dan orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala:”dia pandai dan jujur, tapi sayang kakinya tak menginjak tanah,” atau dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus, bergabung dengan mereka yang kuat (partai, ABRI, ormas, klik dan lainnya) dan belajar teknik memfitnah dan menjilat, lengkap dengan ironi dan tragiknya.

Apa yang ditakutkan Gie memang terlihat nyata saat ini, bahkan lebih binal ketika tidak ada idealisme yang berbekas dalam benak mereka-mereka ini ketika setiap kompromi yang dilakukan tak sebanding dengan harga diri yang dipertaruhkan. Hingga muncul nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Abdullah Puteh, Andi Mallarangeng, dan yang terbaru, Irman Gusman.

Mendengar lirik agung di atas, sudah sepatutnya, juga seharusnya kita semua sadar seberapa penting kata-kata itu diciptakan, seberapa besar perjuangan pendahulu kita memperjuangkan itu, dan seberapa besar pula harapan mereka melihat kita melanjutkan perjuangan yang telah mereka perjuangkan.

Organisasi ini, organisasi kita, sudah kepalang besar dan tetap akan menjadi besar tanpa nama-nama di atas. Bukan mereka yang membuat organisasi kita sebesar ini. Sebaliknya, dengan tingkah pola mereka lah kita jadi malu, organisasi kita menjadi hancur karena kedegilan mereka kanda-kanda laknat. Untuk itu, tidak perlu lah kita menjilat ia yang sudah di penjara, merawat hartanya, dan meneruskan birahi politiknya.

            Saya tentu tidak menjadi paling benar akan hal ini, tidak juga merasa paling suci dari mereka yang satu payung organisasi dengan saya. Tapi, bagi saya, lebih baik berterus terang walaupun ada kemungkinan ditolak, bahkan ditindak. Karena, lebih baik saya bertindak keliru dari pada tidak bertindak karena takut salah. Lagi-lagi, Soe Hok Gie.

Tentu kita tidak ingin lagu "Darah Juang" hanya sebatas melafalkan, tanpa mengamalkannya. Karena sesungguhnya, memperjuangkan keadilan dan membela pelaku keadilan jauh lebih bermakna dari pada menikmati (dan menjadi boneka) kemunafikan. 

#SaveHMI



 



Sabtu, 17 Oktober 2015


Sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan dan ekonomi negara, wajar rasanya jika Jakarta tiap tahunnya diserbu oleh para pendatang yang berasal dari seluruh pelosok negeri. Suku jawa, sunda, makasar, batak dan suku lainnya bisa kita jumpai di Jakarta.



Sebagai suku paling barat Indonesia, keberadaan orang Aceh masih bisa dihitung dengan jari, berbeda dengan saudara se-pulau sumatera seperti batak dan padang yang sudah tak terhingga jumlahnya. Meskipun keberadaan orang Aceh di Jakarta masih sedikit, tetapi masyarakat ibukota sudah peka dengan bentuk wajah orang aceh, tanpa mendengar bahasanya pun, mereka bisa menebak “orang Aceh ya mas?”.



Berbeda dengan orang Padang yang hanya bisa ditebak asalnya ketika sedang berdagang, atau orang batak melalui logat bicaranya, atau sedang – maaf – narik angkutan. Menurut pendapat banyak orang, wajah orang orang Aceh terlalu identik satu sama lain. Sama halnya dengan warna kulit yang hampir serupa, kalau hitam ya hitam pekat, kalau putih yang engga putih-putih banget.



Menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami orang Aceh karena banyak yang menganggap bahwa orang Aceh itu ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Dan tidak jarang pula mereka berseloroh “mas keturunan arab ya?” Setiap tanggapan positif pasti dihiasi dengan pandangan negatif, ini juga sering menghinggapi kami anak aceh. Bukan berita baru lagi jika Aceh memiliki ladang ganja terbesar di Indonesia, sehingga, ketika saya hendak mudik pun, pesan dari kawan-kawan hanya satu, “gue pesen ganja ya sekilo” tentu ini hanya anehdot dari seorang teman, walau terkadang ada juga yang serius.



Jika berbicara Aceh, pasti tidak lepas dari yang namanya ganja. Itu pula yang membebani jiwa dan raga saya ketika orang-orang langsung menghardik “ladang ganja lo berapa hektar” teeeng…saya mulai berpikir “gagal gue jadi orang Aceh, engga punya ladang ganja soalnya”.



Demi menjaga tingkat bromance dengan para sahabat, mereka dengan akrabnya memanggil saya dengan sebutan “ganjo”, pelesetan dari ganja itu sendiri. Awalnya sih risih, tapi demi teman, tak apa lah. Toh mereka
juga saya panggil dengan nama alias masing-masing.



Semua hal yang menyangkut Aceh selalu dihubungkan dengan ganja. Makanan pake ganja, mulai dari mie aceh sampe kuah bakso. Dan yang lagi hangat-hangatnya adalah kopi ganja. Pertanyaan besar saya adalah “dari mana mereka tahu kopi ganja? Wong saya yang orang Aceh aja engga tau ada kopi ganja”. Fix, Gagal total saya jadi orang Aceh gara-gara ini.



Hal pertama yang selalu saya jelaskan pada semua teman atau kenalan adalah tidak semua orang Aceh mempunyai ladang ganja, sama halnya seperti, tidak semua orang Aceh itu ganteng dan cantik. Kebiasaan ini pun menjadi rutinitas berulang-ulang seiring bertambahnya kenalan. Tentu ini menjadi keuntungan tersendiri bagi saya yang secara tidak langsung memperkenalkan budaya Aceh, karena setiap jawaban yang muncul selalu ditambah dengan pertanyaan yang semakin beranak pinang dari mereka



Satu pertanyaan dari seorang teman yang membuat saya jengkel adalah “njo, di Aceh syariat islamkan? cewenya pada pake kerudung semua kan? Pertama lo ke Jakarta berarti lo kaget dong liat cewe-cewe yang pake tengtop, rok mini, celana gemez, baju yang setengah jadi?” mungkin menurut mereka, di Aceh tidak ada TV yang menampakkan semua jenis manusia sehingga pada beranggapan seperti itu.



Berlabel syariat Islam, membuat saya, sebagai putra daerah Aceh dibebani tanggung jawab besar oleh teman sesama muslim, karena sudah pasti orang pertama yang ditunjuk untuk menjadi imam saat sholat ya saya. Alasan mereka singkat “ lo kan orang Aceh, bacain ayat mestinya bagus”. Alasan mereka memang terdengar klise, tapi percayalah, setiap orang Aceh yang tinggal di Jakarta pasti bernasib serupa dengan saya.



Terakhir, sempat menjadi daerah konflik dalam jangka waktu lama, dan beberapa kali menuntut merdeka dari NKRI, saya bersyukur pada akhirnya Aceh tidak jadi merdeka. bukan apa-apa, saya tidak mau dianggap sebagai turis asing di Jakarta, yang direpotkan dengan urusan imigrasi yang sewaktu-waktu bisa saja di deportasi dari Indonesia









&�
ex

Selasa, 06 Oktober 2015

Tidak sebesar kota London, bahkan tak seluas Manchester, Liverpool memiliki kebesarannya sendiri. Tak hanya dengan musiknya yang diwakili oleh The Beatles, tapi juga dengan sepak bola yang memang telah membudaya disana.

Layaknya kota-kota lain, Liverpool juga memiliki dua kesebelasan besar yang saling bersaing tiap musimnya. Dua club yang membelah sungai Mersey, dua warna yang mewakili keberagaman para Liverpudlian ( sebutan bagi penduduk asli Liverpool ), Everton FC dan Liverpool FC.

Ketika Manchester City dan Manchester United dibedakan dengan masa dukungan yang berada di tengah dan penggiran kota, juga Totenham Hotspurs dan Arsenal dibedakan district yang berseberangan meski berada dalam teritori yang sama di Utara ibukota, maka, fans Liverpool dan Everton hidup secara berdampingan, tanpa perbedaan.

Meski berdiri lebih awal daripada Liverpool, Everton nyatanya kalah mentereng daripada saudara mudanya tersebut. pemain bintang, popularitas, trofi juara, Liverpool unggul jauh dari The Toffes. The Reds yang berdiri 1892 (14 tahun sejak Everton berdiri ) sejatinya merupakan serpihan dari pecahnya hubungan Everton dengan pengelola Anfield Stadium. Ya, Anfield adalah warisan Everton yang meninggalkan stadion tersebut akibat tidak sejalannya pemikiran pihak club dengan pengelola Anfield, John Holding. Ini pula yang membuat Everton harus rela hijrah ke Goodison Park, yang jaraknya tak jauh-jauh amat dengan Anfield Road.

Kepergian Everton pun berdampak besar bagi poros sepak bola kota Liverpool dan Inggris, karena pemilik Anfield tersebut akhirnya membentuk timnya sendiri, dan lahirlah Liverpool FC seperti yang kita kenal sekarang. Kelahiran Liverpool yang diiringi perpecahan pemilik stadion dengan club tertua kota nyatanya tak membuat Everton dan Liverpool menjadi saling benci. Yang terjadi justru sebaliknya, Derby Merseyside lebih, dan akan selalu dikenal sebagai Friendly Derby, atau bahkan Family Derby.

Julukan ini sendiri merujuk pada fakta unik pendukungnya, yang meski saling membenci selama pertandingan berlangsung, tapi sesungguhnya mereka masih dalam lingkungan yang sama, bertetangga, dan satu keluarga. Merseyside Derby memang unik, sangat unik, karena memang mungkin hanya derby inilah yang memberi kehangatan, menyuguhkan kasih sayang. Bukan menebar kebencian, memancing keributan seperti kebanyakan derby pada umumnya.

Dalam film berjudul  “Red’s and Blue’s”, jelas terlihat bagaimana kedua supporter dari kedua kesebelasan hidup berdampingan, sekalipun mereka saling ledek dan bertukar hinaan, kedua fans yang saling bertentangan ini nyatanya tak pernah benar-benar bermusuhan. Film yang dikemas secara jenaka ini memang menggambarkan keadaan dua fans secara kasat mata, fanatisme berlebihan yang ditunjukkan keduanya tak pelak membuat kita tertawa melihatnya.
salah satu adegan dari film Reds and Blues 
Kebencian bisa ditunjukkan lewat candaan, baik berupa banter chants, ataupun pencapaian club selama ini. Peran keluarga, bantuan dari rekan sejawat, dijadikan senjata mematikan untuk mereka menjatuhkan rival. Itulah sepotong pelajaran yang didapat dari film produksi tahun 2012 tersebut, tanpa kekerasan, tidak pula dengan pertumpahan darah yang kerap terjadi pada derby lainnya.

Sudah ratusan kali Merseyside derby tersaji tiap tahunnya, dan sudah berlipat kali pula fans dari kedua tim menjalin hubungan harmonis, didalam atau luar lapangan. bukan suatu kejanggalan pula jika kita melihat stadion Goodison Park dan Anfield menyama ratakan mereka dalam satu tribun yang sama. Kombinasi biru-merah yang duduk berdampingan pun menjadi pemandangan asri tiap duel ini berlaga. Sebuah pemandangan yang mustahil terjadi di Manchester Derby, Roma derby, atau Old Firm derby di Skotlandia antara Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers.
salah satu tribun yang memperlihatkan harmonisnya kedua fans yang berbeda ( sumber gambar: www.google.com )
Tidak selamanya Hot derby  seperti Manchester, Roma, Glasgow selalu berakhir dengan keributan antar pendukungnya. Begitupula dengan friendly derby Liverpool yang tidak selalu berjalan hangat, ada kalanya Evertonian dan Liverpudlian menaikkan tensi permusuhan mereka, dan inilah yang sempat terjadi pada musim 1986 silam.

Cerita dimulai ketika final European Cup ( kini liga Champions ) yang mempertemukan Liverpool vs Juventus berakhir ricuh, sehingga membuat ratusan fans Juve meregang nyawa disana. Fans Liverpool yang diduga menjadi biang kerok kerusuhan pun akhirnya harus menerima hukuman berat dari UEFA, hukuman yang mau tak mau juga harus dirasakan seluruh tim asal Inggris. Karena federasi sepak bola tertinggi Eropa tersebut melarang keikutsertaan tim-tim Inggris di seluruh kompetisi Eropa.

Celakanya, Everton yang setahun kemudian berhak berlaga di liga Champions pun akhirnya urung bermain akibat larangan tersebut. tak pelak, kejadian ini pun menabur permusuhan sesungguhnya antara fans Liverpool dan Everton. Evertonian tak rela keikutsertaannya di kompetisi Eropa harus terhalang oleh kesalahan Kopites kala itu di stadion Heysel, Belgia. Dan membuat perselisihan baru antara keduanya yang selama tahun berjalan cukup banyak membuat keributan.

Selepas itu, tensi persahabatan keduanya sempat naik turun yang sekaligus meninggikan rivalitas pertandingan kedua club. Namun, perselisihan dua saudara sekota ini tak berlangsung lama, karena kedua belah pihak kembali ke titik semula, menjadi teman sebagaimana mestinya, pasca tragedi Hillsborough yang lagi-lagi menimpa The Anfield Gank.

Merseyside Derby, atau mereka lebih senang disebut Merseyside United benar-benar menjadi poros sepak bola dunia, bahwa persaingan sekota tak harus dijalani dengan kekerasan, tak perlu pula mereka membenci satu sama lain jika hanya ingin menaikkan tensi pertandingan itu semata. Karena, derby Liverpool sendiri berjalan cukup panas tiap musimnya. Panas karena permainan yang menghibur, yang sering diselingi permainan keras antar pemain.

Cukup unik memang jika kita melihat pertemuan kedua club asal utara Inggris ini. pertandingan dilapangan yang kerap melahirkan tekel-tekel keras dan tak jarang menimbulkan keributan antar pemainnya, nyatanya tak membuat para fans tersulut emosi. Justru, kedua fans tetap harmonis satu sama lain.

Keharmonisan fans ini tak hanya terlihat dalam tribun stadion, melainkan diluar stadion. Sudah menjadi rahasia umum pula jika kedua seporter ini banyak yang bertetangga satu sama lainnya, dan bukan hal yang aneh pula jika di Liverpool kita mendapati rumah pendukung Liverpool tepat berada disamping rumah fans Everton dengan atribut club kebanggaan lengkap yang menghiasi pelataran rumahnya masing-masing. Tidak ada keributan yang mewarnai kehidupan mereka, tidak ada pula hujatan yang menerpa mereka, semua berjalan normal.
masyarakat liverpool yang hidup bertetangga meski membela club yang berbeda ( sumber gambar: www.google.com )
Tidak hanya bertetangga, kedua club Merseyside ini pun telah membelah satu keluarga menjadi dua warna. Artinya, dalam satu keluarga saja terdapat dua kubu seporter yang membedakan mereka. Terkadang sang ayah menjadi Liverpudlian dan ibu seorang Evertonian, atau kakak perempuannya menjadi Evertonian dan sang adik seorang Liverpudlian, begitu seterusnya. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik tersendiri dari derby ini, sebuah daya tarik abadi yang tak pernah mati.

Kemuliaan Merseyside United ini pun terekam manis ketika Liverpool memperingati 25 tahun tragedi Hillsborough di Anfield tahun lalu. Stadion berkapasitas 45 ribu jiwa ini tak hanya disesaki oleh para Kopites, tetapi juga dihadiri oleh Roberto Martinez, pelatih Everton, dan beberapa fans Everton yang turun hadir dalam upacara mengenang fans Liverpool yang tak pernah pulang.
bentuk terima kasih The Kop kepada Everton yang telah menghormati tragedi Hillsborough ( sumber gambar: www.google.com )
Berjarak kurang lebih 1 KM dari Anfield, Goodison Park pun turut memperingati acara yang sama. Tujuannya jelas, untuk menghormati para fans Liverpool yang notabene saudara mereka, mendoakan mereka yang telah tiada, menguatkan keluarga yang ditinggalkan.

Satu pemandangan unik pun terjadi ketika Derby Merseyside dihelat di kandang Everton pada musim 2012-2013. Pertandingan yang berjalan alot ini diawali dengan masuknya sepasang anak kecil berjersey kebesaran kedua club bertuliskan angka 96 ( jumlah korban jiwa Hillsborough ), dan disudut lain stadion, tampak secarik kain putih  bertuliskan “Solidarity Has No Colours”, yang membuat semua pasang mata berdecak kagum akan hubungan fans Liverpool dan Everton ini.
salah satu banner yang mewarnai derby Liverpool tahun lalu (  sumber gambar: www.google.com )
Gambaran harmonisasi kedua fans tak hanya terjadi didalam stadion, karena diluar stadion, tepatnya di dapur rekaman pun mereka kembali bersatu. Ini lah yang tertangkap kamera dalam sebuah video klip yang bertajuk “He Ain’t Heavy, His My Brother”. Suara merdu para penyanyinya yang tergabung dalam “Hillsborough Justice Collective ( Robby Williams, Melanie Chilsholm ex Spice Girls, Paul McCartney, dan beberapa musisi Inggris lainnya )” disempurnakan oleh sepasang anak kecil yang mengenakan jersey kedua club, Everton dan Liverpool.
dua anak kecil mewakili dua club sekota untuk memperingati 25 tahun tragedi Hillsborough ( sumber gambar: www.google.com )
Lagu lawas milik grup band Inggris The Hollies ini kembali hidup, dan menjadi lebih hidup dinyanyikan untuk mengenang tragedi sepak bola paling berdarah di negeri ratu Elizabeth tersebut.

Tak indah rasanya jika kita tidak menyinggung para pemain mereka. Ya, layaknya dengan para fans, pemain kedua kesebelasan pun tidak bisa menghindari takdir mereka yang harus melawan temannya sendiri. Seperti Steven Gerrard yang semasa kecil merupakan teman karip dari Tony Hibbert, harus rela bertarung sengit diatas lapangan untuk membela Liverpool dan Everton. Atau cerita menarik yang menimpa beberapa pemain kedua club lainnya.

Jamie Carragher, Michael Owen, disinyalir merupakan seorang fans setia Everton semasa kecil. Namun, setelah dewasa mereka ditakdirkan menjadi legenda Liverpool, bahkan Carragher menjadikan Liverpool club yang satu-satunya ia bela. Begitupula dengan pemain-pemain andalan Everton seperti Leighton Baines, Phil Jagielka, Ross Barkley yang terlahir sebagai Liverpudlian semasa kecil.  

Satu kota memiliki dua club besar, dua club besar yang menyatukan kota dalam satu impian yang sama, dua warna yang menyelimuti keindahan kota dengan cerita yang sama, yakni menjadikan kota Liverpool yang  terbaik di tanah Britania, dengan cara bersahaja, berlomba bersama dengan mengedepankan kedamaian sebagai poros persaingan dalam sepak bola satu kota. Sebuah kedamaian sepak bola yang berbalut dengan keagungan musik The Beatles sebagai pembeda.

Untuk penduduk kota lain atau negara lain, sepak bola mungkin sebuah kegiatan di waktu senggang. Tapi di Liverpool, sepak bola adalah kehidupan itu sendiri. Ini bukanlah kalimat dari seorang Bill Shankly, pemilik kalimat penyejuk hati ini adalah….. Brendan Rodgers

Minggu, 13 September 2015

Jauh dari hingar bingar kota besar dengan lalu lintas padat berpayungkan gedung tinggi menjulang tak membuat kami berkecil hati akan hal itu. Ketika kota-kota besar dipadatkan dengan segala jenis kendaraan yang berhimpitan dengan gedung tinggi di kiri dan kanan, desa kami jauh dari hal semacam itu, tetapi kami dikaruniai lapangan sepak bola luas nan lebar tanpa ada satu gedung pun yang mampu menghimpitnya. Ia di payungi oleh kedua tiang gawang tua yang tetap kokoh dikedua sisi yang berseberangan tanpa jaring yang menyelimuti. Inilah desa kami, lapangan sepak bola kami.

Lapangan hijau yang sejatinya bisa dibagi menjadi dua ini menjadi saksi bisu lambang kebahagiaan kami beserta anak lainnya yang tersebar di desa Cot Girek, Aceh Utara. Tak ada senja yang terlewatkan tanpa keberadaan anak-anak sekitar yang mengasah talentanya bermain bola, dan bukan saja anak kecil, mereka yang sudah dewasa pun masih sering menggiring bola dilapangan ini. Ya, lapangan kami memang tak mengenal usia, ia juga tak punya waktu untuk menentukan siapa yang pantas bermain di rumputnya. Atas nama sepak bola, ia membebaskan semua orang untuk bermain bola ditanahnya sendiri, tanpa biaya, tak ada pengecualian.

Tiap sore menjelang, sekitaran pukul empat atau lima, kami berbondong-bondong menuju “surga” itu, melepas penat setelah seharian belajar di sekolah, bertemu rekan sejawat bermain bersama, tertawa bahagia bersama bola adalah keseharian yang tak pernah terlewatkan. Tiada yang mampu menghentikan kami bermain kecuali seruan adzan Maghrib sebagai lonceng berakhirnya pertandingan dan memulai ibadah agar tetap dekat dengan maha pencipta, mensyukuri karunia yang ia berikan, menjaga lapangan yang telah diciptakan.

Mempunyai lapangan yang amat besar, kami yang bisa dikatakan masih kecil tentunya tak begitu sanggup jika harus bermain lapangan yang “sebenarnya”, antar tiang tua sebagai tujuan gawangnya, oleh karena itu pula, kami membuat gawang baru, gawang yang kira-kira cocok, setara dengan kemampuan yang kami punya, seimbang dengan jumlah pemainnya. Bukan dari tiang baru nan muda yang kuat, melainkan dari kumpulan sandal yang kami tumpuk menjadi satu kesatuan untuk dijadikan gawang, walau tak kokoh tapi cukup menjadi tanda masuknya bola atau tidak, sekalipun tak bertiang, tapi dengan “tiang” ini mampu membentuk kami menjadi pemain yang adil dalam menentukan gol atau tidak, walau tak jarang kami memaksakan gol menjadi tidak gol, tidak gol menjadi gol. Maklumkan saja, untuk kegembiraan bersama kami bergantian melakukan itu. Ketika bola menghantam “tiang” buatan itu, sandal-sandal tersebut pun terpental seketika dan membuat kami menghimpunnya kembali agar menjadi gawang seperti sebelumnya.

Jika kita mengenal ungkapan “tidak ada yang tidak mungkin”, maka kami pun memegang teguh ungkapan tersebut. Hujan yang terkadang turun tak menyurutkan semangat kami dalam bermain bola, lapangan yang begitu luas seakan tak membiarkan kami meninggalkannya basah sendirian dalam amukan air dari sang pencipta, hati serta kaki pun seolah tak ingin berpisah dengan lapangan yang telah dibasahi hujan. Deras atau tidaknya hujan tak ada beda bagi kami pemain desa yang memang membutuhkan sentuhan ajaib dari langit. Lapangan yang becek menjadi daya tarik tersendiri bagi kami para penikmat sepak bola, dengan leluasa setiap pemain mampu berimprovisasi dilapangan, mulai dari sliding tekel ala Gattuso yang sekaligus menyapu air dirumput basah, hingga selebrasi meluncur dipermukaan tanah ala pemain Eropa yang girang pasca mencetak gol kemenangan.

 Namun masalah yang muncul kemudian adalah sekujur tubuh yang dihinggapi lintah yang menempel, menghisap darah sedikit demi sedikit dan membuat kami harus membersihkan tubuh lebih lama dari biasanya, belum lagi masalah dengan orang tua masing-masing yang gempar hatinya melihat anak-anaknya kembali kerumah dengan keadaan lusuh bermandikan lumpur lapangan yang dihujani air.

Setiap sorenya, lapangan terbagi menjadi tiga bagian, dan terbelah menjadi tiga pertandingan pula. Saya beserta kawan memakai lapangan di sisi barat dan mereka dari desa sebelah menggunakan lapangan bagian timur dan utara, semua kami bagi secara merata. Sedikit ironis, karena dari tiga lapangan yang digunakan, tetapi tak ada satu pun dari kami yang memanfaatkan tiang gawang tua yang makin kecoklatan warnanya akibat karatan yang mendera, ia seolah melihat kami bermain dengan seksama, memantau kami hari demi hari agar kemudian kami benar-benar mampu untuk memasukkan bola ke jalanya yang semakin menua.

Jika dalam setiap permainan ada yang menang dan kalah, kami pun menerapkan hal itu, akan tetapi kami tak merasa cukup dengan “label” tersebut, sehingga kami menambah satu “label” lagi, yaitu hukuman. Ya, bagi yang kalah akan dikenai hukuman dengan masuk kolong mereka yang menang. Pemain yang menang akan berbaris sejajar sembari membentangkan kedua kaki yang kemudian akan dimasuki oleh mereka yang kalah, dan biasanya bukan satu kali, melainkan tiga atau lima kali masuk untuk setiap pemain. Bayangkan, jika dalam satu tim terdapat delapan orang, maka kita harus “merangkak” melewati delapan orang sejajar dibawah kakinya. Menarik bukan!!!...

Umur yang semakin bertambah, tingkat pendidikan yang semakin tinggi, membuat kami harus rela berpisah dengan lapangan sepak bola kesayangan, satu persatu dari kami berpencar untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, lapangan dengan tiang gawang tua itu tak kuasa menahan kepergian kami, karena ia yakin, pada waktunya nanti kami akan kembali bermain, bersenang-senang dengan rumputnya yang bergelombang. Tapi, dia tidak pernah sendiri disana, dia tetap menjadi tempat idaman generasi selanjutnya untuk bermain bola, berbagi kisah, bermandikan hujan bersamanya. Anak-anak desa tak kan rela membiarkannya sendiri menghadapi dinginnya hujan dan terik matahari, begitupula dengan lapangan sepak bola kami yang tidak akan sanggup melihat anak-anak kehilangan tempat bermainnya, tempat dimana mereka menemukan bakat dan menjadi pemain bola seutuhnya.

Sungguh bahagia mereka yang masih menetap di desa karena masih punya cukup waktu untuk bermain bola, dan yang terpenting, mereka masih punya lapangan sepak bola yang besar yang bisa dinikmati semua warganya. sementara di kota, kita telah kehilangan cukup banyak lapangan sepak bola yang satu persatu di alih fungsikan menjadi gedung atau infrastruktur lainnya. Kendati kita masih menemukan lapangan sepak bola di kota, kita diwajibkan membayar “upeti” pada warga atau oknum agar bisa memakainya. Dan setelah lapangan Menteng yang begitu bersejarah bagi PERSIJA telah tiada, kini stadion Lebak Bulus pun tengah memasuki era kepunahan dengan meninggalkan sejuta kisah bagi persepakbolaan Indonesia.