Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu , dalam rangka
memperingati Hari Film Nasional, Ridho Arbain merangkum beberapa film Indonesia
terbaik versinya. Dari sekian film, hanya beberapa yang saya tahu, selebihnya
saya tidak mengetahui beberapa film lainnya.
Tulisan ini bukan semata-mata untuk meramaikan Hari Film
Nasional yang dirayakan kemarin, tulisan ini hanya untuk melengkapi rangkuman
terbaik film Indonesia yang dipublikasikan oleh Ridho Arbain kemarin. Jadi maafkan, jika tulisan ini tidak diawali
narasi yang panjang.
Mungkin Ridho lupa beberapa film – yang saya bilang –
terbaik yang luput dari pengamatannya. Entah karena dia belum nonton, atau memang
kurang mengena di hatinya. Tapi saya rasa, film-film berikut bisa membuat kita
sejenak melupakan kedigdayaan hollywood di bioskop tanah air.
![]() |
sumber: muvila.com |
Tiga Hati, Dua Dunia,
Satu Cinta
Mungkin kita lupa jika karir Reza Rahadian bisa laku seperti
sekarang berkat film drama keluarga ini. Film dengan alur cerita sederhana
namun memiliki makna yang mendalam ini menjadi salah satu film yang wajib
kalian saksikan. Saya yakin banyak yang dari kalian sudah menonton Tiga Hati
Dua Dunia Satu Cinta, mengingat film garapan Benni Setiawan ini dirilis 2010
lalu dan sudah berulang kali ditayangkan di televisi.
Film ini mengisahkan hubungan antara Reza rahadian (Rosid)
dan Laura Basuki (Delia) yang terhalang tembok besar tepat dihadapan mereka.
Yap, agama. Rosid adalah seorang muslim idealis yang tak ingin masalah agama
menjadi pembatas setiap gerak-geriknya, terlebih Rosid adalah penggila sastra
dan terobsesi oleh WS Rendra.
Sementara Delia, seorang gadis cantik nan mempesona yang
jatuh hati pada Rosid. Permasalahan pun datang silih berganti, mengingat Delia
seorang Katolik yang berasal dari keluarga serba berkecukupan. Mereka sadar
dengan semua konsekuensi dari hubungannya.
Film ini menjadi satu dari sedikit film yang mengangkat
kisah cinta beda agama, beda budaya, beda strata sosial, yang kemudian dikemas
menjadi film yang sangat manis untuk ditonton. Ada kalanya kita dibuat mendayu
oleh hubungan Rosid dan Delia yang mengindahkan semua perbedaan yang begitu
mendasar. Namun tak jarang pula kita berpeluh lara melihat perjuangan keduanya
mempertahankan cinta di balik tembok raksasa yang menghadang.
Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta semakin menunjukkan
kualitasnya ketika pada akhir cerita mereka tetap tidak bersama, kendati kedua
keluarga sudah saling menerima. “sebenarnya
kita masih bisa sama-sama ya. Tapi kalo kita terusin, pasti banyak yang terluka
ya. Buat apa bahagia kalo banyak yang nagis,” tegas Delia dalam sebuah
percakapan dengan Rosid. Kisah cinta penuh perjuangan yang menguras hati dan
air mata memang tidak selalu berakhir bersama.
Republik Twitter
Apa yang terjadi sekarang-sekarang ini di dunia maya sudah
terekam jelas dalam film bertajuk Republik Twitter pada 2012 lalu. Memasuki era
digital, apa-apa yang terjadi dikehidupan sehari-hari membuat kita berkewajiban
untuk menyebarkannya di dunia maya, terutama Twitter. Ini pula yang membawa
Sukmo (Abimana) dan Hanum (Laura Basuki) merajut cerita.
Perkenalan keduanya lewat jejaring berlambang burung
tersebut telah membawa Sukmo berangkat ke Jakarta untuk menyusul pujaan
hatinya. Apa yang diharapkan Sukmo memang tak berjalan mulus, tapi ia membuka
jalan lain sebagai buzzer salah
seorang bakal calon gubernur ibukota. Berbekal kemahiran dan ketelitiannya
mengelola twitter, Sukmo bersama rekan lainnya dibayar oleh seorang pejabat
untuk mempromosikan salah satu sosok untuk meningkatkan popularitas orang
tersebut. Meskipun sosoknya tidak
pernah menampakkan jati diri dihadapan publik, tapi namanya kadung terkenal di
twitter, berkat publisitas yang dilakukan Sukmo dan teman-temannya.
Ini pula yang membuat Sukmo kembali mendapat simpati Hanum,
yang bekerja di salah satu media ibukota. Apa yang dilakukan Sukmo di balik
akun-akun twitter yang ia kelola menjadi titik balik karir Hanum yang sempat
berpikir untuk berhenti kerja.
Hingga kini, kekuatan twitter dan media sosial (pada umumnya)
cukup ampuh membentuk opini publik. Ratusan buzzer,
baik yang bertuan ataupun tidak, telah ikut membawa pengguna media sosial
terbelah menjadi dua, dan telah menghasilkan cukup banyak penghujat, juga
penjilat.
Filosofi Kopi
Ada berapa banyak kedai kopi di Jabodetabek sebelum Filosofi
Kopi mengudara di bioskop? Sila bandingkan dengan berapa banyak keberadaan
kedai kopi pasca beredarnya film Filosofi Kopi! Alur cerita film ini mungkin
memang sederhana, tapi jika kita melihat lebih dalam, film ini menawarkan kita
sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya, yaitu kopi. Filosofi Kopi telah merubah paradigma masyarakat luas
tentang kopi, bahwa kopi tidak hanya melulu perihal warkop (warung kopi) atau
kebesaran Starbuck. Tapi juga tentang bagaimana cara membuat, mengolah,
menanam, dan bagaimana cara menghasilkan sajian yang nikmat.
Filosofi Kopi juga telah menghasilkan dampak yang sangat
massif terhadap pertumbuhan kedai-kedai kopi yang otentik dan memiliki
signature nya masing-masing. Film yang mengharuskan Chiko Jerikko sekolah
barista untuk mendalami perannya sebagai Ben, si barista flamboyan ini juga
membuka mata kita, bahwa kopi, seenak apapun itu, akan berbeda rasanya jika dibuat
oleh orang yang berbeda, sekalipun jenis kopi yang dibuat sama.
Cahaya Dari Timur
Ke-lupa-an Mas Ridho yang cukup fatal menurut saya adalah
mengindahkan film garapan Angga Dwimas Sasongko ini. Film yang berangkat dari
kisah nyata ini telah membuka mata kita bagaimana Ramdani Lestaluhu, Alfin
Tuassalamony, Hendra Adi Bayaw, dan pemain lainnya semasa kecil, ketika perang
masih berkecamuk di Maluku. banyak dari mereka yang kehilangan orang tua atau
saudara akibat perang, yang kemudian turut serta membentuk pandangan mereka
bahwa perang adalah jalan terbaik untuk balas dendam.
Kemudian Sani Tawainela (Chiko Jerikko) hadir membawa
harapan, membawa jalan terang bagi anak-anak di Tulehu, lewat sepak bola.
bersama temannya, Raffi, niat awal Sani yang ingin menjadikan sepak bola
sebagai pelarian anak-anak dari perang justru membuka jalan baru mereka semua
ketika Sani dan Raffi memutuskan membentuk Sekolah Sepak Bola (SSB).
Kehidupan Sani yang serba pas-pasan membuat ia dirundung
dilema saat dihadapkan kewajibannya sebagai seorang suami pula seorang ayah,
dan kewajibannya sebagai pelatih panutan anak-anak Tulehu yang bermain bola
karenanya. Konflik juga tidak hanya terjadi antara Sani dan Haspa (istrinya)
tetapi juga antara Sani dan Raffi, yang sekaligus membuat pemain SSB Tulehu
Putra terbelah.
Seperti yang kita ketahui bersama, kerusuhan Maluku dipicu
oleh sensitifitas agama. Agama juga menjadi masalah baru bagi Sani ketika
melebur tim Tulehu Putera dan SMP Passo menjadi satu untuk mewakili Maluku di
turnamen tingkat nasional di jakarta. Tugas Sani selanjutnya pun tidak hanya
tentang strategi permainan, tapi juga menyatukan visi pemain dan merubah
paradigma anak asuhnya yang berbeda keyakinan bahwa mereka bukanlah Tulehu,
bukan pula passo. Tapi mereka semua Maluku.
Seperti karya seni lainnya, film juga menimbulkan kesan yang
berbeda-beda dari penontonnya, tergantung selera dari masing-masing
individunya, karena semua orang memiliki pendapat yang berbeda. Jadi wajar
kiranya jika Rido Arbain tidak mencantumkan film-film di atas karena berbedanya
selera saya dan dia dalam menilai sebuah karya.