Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Maret 2017

Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu , dalam rangka memperingati Hari Film Nasional, Ridho Arbain merangkum beberapa film Indonesia terbaik versinya. Dari sekian film, hanya beberapa yang saya tahu, selebihnya saya tidak mengetahui beberapa film lainnya.

Tulisan ini bukan semata-mata untuk meramaikan Hari Film Nasional yang dirayakan kemarin, tulisan ini hanya untuk melengkapi rangkuman terbaik film Indonesia yang dipublikasikan oleh Ridho Arbain kemarin.  Jadi maafkan, jika tulisan ini tidak diawali narasi yang panjang.

Mungkin Ridho lupa beberapa film – yang saya bilang – terbaik yang luput dari pengamatannya. Entah karena dia belum nonton, atau memang kurang mengena di hatinya. Tapi saya rasa, film-film berikut bisa membuat kita sejenak melupakan kedigdayaan hollywood di bioskop tanah air.
sumber: muvila.com
Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta
Mungkin kita lupa jika karir Reza Rahadian bisa laku seperti sekarang berkat film drama keluarga ini. Film dengan alur cerita sederhana namun memiliki makna yang mendalam ini menjadi salah satu film yang wajib kalian saksikan. Saya yakin banyak yang dari kalian sudah menonton Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta, mengingat film garapan Benni Setiawan ini dirilis 2010 lalu dan sudah berulang kali ditayangkan di televisi.

Film ini mengisahkan hubungan antara Reza rahadian (Rosid) dan Laura Basuki (Delia) yang terhalang tembok besar tepat dihadapan mereka. Yap, agama. Rosid adalah seorang muslim idealis yang tak ingin masalah agama menjadi pembatas setiap gerak-geriknya, terlebih Rosid adalah penggila sastra dan terobsesi oleh WS Rendra.

Sementara Delia, seorang gadis cantik nan mempesona yang jatuh hati pada Rosid. Permasalahan pun datang silih berganti, mengingat Delia seorang Katolik yang berasal dari keluarga serba berkecukupan. Mereka sadar dengan semua konsekuensi dari hubungannya.

Film ini menjadi satu dari sedikit film yang mengangkat kisah cinta beda agama, beda budaya, beda strata sosial, yang kemudian dikemas menjadi film yang sangat manis untuk ditonton. Ada kalanya kita dibuat mendayu oleh hubungan Rosid dan Delia yang mengindahkan semua perbedaan yang begitu mendasar. Namun tak jarang pula kita berpeluh lara melihat perjuangan keduanya mempertahankan cinta di balik tembok raksasa yang menghadang.

Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta semakin menunjukkan kualitasnya ketika pada akhir cerita mereka tetap tidak bersama, kendati kedua keluarga sudah saling menerima. “sebenarnya kita masih bisa sama-sama ya. Tapi kalo kita terusin, pasti banyak yang terluka ya. Buat apa bahagia kalo banyak yang nagis,” tegas Delia dalam sebuah percakapan dengan Rosid. Kisah cinta penuh perjuangan yang menguras hati dan air mata memang tidak selalu berakhir bersama.

Republik Twitter
Apa yang terjadi sekarang-sekarang ini di dunia maya sudah terekam jelas dalam film bertajuk Republik Twitter pada 2012 lalu. Memasuki era digital, apa-apa yang terjadi dikehidupan sehari-hari membuat kita berkewajiban untuk menyebarkannya di dunia maya, terutama Twitter. Ini pula yang membawa Sukmo (Abimana) dan Hanum (Laura Basuki) merajut cerita.

Perkenalan keduanya lewat jejaring berlambang burung tersebut telah membawa Sukmo berangkat ke Jakarta untuk menyusul pujaan hatinya. Apa yang diharapkan Sukmo memang tak berjalan mulus, tapi ia membuka jalan lain sebagai buzzer salah seorang bakal calon gubernur ibukota. Berbekal kemahiran dan ketelitiannya mengelola twitter, Sukmo bersama rekan lainnya dibayar oleh seorang pejabat untuk mempromosikan salah satu sosok untuk meningkatkan popularitas orang tersebut. Meskipun sosoknya tidak pernah menampakkan jati diri dihadapan publik, tapi namanya kadung terkenal di twitter, berkat publisitas yang dilakukan Sukmo dan teman-temannya.

Ini pula yang membuat Sukmo kembali mendapat simpati Hanum, yang bekerja di salah satu media ibukota. Apa yang dilakukan Sukmo di balik akun-akun twitter yang ia kelola menjadi titik balik karir Hanum yang sempat berpikir untuk berhenti kerja.

Hingga kini, kekuatan twitter dan media sosial (pada umumnya) cukup ampuh membentuk opini publik. Ratusan buzzer, baik yang bertuan ataupun tidak, telah ikut membawa pengguna media sosial terbelah menjadi dua, dan telah menghasilkan cukup banyak penghujat, juga penjilat.

Filosofi Kopi
Ada berapa banyak kedai kopi di Jabodetabek sebelum Filosofi Kopi mengudara di bioskop? Sila bandingkan dengan berapa banyak keberadaan kedai kopi pasca beredarnya film Filosofi Kopi! Alur cerita film ini mungkin memang sederhana, tapi jika kita melihat lebih dalam, film ini menawarkan kita sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya, yaitu kopi. Filosofi Kopi  telah merubah paradigma masyarakat luas tentang kopi, bahwa kopi tidak hanya melulu perihal warkop (warung kopi) atau kebesaran Starbuck. Tapi juga tentang bagaimana cara membuat, mengolah, menanam, dan bagaimana cara menghasilkan sajian yang nikmat.

Filosofi Kopi juga telah menghasilkan dampak yang sangat massif terhadap pertumbuhan kedai-kedai kopi yang otentik dan memiliki signature nya masing-masing. Film yang mengharuskan Chiko Jerikko sekolah barista untuk mendalami perannya sebagai Ben, si barista flamboyan ini juga membuka mata kita, bahwa kopi, seenak apapun itu, akan berbeda rasanya jika dibuat oleh orang yang berbeda, sekalipun jenis kopi yang dibuat sama.

Cahaya Dari Timur
Ke-lupa-an Mas Ridho yang cukup fatal menurut saya adalah mengindahkan film garapan Angga Dwimas Sasongko ini. Film yang berangkat dari kisah nyata ini telah membuka mata kita bagaimana Ramdani Lestaluhu, Alfin Tuassalamony, Hendra Adi Bayaw, dan pemain lainnya semasa kecil, ketika perang masih berkecamuk di Maluku. banyak dari mereka yang kehilangan orang tua atau saudara akibat perang, yang kemudian turut serta membentuk pandangan mereka bahwa perang adalah jalan terbaik untuk balas dendam.

Kemudian Sani Tawainela (Chiko Jerikko) hadir membawa harapan, membawa jalan terang bagi anak-anak di Tulehu, lewat sepak bola. bersama temannya, Raffi, niat awal Sani yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pelarian anak-anak dari perang justru membuka jalan baru mereka semua ketika Sani dan Raffi memutuskan membentuk Sekolah Sepak Bola (SSB).

Kehidupan Sani yang serba pas-pasan membuat ia dirundung dilema saat dihadapkan kewajibannya sebagai seorang suami pula seorang ayah, dan kewajibannya sebagai pelatih panutan anak-anak Tulehu yang bermain bola karenanya. Konflik juga tidak hanya terjadi antara Sani dan Haspa (istrinya) tetapi juga antara Sani dan Raffi, yang sekaligus membuat pemain SSB Tulehu Putra terbelah.

Seperti yang kita ketahui bersama, kerusuhan Maluku dipicu oleh sensitifitas agama. Agama juga menjadi masalah baru bagi Sani ketika melebur tim Tulehu Putera dan SMP Passo menjadi satu untuk mewakili Maluku di turnamen tingkat nasional di jakarta. Tugas Sani selanjutnya pun tidak hanya tentang strategi permainan, tapi juga menyatukan visi pemain dan merubah paradigma anak asuhnya yang berbeda keyakinan bahwa mereka bukanlah Tulehu, bukan pula passo. Tapi mereka semua Maluku.

Seperti karya seni lainnya, film juga menimbulkan kesan yang berbeda-beda dari penontonnya, tergantung selera dari masing-masing individunya, karena semua orang memiliki pendapat yang berbeda. Jadi wajar kiranya jika Rido Arbain tidak mencantumkan film-film di atas karena berbedanya selera saya dan dia dalam menilai sebuah karya.


Senin, 13 Maret 2017

Antiklimaks terjadi minggu kemarin, ketika kedigdayaan Pusamania Borneo FC (PBFC) di Jalak Harupat tak tersisa di Stadion Pakansari, Cibinong. Tanpa ampun, Arema Malang melumat klub asal Samarinda itu dengan lima gol dan hanya berbalas satu.

Mari kita tinggalkan jalannya pertandingan yang membuat nama Christian Gonzales patut dikenang, dan mengalihkan perhatian pada satu sosok yang juga harus kita kenang, tak lain dan tak bukan, ia adalah pelatih PBFC, Ricky Nelson namanya.

Sebagai olahraga yang semakin menunjukkan identitas maskulin dalam setiap gerak-gerik para pelakunya, sepak bola tak hanya terus berkembang dalam segi permainannya saja, namun perkembangan zaman juga turut serta mengubah paradigma pelatih-pelatih untuk – setidaknya – berpenampilan lebih rapi agar sedap dipandang mata.

Jas adalah salah satu upaya mereka untuk menunjukkan ke-maskulin-an nya dan menjadi cara tak langsung agar mereka merasa lebih dihormati. Tentu bukan pemain yang sedang berlari merebut bola yang mengenakan setelan jas lengkap, melainkan para peramu taktik di pinggir lapangan yang 90 menit mengamati jalannya pertandingan.

Di belahan Eropa dan Amerika, sudah cukup lazim kita menemukan pelatih yang mengenakan jas saat tim nya berlaga. Ada beberapa hal yang membuat mereka selalu memakai jas selama pertandingan berlangsung, seperti budaya dan cuaca.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sebuah negara beriklim tropis, yang rasa-rasanya dapat menguras keringat jika seorang pelatih memakai jas dipinggir lapangan. Namun, fakta tersebut bukan penghalang bagi Ricky Nelson yang baru-baru ini menjadi buah bibir. Bukan hanya karena berhasil mengantar Pesut Mahakam ke partai final Piala Presiden, tetapi juga karena jas yang selalu ia kenakan saat mendampingi anak asuhnya berlaga.

Ricky bukanlah orang bule yang membawa budaya memakai jas dipinggir lapangan ke Indonesia. Ia seorang Indonesia tulen asal Kupang yang memecah ketabuan pemakaian jas di sepak bola tanah air. Bukan tanpa alasan memang jika banyak pelatih di Indonesia, baik yang pribumi maupun yang berasal dari mancanegara tidak memakai jas selayaknya liga-liga di Eropa.

Suhu Indonesia yang rata-rata berkisar 22-35 derajat celcius tampaknya menjadi alasan masuk akal bagi para pelatih asing untuk menanggalkan jas di lemari pakaiannya. Tentu mereka tak ingin mandi keringat hanya gara-gara berdiri di pinggir lapangan.
sumber: bolaindo.com
Seperti yang dilakukan Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara FC yang enggan memakai jas selama berkarir di nusantara. Seperti kita ketahui bersama, mantan pelatih Mitra Kukar ini kerap mengenakan setelan jas kala membesut tim nasional Filipina di ajang piala AFF 2010 lalu. Saat mendampingi The Azkal (julukan Filipina) bermain di Gelora Bung Karno pun, pelatih yang memenuhi tubuhnya dengan tatoo ini bergaya parlente dengan setelan jas yang biasa ia pakai.

Panasnya iklim tropis Indonesia tentu menjadi alasan kuat pelatih asal Inggris ini untuk berpenampilan lebih casual di pinggir lapangan. Atau bule-bule lain yang menukangi klub-klub Indonesia, seperti Robert Rene Albert (PSM Makasar), dan Hans Peter Schaller (Bali United) yang memang terbiasa dengan udara dingin ala Eropa.

Serupa dengan kenyataan, tidak semua pelatih di liga-liga Eropa dan Amerika yang berpenampilan parlente kala mendampingi timnya bertanding, hal demikian juga terjadi di Indonesia, bahwa tidak semua pelatih bergaya casual saat berada di pinggir lapangan. Dan Ricky Nelson menjadi salah satu diantara sedikit pelatih yang tidak berpenampilan casual tersebut.

Kebiasaan Ricky memakai jas bukan baru dilakukan satu, dua tahun ini, melainkan sudah bertahun-tahun sejak ia masih menukangi tim junior Villa 2000. Tanpa memedulikan cuaca panas dan terik matahari, jas hitam, lengkap dengan dasi yang melingkar, tetap ia pakai. Semua ini dilakukan Ricky demi menghargai profesinya sebagai pelatih sepak bola.

Seperti yang dilansir CNNIndonesia.com, ia mengatakan bahwa ini bentuk respek terhadap semua pelaku sepak bola. Berpakaian rapi, terutama mengenakan jas formal adalah bagian penting dari itu. “Bagaimana menurut anda ketika pelatih protes ke wasit, meskipun dengan maksud yang baik, tapi cuma pakai celana pendek dan topi terbalik? Bagi saya, itu sudah mengurangi respek pada wasit,” lanjut Ricky.

Tidak hanya Ricky, kini pelatih-pelatih muda lainnya juga mulai mengikuti jejak pria yang pada tanggal 5 Maret lalu genap berusia 37 tahun tersebut. Meski hanya memakai kemeja formal dan celana panjang, tapi Nil Maizar, Djajang Nurjaman,  dan Aji Santoso sedikit banyak telah mengubah wajah sepak bola Indonesia.

Meski begitu, tak sedikit pula yang mencibir gaya berpakaian Ricky dan berpendapat bahwa ia memakai jas tidak pada tempatnya, apalagi jika pertandingan diadakan pada siang hari. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa maksud Ricky memakai jas hanya untuk gaya-gayaan semata agar tampak seperti pelatih-pelatih top Eropa kebanyakan.

Cibiran serta hinaan bukanlah hal yang perlu dianggap serius olehnya. Bahkan ia menambahkan, salah satu hal penting yang mengukuhkan prinsip berpakainnya adalah studi banding yang ia lakukan di Jerman 2012 lalu, yang menunjukkan beberapa aspek psikologis yang bisa mempengaruhi bagi siapa saja yang mengenakan pakaian formal.

Kini, jas tidak hanya menjadi bagian dari budaya bangsa Eropa, atau untuk menjaga kehangatan saja, tapi sudah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, termasuk sepak bola yang mampu menunjukkan respek antar sesamanya.



Senin, 27 Februari 2017

Sebagai warga pinggiran Jakarta yang telah menetap hampir 10 tahun lamanya, terima atau tidak, hal ini telah membuat saya secara otomatis mengikuti langkah Persija Jakarta di kompetisi sepak bola Indonesia. Walaupun bukan penduduk asli Jakarta, mendukung Persija dirasa perlu untuk saya lakukan karena Macan Kemayoran masih bermain di liga tertinggi Indonesia. Agak tidak mungkin rasanya jika saya tetap mendukung Persiraja Banda Aceh yang kini entah di mana rimbanya.

Sebagai Jak Mania karbitan, saya tentu prihatin dengan keadaan Persija beberapa tahun belakangan. Performa tim yang buruk, pula manajemen yang tidak becus mengurus tim telah membuat Persija semakin jauh tertinggal dari lawan klasiknya, seperti Persib Bandung dan Arema Malang. Status sebagai tim ibukota tak berbanding lurus dengan capaian mereka selama ini. Jangankan berprestasi di atas lapangan, membayar gaji pemain saja manajemen masih keteteran.

Seperti kebanyakan tim-tim di Indonesia, kemunduran Persija disebabkan oleh pencabutan dana APBD yang selama ini menjadi sumber uang Persija. Hal ini membuat manajemen harus memutar otak untuk mencari dana segar melalui sponsorship. Celakanya, manuver manajemen macan kemayoran untuk mencari sponsor masih jalan di tempat. Ini bisa kita lihat bagaimana kondisi Persija sekarang yang hanya dihuni oleh pemain muda nir pengalaman, tidak seperti Persija yang dulu kita kenal yang penuh pemain bintang. Hal lain yang mencolok dari Persija adalah kosongnya Jersey mereka dari brand-brand sponsor. Padahal, sekali lagi, mereka tim ibukota.
sumber: fourfourtwo.com
Ini tentu bertolak belakang dengan Persib Bandung yang jersey nya selalu disesaki brand besar. Bahkan 2 musim lalu, Persib harus membagi 2 jersey mereka (saat bermain di AFC Cup dan Liga Super Indonesia) agar semua brand bisa tampak di dada, depan dan belakang, lengan kanan, lengan kiri.

Bukan hanya kalah pamor dari Persib, Persija juga kian tertinggal dari “saudara jauhnya” Arema Malang yang terus mendapat dana baru dari sponsor yang bekerja sama dengan mereka. Dalam mengarungi musim ini saja, Singo Edan sudah kebanjiran brand anyar yang kian membanjiri jubah birunya dengan “iklan”.

Tentu bukan hanya 2 club ini yang sudah mendahului Persija dalam urusan bisnis komersil. Persipura Jayapura, Mitra Kukar, bahkan club baru seperti Bali United dan Bhayangkara FC jauh lebih sehat keuangannya dibanding Persija Jakarta. Sehatnya keuangan beberapa tim di atas juga berbanding lurus dengan performa mereka di atas lapangan dan menjadi garansi pemain bintang agar mau dipinang.

Berkebalikan dengan beberapa tim tersebut, keadaan Persija yang apa adanya – juga – berbanding lurus dengan performa mereka dan kualitas pemain yang dimiliki. Di ajang ISC lalu saja, macan kemayoran hanya mampu duduk di peringkat 14 klasemen akhir. Sekalipun mereka memulangkan Greg Nwokolo dan Emanuel Pacho Kemogne ke ibukota, permainan tim asuhan Zein Alhadad tidak juga membaik sepanjang kompetisi.

Jelang digulirkannya Liga 1 Indonesia, dan telah tersingkirnya mereka dari ajang pramusim bertajuk piala presiden, Persija dituntut untuk terus melakukan pembenahan. Mereka berhasil mendatangkan bek muda potensial, Ryuji Utomo dari Arema dan menyeleksi beberapa pemain luar negeri untuk melengkapi slot pemain asing. Tapi lagi-lagi, pergerakan mereka di bursa transfer masih jalan di tempat karena terkedala tuntutan gaji pemain incaran.

Keberadaan Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan tentu menjadi pertanda bahwa Persija memang tak memiliki pilihan lain selain mempertahankan pemain yang kian dimakan usia. Masalah lain yang tak kalah penting tentu saja kandang Persija. Jakarta, terlebih lagi Jabodetabek memiliki beberapa stadion berstandar internasional, seperti stadion Patriot di Bekasi, Pakansari di Cibinong, dan tentu saja Gelora Bung Karno di Senayan. Tapi Persija selalu terusir dari rumahnya sendiri. Sejak tak lagi menempati stadion Lebak Bulus sebagai home base beberapa tahun lalu, Macan kemayoran mulai akrab sebagai tim musafir selama beberapa musim. Tak jarang Jak Mania harus rela pindah kandang ke Manahan Solo, Gelora Delta Sidoarjo, atau Mangguharjo di Sleman untuk mendukung tim pujaan. Rencana manajemen yang ingin menggunakan stadion Patriot Bekasi pun masih simpang siur kejelasannya karena pengelola stadion meminta mahar sewa lapangan yang tidak kecil nominalnya.

Persija Jakarta. Mungkin hanya mereka club ibukota yang melarat dari semua aspek sepak bola. Seburuk-buruknya performa Hertha Berlin di Bundesliga, mereka masih bisa mendatangkan banyak sponsor dan tak perlu minggat dari Olympiade stadion Berlin. Atau bagaimana keterpurukan negara Yunani yang tidak berdampak banyak pada club ibukota, AEK Athena yang sempat dirundung masalah finansial tapi tetap bertengker di 5 besar liga.


Memang tidak semua tim ibukota berada di papan atas. Tapi tentu saja, apa yang terjadi pada Persija Jakarta, pemegang 1 gelar juara ( sejak era liga), club dengan sejarah panjang, pencetak pemain masa depan Indonesia dan memiliki basis suporter yang luar biasa setia, keadaan sekarang ini tentu menjadi dosa besar yang harus ditebus dengan satu perubahan besar dari semua elemen Persija Jakarta.