Musim
2014/2015 bisa dikatakan sebagai musim yang kelam bagi seorang Iker Casillas,
bukan sekedar nihil gelar bersama Real Madrid, tapi Casillas juga mendapat
cemoohan sepanjang musim dari Madridista karena permainannya yang dinilai jauh menurun dari beberapa tahun sebelumnya.
Sejatinya
perseoalan Casillas di Madrid sudah terjadi pada pertengahan musim 2012-2013
ketika dia mengalami cidera tangan yang memaksanya harus menepi selama 3 bulan
lamanya, suatu hal yang tak pernah dirasakan sebelumnya oleh saint Iker. Real Madrid, yang seperti
biasanya terus bersaing dengan Barcelona untuk menjadi yang terbaik di tanah
Matador tentu membutuhkan kiper jempolan untuk mengganti peran sepadan sang kapten, atau
setidaknya yang tidak jelek-jelek amatlah. Antonio Adan, penghuni cadangan
abadi Casillas di Madrid pun tak mampu berbuat apa-apa karena penampilannya
seakan termakan dengan hangatnya bangku cadangan el real. Tidak ingin banyak kebobolan, pelatih Madrid ketika itu,
Jose Mourinho pun mendatangkan Diego Lopez dari Villareal untuk mengganti sang
kiper utama di tim Galacticos tersebut. Penampilan apik yang ditunjukkan Lopez
di bawah mistar gawang membuat Mourinho senang bukan kepalang, juga membuat fans Real bisa bernafas lega.
Namun,
di situ lah semua awal permasalahan panjang bermula. Disaat Diego Lopez
sedang top-topnya di bawah mistar gawang, saat itu pula Casillas sembuh dari
cidera panjang. Mou yang dikenal saklek terhadap
sepak bola tak sekalipun meliriknya lagi di bangku cadangan, padahal ia sudah
sepenuhnya pulih dan siap kembali turun laga bersama skuat bintang lainnya.
Keputusan Mou saat itu pun menuai kecaman dikalangan Madridista karena menilai Casillas sebagai roh dan simbol club yang
bermarkas di Santiago Bernabeu tersebut.
Kepergian
Mourinho pada musim berikutnya seperti membawa angin segar bagi Iker yang
berharap mendapatkan tempatnya kembali di best
eleven Madrid di bawah Entrenador baru, Carlo Ancelotti. Tapi Don Carlo tak
mau begitu saja memberi tempat utama padanya dan menuntut ia untuk terus
bersaing bersama Diego Lopez, ditambah kenyataan bahwa Ancelotti yang tidak
terlalu menyukai penjaga gawang yang bertubuh kecil, membuat Casillas harus
berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan sang pelatih. Pelatih yang
sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kepelatihan bersama segudang
prestasi ini pun mencoba bersikap bijak dengan kedua kiper terbaiknya tersebut dengan memainkan Diego Lopez di ajang La Liga
dan menunjuk Iker Casillas sebagai pemimpin di Copa Del Rey dan Liga Champions.
Hasil eksperimen Don Carlo pun berbuah piala Copa dan Liga Champions yang
menempatkan Saint Iker sebagai pemain
terakhir didepan gawang.
Musim
lalu Real Madrid kembali kedatangan kiper anyar untuk menggantikan Diego Lopez
yang hijrah ke AC Milan. Keylor Navas, kiper Levante yang bermain cemerlang
pada piala dunia lalu didatangkan untuk menjadi kompetitor Casillas yang baru. Namun, penampilannya yang inkonsisten
membuat Ancelotti kembali menempatkan Casillas di pos gawangnya diseluruh ajang
yang diikuti el real ( kecuali Copa
Del Rey ). Kemudian, petaka lain pun
menghampiri sang kapten ketika penampilannya yang kembali menurun, ditambah berbagai
kesalahan yang ia buat yang membuat Los
Galacticos kehilangan beberapa poin penting.
Perbedaan
mencolok pun terjadi, ketika fans Real mencaci Jose Mourinho yang dengan tega
mencadangkannya dan setia mendukung Casillas, kini fans seolah menjilat
ludahnya sendiri ketika mereka menghujat Casillas habis-habisan karena beberapa
blunder yang ia lakukan. Sepanjang musim ia amat jarang mendapat dukungan fans
di Bernabeu, bahkan tidak ada. Alih-alih mendapat dukungan, Casillas malah
menerima olokan Madridista yang tak
terima dengan performa yang ditunjukkan santo
Iker. Sepanjang musim 2014-2015 berjalan, Casillas setia menemani gawang
Madrid dari serangan-serangan pemain lawan, namun disaat bersamaan fans pun tak
kalah setia menghinanya, baik tetika clubnya menang, apalagi jika kalah.
Kemarahan fans memuncak ketika Real Madrid tak mendapatkan trofi apa-apa
diakhir musim, tentu ini bukan karena kesalahan seorang Casillas saja,
melainkan kesalahan kolektif seluruh pemain.
Kemarahan
fans selama musim berjalan rupanya sejalan dengan kemarahan yang ditunjukkan si
empunya club, sang presiden, Florentino Perez yang melakukan reinkarnasi
kepemimpinan dalam tubuh tim ketika dia dengan lantang memecat Carlo Ancelotti,
pelatih yang berhasil membuat mimpi sang presiden untuk meraih La Decima menjadi nyata, dan tanpa
diduga oleh fans dan kita semua tentunya, “sang paduka” presiden pun melepas sang
kapten. “pemecatan” Casillas bagaikan Tsunami, tanpa
suara, bahkan tanpa gempa sebagai peringatan terjadinya musibah mematikan
tersebut. Tanpa belas kasih, apalagi terima kasih, el presidente mencampakkan Casillas begitu saja. Perez sepertinya
memang tak tahu cara berterima kasih pada orang lain, atau memang ia tak
pernah diajarkan cara mengucap terima kasih, tak mengerti pula ia akan arti loyalitas,
sehingga dengan senyum simpul khas di balik kacamata beningnya membuang
Casillas ke rimba bernama FC Porto.
Kejayaan
Real Madrid dengan La Decima sepintas buyar akibat bengisnya sikap Perez pada kaptennya.. Madridista yang selama ini mengambinghitamkan sang kapten pun tak
sampai hati melepas legendanya pergi, kekecewaan mereka selama ini kepada
Casillas bukan berarti mereka ingin sang kiper disingkirkan dari club,
apalagi disingkirkan secara tidak hormat. Fans hanya ingin club kesayangannya
menang, apapun ceritanya, siapa pun pemainnya, club harus menang, tanpa alasan,
tanpa kecuali.
Setelah
Iker Casillas tidak lagi mengabdi di ibu kota negara, Madridista sontak hening dalam tangis,
tangisan yang sudah tertahan lama akan teka-teki masa depan sang Iker pada
akhirnya benar-benar membanjiri Spanyol beserta isinya, kemuraman fans yang
gagal melihat tim kesayangan menggenggam piala semakin mengerutkan wajah
pendukungnya seantero dunia yang makin hari makin durjana ketika harus melihat
pangeran kecil dibawah mistarnya tak lagi menjaga kesucian gawang yang telah
setia ia temani 2 dekade lebih ini.
Fans yang selama ini mendewakan “paduka” Florentino Perez akhirnya kembali ke fitrahnya sebagai manusia biasa yang terketuk hatinya dan mengecam sang presiden. Mereka tepat berdiri sejajar di belakang Casillas sebagai bentuk dukungan pada icon club kesayangan. Sementara Perez duduk santai seorang diri dengan secangkir kopi hangat dan cerutu yang ia nikmati sambil mendengarkan musik sekencang-kencangnya tanpa mendengarkan keluh kesah Madridista, tidak sudi pula ia melihat, apalagi menghadiri konferensi pers Iker Casillas yang penuh derai air mata. Ia malah sibuk menghitung uangnya yang menyilaukan mata yang siap ditebar ke pemain-pemain bintang berikutnya, sekaligus berharap ratusan juta Euro yang dikeluarkan selanjutnya mampu menghapus dosanya di mata Madridista.
Fans yang selama ini mendewakan “paduka” Florentino Perez akhirnya kembali ke fitrahnya sebagai manusia biasa yang terketuk hatinya dan mengecam sang presiden. Mereka tepat berdiri sejajar di belakang Casillas sebagai bentuk dukungan pada icon club kesayangan. Sementara Perez duduk santai seorang diri dengan secangkir kopi hangat dan cerutu yang ia nikmati sambil mendengarkan musik sekencang-kencangnya tanpa mendengarkan keluh kesah Madridista, tidak sudi pula ia melihat, apalagi menghadiri konferensi pers Iker Casillas yang penuh derai air mata. Ia malah sibuk menghitung uangnya yang menyilaukan mata yang siap ditebar ke pemain-pemain bintang berikutnya, sekaligus berharap ratusan juta Euro yang dikeluarkan selanjutnya mampu menghapus dosanya di mata Madridista.
Iker
Casillas yang separuh hidupnya berkorban demi Real Madrid, baik ketika Madrid
di puncak prestasi atau bahkan ketika el
real berada di dasar jurang keterpurukan, harus menerima kenyataan bahwa dia
benar-benar sendiri ketika menyampaikan salam perpisahan. Tanpa fans, kolega,
direksi, apalagi Perez, sang Iker hanya bertemankan wartawan yang
selalu setia menerima keluh kesahnya. Jejeran kursi biru yang mengerumuni
Casillas pun kosong tanpa penghuni. Dalam gerutu dibenaknya, ia seorang diri
tatkala menghadapi pergolakan batin yang sebelumnya tiada pernah ia kira. Tak
ada tempat buat dia bersandar ketika ia kehabisan kata saat menggambarkan
suasana hatinya, tak ada satu nyawa pun di sampingnya yang setidaknya bisa
menenangkan dirinya ketika ia merasa emosional yang begitu dalam, tak ada pula yang
menyeka tangisnya ketika semua perasaannya tak lagi keluar dari mulut melainkan
dari matanya.
![]() |
Casillas saat jumpa pers terakhir |
Perjumpaan singkatnya bersama beberapa wartawan pun ditutup dengan sempurna lewat satu kalimat tegas, “saat ini saya hanya seorang Madridista dan akan selalu meneriakkan hala Madrid sepanjang hidup saya.” Cetusnya, yang sekejap memercikkan air mata sebagai tanda berakhirnya sebuah era. Tanpa kawan di sisi, tanpa tetua club di mana dia mengabdi, Casillas hanya menopang tangisan lewat kedua tangannya, yang bahkan itu pun tak sanggup menghentikan laju air mata yang semakin tak bisa menahan rintihan yang semakin perih. Seluruh pewarta berita juga tak mampu berbuat banyak untuk menahan “amarah” sang Iker, tapi setidaknya, mereka lah saksi sejarah, mereka orang pertama yang merasakan jeritan hati Iker ketika tak ada teman, tiada penanggung jawab club yang seharusnya menjadi tempat ia berbagi kegelisahan hati yang semakin tinggi.
Kebersamaan
Casillas bersama Los Galacticos pun tak hanya berakhir di dunia nyata,
melainkan juga di dunia maya. Tak berselang lama setelah Iker mengakhiri
konferensi pers tunggalnya, pihak club pun menyudahi pertemanan mereka di media sosial, tepatnya melalui akun twitter club yang seketika meng-unfollow sang
legenda. Sebuah hal yang seharusnya tak perlu dilakukan, bahkan
terkesan lucu, alay, dan memalukan. Club sekelas, sebesar, setenar,
sekaya Real Madrid nyatanya telah membuka tabir buruknya sendiri di balik presiden yang maha agung itu. Mereka telah mengotori segala yang mereka
punya dengan menodai kesucian seorang Iker Casillas. Tak ada perpisahan, tanpa
perwakilan, tiada permohonan maaf, mereka melepas kiper legendarisnya begitu
saja, melihat sang legenda mengangkat kopernya dari kejauhan berlapiskan
ruangan sejuk nan nyaman tanpa lambaian tangan perpisahan.
Disaat
bersamaan, Madridista meramaikan pusat kota yang digunakan sebagai
tempat menyuarakan hati nuraninya, tentu mereka tidak meminta kipernya kembali. Hanya satu tujuan mereka, yakni
meminta sang presiden turun dari singgasana dan tak ada lagi pemain pujaan yang
bernasib sama seperti Iker Casillas.
Perez
telah terang-terangan membuka mata kita bahwa sebesar apapun uang yang ia
keluarkan, nyatanya tak mampu menggelapkan mata hati pendukung Real Madrid, begitu
pula dengan fans Madrid yang telah mengajarkan kita bahwa sekeras apapun mereka mengkritik pemain saat bermain buruk, mereka tetap punya sisi
kemanusiaan yang tak bisa dibayar dengan apapun ketika si pemain tak
diperlakukan dengan layak. Sebagai catatan, selama era Florentino Perez hanya
Zinedine Zidane yang mengakhiri karirnya di Bernabeu. Sementara legenda semacam
Fernando Hierro, Luis Figo, Fernando Redondo, Michael Salgado, Vicente Del
Bosque, dan tentu sang pangeran Raul Gonzalez hilang tak berbekas dimata sang
preseiden.
Apapun
itu, Casillas telah menyatukan banyak supporter di dunia yang takjub akan nasib
malang di penghujung karir panjangnya. Karena dia juga telah menjadi contoh
teladan yang diajarkan bagi semua insan sepak bola baik di dalam ataupun di luar
lapangan.