Banyak pelatih hebat yang sudah berpindah
dari satu klub
ke klub yang lain, dari satu
negara ke negara yang lain, tak terkecuali Josep Guardiola. Mantan pemain Barcelona ini
mengawali karir melatihnya dengan membesut klub yang membesarkan namanya, Barcelona, pada 2008 lalu. Tanpa pengalaman melatih tim profesional sebelumnya, Pep, begitu ia disapa, mampu memberikan semua gelar yang tersedia, di tahun
pertama.
Klub asal Catalan menjelma menjadi klub paling menakutkan di dunia, yang dikenal dengan permainan tiki-taka nya.
Imbasnya, dalam rentang waktu yang lebih singkat, Pep berhasil menyetarakan
namanya dengan mendiang Johan Cruyff dalam urusan torehan gelar yang dipersembahkan
pada publik Nou Camp.
Seiring waktu berjalan,
dan mulai ditebaknya permainan Lionel Messi cs,
tiki-taka semakin meredup daya magisnya. Pep akhirnya mundur dari kursi
kepelatihan dan memutuskan rehat dari dunia sepak
bola, selama semusim kompetisi. Siapa
sangka, Pep, yang sempat mengaku jemu
akan permainan tiki-taka yang ia ciptakan, menyeberang ke tanah Bavaria, dan
melatih tim tersukses Jerman, Bayern Munchen.
Banyak yang tak percaya
dengan keputusan pria asli Catalan ini, karena sebelumya ia lebih santer diberitakan akan melanjutkan karir di Inggris untuk menjadi suksesor Sir Alex
Ferguson di Manchester United, atau membangun dinasti baru di Manchester City.
Kekagetan para pengamat sepak bola memang sangat beralasan, sebab di Jerman, tidak ada yang mampu menandingi
kedigdayaan FC Hollywood, yang sebelumnya sukses merengkuh treble winner bersama Jupp Heynckes. Tanpa perlawanan berarti dari
kompetitor lain, Pep selalu mengangkat trofi Bundesliga
sebelum kompetisi berakhir. Musim lalu saja, ia membawa Thomas Muller cs menjadi kampiun liga dengan menyisakan 10 pertandingan. (koreksi jika saya salah)
Sebuah pencapaian domestik yang tidak luar
biasa-luar biasa amat, mengingat kompetisi Bundesliga yang hanya melibatkan Bayern Munchen
dan Borussia Dortmund saja (beberapa
tahun belakangan). Belum lagi kebiasaan FC Hollywood
yang selalu menyomot pemain rival, semakin membuat kita ya
setidaknya saya tak berdecak kagum dengan
pencapaian Pep selama menangani Die Roten.
Satu hal yang membuat
pencapaian Pelatih berusia 46 tahun ini biasa-biasa saja di negeri Angela
Merkel adalah tidak jelasnya persaingan di papan atas Bundesliga yang selalu
berganti kesebelasan. Ada kalanya saingan
The Bavarian adalah Schalke 04, di lain waktu, VFB Stuttgart menjadi penantang
serius, di musim berikutnya bisa Wolfburg atau Werder Bremen yang menjadi
pesaing mereka. Fakta ini kembali mempertegas bahwa Der Klassiker bukan hanya
milik Munchen-Dortmund saja. Dan sekarang, pesaing Bayern ke tangga juara
justru berasal dari klub promosi, RB Leipzig.
Ketidak luar biasaan pria yang pernah akrab dengan Jose Mourinho ini
bisa terlihat jelas di ajang liga Champions Eropa. Meraih 2 trofi bersama Barcelona, Pep melemah di Jerman.
Jangankan satu trofi, mencapai final pun, ia tak mampu. Dibantai klub kesayangannya, Barcelona di
semifinal dua tahun lalu, Munchen harus angkat kaki di perempat final musim lalu dari Atletico
Madrid.
Meraih gelar domestik
beruntun di Jerman, membuat Pep Guardiola tak perlu menganggur satu musim lagi
untuk mendapatkan tim baru. Manchester City kembali menawarkan kebersamaan yang
sempat tertunda. Rayuan Syeih Mansour Al Nahiyan tak mampu ia tolak untuk kedua
kali.
Ia datang membawa harapan
baru bagi si tetangga berisik, setelah lunglai bersama Pellegrini sebelumnya.
Mata uang Poundsterling yang tak berseri ala raja minyak membuat Pep bebas
memilih pemain incaran. Kedatangan Ilkay Gundogan, Leroy Sane, John Stones, Claudio Bravo, Nolito, dan kemudian Gabriel Jesus di tengah musim semakin membuat skuat The Cititzen berkilau.
Awal musim ini, City langsung memnucaki Liga Premier Inggris selama
berminggu-minggu. Tapi tunggu dulu, ini Liga Inggris. kompetisi yang tidak mungkin
menjadi mungkin, sebuah tempat yang di negara lain hanya sebatas dongeng, di Inggris bisa menjadi nyata. Dua kali dilumat klub semenjana seperti Everton 4-0 dan Leicester City,
dengan skor 4-2 semakin melengkapi catatan minus Pep lainnya.
Terakhir, City ditahan
imbang Liverpool 1-1 di Etihad Stadium. Hasil ini tak ayal menjadi pertanda
bahwa Pep tidak cukup mampu mengangkat moral para pemainnya pasca disingkirkan
AS Monaco di Stade Louis II.
Ya, rasa sakit tentu
masih terasa jelas di pundak penggawa The Citizen kala mereka dipermalukan AS
Monaco di Liga Champions, tengah pekan lalu, dengan skor 3-1, setelah
sebelumnya unggul 5-3. Sedikit catatan, sebelumnya, tidak ada klub yang tidak
lolos jika sudah memasukkan lima gol ke gawang lawan di leg pertama. Rekor ini
tentu membuat nama Manchester City dengan Pep Guardiola nya abadi di buku
sejarah.
![]() |
sumber: independent.co.uk |
Menjadi raja di Jerman
dan menguasai dunia bersama Barcelona, Pep seakan menjadi pelatih yang baru
meniti karir ketika menginjakkan kaki di tanah Britania. Tersingkir di babak 16
besar Liga Champions tak ayal membuat Manuel Pellegrini dan Joe Hart tertawa
geli di tempat barunya.
Terlebih bagi Joe Hart yang terbuang ke Italia hanya
karena tak cocok dengan filosofi bermain ala Pep. Ya, Pep ingin penjaga
gawangnya ikut terlibat dalam permainan dengan sepuluh pemain lainnya.
Bagi saya pribadi, tugas
utama kiper adalah menjaga gawang sebaik mungkin dari serangan lawan, bukan
ikut bermain bersama bola. Filosofi kiper idaman ala Pep tak hanya membuat Joe
Hart terbuang ke Torino, tapi juga mencoreng kapasitas Claudio Bravo sebagai
pengganti kiper nomor satu Inggris tersebut.
Bravo yang sukses membawa
Chili dua kali meraih Copa Amerika dan satu kali Liga Champions bersama
Barcelona harus menjadi bulan-bulanan striker lawan, juga fans lawan yang
selalu menyorakinya saat mantan kiper Real Sociedad ini memegang bola. Nasib
Bravo semakin tak jelas ketika Willy Caballero merebut tempat utama.
Beberapa catatan minor City musim ini membuat Pep angkat
bicara, bahwa ia masih beradaptasi dengan gaya Kick N Rush Premier League memang menjadi alasan kuat tak
terbantahkan, meski sebelumnya ia tidak mengalami kendala yang sama di Jerman.
Alasan lain yang menurut saya cukup jenaka tentu saja pengakuan Pep yang tak
pernah mengajarkan anak asuhnya merebut bola dari pemain lawan.
Hal lain yang dirasa
penting dan tak terfikirkan oleh Pep sebelumnya adalah, ini Liga Inggris, bukan
La Liga atau Bundesliga. Inggris dikenal memiliki kompetisi paling kompetitif
di dunia, karena tidak hanya mengenal dua, atau tiga klub yang bersaing merebut juara.
Dalam hal transfer pemain saja, hampir semua tim di EPL setara dan tidak
membuat perbedaan jauh antara pemain klub satu dan klub lainnya.
Sedangkan La Liga atau
Bundesliga, kita sudah tahu semua. Sudah ada penghuni tetap disinggasana.
Berbicara Liga Spanyol maka kita berbicara perebutan juara antara Barcelona dan
Real Madrid. Tak hanya juara, kedua kutub berbeda ini juga memonopoli hak siar
pertandingan, yang membuat 18 kontestan lain hanya mendapat tak lebih dari
setengahnya hak siar Los Cules dan Los Galacticos.
Lain cerita dengan Bayern
Munchen di Jerman. Klub, pemain, seakan tak kuasa menolak tawaran dari FC Hollywood
jika sudah berkehendak. Melemahkan skuat lawan sudah menjadi cara lawas Munchen
dan semakin membuat mereka tak memiliki lawan sepadan, siapa pun pelatihnya. Lawan
tangguhnya beberapa musim lalu, Borussia Dortmund pun tak luput dari hal
demikian. Mulai dari Mario Gotze, Robert Lewandowski, hingga sang kapten, Mats
Hummels memebelot ke Allianz Arena.
Perbedaan Ini pula yang
membuat seorang Pep Guardiola tampak kecil di kompetisi Premier League. Bahwa
selama ini kebesaran yang ia dapat di semenanjung Iberia dan tanah Bavaria
bukan karena kepiawaiannya, melainkan tak ada perlawanan berarti dari kontestan
lainnya.
Pep mungkin lupa,
kedigdayaannya bersama Barcelona terbantu berkat seorang Lionel Messi, dan kegagalannya bersama Bayern Munchen di Eropa karena ketiadaan Lionel Messi di skuatnya. Sementara itu, merosotnya performa Manchester City di bawah kendalinya disebabkan ia tak
begitu hebat melatih di liga yang jauh lebih kompetitif.
Suka tidak suka, kita
harus mengakui jika Jose Mourinho lebih baik ketimbang Pep Guardiola. Tiga trofi
domestik dari tiga negara berbeda telah ia raih. Pun dengan dua gelar Liga
Champions yang ia dapat dari dua tim berbeda, yang sebelumnya tak
diperhitungkan untuk menjadi juara, menjadi bukti sahih lainnya.