Tidak bisa kita pungkiri, sepak bola sudah menjadi komoditas
penting bagi pecintanya, atau bahkan bagi pemilik kepentingan di dalamnya.
Sebagai olahraga universal, sepak bola telah menjabarkan beribu tafsir yang
bisa menelurkan persahabatan bagi mereka yang seiman, walau tak sedikit yang
berakhir dengan permusuhan karena berbeda jalan.
Sedari dulu, menyaksikan pertandingan sepak bola hampir
pasti kita disuguhkan pertunjukan yang menawarkan keindahan dari setiap
pelakunya. Sudah cukup banyak pula strategi dan formasi yang ditemukan para
pelatih hebat agar terciptanya pemainan indah yang berujung kemenangan. Hingga
kini, formasi-formasi itu pun masih terus berevolusi.
Seperti Belanda yang tersohor dengan Total Football nya yang menekankan pada mobilitas tiap pemain di
lapangan, atau Brazil yang menciptakan Jogo
Bonito yang indah dan tak bosan untuk terus kita saksikan.
Beda zaman beda permainan. Mungkin ungkapan sederhana ini
menjadi cerminan sepak bola era sekarang yang semakin menghambakan pada tiga
angka. Tak peduli bermain cantik atau jelek, bertahan atau menyerang, jika kemenangan
sudah di tangan, itu semua tidak jadi soal. Sekarang, orang cenderung
mengenalnya dengan istilah pragmatis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatis
diartikan sebagai sesuatu yang bersifat praktis. Sedangkan menurut para ahli
bahasa, pragmatis adalah sebuah konsep yang menekankan pada sisi kepraktisan
dibandingkan sisi manfaatnya. Jika di sepak bola, kita bisa menyimpulkan bahwa
pragmatis adalah sebuah metode permainan yang hanya bertujuan menghasilkan
kemenangan tanpa memperhatikan teknik permainan.
Sebagai contoh, kita kembali lagi pada Brazil dan Belanda.
Kedua negara dahulu menciptakan sistem permainan yang tidak semua orang
bisa mempraktekkannya. Namun, sejak dipimpin Bert Van Marwijk pasca Euro 2008,
tim negeri Kincir Angin perlahan mulai meninggalkan Total Football yang kadung
melekat dalam budaya sepak bola mereka.
Pelatih yang juga mertua Mark Van Bommel ini membawa De Oranje bermain lebih pragmatis, yang
hanya memikirikan kemenangan. Meskipun ia berhasil membawa Sneijder cs ke final
piala dunia 2010, namun tak sedikit yang mengkritik permainan mereka, termasuk
dari para legendanya sendiri.
Setali tiga uang, Brazil yang tiap tahunnya disesaki talenta
dengan kemampuan di atas rata-rata juga bernasib serupa. Carlos Dunga, yang
menjalani debut profesional pertama sebagai pelatih kepala tampaknya belum
memahami betul apa itu Jogo Bonito yang dulu sempat ia peragakan saat masih
aktif bermain. Menyianyiakan bakat luar biasa Robinho, Kaka, Coutinho dan
Neymar di atas lapangan menjadi dosa besar Dunga selama melatih tim Samba. Tak
heran, jika mantan pemain Fiorentina ini dua kali dipecat dari tim nasional.
Meski sejak diambil alih Tite permainan Tim Samba mulai
berubah dan kembali menghibur penontonnya, tetap saja, sepak bola mulai
kehilangan sedikit makna dari segi hiburan dan keindahan. Tidak salah memang
jika banyak pelatih yang mulai menerapkan permainan pragmatis yang cenderung
bertahan jika sudah memimpin pertandingan, karena dalam olah raga apapun, semua
tentu ingin berakhir sebagai pemenang.
![]() |
sumber: olahraga.pro |
Di lain pihak, kita bisa dengan senang hati menerima dalih
tim-tim semenjana yang menerapkan permainan demikian ketika melawan tim besar.
dengan kualitas pemain yang jauh berbeda, satu-satunya cara yang bisa dilakukan
tentu saja bertahan sebisa mungkin, dan membuang bola sejauh mungkin agar terhindar
dari kekalahan, atau hanya untuk menghindari banjir gol ke gawang.
Tapi apa jadinya jika tim besar menerapkan permainan
demikian? Satu dari sekian pelatih hebat yang dikenal pragmatis tentu saja Jose
Mourinho. Jose, sebesar apapun mulutnya, ia tetaplah seorang yang realistis
dalam sepak bola. “mereka mengendalikan permainan, menekan kami sepanjang laga,
tapi pada akhirnya tetap kami yang keluar sebagai pemenang, itu yang penting.”
sudah sangat sering Mou berujar seperti itu untuk membungkam para
pengkritiknya.
Saat pertandingan leg kedua, babak semifinal Liga Champions
2009 lalu, Inter Milan, tim yang dilatih Mou ketika itu membuat frustasi
Barcelona dan seisi Camp Nou, tatkala Inter bermain dengan pertahanan berlipat
(setelah unggul 3-1 di leg pertama) yang sekaligus membuat Victor Valdes marah
melihat selebrasi The Special One di
akhir laga.
Hingga kini, tim-tim yang dilatih pria Portugal ini akrab
dengan permainan membosankan. Bahkan julukan sebagai tim parkir bis akan
melekat padanya, di klub manapun ia berada. Julukan ini disematkan karena
kebiasaan Mou yang terlalu bertahan dan hanya
mengandalkan serangan balik cepat. Bagi tim sebesar Chelsea, Inter Milan, Real
Madrid, dan kini Manchester United, dengan deretan pemain hebat, tentu ini
menjadi antitesis dari filosofi sepak
bola menyerang khas tim bertabur bintang itu sendiri.
Meski banyak yang mengkritik strategi ini, permainan pragmatis yang akrab
dengan menumpuk pemain di area sendiri ini sedikit banyak menjadi senjata
andalan beberapa klub yang semakin berhati-hati dalam melakoni laga maha
penting. Seperti final piala dunia 2014 lalu yang mempertemukan Jerman vs
Argentina.
Pada masa Maradona dan Franz Beckenbauer, laga kedua negara
berjalan sangat menarik. Jual beli serangan tak jarang membuat detak jantung
berpacu kencang. Tapi apa yang terjadi di Brazil tiga tahun lalu tentu menjadi
antiklimaks dengan apa yang terjadi pada medio 70-80an.
Padahal, kedua kesebelasan memiliki deretan nama yang tak
kalah kondang dari pendahulunya, seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, Kun
Aguero (Argentina), Thomas Muller, Mesut Ozil, Bastian Scweinsteiger (jerman),
yang seharusnya bisa membuat permainan kedua tim lebih hidup.
Final-final selanjutnya dari berbagai ajang pun berakhir
sama. Seperti tiga helatan terakhir Liga Champions yang berujung pada adu
pinalti dan perpanjangan waktu.Tak ada suguhan menarik selayaknya pertandingan
final. Berhati-hati dan menunggu lawan membuat kesalahan menjadi kunci
kemenangan. Kita para penonton pun kena imbasnya, dipaksa menunggu lebih lama hanya untuk menyaksikan satu gol
bersarang dijala lawan.
Permainan atraktif nan menghibur memang tidak melulu
menghasilkan banyak gol dan berujung kemenangan. Saling serang ke gawang lawan,
penyelamatan-penyelamatan penting kiper di mulut gawang menjadi tontonan amat
menarik kiranya, sekalipun tidak ada gol yang tercipta.
Tidak mungkin tidak, bahwa semakin banyak orang yang yakin
jika keindahan sepak bola semakin pudar tergerus zaman. Memang banyak yang
menerima pragmatisme sepak bola jika tim yang dibela meraih kemenangan, tetapi
tidak sedikit pula yang tidak senang, sekalipun timnya juga memenangkan
pertandingan.
Zdenek Zeman mungkin menjadi segelintir pelatih yang
beranggapan bahwa menyerang adalah pertahanan terbaik. Ia tak sungkan mengubah
formasi tim dari 3-5-2 klasik menjadi 2-3-5 yang menyerang total dan tak lazim
dipakai pelatih lainnya. Tak heran, dengan permainan seperti ini, AS Roma dan
Pescara menjadi tim paling produktif selama dilatih pria asal Republik Ceko
tersebut. Meski torehan ini berbanding lurus dengan catatan kebobolan mereka
yang tinggi.
Tapi, sekali lagi, sebosan apapun kita menyaksikan satu
pertandingan si kulit bundar, kita tetap saja tak bisa berpaling dari layar.
Bahwa di dalam hati ingin segera terlelap dan mata semakin sembab bukanlah jadi
soal. Karena semua akan kembali pada hakikat bola sebenarnya sebagai penghibur
pula pemersatu sesama.
Kekalahan, kemenangan, kebosanan, menyatu dalam satu kebahagian bernama sepak
bola. seburuk apapun sepak bola, sejengkel apapun kita dibuatnya, ia telah
membuat kita melupakan sejenak tekanan hidup yang sehari-hari kita rasakan.
Selebihnya kembali lagi ke kita, apakah tetap mencintai
sepak bola dengan semua kebosanan di atas lapangan, atau beralih ke cabang olah raga lain yang
menawarkan sensasi yang berbeda. Tapi menurut saya, kita akan rela begadang dan
kemudian tertidur pulas di tengah pertandingan hanya dihadapan sepak bola yang
membosankan, ketimbang olah raga lain yang lebih menghibur.