Tampilkan postingan dengan label Lomba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lomba. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Februari 2017

Medio 2004 hingga 2014 kita dipimpin oleh seorang militer untuk pertama kali pasca reformasi. Membawa semangat baru bagi rakyat juga kaum muda bertalenta di partainya. Sebagai partai baru yang tak memiliki massa dan sudah pasti kalah dengan partai lama yang silih berganti menguasai negara, tentu terpilihnya ia menjadi presiden menjadi cerita lain yang pada akhirnya memimpin negara 10 tahun lamanya.

Susilo Bambang Yudhoyono, atau kondang disapa SBY kembali mencuri perhatian. Sempat hilang untuk beberapa saat pasca bergantinya pucuk kepemimpinan, ia kembali ke panggung hiburan politik. Tentu agak memaksakan jika kemunculannya kembali dianggap sebagai manuver politik untuk merongrong penguasa. Sebagai melankolic sejati, ia rela turun bukit sebagai seorang ayah. Bukan jenderal, apalagi mantan presiden.

Ke-peka-an seorang ayah pula yang membawa Agus, yang kemudian beken dengan gelar AHY ikut pertarungan alot demi kursi gubernur DKI. Betapa cintanya SBY pada Agus, yang belum tiba saatnya sudah dibebankan menjadi DKI 1.  Ia tahu betul apa yang terbaik buat kemajuan anaknya, juga ibukota Negara. Karena jika tidak, sudah pasti SBY akan memilih Ibas yang…………………….silakan kalian isi sendiri

Mari kita lupakan soal Agus, terlebih lagi tentang Ibas. Saya tidak ingin membahas keluarga Cikeas (kuningan) ini, saya hanya ingin konsentrasi pada SBY yang fenomenal. Fenomenal karena mampu memimpin negara 2 periode lamanya. Meski masih banyak yang mencibir SBY hingga kini, saya rasa ia tetap harus kita maafkan. Jika bukan kita, siapa lagi. Jika bukan sekarang, kapan lagi.

Tentu bukan masa bakti 10 tahun yang penuh intrik dan kejanggalan yang harus kita maafkan, melainkan cuitan SBY belakangan ini yang wajib kita maafkan dengan hati riang penuh sukacita. Selayaknya sepak bola, (dalam hal ini) Twitter juga telah memanusiakan manusia dari hal paling dasar.
sumber: bandung.bisnis.com
Aktifnya SBY di Twitter memang sudah lama dilakukan. Satu jam pertama ia muncul di Twitter saja, sejutaan orang sudah tersusun rapi di beranda follower SBY baik yang ingin berinteraksi langsung atau hanya demi nafsu menghujatnya tersalurkan. Maklum saja, ketika itu blio sedang menjabat kepala Negara.

Lambat laun, seiring habisnya masa jabatan SBY sebagai presiden dan maraknya berita-berita Pilkada di lini masa yang menimbulkan berjuta tafsir juga gelak tawa yang – katanya – mengancam kerukunan Indonesia. Melihat gelagat tidak baik ini, SBY dengan cekatan meredam amarah kita sebagai warga Jakarta dengan memohon pada Allah, Tuhan YME agar bangsa ini jauh dari kata hoax dan adu domba. Kita yang sebelumnya sering naik pitam kala membuka lini masa berubah sumringah dengan curahan SBY yang sangat humanis.

Demi kerukunan bangsa pula SBY merasa perlu dan wajib pindah rumah. Cikeas tampaknya sudah terlalu sempit baginya, juga bagi bu Ani yang sepertinya menganggap Cikeas sudah tidak ootd-able untuk memenuhi kewajibannya sebagai selebgram hingga harus pindah ke pusat Jakarta.

Kuningan menjadi destinasi baru SBY sekeluarga. Sebuah tempat di mana hampir sepertiga warga Jabodetabek mengadu nasib dan peruntungan, tak peduli seberapa macet ruas jalan, seberapa keras mereka berusaha. Perjuangan ini pula yang tampaknya menjadi pertimbangan SBY untuk sekali lagi bertarung di kerasnya ibukota demi putra mahkota duduk di balai kota.

Tak lama setelah ia pindah, sang Bapak kembali murka. Dengan cara yang melankolic tentu saja. Tak tahan dengan amuk oknum segelintir orang yang memenuhi kediaman barunya, SBY mengadu sebagai warga biasa. Mempertanyakan hak-hak hidupnya sebagai anak bangsa pada Presiden dan Kapolri di…Twitter dan…..no mention. Entah saya yang kelewat sentimen atau sebaliknya, yang pasti apa yang dilakukan presiden ke 6 ini benar-benar mencerimnkan suatu fakta, bahwa dihadapan Twitter, kedudukan manusia sama.
sumber: twitter.com 
Lewat cuitan berantainya tiga minggu belakangan, sudah semestinya kita menempatkan diri di posisi SBY yang hanya orang biasa yang memiliki rasa takut akan keselamatannya. Seperti yang kita tahu sebelumnya, selama menjadi presiden saja, ia selalu dirundung ketakutan akan menjadi target terorisme yang membuat foto dirinya penuh lubang dan takut pada urusan dapur yang tidak bisa ngebul kala menyadari gajinya yang tak kunjung naik.

Maka dari itu mari kita memaafkan SBY sebagai sesama rakyat jelata yang hanya bisa nyinyir pada penguasa di media sosial. Dengan sisa-sisa kekuatan politik yang ia punya, SBY lebih memilih jalan kekinian dalam mempertanyakan ketidaknyamanan. Meninggalkan atribut partai kala menanggapi beberapa kabar tak sedap yang menyasar dirinya dan keluarga. Lewat kebesaran hatinya pula kita tidak perlu menunggu serial hadirnya Panitia Khusus (pansus) yang kerap dibentuk SBY saat masih menjadi presiden.

Belakangan ini, orang Indonesia telah hancur martabatnya di media sosial hanya karena beda pilihan. SBY, dengan segala keringkihan hatinya mengembalikan kita ke masa di mana media sosial hanya untuk bersenang-senang dan baper-baperan. Lewat cuitannya, kita kembali bisa tersenyum setelah sebelumnya dinaungi amarah. Lewat cuitannya, kita bisa tertawa lepas dan menghibur diri setelah sebelumnya nyaman untuk membenci dan menyakiti.

Untuk itu, sudah selayaknya kita memahami dan memaafkan cuitan SBY dan biarkan ia hidup tenang di Kuningan sebelum nanti kembali ke Cikeas pasca pilkada di Jakarta.






Rabu, 01 Februari 2017


Dengan umur yang bisa dibilang lumayan, agak ironis jika saya menulis tentang cinta apalagi cinta kita berdua yang rasa-rasanya lebih cocok ditulis oleh mereka yang masih belia atau wanita segala usia. Tapi, berhubung ini bukan tentang saya, jadi tak apalah saya menulis dan mengulik sedikit tentang cinta seorang teman yang kerap membuat saya geleng kepala sambil tertawa di atas kegalauannya. Heuheuheu

Entah bagaimana nasib saya ke depan jika dia tahu tulisan ini saya dedikasikan pada kegalauan nya. Ya haqqul yaqin saja jika kemarahannya tidak sampai block whatsapp atau sejenisnya. Untuk itu, demi keselamatan saya dan handai taulan semua, namanya akan disamarkan sedemikian rupa agar ia tidak sadar.

Cinta segitiga ala reality show Katakan Putus Trans TV sedang terjadi di sekitar saya, kantor saya, tapi bukan sesama karyawan, pastinya. Ini bermula dari salah satu karyawan yang sempat dipinjam ke cabang lain karena sedang kekurangan orang.

Dari hari pertama hingga hari terakhir ia ditempatkan di cabang yang berbeda, hampir semua isi percakapannya dengan saya “tidak betah” dan ingin segera kembali ke cabang semula. Wajar memang, dia masih baru, belum ada pengalaman, masih muda pula, dan cantik, tentu saja.

Sebut saja Mawar, namanya. Bukan, ini bukan Mawar si penjual bakso tikus, Ini Mawar.... Ya Mawar lah pokonya. Sebagai anak baru (kebetulan juga baru lulus kuliah) di tempat saya bekerja, ia membawa cerita-cerita khas anak muda seusianya, yang sudah pasti tidak jauh-jauh dari urusan asmara. Mawar mempunyai pacar yang ia cinta (katanya). Berpangkat jenderal di kesatuannya, eh salah, kopral maksudnya, eh salah lagi, Briptu kali ya. Ah entahlah pangkatnya apa, yang pasti mereka sudah menjalin hubungan lumayan lama. Saya lupa tepatnya. Yang jelas tidak selama Pak Anis menenun senja di Jakarta.

Satu hal yang langsung terbesit di benak saya ketika mengetahui pacarnya seorang anggota kepolisian adalah....“hhmmmm...polisi,” gumam saya. Bayangan saya pada polisi yang buncit, kumis tebal, dan perawakan yang tak enak dipandang buyar seketika saat mengetahui mereka ternyata seumuran. Seperti lumrahnya pasangan muda lainnya, ke-labil-an keduanya tak bisa dihindarkan. Anehnya, kenapa harus si Mas Polisi yang sudah ditempa sedemikan rupa baik jasmani dan rohaninya yang bersikap lebay dalam hubungan keluarga cemara mereka.

Saya dan Mawar belum lama kenal – ya karena kita baru sekantor – tapi Mawar sudah 2 kali putus, dengan pacar yang sama. Sebuah rekor yang mungkin wajar buat orang seusia mereka, tapi tidak wajar bagi saya. Kadang saya bertanya, jika dari dulu begini, sudah berapa kali kalian putus nyambung? Sayang, pertanyaan ini tak terjawab dengan pasti. 

Ia mengakui kelabilan mereka berdua, terlebih ketika Mas Polisi mendapati percakapan Mawar dengan seseorang di sosial media. Ia tak segan menghardik Mawar dengan emosi yang membuncah, juga sumpah serapah yang mengalir keluar dari mulutnya. Begitupula Mawar yang ikut terbawa amarah, ditambah dengan sikap bodoamat-able nya, ia tentu tak ambil pusing dan terkesan menantang balik sang kekasih. Maka tak heran, saat ia atau mas polisi berkata “udahan” tak ada raut kesedihan di benak Mawar meski spertinya ia tetap mengharap kembali, pun sebaliknya.

Lagi-lagi, atas pengaruh usia pula, mereka hanya bisa saling berharap siapa yang sudi minta maaf duluan. Atau minimal, siapa yang berani menghubungi duluan. Walau pada awalnya block akun atau delcont kontak bbm tak terelakkan. Yha, anak muda, begitulah adanya.

Hal lain yang membuat saya tercengang adalah mereka saling tahu kata sandi akun media sosial masing-masing. Tidak heran, jika mas polisi pernah memblock/unfriend teman di sosmed Dik Mawar ( tanpa sepengetahuan Mawar) yang ditengarai menjadi sebab putus-sambungnya hubungan mereka. Ya Allah, Tuhan YME. Cinta anak muda kok ya sampe kek gini, sih? Apa saya nya yang ketuaan? Hih!

Mengetahui hubungan mereka yang naik turun ditambah gengsi yang sama besarnya, saya pun mulai menebak-nebak kapan Dik Mawar dan Mas Polisi kembali jadian. Dengan canda saya bertaruh kalau mereka balikan lagi di minggu kedua pasca “udahan”. Jika sebelumnya rentan waktu mereka kembali bersatu adalah seminggu. Sayang, pada kesempatan kali ini, tampaknya belum ada tanda-tanda ke arah sana.

Puncak dari hegemoni hubungan mereka terjadi jumat lalu. Dan tentu ini bukan hanya melibatkan mereka berdua, melainkan juga seorang yang dulu pernah ada di hati Mawar cukup lama. Orang ini pula yang menjadi penyebab kandasnya hubungan Dik Mawar dan Mas Polisi untuk ke……entah berapa kalinya.

Cerita baru (rasa lama) ini dimulai ketika Mawar ditugaskan di cabang lain, yang sialnya cabang tersebut berjarak cukup dekat dari kampus sang mantan terindah. Singkat cerita, Bang mantan yang kadung tahu posisi Dik Mawar lewat sosyel media langsung berinisiatif menjemputnya. Di lain sisi, Mas Polisi yang tak pernah peka akan hal remeh-temeh seperti itu justru marah-marah tak karuan di ujung telepon, menuduh ini itu tanpa mendengar penjelasan Mawar lebih dulu. 

Dengan tabiat bodoamat-able nya, tanpa pikir tensi darah Mas Polisi yang mendadak di atas normal, Mawar menerima ajakan pulang sang mantan yang tampaknya masih berharap lebih padanya. Meski kedatangannya tak dinanti-nanti amat oleh Mawar, Bang Mantan dengan hati mantap menunggu di ujung jalan. Sudah terlanjur tiba, Mawar yang merasa tak meminta akhirnya pulang bersama.

Menyusuri jalanan ibukota di senjakala macet Jakarta, tak elok rasanya jika dalam penat kemacetan tidak diiringi cerita-cerita, baik sekedar basa-basi atau mengenang kembali kebersamaan masa lalu. Sampai pada akhirnya Mawar berkeluh kesah tentang hubungannya dengan Mas Polisi yang cemburuan dan membatasi segala gerak-geriknya. Sadar akan kehadirannya yang membuat hubungan Dik Mawar dan Mas Polisi berakhir lagi, Bang Mantan pun menjadi besar kepala dan mulai memupuk kembali cintanya yang dulu pernah ada.

Kisah cinta nan epic ini berlanjut. Kala Mawar sudah kembali ke kantor asalnya. Bang Mantan seolah tak ingin kehilangan momen sedikitpun, ia pun ingin sekali lagi menjadi pahlawan bertopeng yang datang menjemput. Mawar yang dari awal menolak dia datang kehilangan kata-kata saat sang mantan sudah tiba di area perkantoran. Bagai Jelangkung, datang tak diundang.
sumber: cerita-lengkap.com
Selayaknya Reality Show yang saya sebutkan di atas, hal di luar dugaan pun terjadi. Tanpa Dik Mawar sangka, bahkan saya pun tidak menyangka. Ibu nya datang untuk menjemput Mawar yang seketika disambut gembira. Namun, kegembiraan Mawar berubah pasi saat menyadari ada orang lain bersama sang Ibu. Ya, Ibu datang didampingi oleh – tidak lain tidak bukan – Mas Polisi yang gagah berdiri dengan raut muka datar. Seakan menandakan jantungnya sedang berpacu kencang kala bertemu kembali dengan Mawar setelah seminggu lebih tak berkabar. 

Sebuah tindakan yang bisa dibilang mantap jiwa dari Mas Polisi yang tanpa basa-basi memboyong serta Ibu Dik Mawar. Malang tak dapat ditolak, benar-benar seperti Jelangkung, Bang Mantan pulang tak diantar. Ia pulang tanpa sepatah kata pun terucap dari mulut Mawar. Kedudukannya yang sudah di atas angin pun terjun bebas ke dasar jurang kala Mas Polisi berhasil membujuk Mawar untuk pulang bersama (tentu karena ada Ibu Mawar bersamanya).

Seperti ingin memulihkan kekecewaan Bang Mantan, keduanya pun akhirnya kembali bertemu minggu kemarin. Bang Mantan tampaknya benar-benar tak mau kalah dengan Mas Polisi. Pasca Bang Mantan menjadi Jelangkung pada jumat yang tidak barokah itu, ia menelepon Ibu Dik Mawar agar diizinkan mengantar Mawar pulang. Sebuah kontra strategi ciamik yang menohok kalbu. Dengan sigap ia meyamakan keadaan.

Saya tidak habis pikir dengan kisah penuh liku dan sedikit guyon ini. Apalagi Mawar (bukan nama asli) seakan tidak menutup kemungkinan untuk kembali dengan keduanya. Hampir setiap hari saya mendengarkan curhatnya, hampir setiap hari pula saya selalu menertawainya sambil menggelengkan kepala. Tapi ya, mungkin ini memang cinta yang memang sukar ditebak dan yang hanya merasakannya lah yang paham dan mengerti apa yang ia rasa.

Seperti saya yang tetap cinta padanya meski sudah 27 tahun tidak menjuarai liga dan menjadi olok-olok warga sejagad maya.



*hingga tulisan ini diterbitkan, Dik Mawar masih melanjutkan cerita-cerita yang membuat saya hanya bisa menganga. Sayang, saya sudah malas melanjutkan dan takut ketahuan. Maka, lain kali saja, ya…. Bhay*



Minggu, 29 Januari 2017


Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya pada saya “mas, enakan di Aceh apa di sini (Jakarta)?,” sebuah pertanyaan yang biasa saya terima saat bertemu teman baru.

Betul, saya adalah orang Aceh, dan sejak 2007 pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sampai sekarang pun, jika bertemu teman baru, lingkungan baru, hal tersebut serasa wajib menjadi pertanyaan, walau terkadang hanya untuk menambah kadar basa-basi dalam percakapan.

Hampir 10 tahun saya meninggalkan ketenangan kampung halaman untuk mencari ilmu dan bertarung dengan keriuhan khas ibukota yang sekaligus membuat Jakarta menjadi berarti buat saya. Tapi itu tak mampu membuat saya berpaling dari Aceh sebagai tanah saya, darah saya. Jakarta yang penuh pikuk gedung-gedung menjulang dengan deretan kendaraan yang makin enggan bergerak sangat kontras dengan suasana Aceh yang apa adanya, tapi sangat bersahaja. Ini pula yang membuat saya bangga pada Aceh, dengan segala yang ia punya.

Lahir dan besar di Aceh, tepatnya di desa Cotgirek yang berjarak 20-30 kilo meter dari Lhokseumawe, tidak ada yang tidak saya ingat ketika harus mengulang lagi memori di masa lalu. Sebuah pengingat yang membuat saya bersyukur karena lahir dan tinggal di sana, juga karena mempunyai mereka semua yang selalu dirindukan.

Ketika Jakarta semakin dikuasai gedung-gedung menjulang, Aceh (khususnya kampung saya) masih setia dengan apa yang ia punya. Sesuatu yang berharga yang semakin mustahil kita temui di ibukota, yaitu lapangan sepak bola. Sedangkan di Aceh, hampir setiap kelurahan terdapat lapangan sepak bola, baik berukuran sedang, hingga yang besar. Dari yang ada tiang gawang, sampai yang hanya menggunakan tumpukan sendal sebagai pertanda siapa yang kalah dan menang.

Bermain sepak bola rasa-rasanya menjadi kesenangan tak terhingga bagi kami semua di sana. Sedari SD hingga SMA kami bermain bola bersama, di lapangan yang sama. Tgk Raja Husein nama lapangannya. Sebuah nama yang saya tidak tahu dari mana asal, dan apa filosofinya. Biarlah, kami hanya ingin bermain bola, bukan mempertanyakan sejarah.

Lapangan Tgk Raja Husein sebenarnya memiliki permukaan tanah yang tidak begitu rata, dan bisa menyebabkan kejadian-kejadian “magis” kala bola menyentuh bagian tanah yang tidak rata itu. Bola yang seharusnya tidak gol bisa berbuah gol karenanya, juga sebaliknya. Meski demikian, lapangan ini berukuran sangat besar, walaupun, sekali lagi, hampir setiap sudutnya kita akan menemukan compang-camping tanah yang tak merata.

Lapangan ini tampaknya akan mubazir jika hanya dimainkan oleh dua kesebelasan saja. Karena memiliki ukuran yang besar, tak jarang lapangan Tgk Raja Husein dipakai untuk dua, atau tiga pertandingan sekaligus. Lapangan utama biasa digunakan untuk mereka yang dewasa, sementara dua sisi di sebelahnya kami gunakan. Jika di luar sana sepak bola tidak mengenal warna dan bahasa, maka di lapangan kami sepak bola tidak mengenal cuaca dan berapa.

Kami tidak begitu ambil pusing dengan cuaca tiap sorenya. Karena ada satu hal yang membuat kami was-was dari sekedar hujan dan lapangan berlumpur. Yaitu seberapa besar amukan orang tua di rumah ketika kami pulang dengan warna pakaian yang berbeda. Saat air hujan mengalir deras kami tetap berlari melawan dingin, (terkadang, memang ini yang kami harapkan). Ketika matahari masih tegak berdiri, kami pun tak mengurangi kecepatan lari kala mengejar bola. Hujan kami lawan, matahari kami kalahkan. Semua kami lakukan atas dasar kata yang sama, bahagia. Tak peduli dengan seringai orang tua walaupun dalam hati kami ketakutan yang selalu kalap saat mendapati anaknya pulang dengan tubuh lusuh berlumpur atau kulit yang menggelap dengan aroma tak sedap.

Tidak ada anak-anak seusia saya yang menghabiskan sore nya selain di lapangan. Baik yang hanya sekedar melihat kami menendang bola, atau ikut menendang bersama. Umur yang masih belia, tanpa kejuaraan apa-apa, tentu memungkinkan kami untuk bermain dengan berapa pun jumlah orangnya. Jika tengah sepi, tentu dibawah 11 orang dalam satu tim, tapi kalau sudah ramai, bisa 15 orang satu tim. Dan mau tidak mau kami harus menjauhkan jarak antar gawang sendal agar tidak terjadi penumpukan pemain di lapangan.

Tak ada satu sore pun kami lewatkan di luar lapangan, bagaimana pun keadaan lapangannya. Becek atau kering, banyak pacat (sejenis Lintah) atau tidak, pakai sepatu atau nyeker, buat kami tidak ada beda. Karena masih ada dari kami yang tidak memiliki sepatu bola, kadang ada yang bengkak kakinya karena beradu dengan yang memakai sepatu bola. Bayangkan, kaki telanjang dihadapkan dengan sepatu bola yang dalam sekali injakan bisa bikin kaki seperti dipelintir berulang kali.

Bermain bola tiap sorenya, sudah pasti membuat saya gemar nonton bola. Baik liga tarkam yang saya tonton langsung di lapangan maupun pertandingan kelas dunia di televisi. Saya lahir dari seorang Milanisti (sebutan kepada fans AC Milan) dan tumbuh menjadi…Interisti (sebutan kepada fans Inter Milan). Perbedaan tak lazim yang membuat seisi kampung sering menaikkan tensi emosi kami berdua jika kedua tim sedang bertanding. Rumah saya, di Cotgirek selalu ramai kala Derby Milano diselenggarakan. Mereka tentu memiliki tv di rumahnya sendiri. Tapi, apa mau dikata, perbedaan saya dan bapaklah yang mengantar mereka nonton bareng di rumah kami. Tentu mereka tak begitu peduli dengan hasil pertandingan, karena mereka hanya ingin “menjaga kalian, biar nggak ribut kalo Shevchenko atau Vieri ngegolin,” canda seorang tetangga sambil tertawa geli. (ya, saya masih ingat perkataan itu)

Sejak masih muda, bapak juga bermain bola di lapangan Tgk Raja Husein, sama seperti saya. Kami bermain bola di tempat yang sama, dalam waktu yang berbeda, dan dengan kemampuan yang berbeda pula. Bapak terlalu tangguh jika dibandingkan dengan saya. Selayaknya Johan Cruyff dan Jordi Cruyff (anaknya). Sama-sama lahir di stadion Amsterdam Arena, siapa yang bisa menyangkal kehebatan Cruyff senior? Dan sudah semestinya, tak ada yang tega mensejajarkannya dengan si junior? Begitupula saya dan bapak.

Banyak anak seusia saya di sana tumbuh dengan cara yang sama. Kenal sepak bola karena orang tua, bermain bola di lapangan Tgk Raja Husein pun atas anjuran orang tua (karena dekat dari rumah). Bertumbuh dewasanya kami tak menyurutkan pandangan kami untuk berpaling dari lapangan kesayangan. Teknologi yang makin mutakhir juga tak sanggup menandingi kenikmatan kami dalam menghabiskan hari di lapangan sepak bola. Bagi saya dan beberapa kawan lainnya yang sudah menetap di kota berbeda, tentu akan sangat rindu jika mengingat itu.

Saya sudah berada jauh dari Aceh, sudah lama pula saya menetap di ibukota. Dengan segala kemudahan, kelebihan (juga kemewahan) yang dimiliki Jakarta, membuat saya betah tinggal di sini. Sebuah sifat alamiah (menurut saya) ketika kita sudah menetap 10 tahun lamanya di suatu tempat.

Ketika dihadapkan dengan pertanyaan di atas, antara Aceh dan Jakarta, dengan tenang saya menjawab, Aceh. Sekalipun saya sudah nyaman tinggal di Jakarta. Tapi, sekali lagi, Jakarta hanya tempat tinggal saya, bukan rumah saya. Dan bagi saya, hanya desa Cotgirek, Aceh Utara yang pantas disebut rumah. Sebuah Tempat yang mengawali tangis saya di dunia, tempat saya memulai mimpi dan cita-cita. Rumah pula yang menjadi alat pengingat dari mana kita berasal dan menjadi alasan kita untuk pulang. Seperti kata Ralph Waldo Emerson “rumah ialah tempat yang ingin kau tinggalkan ketika sedang tumbuh dan ingin kau kembali ketika mulai menua,”