Antiklimaks terjadi minggu kemarin, ketika kedigdayaan
Pusamania Borneo FC (PBFC) di Jalak Harupat tak tersisa di Stadion Pakansari,
Cibinong. Tanpa ampun, Arema Malang melumat klub asal Samarinda itu dengan lima
gol dan hanya berbalas satu.
Mari kita tinggalkan jalannya pertandingan yang membuat nama
Christian Gonzales patut dikenang, dan mengalihkan perhatian pada satu sosok yang juga harus kita kenang, tak lain dan tak bukan, ia adalah pelatih PBFC, Ricky
Nelson namanya.
Sebagai olahraga yang semakin menunjukkan identitas maskulin
dalam setiap gerak-gerik para pelakunya, sepak bola tak hanya terus berkembang
dalam segi permainannya saja, namun perkembangan zaman juga turut serta mengubah paradigma
pelatih-pelatih untuk – setidaknya – berpenampilan lebih rapi agar sedap
dipandang mata.
Jas adalah salah satu
upaya mereka untuk menunjukkan ke-maskulin-an nya dan menjadi cara tak langsung
agar mereka merasa lebih dihormati. Tentu bukan pemain yang sedang berlari
merebut bola yang mengenakan setelan jas lengkap, melainkan para peramu taktik
di pinggir lapangan yang 90 menit mengamati jalannya pertandingan.
Di belahan Eropa dan Amerika, sudah cukup lazim kita menemukan
pelatih yang mengenakan jas saat tim nya berlaga. Ada beberapa hal yang membuat
mereka selalu memakai jas selama pertandingan berlangsung, seperti budaya dan
cuaca.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sebuah negara beriklim tropis, yang rasa-rasanya dapat menguras keringat jika seorang pelatih
memakai jas dipinggir lapangan. Namun, fakta tersebut bukan penghalang bagi
Ricky Nelson yang baru-baru ini menjadi buah bibir. Bukan hanya karena
berhasil mengantar Pesut Mahakam ke partai final Piala Presiden,
tetapi juga karena jas yang selalu ia kenakan saat mendampingi anak asuhnya
berlaga.
Ricky bukanlah orang bule
yang membawa budaya memakai jas dipinggir lapangan ke Indonesia. Ia seorang
Indonesia tulen asal Kupang yang memecah ketabuan pemakaian jas di sepak bola
tanah air. Bukan tanpa alasan memang jika banyak pelatih di Indonesia, baik
yang pribumi maupun yang berasal dari mancanegara tidak memakai jas selayaknya
liga-liga di Eropa.
Suhu Indonesia yang rata-rata berkisar 22-35 derajat celcius tampaknya menjadi alasan masuk akal bagi para pelatih asing untuk menanggalkan jas di lemari pakaiannya. Tentu mereka tak ingin mandi keringat hanya gara-gara berdiri di pinggir lapangan.
![]() |
sumber: bolaindo.com |
Seperti yang dilakukan Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara
FC yang enggan memakai jas selama berkarir di nusantara. Seperti kita ketahui
bersama, mantan pelatih Mitra Kukar ini kerap mengenakan setelan jas kala
membesut tim nasional Filipina di ajang piala AFF 2010 lalu. Saat mendampingi The Azkal (julukan Filipina) bermain di Gelora Bung Karno pun, pelatih yang memenuhi tubuhnya dengan tatoo ini bergaya parlente dengan setelan jas yang biasa ia pakai.
Panasnya iklim tropis Indonesia tentu menjadi alasan kuat
pelatih asal Inggris ini untuk berpenampilan lebih casual di pinggir lapangan. Atau bule-bule lain yang menukangi
klub-klub Indonesia, seperti Robert Rene Albert (PSM Makasar), dan Hans Peter
Schaller (Bali United) yang memang terbiasa dengan udara dingin ala Eropa.
Serupa dengan kenyataan, tidak semua pelatih di liga-liga
Eropa dan Amerika yang berpenampilan parlente kala mendampingi timnya
bertanding, hal demikian juga terjadi di Indonesia, bahwa tidak semua pelatih
bergaya casual saat berada di pinggir
lapangan. Dan Ricky Nelson menjadi salah satu diantara sedikit pelatih yang
tidak berpenampilan casual tersebut.
Kebiasaan Ricky memakai jas bukan baru dilakukan satu, dua
tahun ini, melainkan sudah bertahun-tahun sejak ia masih menukangi tim junior
Villa 2000. Tanpa memedulikan cuaca panas dan terik matahari, jas hitam,
lengkap dengan dasi yang melingkar, tetap ia pakai. Semua ini dilakukan Ricky
demi menghargai profesinya sebagai pelatih sepak bola.
Seperti yang dilansir CNNIndonesia.com,
ia mengatakan bahwa ini bentuk respek terhadap semua pelaku sepak bola. Berpakaian
rapi, terutama mengenakan jas formal adalah bagian penting dari itu. “Bagaimana
menurut anda ketika pelatih protes ke wasit, meskipun dengan maksud yang baik,
tapi cuma pakai celana pendek dan topi terbalik? Bagi saya, itu sudah
mengurangi respek pada wasit,” lanjut Ricky.
Tidak hanya Ricky, kini pelatih-pelatih muda lainnya
juga mulai mengikuti jejak pria yang pada tanggal 5 Maret lalu genap berusia 37
tahun tersebut. Meski hanya memakai kemeja formal dan celana panjang, tapi Nil
Maizar, Djajang Nurjaman, dan Aji Santoso
sedikit banyak telah mengubah wajah sepak bola Indonesia.
Meski begitu, tak sedikit pula yang mencibir gaya berpakaian
Ricky dan berpendapat bahwa ia memakai jas tidak pada tempatnya, apalagi jika
pertandingan diadakan pada siang hari. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa
maksud Ricky memakai jas hanya untuk gaya-gayaan semata agar tampak seperti
pelatih-pelatih top Eropa kebanyakan.
Cibiran serta hinaan bukanlah hal yang perlu dianggap serius
olehnya. Bahkan ia menambahkan, salah satu hal penting yang mengukuhkan
prinsip berpakainnya adalah studi banding yang ia lakukan di Jerman 2012 lalu, yang menunjukkan beberapa aspek psikologis yang bisa mempengaruhi bagi siapa saja yang mengenakan pakaian formal.
Kini, jas tidak hanya menjadi bagian dari budaya bangsa
Eropa, atau untuk menjaga kehangatan saja, tapi sudah menjadi
bagian penting dari kehidupan manusia, termasuk sepak bola yang mampu
menunjukkan respek antar sesamanya.