Tampilkan postingan dengan label Liverpool. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liverpool. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Mei 2018


Entah apa yang menjadi pertimbangan Juergen Klopp ketika menawarkan nama Loris Karius kepada manajemen Liverpool untuk meminangnya. Memiliki track record mumpuni soal transfer semenjana dan menjadikan seorang pemain memiliki talenta kelas dunia, manajemen pun tidak berpikir dua kali untuk memenuhi keinginan sang pelatih.

Seperti yang diketahui, Klopp sukses besar dengan transfer pemain kasta bawah. Di Borussia Dortmund ia sukses besar ketika mengorbitkan nama-nama yang sulit ditulis, apalagi dilafalkan seperti Lucasz Piszcek, Jakup Blaszczykowski, Kevin Groskreutz, Sinji Kagawa, hingga striker yang terus berjalan sendiri di tabel top skorer Bundesliga, Robert Lewandowski.

Tapi mungkin manajemen Liverpool lupa bahwa tidak semua transfer Klopp yang serupa berakhir sempurna. Ia gagal bersama pemain antah berantah lain semisal Tinga, Patrick Njambe, Damir Vrancic, bahkan karier Henrikh Mkhitaryan dan Pierre-Emerick Aubameyang juga tidak terlalu mentereng ketika Dortmund masih dikendalikan pelatih berkacamata itu.
gambar: zimbio.com
Datang ke Liverpool, Klopp seperti ingin bernostalgia pada kesuksesannya di Dortmund dengan mendatangkan beberapa nama awam seperti Ragnar Klavan, Dominic Solanke, dan tentu saja Loris Karius. Namun, ada baiknya kita meninggalkan dua nama pertama karena keduanya tidak berkontribusi apa-apa, setidaknya untuk tulisan ini.

Nama Karius sudah menjadi buah bibir ketika ia menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Melwood. Datang ketika berusia 22 tahun dan berstatus sebagai kiper Tim U-21 Jerman, banyak ekspektasi yang menghinggapi dirinya, paling minimal ia harus bisa bermain lebih baik dari Simon Mignolet.

Pada siklus yang berbeda, kehadiran Karius menjadi magnet tersendiri bagi perkembangan populasi suporter Liverpool di seluruh dunia, terutama wanita. Karius bukan hanya dikarunia kehebatan menjaga gawang, ia juga dianugerahi tampang rupawan yang buat sebagian orang, itu sudah cukup menutupi performa di lapangan.
gambar: liverpoolfc.com
Sayangnya, dia datang di waktu yang salah. Tugasnya memikul beban berat gagal ia laksanakan di tahun pertama. Ambisinya menjadikan Mignolet sebagai penyakitan di bangku cadangan justru berbalik padanya karena penampilan buruk dan kesalahan tingkat kacangan yang ia buat. Seketika itu pula, fans perempuan yang memuji ketampanan Karius juga ikut gerah dan tak segan menghujat permainan buruknya.

Tapi Karius tidak menyerah. Ia terus berusaha keras dan melahap latihan dengan semangat. Kesempatan kembali datang musim ini ketika dirinya dipercaya sebagai penjaga gawang utama khusus Liga Champions – awalnya – oleh Klopp. Dewi fortuna kian mendekatinya ketika performa minor Mignolet di Premier League membuat manajer mengambil keputusan penting. Karius resmi jadi pilihan utama untuk semua kompetisi.

Keputusan tersebut terbukti tepat. Sejak dikawal Karius, keperawanan gawang Liverpool mengalami peningkatan. Di Liga Champions, Liverpool mencatatkan enam cleansheet. Sedangkan di Premier League, gawangnya 10 kali tidak kebobolan dari 19 pertandingan, lebih banyak dari Mignolet yang notabene bermain lebih sering.

Karius kian matang sejak dipercaya menjadi kiper utama. Beberapa penyelamatan krusial pun kerap ia lakukan, seperti saat menepis tandukan Shane Long (Southampton), tendangan keras Pablo Sarabia (Sevilla), sepakan melengkung Mohamed Diame (Newcastle United), penalti Harry Klaim Kane (Spurs), hingga tendangan volley Marko Arnautovic.

Dengan penuh kesombongan saya mengatakan Karius layaknya seorang David De Gea, yang hanya menjadi bahan lelucon ketika pertama kali datang ke Manchester United lalu berubah bak pahlawan seorang diri ketika Setan Merah mampu mempertahankan tempat di papan atas. Karius sedang melewati fase yang pernah dirasakan De Gea beberapa waktu lalu. Hingga sebelum final Liga Champions, saya masih yakin dia mampu seperti itu dan Liverpool tidak perlu membeli kiper baru seperti Alisson Becker, terlebih seorang parasit bernama Gianluigi Donnarumma.
gambar: zimbio.com
Semua bayangan saya di atas berjalan mulus hingga final Liga Champions....sepanjang babak pertama. Ia berhasil menunjukkan dirinya layak bermain di final. Terbang menghalau crossing Dani Carvajal, menepis sundulan Cristiano Ronaldo di muka gawang, hingga menghalau sepakan jarak dekat Isco, Karius telah sah menjadi penyelamat Liverpool pada interval pertama.

Tapi apa daya, tuah 45 pertama berubah menjadi tulah pada paruh kedua. Karius membuat dua blunder di luar logika. Gol pertama bisa dikatakan berkat andil kepintaran Karim Benzema yang mengangkat kakinya. Tapi untuk gol kedua yang dicetak Gareth Bale, agama mana yang bisa memaafkan perbuatan horor itu???

Karius tidak hanya menghancurkan harapan Kopites seluruh dunia. Lebih dari itu, ia bisa mengubur kariernya sendiri akibat kesalahan tersebut. Pertandingan final sekaliber Liga Champions, blunder seperti itu, tentu bisa mengganggu psikis sang pemain. Bahkan dia sendiri mengaku tidak bisa tidur setelah pertandingan.

Usai laga pun Karius tidak kuasa menahan tangis sembari memohon ampun kepada fans. Hal serupa terulang ketika skuat The Reds tiba di bandara John Lennon, Liverpool. Karius menuruni tangga pesawat dengan menutupi wajahnya dengan tangan.

Setelah itu penjaga gawang yang pernah menimba ilmu di Manchester City menulis surat terbuka, yang intinya minta maaf pada semua orang. Ia mengaku kekalahan Liverpool disebabkan oleh aksi horornya di bawah mistar.

Dia sudah malu, sudah minta maaf, dan seakan tak sanggup melihat lingkungannya. Sekarang yang harus dilakukan adalah bangkit dan terus memperbaiki diri agar Klopp tidak berpaling darinya pada musim depan. Rekan setim yang saat di lapangan membiarkannnya berjalan sendirian menghampiri fans pun mulai menguatkan sang kiper. Mereka kompak menginginkan Karius bangkit dan terus membenahi performanya. Bahkan Inter Milan dan Napoli juga tidak ketinggalan memberikan dukungan lewat media sosial. Tidak ketinggalan, seorang legenda layar handphone, Mia Khalifa, juga menyemangati pemain yang disekujur tubuhnya dipenuhi tato itu.

Kita sebagai fans pun sudah semestinya kembali memberinya dukungan dan membuat Karius berdiri tegak lagi. Saya pun masih cukup percaya dengan kapabilitasnya untuk terus mengawal gawang Liverpool kecuali Liverpool dapetin Alisson.

Tanpa perlu kita bilang, Karius sudah pasti berpikir untuk bermain lebih baik lagi. Mengubur memori buruk 27 Mei 2018 demi terus berjalan bersama pemain lainnya untuk menggapai prestasi yang sudah menunggu Liverpool di masa mendatang. Semoga!

Selebihnya, sudah sepatutnya Karius mengurangi kegiatannya di media sosial. Tidak perlu juga dia kerap memamerkan kegantengannya di sana jika performa di lapangan justru mengatakan sebaliknya. Mubazir itu namanya.  Cukup performa Paul Pogba di Instagram saja yang mendapat banyak like, tapi dihujat di lapangan.

Senin, 13 Februari 2017

Sering saya menulis tentang Liverpool, baik sisi buruknya ataupun baiknya. Saya juga pernah berujar bahwa saya tak akan bosan menulis serba-serbi Liverpool, selayaknya Liverpool yang tak juga bosan menderita kekalahan di awal 2017 ini..

Anomali sepak bola memang tidak ada yang bisa menebak. Seperti AC Milan yang senasib sepenanggungan dengan Liverpool di Serie A, Inter Milan yang tiba-tiba merangsek ke empat besar setelah terperosok di posisi 15 pada oktober lalu, atau langsung cun-in nya Manolo Gabiadini, Mbaye Niang, dan Andrea Ranocchia di Inggris. Padahal mereka hanya pemain tak terpakai di Serie A.

Sebagai liga yang sukar ditebak, Premiere League benar-benar memainkan perannya sebagai raja php sejagad. Mengembalikan Leicester City pada khittahnya sebagai tim semenjana (setelah musim lalu menjadi juara) kini php EPL kembali memakan korban, yang sayangnya yaitu club favorit saya, Liverpool.

Menutup tahun 2016 dengan mantap setelah menjungkalkan Manchester City saat malam pergantian tahun, club kota pelabuhan kembali harus menerima takdirnya yang susah menang melawan tim kecil. Terakhir, The Reds takluk 2-0 melawan Hull City setelah sebelumnya dikandaskan Swansea City di Anfield. Menutup tahun di posisi kedua, kini Liverpool turun dua tangga ke posisi empat dan sepertinya hanya tinggal menunggu waktu posisi mereka digeser oleh duo Manchester yang terus meraih kemenangan.

Tentu ada beberapa hal yang menjadi penyebab anjloknya performa Liverpool di awal tahun ini. Awalnya kita sependapat, bahwa menepinya Philipe Coutinho akibat cedera panjang menjadi penyebab tunggal. Liverpool menjadi kehilangan pakem serangan yang biasa dikreasikan oleh Mane-Firmino-Coutinho. Ini pula yang “mengharuskan” Jurgen Klopp untuk bongkar muat lini serangnya dengan memainkan Divock Origi dan Sturridge secara bergantian. Yang sialnya, mereka pun tak juga menjadi solusi.

Menepinya Coutinho berpengaruh massif pada struktur permainan Liverpool. Firmino yang biasa ditempatkan sebagai false-nine harus rela berganti posisi dengan Adam Lallana di kanan atau kiri pertahanan lawan. Ketidaknyamanan Robby (sapaan akrab Firmino) tampak jelas ketika beberapa kali serangan yang ia bangun dengan mudah dipatahkan lawan, juga jumlah golnya yang makin seret sejak posisinya diganti.

Belum habis masalah lini serang, The Anfield Gank kembali dirundung masalah baru kala bek andalan, Joel Matip juga cedera. Hal ini diperparah dengan sikap sang pemain yang menolak membela Kamerun di piala Afrika dan membuatnya harus menerima hukuman FIFA. Ketidakhadiran Matip pula yang meninggalkan sedikit lubang di pertahanan "si merah" yang kembali mudah dibobol lewat situasi set piece atau umpan silang.
sumber: goal.com
Kesialan Liverpool semakin jadi saat Sadio Mane menjalankan tugas Negara di Gabon. Keberhasilan Senegal menembus semifinal semakin menambah luka Liverpool yang harus menunggu lebih lama. Pasca ditinggal Mane, The Reds semakin miskin kreativitas. Ini bisa dilihat kala mereka tidak pernah membobol jala lawan di atas dua gol. Lebih parah lagi, dengan keadaan seperti ini manajemen Liverpool enggan mendatangkan satu pun pemain baru saat jendela transfer Januari dibuka. Tentu ini menandakan krisis yang makin kronis di tubuh tim dan membuat manajemen semakin pragmatis saat laju Senegal terhenti di piala Afrika. Mane tidak diberi kesempatan istirahat satu hari pun ketika keesokan harinya ia dijemput menggunakan jet dan langsung mengikuti latihan penuh di Melwood.

Mane sudah kembali, Coutinho mulai bermain, Matip juga kembali dari pengasingan, dan Firmino secara otomatis kembali ke pos awalnya. Tapi Liverpool masih juga kalah. Ada beberapa catatan menarik dari beberapa pertandingan liverpool ke belakang. Yang paling terasa kita lihat adalah tidak adanya rencana B dalam formasi Klopp yang selalu deadlock di sepertiga area lawan dan sering kebingungan dalam mengganti pemain.

Klopp begitu keras kepala dengan apa yang ia anggap benar, yang sayangnya hasilnya tidak maksimal. Ketika Conte gagal dengan formasi diamond 4-3-2-1 di Chelsea, ia berani keluar dari zona nayaman dan kembali ke formasi andalan, 3-4-3 yang masih tabu di Inggris. Hasilnya? Chelsea semakin tak terbendung musim ini. Atau bagaimana Pocchetino yang menyontek formasi Conte dan mengaplikasikan itu dengan gayanya sendiri kala Spurs memberi Chelsea kekalahan pertama setelah 11 pertandingan menang beruntun.

Sementara Jurgen Klopp? Ia tak memiliki keberanian lebih seperti kompetitor yang lain dan terus memaksakan kehendak. Ini pula yang membuat permainan Liverpool mulai gampang ditebak lawan, dan yang terjadi kemudian adalah pemain Liverpool hanya bisa membolak-balikkan bola tanpa tujuan yang jelas karena lini pertahanan lawan sudah dipenuhi pemain yang siap mempertahankan gawangnya.

Seorang sahabat, sebut saja namanya Dedik Priyatno (yang juga seorang wota kawakan) bahkan sempat berseloroh saat merumuskan cara mengalahkan Liverpool “numpukin pemain di belakang, umpan lambung, serangan balik, gitu aja terus sampe kiamat.” Sebuah penerawangan dari seorang editor handal yang memang benar adanya. Dari semua hasil minor yang diraih Merseyside merah, penguasaan bola Liverpool nyatanya berada di atas rata-rata tim lawan, sialnya ini hanya menjadi remah rempeyek yang tak ada harganya kala gol yang diciptakan kalah banyak dari lawan.

Miskin kreativitas, jauhnya kualitas pemain inti dan cadangan semakin membuat Liverpool keteteran menjalani liga yang semakin ketat. Perlahan mereka tersingkir di ajang “penggembira” seperti piala liga dan piala FA. takluk di Anfield saat semifinal piala liga melawan Southampton dan dibenamkan Wolverhampton Wanderes di tempat yang sama. Satu persamaan lawan kala menghadapi Liverpool adalah menumpuknya pemain di ruangnya sendiri sehingga membuat serdadu Klopp kesulitan menembus gawang. Hal ini diperparah dengan kualitas bek "si merah" yang sering keteteran saat harus menerima serangan balik, yang memang dengan skema inilah Liverpool sering kebobolan.

meski begitu, perbaikan performa anak asuh Jurgen Klopp kembali terlihat kala mereka berhasil membenamkan Tottenham Hotspurs akhir minggu lalu. berhasil unggul cepat 2 gol di awal babak pertama menjadi bukti kembalinya daya magis skuat Liverpool yang belum pernah kalah melawan tim yang berada di 6 besar liga. Tapi sekali lagi, Tottenham bukanlah club yang bermain dengan negatif sepak bola. dan satu catatan penting adalah dua gol yang dicetak Sadio Mane berawal dari kesalahan pemain Spurs sendiri. ada baiknya Klopp dan pemain pantang jumawa dengan kemenangan tersebut mengingat minggu nanti The Reds akan bertamu ke King Power Stadium kandang Leicester City, club penyakitan lain yang siap menggebrak Liverpool lewat serangan balik cepat.

Nihilnya peran Liverpool di bursa transfer tengah musim semakin melukai fans yang kian geram melihat kondisi clubnya tanpa ada perbaikan dari segi pemain. Fans kembali diuji kesabarannya untuk ke entah berapa kali melihat kondisi club kesayangan yang tidak pernah ada niatan untuk mencegah suatu keburukan yang akan tejadi kemudian. 

Kita yang selama ini terpesona dengan semangat Klopp yang selalu menggebu-gebu semakin mencapai ambang batas kesabaran untuk – setidaknya – mengkritisi kinerja pelatih asal Jerman tersebut. Tidak ada alasan bagi kita untuk selalu memuja Klopp terlebih dengan capaian buruk Liverpool sepanjang tahun ini. Seperti halnya Klopp yang selalu menuntut dukungan tiada henti dari Kopites di stadion, kita juga wajib menuntut sang pelatih untuk lebih pintar dan bijak kala menentukan formasi dan sistem permainan agar tidak hanya menang dalam penguasaan bola saja.

Tuntutan Jurgen Klopp agar atmosfir Anfield selalu riuh sekali lagi mengingatkan kita pada pendahulunya, Brendan Rodgers yang juga selalu menuntut pemainnya untuk lebih berkarakter. Tuntutan-tuntutan yang baik tujuannya tapi gagal dalam pencapaian karena mereka yang menuntut juga tidak melakukan perubahan apa-apa.  
sumber: onsizzle.com
Satu hal yang harus disadari betul oleh Liverpool adalah 18 trofi liga Inggris mereka sudah setara dengan gelar Grand Slam ke 18 Roger Federer yang baru diraih januari lalu. Tentu tidak ada yang lebih memalukan ketika sebuah fakta baru terungkap jika trofi ke 18 The Reds diraih saat petenis asal Swiss itu masih berusia 7 tahun. Dan, kemungkinan lain yang lebih buruk adalah 18 gelar liga Liverpool bisa saja disamai, bahkan tidak menutup kemungkinan akan disalip oleh gelar sidang Ahok.








Selasa, 21 Juli 2015


Hari ini, 20 juli 2013, dua tahun lalu menjadi hari yang sangat bersejarah bagi fans Liverpool di seluruh Indonesia. Bagaimana tidak, ketika itu club besar Inggris Liverpool FC menginjakkan kakinya di tanah air untuk pertama kali sepanjang sejarah. Menumpangi pesawat kebanggaan negara, Garuda Indonesia yang juga sponsor club, Liverpool di terbangkan “sang garuda” dari bandara John Lennon ke Halim Perdana Kesuma, Jakarta.

seluruh pemain liverpool mendarat di bandara halim perdana kusuma

             Sebuah mimpi yang disambut meriah oleh para kopites seluruh tanah air yang ikut menjemput pasukan Brendan Rodgers di Halim Perdana Kusuma. Bandara yang biasa digunakan untuk menyambut tamu negara ini pada akhirnya menyala oleh kilauan “cahaya” merah khas Liverpool yang dibanjiri oleh pemujanya. bulan suci Ramadhan yang diikuti hawa panas ala tropis Asia Tenggara tak menghalangi kegilaan mereka yang setia menanti kedatangan Steven Gerrard cs. Pelataran bandara yang cukup besar pun tak mampu menampung ribuan fans yang memadati tiap sudut Halim Perdana Kesuma, terbatasnya permukaan tanah yang tersedia tak menghabiskan akal para supporter, bahkan mereka rela bergelantungan di pohon-pohon agar bisa melihat sang pahlawan dari dekat.

fans liverpool ketika menyambut para pemain di bandara halim perdana kusuma


Sayangnya, saat itu saya tidak ikut menjemput club yang saya banggakan ini. Namun, saya ikut hanyut melihat saudara semerah yang hadir di sana. Tentu saya sangat iri melihat teman-teman yang berada di bandara. Tapi tak apa lah, yang penting bisa melihat kedatangan pemain pujaan walau dalam layar kaca. Saya semakin tenggelam dalam euforia ketika melihat para pemain melewati fans yang seolah menjadi karpet merah bagi para pahlawannya. Sambutan hangat, nyanyian khas club dari para pemujanya pun disambut dengan senyum manis sang pahlawan sembari melambaikan tangan ke para si pemuja. Melihat kejadian itu saya pun tak sabar menanti hari pertandingan untuk melihat langsung pahlawan saya dari dekat. Tiket sudah di tangan, jersey sudah rapi dan wangi, teropong pun siap untuk digunakan di hari itu.

bus yang membawa pemain liverpool disambut bak pahlawan oleh fans yang datang


Keesokan harinya, saya beserta pasangan ( saat itu ), dan adiknya langsung meluncur ke stadion Gelora Bung Karno ( GBK ), bukan untuk menonton pertandingan, karena memang bukan saat itu pertandingannya. kami hanya ingin melihat pemain-pemain idola berlatih di Senayan sembari mencoba peruntungan agar bisa bertemu mereka secara langsung. Rencana awal kami bisa dikatakan sukses ketika berhasil melihat para pemain latihan (walaupun tidak sempat mengantar mereka pulang ke hotel) tidak di dalam stadion memang, tapi setidaknya kami bisa memanfaatkan teropong yang kami bawa dan membidik setiap pemain agar terasa lebih dekat.

 Satu persatu pemain kami bidik, sekejap saya melihat Daniel Agger, pemain idola saya yang sekaligus membuat mulut saya bergetar dan berteriak “wiiih Agger” yang seketika membuat pasangan saya agak iri mendengarnya dan langsung merebut teropong yang sedang saya pakai agar dia juga bisa melihat Daniel Agger, Agger adalah salah satu idola kami berdua, selain sang kapten tentunya. Namun lebih dari itu, kami bisa bertemu dengan para pendukung yang lain dari seluruh Indonesia, tidak terhitung bus yang terparkir rapi untuk  mengantar para supporter dari seluruh pelosok negeri. Kami terkesima, terdiam tanpa kata melihat banyaknya orang yang mengenakan “liverbird” di dada sambil ada yang berujar “  Liverpool latihan aja yang nonton rame banget, apalagi besok pas match nya.“

Dan akhirnya hari pertandingan pun tiba, saya sudah semaleman tidak bisa tidur karena tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi di Senayan nanti. Namun, hal lain yang tak kalah mengejutkan pun datang. Yap, hujan turun dengan kencang tepat disaat kami hendak berangkat ke stadion. Untungnya saya dan pasangan saya ( ya, masih saat itu ) sudah mempersiapkan semua hal yang tak diinginkan, termasuk jika hujan turun. Bermodalkan mantel, hujan deras sore itu dengan perut kosong karena puasa pun tak menjadi penghalang tekad  kami untuk segera ke stadion kebanggaan Indonesia. Genangan air dan amburadulnya lalu lintas ibu kota ketika itu tak mampu menjatuhkan mental kami, malah itu semua menjadi saksi akan kegigihan dan totalitas kami untuk Liverpool. Di sepanjang jalan, kami pun melihat cukup banyak fans Liverpool yang bernasip sama. Hujan bukanlah suatu halangan yang bisa dijadikan alasan, karena bagi kami semua, hujan tidak hujan, puasa tidak puasa, sedongkol-dongkolnya kami dengan buruknya lalu lintas Jakarta, menyaksikan pertandingan Liverpool secara langsung merupakan Fardhu a’in yang haram hukumnya jika tidak dikerjakan.

hujan tak mengurangi semangat fans liverpool untuk datang ke stadion

Dan yang membuat kami lebih bangga dengan Liverpool adalah, diantara 3 club Inggris yang datang ke tanah air, hanya Liverpool yang datang tanpa promotor, sementara Chelsea dan Arsenal di “temani” oleh promotor masing-masing yang menyokong kedatangan mereka ke Indonesia. Saya tidak yakin club seperti Arsenal, terlebih-lebih lagi Chelsea mau datang kesini jika tidak ada promotor yang mendanai mereka.

Kick off dimulai sekitar pukul 19.00, sementara kami tiba di stadion tepat sejam sebelum dimulai, dan tentu saja bersamaan dengan waktu berbuka puasa. Jika di hari-hari sebelumnya, saat tibanya waktu berbuka saya langsung membatalkan puasa dengan memakan semua yang ada di depan mata, hari itu beda cerita. Saya memang sangat amat lapar, tapi bukan lapar dengan makanan, melainkan mata saya yang lapar karena tidak sabar ingin melihat pemain idola bermain di “rumput” Indonesia, kebanggaan Indonesia, stadion Gelora Bung Karno. Saya dan puluhan ribu fans lainnya mengacuhkan makanan yang dijual di seantero Gelora, bagi kami sebotol minuman sudah cukup untuk melepas rasa lelah seharian, tak masalah menunda rasa lapar seharian, karena yang pasti kami tidak boleh meninggalkan sepersekian detik pun momen-momen bersejarah di dalam stadion.

Badan yang basah dan sedikit merasakan gatal di dalam karena kencangnya hujan yang menembus tebalnya mantel dan baju yang saya pakai tak menghalangi keceriaan malam itu. “ bodo amat lah ntar juga kering sendiri kalo liat Liverpool,“ gumam saya. Sebagai muslim, saya pun tak lupa menjalankan ibadah maghrib dengan segenap kopites muslim lainnya, tak ada mushola di stadion, tapi ini tentu tak menjadi soal karena banyak tempat yang bisa kami manfaatkan untuk mengucap dan berserah diri pada tuhan. Lalu tiba pula saatnya kami memasuki stadion yang berkapasitas lebih dari 85.000 penonton itu. Pertandingan belum di mulai, bahkan pemain belum juga melakukan pemanasan, tapi fans dengan riuh rendahnya sudah melantunkan chants-chants kebanggaan club seperti Fields of Anfield Road, Steve Gerrard-gerrard, Luis Suarez, oh  Campione, oh When The Reds, dan tentu lagu wajib You’ll Never Walk Alone dan masih banyak lagi.

Ketika para pemain memasuki lapangan untuk menggelar pemanasan, kami pun bersorak-sorai  menyambutnya, teriakan kami memang tidak di dengar oleh para pemain karena memang jarang tribun dan lapangan yang cukup jauh, tapi pemain menjawab teriakan kami dengan lambaian tangan sebagai ucapan terima kasih. Steven Gerrard tak henti-hentinya bertepuk tangan melihat “kegilaan” kami di stadion yang seketika kami sambut dengan chants
 “steve gerrard gerrard his pass the ball 40 yard his big and his fucking hard steve gerrard gerrard.”

Saya dan pasangan saya ( lagi-lagi saat itu ) duduk di tribun belakang gawang ala tribun Stand Kop di Anfield, tepatnya di sektor 5-7. Sadar dengan jarak lapangan dan stadion yang cukup jauh, kami pun membawa teropong untuk melihat para pemain agar terasa dekat, alat itu bukan milik kami tentunya melainkan milik teman yang cukup baik untuk meminjamkan pada kami berdua. Satu persatu pemain kami bidik dengan seksama, dari sudut ke sudut, dari ujung ke ujung,  dari yang jauh hingga yang paling dekat tanpa ada yang terlewatkan dan tanpa terkecuali. Saya tidak terlalu sering menggunakan teropong itu, pasangan saya yang lebih banyak memakainya, dia memang lebih membutuhkan itu agar bisa mencintai Liverpool lebih dalam lagi, dan lagi sampai ke sendi-sendinya. Dan benar saja, ia pun terdiam ketika bidikannya “menemui” Steven Gerrard dan matanya pun tak bisa pindah ke sosok lainnya, dia mengikuti langkah Gerrard kemana pun sang kapten berlari. Seketika dia terpaku pada Stevie G dan seolah-olah melupakan pemain lainnya, dan sejenak melinangkan air mata penuh bahagia ketika mata kapten Liverpool tersebut menemui mata teropong dan melihat kearahnya.

Pertandingan antara Liverpool vs Indonesia All Stars pun di mulai, dan seperti syarat sah pertandingan Liverpool, GBK pun melantunkan lagu “kebangsaan”, You’ll Never Walk Alone. Tanpa arahan dari panitia, dengan sendirinya kami semua terbawa ke Anfield saat menyanyikan itu, jiwa saya bergetar, tak menyangka bisa bernyanyi dengan lebih dari 80 ribu fans yang memerahkan GBK. Memakai jersey kebanggaan club yang dilengkapi scarf Liverpool yang terbentang, saya benar-benar merasakan aroma Anfield di sana. Tidak ada suara terompet di Senayan ketika itu yang memang menjadi ciri khas tersendiri supporter Indonesia, BIGREDS selaku official supporter Liverpool Indonesia melarang menggunakan alat itu. Alasannya jelas, agar kita benar-benar berada di Anfield, dengan nyanyian dalam bentuk suara mulut, bukan suara dari suatu alat.

kopites memberi dukungan luar biasa saat liverpool bertanding

80 ribu Kopites yang memadati GBK tentu tidak hanya mengharapkan Liverpool menang, tapi lebih dari itu. Fans hanya ingin merasa lebih intim dengan pemainnya, bagi para fans kemenangan bukanlah segalanya karena Liverpool telah mengajarkan kami apa arti penting keluarga dan apa itu loyalitas, pun begitu dengan fans yang telah mengajarkan totalitas bagi club kesayangannya tersebut.

Hari itu Liverpool menang dengan skor 2-0 melalui gol yang masing- masing di cetak oleh Coutinho dan Raheem Sterling pada masing-masing babak. Philipe Coutinho membuka gemuruh GBK ketika golnya di babak pertama membangkitkan penonton dari duduknya untuk merayakan gol bersama sang pemain yang langsung menghampiri tribun stadion. Kegembiraan fans pun ditutup lewat aksi Sterling di akhir babak kedua ketika ia berhasil menuntaskan umpan manis Ousama Assaidi.

Pertandingan yang diawali dengan You’ll Never Walk Alone ini akhirnya ditutup pula dengan lagu yang sama sebagai pertanda berakhirnya pertandingan, sebagaimana biasanya terjadi dalam setiap pertandingan Liverpool. tapi berakhirnya pertandingan Liverpool vs Indonesia All Star tidak mangakhiri kehadiran fans yang tetap setia duduk manis di tribun. Tidak ada satupun sudut GBK yang renggang saat pertandingan usai. Yang ada fans ikut maju kedepan untuk melihat pemainnya lebih dekat.

Kapten Steven Gerrard yang pada awal babak kedua ditarik keluar memimpin pasukannya untuk melakukan “tawaf” dan memberi ucapan terima kasih pada seluruh fans Liverpool di Indonesia. Uniknya, saat pemain lain memakai sepatu dan atribut lengkap club, sang kapten malah santai mengenakan sandal hotel. Tapi apa mau di kata, Gerrard tetap lah Gerrard, dia tetap disambut Chants “Gerrard…Gerrard…Gerrard” oleh kopites seantero GBK. Saat itu pula kami semua hanya mengaharapkan dua hal pada tuhan, yaitu hentikan waktu disaat itu juga dan ulang kembali waktu yang sudah berjalan agar kami bisa terus melihat pahlawan-pahlawan kebanggaan di depan mata dan kepala.

Sudah dua tahun waktu itu berlalu, namun tak ada pula memori yang saya lupakan. Dan sudah sepatutnya pula tiap 20 Juli setiap tahunnya kami merayakan kehadiran Liverpool ke tanah air. Sebagai fans sepak bola sejati kami akan selalu “mengampanyekan” slogan menolak lupa untuk hal yang satu ini, kami pun seolah tak mengenal dengan istilah – yang sedang kekinian – Move On. Hari ini, 20 juli dua tahun lalu akan selalu membekas dalam benak, tak akan hilang dimakan zaman. setiap zaman berganti, setiap itu pula kami akan membagi cerita ini pada generasi setelah kami agar bisa abadi dalam setiap ingatan dan hati. kami sangat menikmati dengan apa yang kami miliki, kami pun sangat mencintai yang kami punya, yaitu Liverpool Football Club.