Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Februari 2017

Pemberitaan media yang luar biasa seputar Pilkada tak bisa dipungkiri telah membutakan mata kita pada peristiwa lain yang jauh lebih penting dari pada si 1, 2, 3, atau nomor urut lainnya. Kenapa saya bilang lebih penting? Jelas, apa-apa yang berhubungan dengan Pilkada hanya akan membuat kita kehilangan teman dan menjadi tak waras dibuatnya. Sementara peristiwa lain yang dimaksud adalah kita bisa menambah pergaulan dan bahan perbincangan untuk tetap menjaga tingkat kewarasan dalam tatanan berkehidupan sosial.

Lalu apa saja hal-hal yang jauh lebih penting itu, yang luput dari perhatian kita akibat Pilkada? Berikut beberapa kejadian lain yang terjadi selama Pilkada berlangsung

1.       Antasari vs SBY
Tentu bukan masalah laporan Antasari di Bareskrim Polri yang menyatut nama SBY dan Hary Tanoe yang penting. Melainkan, lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, cuitan SBY yang menjadi penting. SBY tak terima dengan tuduhan mantan ketua KPK tersebut yang menurutnya keji dan bermuatan politik untuk menjatuhkan putra sulungnya, Agus Harimurti yang esoknya bertarung di Pilkada DKI.

Tanpa ampun, SBY membredel twitter dengan thriller cuit lanjutan yang membuat kita iba, juga tawa. Tak lama setelah mencuit kegelisahannya di Twitter, SBY mengadakan konferensi pers di kediaman barunya, Kuningan. Lembar perlembar kertas pidato yang ia baca ternyata tak beda jauh dengan apa yang sebelumnya ia utarakan di Twitter. Seketika saya bergumam senja jangan-jangan kertas itu hanya soft copy cuitannya di Twitter.”

Hmmmm.... I have to say *kepala menengadah ke atas* buat apa konferensi pers kalo isinya sama kayak di Twitter? Buat apa? B u a t a p a

2.       Ibas featuring Aliya
Wahai rakyatku. Kalian harus tahu bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. SBY rela turun bukit demi Agus, Ibas rela bikin Twitter demi SBY, Aliya rela belajar bahasa Indonesia demi Ibas. Yhaaaaaa

Mba Aliya, dengan cinta tiada tara pada Ibas cukup sigap meluruskan biduk persoalan “wahai rakyatku” yang kadung jadi trending topik. Ia tak menyia-nyiakan gelar sarjana yang diambil di luar negeri untuk membenarkan kosakata anak bangsa dengan sebuah dagelan yang bisa membuat Pram bangkit dari kuburnya. But, I have to say..kebodohan Ibas dibalas kebodohan Aliya. Ini sekaligus penegasan Tuhan bahwa ia memang adil dalam menentukan jodoh seseorang.
Wahai rakyatku. Inilah keluarga cemara yang saling membela di dunia maya. Entah apa yang membuat Ibas berkata “wahai rakyatku” sementara dia bukanlah siapa-siapa. Entah apa pula pertimbangan Twitter untuk mencetang biru akun Ibas dan Aliya yang.........................silakan isi sendiri.
sumber: tribunnews.com
3.       Tukang Bubur Naik Haji dan Anak Jalanan tamat
Dengan mengucap syukur diiringi gemuruh sirine telolet, akhirnya sinetron TBNH dan Anak Jalanan habis juga. Entah mereka sudah kehabisan cerita atau ini hanya sekedar trik Hary Tanoe untuk mengalihkan isu khalayak dari laporan Antasari Azhar padanya. Atau jangan-jangan demi melimpahnya slot mars Perindo yang makin easy listening di pendengar millenial.
*tiba-tiba saya melihat iklan sinetron SCTV yang judulnya Orang-Orang Kampung Duku dan Anak Langit* tidak ada kata lain yang patut diucapkan selain......ASUUUUUUUU

4.       Dewi Persik vs Nassar
Tidak ada Valentine tahun ini. Di hari yang kata banyak orang sebagai hari kasih sayang, Dewi Persik dan Nassar justru membuka permusuhan  baru. Berawal dari adu mulut KEDUA biduan ini, DePe tak bisa menahan emosi kala biduan satunya tak mau berhenti bicara. Entah ia sedang dapet atau memang sudah tabiatnya, pedangdut asal Jember ini anjiir tau amat gue langsung menghujam Nassar dengan sebutan “bencong lo. Anjing lo” yang sayangnya langsung dipotong kuis Tolak Angin. Dan seketika malam Valentine saya nanggung bukan kepalang dibuatnya.

5.       Awkarin
Sampai sekarang saya belum pernah melihat rupa Awkarin yang fenomenal itu. Awkarin adu mulut sama pacarnya pun (secara harfiah, adu mulut di sini maksudnya cipokan) saya juga belum lihat. Awakarin naik kuda di video klip terbarunya pun saya belum lihat. Dada Awkarin yang awalnya datar lalu  menjadi besar dan mantap, dengan sekejap, saat naik kuda pun saya belum lihat. Lho, tapi kok tahu dadanya gedean? Oke. Skip!

6.        Ahok menang di Petamburan
Tersiar kabar bahwa Ahok menang di TPS tempat di mana Agus nyoblos...hmmm mungkin ini biasa. Tapi apa jadinya jika Ahok menang telak di Petamburan, yang notabene markas besar FPI? Saya pastikan jika Ahok sendiri kaget dengan kemenangan tersebut. Walaupun tak sekaget anggota FPI yang tak terima dengan hasil itu dan minta dilakukan pemungutan suara ulang. Bukannya berbalik keadaan, suara Ahok justru makin bertambah setelah dipungut ulang.

Saya curiga, aksi 411, 212, 112, yang digalang FPI merupakan kontra strategi dari FPI sendiri untuk memenangkan Ahok di wiliyahnya dan mengelabui Anis yang rela men-down grade otaknya saat berpidato dihadapan Habib Rizieq dan kolega. Sekali lagi, Allah, Tuhan YME menunjukkan kekuasaannya. Takbiiir

7.       Gagal Sensor Film Jakarta Undercover
Dalam sebuah cuitannya, Fajar Nugros, sutradara film Jakarta Undercover mengungkapkan kekecewaan mendalam karena film yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Moamar Emka ini gagal tayang. Sungguh disayangkan karena saya sudah melihat thrillernya di bioskop beberapa hari yang lalu.

Memang tidak bisa dipungkiri jika film ini “berani” menampilkan beberapa adegan panas baik pria-wanita atau pria-pria, juga beberapa scene yang menggambarkan kehidupan urban Jakarta. Tapi kembali lagi, tidak mungkin pula jika film ini tetap dipaksakan tayang dengan catatan beberapa adegan dihilangkan karena secara otomatis akan kehilangan makna dari kata “undercover” itu sendiri.

8.       Kaos LOL Siti Aisyah
Kabar duka datang dari mancanegara kala Kim Jong Nam, kakak beda ibu dari Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara mati di tangan perempuan  yang katanya Indonesia. Ada banyak versi yang mengemuka di balik pembunuhan tersebut, mulai dari racun, identitas Siti yang berbeda, dan perannya sebagai agen rahasia Korea Utara.
sumber: kumparan.com
Ketika semua versi di atas masih simpang siur kebenarannya, kaos putih ”LOL” yang dikenakan Siti lah yang menjadi satu-satunya kebenaran mutlak. Jika benar ia agen rahasia Korea Utara, dari mana ia membeli kaos bertuliskan LOL tersebut? Saya berani bertaruh tak ada satu pun tukang sablon di Korea Utara yang mempunyai selera humor tinggi dan mengerti arti LOL. 

9.       Nafsu atau tidak nafsu dalam Wudhu’
Jujur. Seumur hidup saya tidak pernah mendengar pendapat seperti ini “Perempuan dan laki-laki tidak masalah jika bersentuhan setelah berwudhu’ asal tidak diiringi nafsu.” dengan mantap seorang teman berkata seperti itu setelah menyentuh saya yang sudah berwudhu’.Saya agak bingung dengan pendapat ini, dan membuat saya balik bertanya “oke. Kalo gue meluk lo gapapa kan ya? Kan nggak pake nafsu?”

Saya tidak mau berpolemik panjang dengan hal-hal demikian, Terlebih sekarang kita tengah menjalani fase di mana kafir-mengkafirkan orang terasa nikmat rasanya dan bisa menebalkan keimanan kita secara otomatis. Biarlah ajaran saya bagi saya, ajaran dia bagi dia. Segera saya kembali mengulang Wudhu untuk shalat dan teman yang tadi juga ikut shalat tanpa kembali berwudhu.

10.   Red Hot Chilli Papper ke Bekasi
Berbanggalah kalian warga Bekasi dan sekenanya yang telah memilih Ahmad Dhani sebagai pemimpin baru kalian. Pasca kemenangan Ahmad Dhani dan pasangannya – yang entah siapa namanya – pentolan Republik Cinta Management tersebut langsung mengimingi warganya dengan janji yang menggetarkan jiwa.

Ia tak perlu gontok-gontokan menawarkan DP rumah 0% pada warga Bekasi. Buat Dhani, Red Hot Chilli Papper harga mati! Bukan di Jakarta, tapi bekasi. Dengan kapasitas dia sebagai musisi handal yang kenyang asam garam, tentu ini bukan menjadi soal buat bapak 5 anak ini (bener 5 kan ya anaknya?) Mas Dhani tentu banyak jaringan di luar negeri sehingga dengan mantap menjanjikan kehadiran RHCP di Indonesia Bekasi.
Sekian!!!


Sabtu, 11 Februari 2017

Medio 2004 hingga 2014 kita dipimpin oleh seorang militer untuk pertama kali pasca reformasi. Membawa semangat baru bagi rakyat juga kaum muda bertalenta di partainya. Sebagai partai baru yang tak memiliki massa dan sudah pasti kalah dengan partai lama yang silih berganti menguasai negara, tentu terpilihnya ia menjadi presiden menjadi cerita lain yang pada akhirnya memimpin negara 10 tahun lamanya.

Susilo Bambang Yudhoyono, atau kondang disapa SBY kembali mencuri perhatian. Sempat hilang untuk beberapa saat pasca bergantinya pucuk kepemimpinan, ia kembali ke panggung hiburan politik. Tentu agak memaksakan jika kemunculannya kembali dianggap sebagai manuver politik untuk merongrong penguasa. Sebagai melankolic sejati, ia rela turun bukit sebagai seorang ayah. Bukan jenderal, apalagi mantan presiden.

Ke-peka-an seorang ayah pula yang membawa Agus, yang kemudian beken dengan gelar AHY ikut pertarungan alot demi kursi gubernur DKI. Betapa cintanya SBY pada Agus, yang belum tiba saatnya sudah dibebankan menjadi DKI 1.  Ia tahu betul apa yang terbaik buat kemajuan anaknya, juga ibukota Negara. Karena jika tidak, sudah pasti SBY akan memilih Ibas yang…………………….silakan kalian isi sendiri

Mari kita lupakan soal Agus, terlebih lagi tentang Ibas. Saya tidak ingin membahas keluarga Cikeas (kuningan) ini, saya hanya ingin konsentrasi pada SBY yang fenomenal. Fenomenal karena mampu memimpin negara 2 periode lamanya. Meski masih banyak yang mencibir SBY hingga kini, saya rasa ia tetap harus kita maafkan. Jika bukan kita, siapa lagi. Jika bukan sekarang, kapan lagi.

Tentu bukan masa bakti 10 tahun yang penuh intrik dan kejanggalan yang harus kita maafkan, melainkan cuitan SBY belakangan ini yang wajib kita maafkan dengan hati riang penuh sukacita. Selayaknya sepak bola, (dalam hal ini) Twitter juga telah memanusiakan manusia dari hal paling dasar.
sumber: bandung.bisnis.com
Aktifnya SBY di Twitter memang sudah lama dilakukan. Satu jam pertama ia muncul di Twitter saja, sejutaan orang sudah tersusun rapi di beranda follower SBY baik yang ingin berinteraksi langsung atau hanya demi nafsu menghujatnya tersalurkan. Maklum saja, ketika itu blio sedang menjabat kepala Negara.

Lambat laun, seiring habisnya masa jabatan SBY sebagai presiden dan maraknya berita-berita Pilkada di lini masa yang menimbulkan berjuta tafsir juga gelak tawa yang – katanya – mengancam kerukunan Indonesia. Melihat gelagat tidak baik ini, SBY dengan cekatan meredam amarah kita sebagai warga Jakarta dengan memohon pada Allah, Tuhan YME agar bangsa ini jauh dari kata hoax dan adu domba. Kita yang sebelumnya sering naik pitam kala membuka lini masa berubah sumringah dengan curahan SBY yang sangat humanis.

Demi kerukunan bangsa pula SBY merasa perlu dan wajib pindah rumah. Cikeas tampaknya sudah terlalu sempit baginya, juga bagi bu Ani yang sepertinya menganggap Cikeas sudah tidak ootd-able untuk memenuhi kewajibannya sebagai selebgram hingga harus pindah ke pusat Jakarta.

Kuningan menjadi destinasi baru SBY sekeluarga. Sebuah tempat di mana hampir sepertiga warga Jabodetabek mengadu nasib dan peruntungan, tak peduli seberapa macet ruas jalan, seberapa keras mereka berusaha. Perjuangan ini pula yang tampaknya menjadi pertimbangan SBY untuk sekali lagi bertarung di kerasnya ibukota demi putra mahkota duduk di balai kota.

Tak lama setelah ia pindah, sang Bapak kembali murka. Dengan cara yang melankolic tentu saja. Tak tahan dengan amuk oknum segelintir orang yang memenuhi kediaman barunya, SBY mengadu sebagai warga biasa. Mempertanyakan hak-hak hidupnya sebagai anak bangsa pada Presiden dan Kapolri di…Twitter dan…..no mention. Entah saya yang kelewat sentimen atau sebaliknya, yang pasti apa yang dilakukan presiden ke 6 ini benar-benar mencerimnkan suatu fakta, bahwa dihadapan Twitter, kedudukan manusia sama.
sumber: twitter.com 
Lewat cuitan berantainya tiga minggu belakangan, sudah semestinya kita menempatkan diri di posisi SBY yang hanya orang biasa yang memiliki rasa takut akan keselamatannya. Seperti yang kita tahu sebelumnya, selama menjadi presiden saja, ia selalu dirundung ketakutan akan menjadi target terorisme yang membuat foto dirinya penuh lubang dan takut pada urusan dapur yang tidak bisa ngebul kala menyadari gajinya yang tak kunjung naik.

Maka dari itu mari kita memaafkan SBY sebagai sesama rakyat jelata yang hanya bisa nyinyir pada penguasa di media sosial. Dengan sisa-sisa kekuatan politik yang ia punya, SBY lebih memilih jalan kekinian dalam mempertanyakan ketidaknyamanan. Meninggalkan atribut partai kala menanggapi beberapa kabar tak sedap yang menyasar dirinya dan keluarga. Lewat kebesaran hatinya pula kita tidak perlu menunggu serial hadirnya Panitia Khusus (pansus) yang kerap dibentuk SBY saat masih menjadi presiden.

Belakangan ini, orang Indonesia telah hancur martabatnya di media sosial hanya karena beda pilihan. SBY, dengan segala keringkihan hatinya mengembalikan kita ke masa di mana media sosial hanya untuk bersenang-senang dan baper-baperan. Lewat cuitannya, kita kembali bisa tersenyum setelah sebelumnya dinaungi amarah. Lewat cuitannya, kita bisa tertawa lepas dan menghibur diri setelah sebelumnya nyaman untuk membenci dan menyakiti.

Untuk itu, sudah selayaknya kita memahami dan memaafkan cuitan SBY dan biarkan ia hidup tenang di Kuningan sebelum nanti kembali ke Cikeas pasca pilkada di Jakarta.






Rabu, 09 November 2016

hijau hitam kini kembali
tegakkan panji
panji keadilan
sumber: kanetindonesia.com

lirik di atas adalah sepenggal semboyan wajib organisasi mahasiswa terbesar tanah air. Organisasi yang telah menghasilkan bapak-bapak bangsa negeri ini. Termasuk di dalamnya, Munir Thalib Said.

Tidak cuma Munir dan bapak-bapak tersebut yang bangga menjadi bagian dari organisasi ini. Saya, yang bukan apa-apa juga turut bangga menjadi bagian tak terpisahkan (secara moral) dari sang hijau hitam.

Kepekaan Munir pada rakyat telah membuat nyawanya dihilangkan oleh mereka yang takut kejahatannya dibongkar. Sungguh sayang, karena tak terasa kejadian ini seolah dilupakan oleh generasi selanjutnya yang buta, bisu, dan tuli akan sejarah yang pernah mendera negeri ini.

Popularitas Pilkada (pemilu), tebalnya kantong senior di pemerintahan, rasa-rasanya sukar untuk ditolak generasi sekarang. Sehingga, yang terjadi kemudian adalah gejala-gejala dehumanisme yang semakin banal mengatasnamakan kehidupan berdemokrasi. Tentu bagi mereka tak jadi soal menabrak peraturan dan meninggalkan sang pahlawan kemanusiaan dalam kubangan misteri. Karena satu, yang penting kanda senang.

Mereka, yang sejatinya mahasiswa, sudah dibebani kepentingan pemilik modal dari level paling dasar. Level yang seharusnya dimanfaatkan untuk belajar dan meramu pola pikir agar tetap menjunjung panji keadilan. Kini, keharusan itu pun direnggut oleh para senior yang membutuhkan dukungan dari bawah. Yang sialnya, mereka di bawah juga tidak kalah merengek memohon satu, dua proyek.

Kader baru, yang sedari awal diimingi nama-nama menawan yang telah berjasa dalam perjalanan bangsa ini, akhirnya hancur perlahan akibat ketamakan dan kelaparan mereka sendiri yang ingin sesegera mungkin naik kelas, tanpa mengikuti proses terlebih dahulu, tanpa belajar dan memilah mana yang benar mana yang buruk, mana kanda yang baik, mana kanda yang busuk.

Akibatnya, mereka lupa dengan identitasnya, lupa AD/ART yang tertulis jelas di buku sakunya. Lebih parah lagi, mereka lupa dan acuh pada orang yang telah membesarkan organisasinya. Orang yang nyawanya dirampas paksa di udara.

Lalu. Apa yang mereka bela? Apa yang mereka perjuangkan? Apa yang mereka kerjakan? Seperti kalimat di atas, mereka hanya mengikuti kehendak para kanda di mejanya (juga di penjara). Melakukan apa yang sudah diperintah. Sebagaimana kanda-kanda itu yang sudah (me)lupa(kan) Munir Thalib Said, dan menurunkannya pada mereka. Kawan-kawan saya.

Ketika bukti Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir dinyatakan hilang (jika tidak mau dikatakan dihilangkan), mereka yang notabene berada di bawah payung yang sama dengan almarhum justru tidak bergeming satu huruf pun. Aksi? Jangankan ini, sekedar kicauan di media sosial pun tak dijamah selayaknya pasangan calon pemimpin yang saban hari didukung. Lebih gawat lagi, tak ada satupun kader organisasi berlambang bulan bintang ini yang mempertanyakan bukti TPF tersebut (seingat saya).

Mereka, kebanyakan kader-kader organisasi yang bersejarah itu, secara berkala menistakan jubahnya sendiri, men-durhaka-kan diri dari seorang yang bernama Munir. Sebuah generasi baru yang enggan menggali kembali sejarah untuk mencari kebenaran “yang lain” dalam sebuah catatan masa lalu. Padahal, mereka para saksi sejarah yang harus, dan terus mengungkapkan kebenaran.

Alih-alih mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam kasus Munir, mereka, justru asyik mengamankan kekayaan tirani paling sohor di negeri ini. Membela mati-matian koruptor yang istrinya seorang walikota pinggiran Jakarta, dan bersaudari gubernur yang sudah di penjara.

Atau, menjadi tameng nomor satu mantan ketua pengurus besar yang entah kapan menggantungkan dirinya di Monas, dan kini justru mengibarkan partai baru (di balik jeruji) setelah pecah kongsi dengan partai penguasa sebelumnya. (saya belum tahu apakah partai nya lolos verifikasi Kemenkumham. Karena sudah tidak terdengar lagi gaungnya)

Mereka rela mengorbankan keadilan dan nuraninya demi berbakti pada kanda-kandanya yang laknat itu, hanya karena sang kanda royal dalam setiap kegiatan keorganisasian. Pertanyaannya adalah, di mana nilai-nilai dasar perjuangan yang selalu didengungkan? Ketika yang diperjuangkan hanya berlaku pada kanda yang masih hidup sekalipun di penjara dan menghidupi mereka.

Hal demikian tampaknya sudah menjadi mata rantai yang berjenjang setiap organisasi, terlebih organisasi mahasiswa yang tak bisa lepas dari para senior yang sudah nyaman di kursinya. Belum lagi, budaya meminta yang tiap kali wajib dilakukan jika telah tiba jadwal pelatihan. Meminta, lalu mengabdi pada yang memberi. Tanpa peduli dengan nilai-nilai kebenaran.

Menjual nama kanda-kanda yang sudah besar di negeri ini tidak salah memang, bahkan ini perlu dilakukan untuk menimbulkan ketertarikan bagi kader baru yang memang butuh sosok panutan. Tapi tentu kita tidak perlu membela mereka yang salah, yang menimbun kasus, dan terpenjara. Kita tidak perlu repot menjadi relawan para terdakwa, memuji setinggi langit, bolak-balik penjara untuk membesuk agar dapur organisasi tetap mengepul.

Di lain sisi, kita lupa dengan kanda yang bertaruh nyawa untuk membesarkan negeri ini, mengharumkan organisasi ini, seorang kanda yang telah mengembalikan hak asasi jutaan warga negara, yang tragisnya tak mampu menyentuh hati para dinda masa kini yang semakin culas, yang hanya berorientasi pada rupiah dan keagungan semu seniornya. Ada dimana mereka ketika kawan-kawan Kontras serta Suciwati (istri Munir) harus bertarung sekali lagi untuk mengungkapkan keadilan?

Seperti yang pernah diungkapkan Soe Hok Gie, ketragisan suatu idealisme adalah saat harus berhadapan dengan culasnya kekuasaan. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan. Pemuda-pemuda Indonesia yang penuh dengan idealisme akhirnya hanya punya dua pilihan. Pertama, tetap bertahan dengan idealisme mereka. Menjadi manusia yang non-kompromisitis dan orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala:”dia pandai dan jujur, tapi sayang kakinya tak menginjak tanah,” atau dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus, bergabung dengan mereka yang kuat (partai, ABRI, ormas, klik dan lainnya) dan belajar teknik memfitnah dan menjilat, lengkap dengan ironi dan tragiknya.

Apa yang ditakutkan Gie memang terlihat nyata saat ini, bahkan lebih binal ketika tidak ada idealisme yang berbekas dalam benak mereka-mereka ini ketika setiap kompromi yang dilakukan tak sebanding dengan harga diri yang dipertaruhkan. Hingga muncul nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Abdullah Puteh, Andi Mallarangeng, dan yang terbaru, Irman Gusman.

Mendengar lirik agung di atas, sudah sepatutnya, juga seharusnya kita semua sadar seberapa penting kata-kata itu diciptakan, seberapa besar perjuangan pendahulu kita memperjuangkan itu, dan seberapa besar pula harapan mereka melihat kita melanjutkan perjuangan yang telah mereka perjuangkan.

Organisasi ini, organisasi kita, sudah kepalang besar dan tetap akan menjadi besar tanpa nama-nama di atas. Bukan mereka yang membuat organisasi kita sebesar ini. Sebaliknya, dengan tingkah pola mereka lah kita jadi malu, organisasi kita menjadi hancur karena kedegilan mereka kanda-kanda laknat. Untuk itu, tidak perlu lah kita menjilat ia yang sudah di penjara, merawat hartanya, dan meneruskan birahi politiknya.

            Saya tentu tidak menjadi paling benar akan hal ini, tidak juga merasa paling suci dari mereka yang satu payung organisasi dengan saya. Tapi, bagi saya, lebih baik berterus terang walaupun ada kemungkinan ditolak, bahkan ditindak. Karena, lebih baik saya bertindak keliru dari pada tidak bertindak karena takut salah. Lagi-lagi, Soe Hok Gie.

Tentu kita tidak ingin lagu "Darah Juang" hanya sebatas melafalkan, tanpa mengamalkannya. Karena sesungguhnya, memperjuangkan keadilan dan membela pelaku keadilan jauh lebih bermakna dari pada menikmati (dan menjadi boneka) kemunafikan. 

#SaveHMI



 



Selasa, 27 September 2016

sumber: www.merdeka.com

Seorang manajer Bank Syariah pernah berkata pada saya, “liat aja wan, PDI Perjuangan pasti nyalonin Ahok PILKADA ntar, kalo enggak, iris kuping gue. Pola yang dipake PDI itu sama kayak nyalonin Jokowi jadi presiden, injury time”. Ucapannya  terbukti benar. Iya dong benar.  Secara manajer saya yang ngomong.

Setelah nasibnya terombang-ambing dan sempat ketar-ketir kala nama ibu Risma muncul ke permukaan jagat politik ibukota, Ahok akhirnya mendapat kepastian dari partai berlambang banteng tersebut. dan yang seperti kita duga semua, PDI tak akan mampu berpaling dari Ahok yang telah mendongkrak suara mereka di pemilu 2014 lalu.

PDI pun kembali bergabung dengan sejawatnya di pemerintahan, Nasdem dan Hanura yang sedari awal sudah mengusung Ahok sebagai Balon gubernur. Dan tentu saja, Golkar yang telah kembali pada fitrahnya sebagai partai pemerintah pasca diambil alih Setya Novanto, yang sempat menjadi poros hinaan Teman Ahok seantero jagat.

Kabar dari Hambalang pun tidak kalah gempar, setelah calon yang diusung Gerindra, Sandiaga Uno mondar-mandir tak jelas juntrungannya, akhirnya ia menemukan pasangan yang dirasa seirama dengan gaya kepemimpinan pak Uno. Tentu bukan Yusril Ihza Mahendra, apalagi M Taufik, terlebih (lebih) (lebih) lagi Ahmad Dhani, koalisi kekeluargaan lebih condong pada sosok yang sempat dicampakkan Jokowi dan koleganya, Anies Baswedan.

Melambungnya nama Anies Baswedan pada detik-detik akhir nyatanya tak bertahan lama, ketika dalam sekejap mata muncul nama baru yang lebih fenomenal. Fenomenal bukan karena turun kasta dari menteri menjadi calon gubernur, tapi fenomenal karena ia tak kuat melawan nafsu sang ayah serta kolega politiknya.

Agus Harimurti Yudhoyono, anak mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, didapuk mewakili partai Demokrat (PKB, PPP, PAN) untuk ikut tempur menduduki balai kota bersama Sylfiana, seorang birokrat senior di DKI. Siapa yang menyangka jika SBY tega mengorbankan karir cemerlang putra sulungnya di militer. Bukan perkara mudah bagi Agus untuk memilih jalan politik, karena di waktu bersamaan ia harus terdepak dari kesatuan militer yang sudah menjadi bagian hidupnya.

“Mayor Infantri Agus Yudhoyono harus membuat  surat pengunduran diri sebagai anggota TNI, yang ditujukan ke komandannya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono. Surat tersebut sebagai syarat penting untuk mendaftarkan diri menjadi calon gubernur ke KPU DKI. Nantinya, surat tersebut akan dilampirkan pada dokumen pendaftaran,” kata Muradi, selaku Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran (sumber: CNN Indonesia).

Mendengar nama Agus dicalonkan menjadi calon gubernur Jakarta oleh partai ayahnya, hati saya berteriak, mengucap sumpah serapah pada partai pengusungnya (serta bapaknya). Demokrat tampaknya enggan belajar dari PDI Perjuangan yang kebablasan menjerumuskan Jokowi ke lubang setan kekuasaan.

Tentu kita belum tahu apakah Agus akan bernasib sama seperti Jokowi. Tapi jika kita lihat dari pengalaman politik bangsa ini, hal tersebut menjadi sebuah kemungkinan yang tak terelakkan, belum lagi jika Golkar mulai membelot (lagi) ke Cikeas untuk menjalani transaksi politik yang diperdagangkan.

Agus, seorang prajurit terbaik Indonesia harus rela mengubur mimpinya menjadi jenderal karena ketamakan partai sang bapak. Seperti kata Ikrar Nusa Bakti, “akan menjadi sebuah blunder jika Demokrat benar-benar mengusung namanya, sebagai prajurit yang bermasa depan cerah, penunjukkan Agus sebagai calon gubernur akan berdampak buruk pada banyak pihak, terutama keluarga SBY sendiri,”

Ini bukan hanya menjadi penyesalan SBY dan istri di kemudian hari karena gagal melihat sang anak menjadi Jenderal. Tapi akan membuat mendiang Sarwo Edhie, kakek Agus Yudhoyono tidak tenang di alam sana, karena almarhum bercita-cita memiliki cucu seorang Jenderal, seperti dirinya. Lanjut peneliti LIPI tersebut.

Dalam politik, kehendak adalah raja, sementara pelakunya hanyalah papa. Seperti Agus yang tidak bisa melawan kehendak politik sang ayah, sekalipun ia harus membuat sang kakek merana di keabadiannya, atau Anies Baswedan yang rela menjadi kaki tangan Prabowo, sosok yang dia hujat selama pemilihan presiden lalu, dan Ahok beserta 1 juta temannya itu lebih memilih jalur partai ketimbang independen.

Kehendak politik pada akhirnya dapat berakibat pada konflik dan kejahatan. Seperti yang kita rasakan pasca pemilu 2014 lalu yang masih menyimpan dendam antar para mujahid-mujahid Jokowi dan Prabowo. Yang rela mati membela orang yang dinabikannya. Saat yang satu menghina lewat agama dan yang lain menjatuhkan melalui kenangan masa silam.

Dalam pandangannya, Arthur Schopenhauer, menganggap bahwa, Kehendak, dalam hakikatnya bersifat jahat, dan satu-satunya cara mengatasi penderitaan dan kejahatan adalah mengingkari kehendak, menolak untuk ambil bagian dalam persaingan egoistis untuk mendominasi orang lain.

Buah pemikiran filsuf asal Jerman tersebut tampaknya benar-benar diamini oleh Tri Rismayani, walikota Surabaya, dan Ridwan Kamil, walikota Bandung yang enggan mengikuti kehendak partai pengusungnya. Sindiran-sindiran yang dilancarkan Ahok (yang sudah was-was) ketika mendengar nama kedua pemimpin daerah tersebut akan dicalonkan beberapa partai pun nyatanya tak mampu membuat mereka meninggalkan tanggung jawab di kotanya masing-masing.

Mengingkari kehendak bukanlah hal yang mustahil dalam berpolitik, karena politik terlalu elastis untuk diingkari. Dan dalam politik pula, kebenaran hanyalah subjektifitas. Seperti PAN, PKB, PDI Perjuangan, PPP, yang pada akhirnya pisah jalan sebelum Koalisi Kekeluargaan benar-benar mekar, atau Teman Ahok yang ikhlas mengelu-elukan Setya Novanto ketika partai beringin merapat ke pemerintahan.

Yang menggelikan dari Pilkada DKI kali ini adalah, semua berlomba membuat Jakarta bersih dari nama Ahok, asal bukan Ahok. Bukan demi Jakarta itu sendiri. Dan bagi yang anti Ahok, “mereka hanyalah kafir yang akan merusak bangsa”, sementara untuk Ahokers, “mereka semua adalah orang-orang sesat dalam agama dan pendukung ISIS”. Ya, mereka Saling menuding rasis, padahal sama saja.




Sabtu, 04 Juni 2016

Pertama, saya minta maaf kepada pak Kivlan Zen karena telah lancang menulis surat kaleng ini. saya harap bapak memaklumi akan kekurangan saya yang suka nggeregetan enggak jelas. Adapun sifat nggeregatan saya berawal dari pemikiran mutakhir pak Kivlan Zen sendiri.

Di awali dengan wacana permohonan maaf pemerintah pada korban 1965 ( keluarga eks PKI ), di ikuti dengan temuan-temuan atribut PKI di beberapa daerah, serta maraknya acara-acara yang berbau “kiri” seperti Belok Kiri Festival, pemutaran film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” karya Rahung Nasution, dan symposium 1965 yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pak Zen dengan mantap nan haqqul yaqin, jika PKI ( Partai Komunis Indonesia ) kembali berdiri.

Jujur ya pak. Bulu kuduk saya ( baik yang terlihat, maupun yang enggak keliatan ) berdiri, merinding, tak bisa menahan tawa mendengar celotehan anda. Bukan karena saya tidak percaya dengan pemikiran bapak, tapi ya…mbok mikir to pak kalo ngomong. Apalagi depan publik. Apalagi bawa-bawa sesuatu yang punya sejarah panjang yang kelam. Apalagi….ya pak????

Saya lanjut ya pak Zen. Emang seberapa ngeri sih pak PKI itu buat bapak? Toh mereka juga udah pernah bapak usir kan dulu, dan mungkin juga ada yang bapak bunuh waktu itu, ini mungkin loh pak. Apa jangan-jangan ini lagi-lagi konspirasi wahyudi ya pak? Astaghfirullah, memang laknat betul mereka, pak.

Saya tidak mengerti kenapa bapak sebegitu dendamnya sama PKI. Padahal, di waktu yang bersamaan, mereka yang dulunya korban G30S PKI ( anak-anak jenderal ) sudah saling memaafkan, bahkan berangkul tangan dengan mereka yang orang tua nya terlibat PKI. Ini saya ndak mengada-ada lho pak, kan anda lihat sendiri bagaimana mesranya mereka saat acara ILC tempo hari.

bapak bersabda, bahaya laten PKI/Komunis sedang meraja di Indonesia. Akibatnya, acara kepemudaan dilarang, bedah buku, diskusi, pemutaran film dibubarkan, dan yang lebih hina lagi, buku-buku yang kadung beredar luas ditarik kembali, hanya karena berhaluan kiri. Bukankah itu bagian dari ilmu, pak? Kok ya saya merasa kita kembali jatuh dalam kubangan yang sama seperti era Orde Baru dulu. *Tenang pak, mungkin ini hanya buah dari kedangkalan pola pikir saya saja*.

Seolah tidak ingin kalah dengan Golkar dan PPP, pak Zen ( entah apa partainya ), mengadakan symposium tandingan 65, yang diberi tema symposium menyelamatkan pancasila dari kebangkitan PKI dan Komunis ( koreksi jika saya salah ).

Lalu, apa perlunya Pancasila diselamatkan dari hantu yang bernama PKI? Yang bikin pancasila juga kan bung karno, seorang sosialis yang dekat dengan Uni Soviet dan bersahabat dengan Aidit, si empunya PKI. Dari mana datangnya pemikiran ini pak Zen? Saya bertanya. Bapak enggak bisa jawab? Sila googling dulu pak. Enggak nemu pak? Sila obrak-abrik arsip nasional, pak. Astaga, enggak nemu juga pak? Istikhoroh deh pak tiap hari.

Begini pak Zen. Ada beberapa pendapat anda yang membuat saya menghabiskan sebatang rokok “234” hanya dalam sekali tarikan nafas ( padahal saya enggak ngerokok lho pak ). Pertama, anda menuding jika Budiman Soejatmiko seorang antek PKI sekalipun ia ( mungkin ) seorang komunis hanya karena dia aktif membangun dan memberdayakan desa, petani, dan kelas pekerja lainnya. Masya allah, tega nian bapak ini. seperti yang kita ketahui pak, Budiman Soejatmiko adalah anggota dewan yang bertanggung jawab dengan hal-hal demikian karena ia berada di komisi 2. Jika sudah begini, saya jadi penasaran, dalam berpikir, pak Zen memakai mazhab apa?

Secara tidak langsung bapak sudah menganggap bahwa penduduk desa, petani, dan kelas pekerja lainnya sebagai PKI? Usut punya usut, anda juga berasal dari desa kan pak? Berarti anda…..saya skip aja ya pak.

Kedua, dengan penuh rasa percaya diri bapak bersabda jika PKI telah bangkit sejak 2010 lalu yang di ketuai oleh Wahyu Setiadji ( entah siapa lagi itu ), dan sudah memiliki 15 juta kader yang tersebar di seluruh nusantara. Ini pula yang membuat saya tertawa sesunggukan, sampai rusak keyboard PC saya akibat semburan air liur yang keluar dari mulut karena hendak menahan tawa tapi saya tak berdaya.

Ajaib sekali anda pak. Habis semedi di gua mana bapak sehingga dengan mantap menyebut nama Wahyu Setiadji, yang bapak sebut sebagai anak Njoto, seorang propagandis handal PKI. Oleh karena itu, saya pun bergegas nanya om gugel. Mencari, siapa sebetulnya Wahyu Setiadji itu. alih-alih menjadi ketua PKI, Wahyu Setiadji yang saya temukan justru seorang pedagang cilung, pak. *Jangan salahin saya pak, kan gugel yang jawab, bukan saya. Mungkin gugel turunan PKI kali pak. Masa enggak tau Wahyu Setiadji. Wong bapak aja tau, ya?*.

Belum lagi, klaim bapak yang menyebut 15 juta, sebagai angka pasti dari jumlah kader PKI itu. ini luar biasa sekali pak. Teman Ahok saja ngumpulin sejuta KTP buat Ahok udah mpot-mpotan. Lah ini, ngumpulin KTP kaga, nyamperin warga dusun juga enggak, ngomen masalah reklamasi juga boro-boro, tiba-tiba udah ada 15 juta kader aja.

Setahu saya, pak. Di masa keemasan PKI saja, kader mereka hanya menyentuh angka 10 jutaan. Nah sekarang, dengan segala pembredelan karya, pembubaran acara, dan segala keterbatasan media, bagaimana bisa kader PKI jumlahnya membengkak diangka 15 juta? Hmmm….mungkin 10 juta nya kader-kader hantu zaman 42-65. Bisa jadi-bisa jadi.

Dengan ini, saya mulai berpikir jika sesatlah presiden Jokowi yang lebih memilih Soetiyoso sebagai kepala BIN ( Badan Intelijen Negara ), ketimbang pak Zen, yang melalui hipotesa nan agung bisa menyimpulkan keberadaan PKI melalui analisis yang terperinci.

Sekian surat kaleng ini saya buat untuk pak Kevlan. Maaf pak jika saya tidak mencantumkan pesan-pesan didalamnya. Secara ilmu saya masih teramat jauh dari bapak. Kalo bapak tidak baca surat ini gapapa pak. Wajar, namanya juga surat kaleng. Ntar saya buatkan surat botol ya pak, biar lebih nikmat.
Yakali surat botol, pak…

 

Senin, 16 November 2015

Mungkin kalian sudah bosan mendengar nama ISIS dan sepak terjangnya selama ini. tapi, izinkan saya menambah kejenuhan kalian dengan perspektif saya pribadi. Dengan harapan, agar kalian tahu apa itu ISIS dari seorang radikal seperti saya (wkwkww bercanda ya).

ISIS muncul sejak beberapa tahun yang lalu, tepatnya saya tidak tahu, tidak penting juga bagi saya. Yang pasti kemunculan ISIS bertepatan dengan gejolak yang tengah terjadi di Suriah antara pemberontak dan pemerintahan Bashir Al Assad.

Fenomena yang terjadi di belahan bumi arab, yang diawali pergolakan di Tunisia, antara rakyat dengan presiden yang dijatuhkan, Ben Ali, hingga jatuhnya Hosni Mubarak di Mesir yang kini menghadirkan permasalahan baru dalam pemerintahannya, kini terjadi juga dengan Suriah. 

Sejatinya, bukan hanya Suriah yang “latah” dengan revolusi yang terjadi di Tunisia, namun masih banyak negara Arab yang melakukan hal demikian. Akan tetapi, Suriah lah yang menjadi buah bibir hingga saat ini.
Sayangnya, cita-cita revolusi rakyatnya dulu, kini malah melenceng jauh ke arah yang sangat amat merugikan mereka sendiri, bahkan juga dunia, dengan kemunculan ISIS alias Islamic State Iraq and Syria, yang di ketuai oleh Abu Bakar Al-Baghdadi.

Saya tidak akan menyinggung bagaimana kiprah ISIS selama ini, karena kita sendiri sudah tahu tiindak-tanduk mereka yang saban hari tertangkap kamera televisi. Saya lebih tertarik bagaimana ISIS itu bisa muncul dan mendadak menjadi kekuatan menakutkan, yang menurut saya melebihi Al Qaeda dulu.


Perpecahan di Suriah terjadi pada empat tahun lalu ( koreksi jika saya salah ) antara rakyat yang tidak puas dengan kediktaktoran Al Assad yang juga dilatar belakangi revolusi Arab di Tunisia, Mesir, dan Libya. Rakyat yang tadinya hanya bermodalkan batu untuk melawan pasukan pemerintah, lama kelamaan mendapat
pasokan senjata dari Amerika Serikat dan NATO, belum lagi ditambah dengan beberapa militer yang membelot menjadi oposisi.


Selang setahun kemudian, muncul lah ISIS dengan membawa misi awal yang sama, yaitu menjatuhkan Bashir Al Assad. Namun, seiring berjalannya waktu, ISIS justru semakin meninggalkan Al Assad dan justru semakin menambah penderitaan warga Suriah. Pendiri ISIS sendiri yang bernama Abu Bakar Al Baghdadi pun menjadi misteri tersendiri di kalangan dunia.

Belakangan muncul kabar bahwa Al Baghdadi adalah mantan tahanan Amerika Serikat yang ditahan akibat aksi terorisme – walau pihak CIA mengklaim ia ditahan akibat pemalsuan paspor – yang kemudian dibebaskan beberapa tahun lalu. Jika ditelusuri lebih jauh, maka kehadiran ISIS memiliki hubungan erat dengan keterlibatan AS di dalamnya. 

Kenapa bisa begitu? Ini saya jelasin sedikit. Pertama, Baghdadi adalah mantan tahanan Amerika, yang dikenal mempunyai aturan sangat ketat dan amat keji dan tak jarang menghalalkan segala cara dalam menghukum seorang teroris atau dituduh teroris. Pertanyaannya, dengan aturan seperti itu, kenapa seorang Al Baghdadi bisa dibebaskan oleh AS? Tanpa secuil luka pun?


Kedua, Amerika memiliki ketimpangan hubungan diplomatik dengan Suriah, karena Al Assad lebih condong ke Rusia, sehingga dengan senang hati mereka dan NATO mengirim bantuan segala jenis senjata kepada pemberontak, yang sebelumnya tak pernah dilakukan oleh AS kepada negara manapun, kecuali Israel. Ini pula yang sekaligus memunculkan kaum-kaum ekstrimis untuk menjatuhkan Al Assad, dan tentu
didukung AS. 


Sadar atau tidak, inilah yang menjadi awal kemunculan ISIS, sadar atau tidak pula, Amerika lah yang menciptakan mereka. Dan sekarang, ISIS justru menghancurkan hampir seluruh wilayah di Suriah dan Irak.
Meratakan semua peninggalan sejarah Islam dengan tanah yang tersebar diseluruh negeri. Membunuh mereka yang juga Islam namun berbeda pandangan, dan merekrut “kader-kader” baru dari penjuru dunia, termasuk Amerika dan Eropa.

Lalu, kenapa ISIS menyasar orang-orang barat sebagai anggotanya? Atau lebih tepatnya lagi, kenapa orang-orang barat itu sangat tertarik masuk ISIS? ( terlepas ia Islam atau muallaf ), dan kenapa kelompok baru seperti ISIS ini memiliki senjata lengkap nan mutakhir, juga kumpulan-kumpulan mobil SUV yang mewah bak bangsawan kelas atas barat? Silahkan kalian berandai-andai dengan hal ini.


Jauh sebelum ISIS lahir ke dunia, kita lebih dulu mengenal nama Osama Bin Laden dengan jaringan Al Qaeda nya, yang terkenal dengan serangan 11 september di menara Pentagon Amerika. Bisa dibilang, inilah yang menjadi cikal-bakal kebencian barat terhadap Islam. Dua pesawat komersil yang diterbangkan rendah
tiba-tiba menghentak dua gedung kembar di New York tersebut dan ratusan nyawa pun melayang.


Tak lama, Al Qaeda menyambut aksi tersebut dengan membenarkan aksi mereka ke dunia. Baiklah, saya rasa kita sepakat memang mereka dalangnya. Tapi sadar kah kita, jika itu tidak lepas dari permainan politik konspirasi Amerika dengan sekutu kandungnya, Israel? Begini, gedung Pentagon dan WTC merupakan bangunan maha penting bagi AS dan tentu saja banyak warga Israel atau keturunan yahudi yang bekerja disitu. 

Dan, dari sekian ratus orang yahudi-Israel yang bekerja di WTC maupun Pentagon, tidak ada satupun dari mereka yang menjadi korban nahas tersebut, entah mereka tahu atau tidak, yang pasti saat kejadian, mereka semua kompak tidak masuk kerja.

Kebetulan? Atau direncakan? Jika itu benar konspirasi, kenapa Amerika dan sekutu dengan mudah menghilangkan nyawa warganya sendiri? Jelas saja untuk melanjutkan hegemoni nya di Afganistan yang memiliki opium melimpah, juga minyak yang tiada habisnya. Negara tetangga Pakistan ini pun bertahun-tahun diduduki pasukan AS, bahkan pemerintahnya, presiden Hamid Karzai pun dibawah komando langsung gedung putih. 

Mungkin ini pendapat yang sedikit memaksakan. Tapi, kenapa tidak? Namanya juga politik. Ganjalnya
penumpasan Al Qaeda pun semakin menjadi ketika Amerika mengklaim telah membunuh Osama Bin Laden yang ditandai dengan acara nonton bareng presiden Obama bersama para staffnya di gedung putih. 

Tapi pernah kita melihat jasad Bin Laden? Atau adakah pihak keluarga yang mengklaim kematiannya? Lalu, kenapa pula pihak AS terburu-buru membuang mayatnya ke tengah laut? Politik kotor Amerika pun tidak mentok di Afganistan, karena mereka pun menyerang negeri seribu malam, Irak, yang saat itu sedang damai-damainya. 

Sama halnya dengan Afganistan, kedamaian Irak pun sirna seketika ketika Amerika mulai memasuki Baghdad dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal. Irak membantah, Saddam Hussein pun menuduh Amerika tidak senang dengan kekayaan Irak saat itu, Eropa pun meragukan tuduhan George Bush, presiden AS saat itu. tapi, lagi-lagi, tidak ada yang bisa melarang jika Amerika sudah berkehendak. 

Perang pecah, Irak porak-poranda. Dan sampai digantungnya Saddam Hussein pun, tidak ada yang menemukan senjata pemusnah massal tersebut. dan seperti yang sudah dituding Saddam, AS hanya menemukan minyak bumi, karena memang itu yang mereka cari.

Pernyataan Saddam Hussein akan ke-tamak-an AS sepertinya memang benar. Ini pula yang terjadi dengan Mesir, pasca lengsernya Hosni Mubarak yang pro Amerika dan naiknya Mohammad Mursi, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang mendukung perjuangan Hamas di Palestina, Amerika lagi-lagi memainkan peran vitalnya selaku “penguasa dunia”, dengan mengatur kudeta militer terhadap Mursi, kemudian memenjarakannya, dan menghukum mati para pengikutnya. Kita pun bisa melihat bagaimana Mesir yang kini porak-poranda dan tunduk dengan perintah AS dan sekutu.

Al Qaeda memang tidak ada hubungan historis apapun dengan ISIS, namun, dengan persamaan tujuannya mengintai barat, mereka pun akhirnya membangun afiliasi baru dan saling mendukung satu sama lain. Kebengisan ISIS pun telah sampai ke tanah Afrika, tepatnya di Nigeria, yang mana kelompok ekstrimis lainnya, Boko Haram mendeklarasikan diri setia bersama ISIS.

Laiknya Al Qaeda, Boko Haram pun tidak pernah benar-benar menjadi besar seperti ISIS, tapi kelompok mereka dikenal sangat rapi dan mematikan dalam setiap melancarkan operasinya di Nigeria. Ketiganya memiliki persamaan yang sama pada awal-awal pendirian mereka, yaitu ingin membangun negara Islam yang berdaulat, tapi semakin hari, tujuan mereka terus melenceng dan menjadi musuh Islam itu sendiri.

Ini sungguh berbeda dengan apa yang terjadi di Palestina dengan Hamas yang masih konsisten memperjuangkan kemerdekaan negara dari jajahan Israel, atau pejuang Cecna di Rusia, meskipun sekarang mereka – tampaknya – sudah berdamai dengan pemerintah setempat.

Dengan kemunculan segala macam jenis kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam ini, nampaknya semakin mempertajam wabah Islamphobia di daratan Eropa dan telah memunculkan beberapa kelompok 
ultra-nasionalis anti-salafi, anti-wahabi seperti yang terjadi di Jerman, Belanda, dan Inggris.

Jauh sebelum itu, ada beberapa tokoh kanan dunia yang secara terang benderang menentang segala bentuk ke-islam-an, seperti anggota parlemen Belanda, Geert Wilders yang ingin mempertontonkan kartun Nabi Muhammad dan menyandingkan beberapa ayat Al’Quran dengan aksi terorisme, atau pendeta di Amerika Serikat, Bob Old dan Terry Jones yang hendak membakar Al’Quran dihadapan jemaatnya.


Tahun lalu, Paris diguncang dengan aksi penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo yang menewaskan beberapa orang, termasuk pemimpin redaksi majalah satire tersebut. dunia pun berlinang air mata akan aksi itu, yang diklaim dilakukan oleh ekstrimis muslim setempat. Akibat penembakan tersebut, majalah Charlie
Hebdo pun laris manis dalam pembukaan perdana pasca penembakan.


Tapi, sadarkah kita apa sebenarnya yang melatar belakangi penambakan itu? kemana dunia atau negara Islam ketika majalah tersebut menyinggung umat Islam dengan karikatur Nabi Muhammad? Sudah puluhan kali mjalah tersebut memunculkan kartun Nabi sebagai objek jualnya, dan pasca peledakan pun, yang menjadi headline utama mereka tetap me-nyatire-kan Nabi Muhammad.


Saya tentu tidak membenarkan aksi penembakan tersebut, tapi tentu saja aksi penembakan tidak akan pernah terjadi jika Chalie Hebdo tidak lancang menyinggung umat Islam seluruh dunia. Bukan mau sombong atau bagaimana, saya sedikitpun tidak simpati dengan Charlie Hebdo ketika mata dunia berkabung untuk
mereka.



Mari kita kembali ke Amerika dan ISIS. Pertentangan mereka terhadap ISIS, juga perselisihannya dengan presiden Suriah, Bashir Al Assad lagi-lagi menjadikan mereka kalap mata dan terus menjadi polisi dunia dengan mengirim pasukan darat ke Suriah untuk menghancurkan ISIS, tapi di sisi lain, mereka juga terus
mengirim senjata kepada pemberontak untuk menjatuhkan Al Assad. 


Logikanya, bagaimana bisa mereka ingin menumpas dua pihak sekaligus, yang mana dua kubu tersebut juga saling bertentangan? Dan hasilnya pun bisa ditebak, ISIS menjadi semakin kuat, besar dan meluas sampai ke Eropa.

Berbeda dengan AS, Rusia yang menjadi sahabat dekat Suriah di kawasan Timur Tengah, belakangan pun ambil bagian melawan ISIS. Bedanya, Rusia mendukung penuh presiden Assad dan bersama-sama menghancurkan ISIS, seperti yang di katakan Vladimir Putin, “satu-satunya cara menghancurkan ISIS adalah mendukung presiden Assad”. Mereka  pun tidak mengirim pasukan darat, hanya membombardir ISIS lewat udara.

Tindakan ini sepertinya lebih efektif dan berhasil melumpuhkan beberapa markas ISIS di wilayah Suriah, ketimbang mengirim pasukan langsung ke Suriah yang hanya akan menambah korban jiwa tak berdosa. Menyadari hal ini, Irak pun mulai membelot dari Amerika ke Rusia dalam penumpasan ISIS sampai ke akarnya.

Suka tidak suka, kita tidak bisa membutakan mata dan mematikan nalar, bahwa kemunculan ekstrimis yang mengatasnamakan agama meIibatkan pihak Amerika dan sekutunya. Ibarat kata, Timur tengah adalah tanahnya, dan barat menjadi benihnya. 


Untuk memperjelas tulisan saya yang sepertinya tendensius ini, saya sarankan anda-anda membaca essai kang Zen RS berikut : http://kurangpiknik.tumblr.com/


Terakhir, agar tidak salah paham, meski bernama ISIS dan ada embel-embel Islam didalamnya, sumber keuangan mereka nyatanya berasal dari 40 negara. Apakah Amerika, Perancis, Jerman, Inggris, atau mungkin Arab Saudi termasuk didalamnya? Entahlah,silahkan cek di Bank Swiss.

Lebih dan kurang saya mohon maaf, jika ada yang tidak setuju dengan pendapat saya dan ingin menulis dengan pandangan sebaliknya saya akan sangat senang
Atas kebesaran cinta saya kepada aa komisaris Fadjroel Rachman, saya kembali menulis ini untuk blio, dan mudah-mudahan blio sadar akan kecintaan saya kepadanya.


Jadi gini, beberapa hari ini politik tanah air diguncang dengan transkip percakapan ketua DPR yang di tengarai mencatut nama presiden Jokowi serta wakilnya, Jusuf Kalla perihal Freeport. Transkip percakapan akhirnya bocor ke ranah publik dan sudah pasti disantap habis oleh masyarakat Indonesia.



Berita ini sendiri menjadi besar karena yang dicatut adalah presiden serta wapres, dan yang mencatut adalah ketua parlemen, Setya Novanto, yang bulan lalu kepergok tengah road show di Amerika bersama kekasih gelapnya, Fadli Zon.



Lalu, kenapa paragraf pertama saya menyinggung aa komisaris? Seperti yang saya bilang diatas, blio adalah sosok idola yang amat saya cintai. Dan FYI aja sih, setelah puluhan kali, akhirnya mensen saya dibales sama blio – ya walaupun Cuma say hay doang dan tidak menjawab pertanyaan saya, juga tidak membalas mensen saya berikutnya – tapi tak apalah, yang penting kami sempat berbalas mensen, itu prestasi tersendiri bagi saya.



Pada zaman pemerintahan SBY lalu, ada beberapa pejabat atau pengusaha yang mencatut nama presiden atau wakilnya, Boediono. Dan tentu saja, aa komisaris dengan gagah mendorong agar orang nomor 1 dan 2 negeri ini untuk diseret ke pengadilan untuk di mintai keterangan. Baik itu pencatutan nama lewat rekaman percakapan seperti kasus Setya Novanto sekarang, atau kesaksian seseorang di pengadilan atau di media massa, atau bahkan hanya mengira-ngira saja atas dasar logika nya sendiri, aa komisaris tetap kekeh kalau kedua petinggi negara ini harus memberikan saksi nya ke pengadilan.



Sayang, petunjuk dari aa komisaris tidak pernah didengarkan oleh pihak pengadilan, meskipun Boediono pernah di panggil DPR untuk kasus Bank Century, tapi nama SBY tidak pernah tersentuh oleh pengadilan sekalipun. Beritanya pun menguap begitu saja, dan tentu aa komisaris semakin jengkel dengan keadaan seperti itu.



Namun kini, setelah negara api menyerang ( lagi-lagi ), dan setelah Manny Pacquiao menjadi lawan tanding Chris John di arena Kuku BIma Energy, aa komisaris Fadjorel telah berubah, ia kini lebih kalem dalam berpendapat, tak jarang lebih hati-hati, atau bahasa pejabatnya, normatif. Tapi tak apalah, saya maklumkan
saja, toh blio sudah menjadi pejabat juga kan ya?

Intinya, jika suara rakyat adalah suara tuhan, jadi bisa kita simpulkan bahwa suara aa komisaris Fadjroel adalah suara relawan Jokowi lainnya yang saya yakini pada pemerintahan SBY lalu mereka adalah penghujat setia SBY-Boediono sampai masa baktinya berakhir. Jadi tulisan umumnya kepada para Jokowers yang saya persembahkan khusus kepada aa komisaris, biar tidak ribet dan menghabiskan tenaga saya dalam mengetik huruf-huruf yang timbul di laptop.



Kemunculan rekaman Setya Novanto yang mencatut nama Jokowi-JK tentu membuat kuping semua orang panas, termasuk aa komisaris tentu saja. Bedanya, sekarang ia panas bukan karena ingin menyeret dua “ketuanya” tersebut memberi kesaksian, melainkan menuntut agar Setya Novanto ke pengadilan dan memecatnya dari kedudukannya sebagai ketua DPR. Tentu saya juga setuju dengan usulan ini, tapi ya itu tadi, sikap aa komisaris sudah tidak sama seperti dulu. Wajar sih…



Tapi, kenapa blio tiba-tiba menjadi picik sperti itu – atau saya yang picik? Entahlah – sudah buta kah ia jika pencatutan tersebut memiliki secercah kebenaran? Mengingat Setya Novanto tidak sadar jika pembicaraan tersebut tengah direkam. Media pun mendadak mengikuti arus tersebut dengan beramai-ramai menyudutkan Setya Novanto, yang saya akui dia juga salah. Tapi ini sangat berbeda pada masa SBY ketika media, semua orang, dan tokoh masyarakat kompak menuntut agar SBY ikut di periksa demi keadilan.



Kini, semua menjadi miring sebelah – kalau kata teman karib saya “kapal oleng kapten” – , media, tokoh politik dan pemuda justru menjadi tameng tersendiri bagi Jokowi-JK. Jika memang tudingan itu benar, ya ada baiknya Jokowi-JK juga diperiksa, sembari menjatuhkan Setya Novanto dari kursinya di parlemen. Namun, jika tudingan itu salah, silahkan seret Setya Novanto ke pengadilan atas nama pencemaran nama baik. Engga masuk kategori Hate Speech kan ya ini?



Kembali lagi ke aa komisaris Fadjorel terkasih. Dengan tindak-tanduk aa Komisaris sekarang ini, saya tidak bisa menjamin ini akan menjadi tulisan terakhir saya tentang anda. Bisa jadi ini menjadi partikel dari trilogy “Teruntuk aa Fadjroel”, atau bahkan menjadi” Teruntuk aa Fadjroel” The Series. 

Tergantung sejauh mana anda menjilat ludah sendiri, atau memungut kembali kotoran yang telah anda keluarkan dar dubur sendiri yang mengatasnamakan demokrasi 
#GoodNewsFromJokowi.  Btw








b�uvw

Kamis, 05 November 2015


Bagi kalian yang mengikuti isu politik sejak kejatuhan orde baru pada 98, atau saat 10 tahun pemerintahan SBY, tentu sangat hafal dan mahfum dengan sosok yang satu ini. ya, beliau adalah Fadjroel Rachman, aktivis 98 yang terus berjuang hingga pemerintahan SBY selesai.



Perjuangan aa Fadjroel tak terhenti sampai disitu, karena selama pemerintahan Jokowi pun aa tetap berjuang. Tetap berjuang untuk rakyat maksudnya? Entahlah, yang pasti berjuang. Aa Fadjroel adalah salah satu tokoh muda yang saya idamkan, makanya, beliau saya beri gelar aa, sebagai rasa hormat saya pada beliau.



Sebagai mana aktivis pada umumnya, masa orde baru menjadi masa paling suram dalam kehidupan aa Fadjroel dan aktivis demokrasi seangkatannya. Keluar masuk penjara, pengasingan, hingga ancaman pembunuhan selalu membayangi hidup aa selama itu.



Lewat perjuangannya yang tak kenal menyerah dan pantang takut inilah, akhirnya rezim orba pun jatuh, dengan aa Fadjroel sebagai salah satu aktor utamanya. Rasa takut yang kerap hinggap dalam fikiran, darah yang terkadar mengucur deras, akhirnya terbayar ketika ratusan ribu mahasiswa berhasil menggulingkan Soeharto beserta anteknya.



Ketika rekan-rekan aktivis ramai masuk partai politik, aa Fadjroel ogah mengkhianati idealisme nya itu, beliau tetap berjalan melalui jalurnya sendiri, dan terus bergerilya melawan tirani pemerintahan sehabis pak Harto menjabat. Siapapun presidennya, maka harus siap di nyinyiran sama aa.



Aa Fadjroel pun berhasil mendirikan media online yang ia beri nama, Pedoman News, yang dengan sekejap menjadi media oposisi paling tajam mengkritik pemerintahan SBY. Ya, 10 tahun SBY menjabat presiden, nama aa Fadjroel Rachman kembali bersinar dijagat politik nasional.



Kritikan tajam terhadap pemerintahan SBY yang disertai analisis akurat, membuat aa Fadjroel mendapat panggungnya kembali. Sangat banyak masyarakat – yang didominasi kaum pemuda – berempati pada aa dan memberi dukungan, tidak terkecuali saya, yang langsung jatuh hati pada beliau. “nih orang kalo nyalonin presiden pasti gue dukung, jadi relawannya oke, ngumpulin KTP buat dia pun jadi, jadi timses nya  pun gue jabanin dah” gumam saya dalam hati, ketika itu.



Harapan saya itu pun seakan menjadi nyata ketika pada 2009 lalu, aa Fadjroel mantap maju menjadi Indonesia 1, dan hebatnya lagi melalui jalur independen. Subhanallah, sumpah keren nih orang. Saya jadi seperti orang gila ketika itu, saat mendengar aa mau jadi presiden atas nama sendiri. “Ya allah ya rabb. Masih ada orang lurus di Indonesia ternyata”



Tapi, niat mulia aa Fadjroel pun gagal. Saya pun tidak jadi ngumpulin KTP, jadi relawan, dan jadi timses beliau. Semuanya gagal total karena undang-undang hanya memperbolehkan calon presiden melalui parpol. Usaha aa lewat Mahkamah Konstitusi pun menemui jalan buntu, upaya saya menyebar selebaran wajah aa dan niat nyablon baju bakal kampanye pun semakin layu.



Salah satu alasan saya bikin akun twitter ya karena aa Fadjroel. Saya tidak ingin ketinggalan satu kalimat pun yang keluar dari mulut aa, dan berhubung beliau aktif di media sosial, jadi ya saya susul lah ia ke twitter, dan seperti dugaan, cuitannya pun sangat berbobot, tajam, menusuk, dan menohok. Pemerintah dibawah SBY dibuat kocar kacir karena tweet aa, saya pun dibikin tak berdaya untuk terus mengidolai aa Fadjroel sebagai tokoh muda paling berpengaruh. 

Banyak pemikiran saya tentang pemerintahan SBYterinspirasi dari beliau. Kalo istilah sepak bola nya, saya ini hooligans nya aa Padjroel lah Satu hal lain yang dimiliki oleh aa dan tidak dimiliki oleh tokoh lain adalah, beliau juga berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan PLN. Loh kenapa bisa gini? emang aa komisaris utama PLN??? Bukan ya, bukan. Saya pun tidak tahu asal muasal hubungannya dengan PLN, tapi yang pasti semua orang Indonesia, jika daerahnya tengah mati lampu, maka mereka akan melapor ke aa Fadjroel, lewat twiter. 

Dan mayoritas dari mereka yang melapor pada beliau pun puas dengan efek aa Fadjroel. Karena tidak lama setelah mensen ke aa, listrik di daerah mereka pun kembali menyala. Engga percaya? Buktiin aja ke @fadjroel. Eh, tapi udah jarang sih :p



Sekarang, setelah negara api menyerang, saat sinetron-sinetron di TV bertema kan kebun binatang, aa Fadjroel sudah berubah. Beliau sepertinya salah seorang fans mbak Raisa yang tidak mau terjebak nostalgia masa lalu dan memilih move on dibawah kepemimpinan Jokowi.



banyak orang yang beranggapan bahwa aa Fadjroel sebagai pesakitan demokrasi dibawah kepemimpinan Jokowi. Astaghfirullah, sungguh sesat pemikiran mereka. Mereka tidak sadar, bahwa Jokowi lah orang pertama yang membuat aa tidak Golput dalam pemilu, maupun pilkada Jakarta. Sebelum Jokowi nongol dan menjadi komoditas media nasional, aa Fadjroel tidak pernah sekalipun menggunakan hak pilihnya. Karena ia paham betul bagaimana busuknya parpol-parpol tanah air.



Kehadiran Jokowi, secara langsung menyadarkan aa Fadjroel agar terjun langsung dalam proses demokrasi. Beliau menjadi satu dari sekian banyak tokoh yang menjadi “relawan” Jokowi semasa kampanye lalu, dan tentu dikenal paling militan dijagat dunia maya. Ketika satu persatu rekan relawannya menghilang teratur dari permukaan, aa tetap terdepan mengawal Jokowi. Dan ketika banyak “relawan” yang ketiban rejeki di posisi strategis, beliau pun tak mau ketinggalan.



Atas perjuangan tanpa batasnya itu pula, aa menjadi orang nomor satu di PT Adhi Karya. Salah satu BUMN yang terkenal akibat skandal hambalangnya dengan kanda Anas Urbaningrum. Kini, rasa-rasanya, sudah tidak pantas saya memanggil aa Fadjroel dengan sebutan aa. Akan tetapi saya mohon dengan sangat, sebagai komisaris utama, ijinkan saya memanggil anda dengan sebutan aa komisaris, tanpa membuang embel-embel aa sebagai tanda kebesaran cinta saya pada anda.



Begini aa komisaris, duh gimana ya, saya bingung harus gimana, saya jadi ikut-ikutan nge fans sama mbak Raisa ini karena serba salah menyikapi aa komisaris. Nganu loh a, saya tidak tahu harus menyalahkan siapa, tapi ya anggap aja saya yang salah telah seperti ini terhadap aa komisaris.



Saya sering lunglai ketika mendengar orang-orang yang belakangan sering menyindir aa komisaris, kata mereka aa komisaris sudah tidak berjuang lagi, sudah tidak militan lagi, juga tidak mati-matian lagi membela rakyat. Padahal setahu saya, dan sepenafsiran saya, aa komisaris masih terus berjuang kok, masih tetap militan, dan tentu nya mengorbankan nyawa dalam membela……..konglomerat pemerintahan.



Aa komisaris telah meluluh lantakkan hati saya dengan perangai aa komisaris. Padahal masa kampanye lalu, aa komisaris menyanjung Jokowi karena sikap politiknya yang tidak transaksional, tapi aa komisaris sekarang malah menjadi bagian dalam politik transaksional itu. suatu praktek yang aa haramkan semasa SBY dulu.

Kini, malah aa komisaris halalkan itu. maaf sebelumnya a, maaf beribu maaf, aa komisaris sekarang bukan
hanya menjilat ludah sendiri, tapi juga telah memungut kotoran yang telah aa komisaris keluarkan dari dubur aa.



Hati saya pun makin lirih a, ketika aa komisaris, menjadikan media online aa, Pedoman News, dijadikan alat propaganda Jokowi. Tidak cukupkah #AlhamdulillahJokowi #JokowiAdalahKita #TerimaKasihJokowi #GoodNewsFromJokowi berseliweran di temlen aa komisaris? Haruskah hastag-hastag itu juga nempel di halaman Pedoman News yang konon katanya media independen???



Dulu aa komisaris hanya bermusuhan dengan orang-orang Soehartois, sekarang sadarkah, aa komisaris sudah memusuhi semua orang yang mengkritik Jokowi? Padahal mereka belum tentu mendukung Prabowo ketika pemilu lalu. Menurut pandangan sempitku ini, aa komisaris sekarang tampaknya kurang bergaul, atau bahasa kerennya sih pergaulan aa terlalu segmented.



Dengan alasan politis pula aa komisaris sudah tidak nongol lagi di acara ILC TVone, jika begini, siapa a sebenarnya yang gagal move on? Tolong ya a, jangan lapor saya ke polisi atas tuduhan Hate Speech. Karena demokrasi itu bebas tanpa kekangan, benerkan ya a??? oh iya, aa komisaris dukung SE Hate Speech gak ya? Btw.



Asal aa komisaris tahu saja, hati saya menangis dan menjerit karena tiap mensen saya di twiter tidak pernah aa komisaris balas sekalipun. Segitu hina nya kah saya dimata aa? hikksss……giliran mereka yang mengimani Jokowi selalu aa bales mensennya atau aa RT tweetnya. Jika pun aa komisaris berbalas mensen pada pengkritik Jokowi, aa selalu menggolongkannya sebagai orang-orang PKS, menyebar #LHI18Tahun sebagai alibi aa komisaris menghadapi orang-orang kritis. 

Sebegitu dengki nya kah aa pada pengkritik Jokowi? Sampai-sampai semua orang disamakan dengan kasus sapi?pfftttt….



Saya tidak ingin melanjutkan tulisan ini a, karena bisa sampai 2000-an kata lebih, bukan apa-apa a, pegel tangan saya ngetiknya, lagi pula kopi saya pun tinggal ampas doang.



Sebagai penutup ya a. dari semua perubahan dalam diri aa komisaris, hanya satu yang tidak pernah berubah, yaitu aa komisaris tetap GGMU !!!!! Hail Fadjroel Rachman.

*****

Best Regards
pemuja mu

Kamis, 22 Oktober 2015

Setahun sudah Jokowi memimpin bangsa, sudah setahun pula usia kita bertambah. Setahun sudah Jokowi menjadi presiden, sudah setahun pula Jokowers makin pinter.

Jokowi benar-benar mewujudkan jargon kampanye “Revolusi Mental” nya, sayangnya bukan masyarakat umum yang menjadi sasaran, melainkan para relawan setia yang menjadi perwujudan revolusi mental itu sendiri.

Selama masa kampanye dahsyatnya yang memerahkan Gelora Bung Karno tahun lalu, Jokowi seolah menjadi sosok pembeda dari tokoh politik lainnya, baik lawan, kawan, ataupun para pendahulunya sendiri. Dilihat dari segala sisi, ia memang amat berbeda dibanding kebanyakan pejabat tanah air. Bukan berlatar belakang militer, tidak mempunyai catatan buruk masa lalu, tidak pula hidup bergelimang harta – walau ia seorang pengusaha sukses – semakin membuatnya mudah dicintai.

Mengawali kiprah politik sebagai walikota Solo dua periode, kesempurnaan Jokowi sebagai pejabat yang merakyat pun berlanjut di Jakarta ketika ia terpilih menjadi gubernur ibukota, yang sekaligus mengantarnya ke singgasana istana negara. Kepindahannya dari “balai kota” ke istana mau tak mau mengikis kesempurnaannya secara perlahan.

Lama kelamaan, rakyat tersadar akan “kecantikan” Jokowi yang semakin memudar di telan para penyokong dibelakangnya. Tentu bukan relawan penyebabnya, tetapi para kekuatan besar yang sembunyi manis dibelakang selama masa kampanye lalu.

Kita tentu tidak perlu mengungkit masalah politik transaksional Jokowi yang sampai sekarang masih berlanjut, dengan Fadjroel Rahman sebagai objek transaksi terbarunya. Belum lagi ketidakberdayaannya menentang birahi politik seorang Megawati ketika tetap kekeh menunjuk Budi Gunawan sebagai Kapolri, yang belakangan – sepertinya – dilengkapi oleh RUU KPK yang akan membuat badan anti rasuah tersebut akan semakin tenggelam dimakan zaman.

Revolusi mental ala Jokowi pun semakin tampak ketika ia ingin kembali menghidupkan pasal penghinaan presiden yang telah lama mati. Apakah ini cara Jokowi untuk meredam para kritisi nya? “tentu tidak, presiden kan punya hak” sahut Jokowers, jika ada yang menanyakan hal tersebut.

Ya, jokowers atau dulu dikenal sebagai relawan jokowi ini saban hari semakin menunjukkan identitasnya. Sekelompok orang yang tadinya dikenal sebagai pembeda dalam ajang pemilu lalu, kini tak ada bedanya dengan orang-orang yang berlabel kepentingan. Pembelaan membabi buta mereka terhadap kepemimpinan Jokowi pun melebihi apa yang dilakukan partai politik penyokongnya.

Tanpa melihat latar belakang, jabatan, asal usul, kiprah seseorang di belantika perpolitikan tanah air, mereka dengan blak-blakan meng-counter attack para pengkritik Jokowi bak serangan fajar, siapa pun itu. Bagi saya pribadi, mereka tak lebih dari seorang penjilat kelas teri yang menghakimi para pengkritik jokowi secara keji.

Dangkalnya cara berfikir mereka terhadap yang terjadi dalam tubuh pemerintahan semakin membuka tabir masing-masing, yang hanya bisa menyalahkan pemerintah masa lalu jika terjadi kekurangan dalam sistem pemerintahan baru. Namun, hanya Jokowi lah yang bekerja ketika pemerintah mendapat rapor bagus dari rakyat, tanpa campur tangan masa lalu. Ini murni, tak terbantahkan.

Ke-murtad-an saya terhadap Jokowi – selain kinerjanya yang jauh dari harapan – dilandasi oleh perilaku para jokowers yang makin lama semakin kehilangan pola fikir. Tidak seimbangnya logika antara otak kanan dan kiri mereka membuat para jokowers mati rasa terhadap sesama warga negara.

Mereka buta bahwa Jokowi hanya dijadikan pion oleh Megawati dan KIH nya, rasa mereka pun mati ketika Jokowi melakukan transaksi jabatan kepada orang-orang yang mendanainya selama kampanye lalu secara gamblang. Dan bukan hanya di pemerintahan, obral jabatan ala jokowi pun menghinggapi beberapa pos strategis di BUMN-BUMN besar. Silahkan periksa, BUMN mana yang tidak di komisari-si aktor politik?
Para Jokowers sejatinya adalah orang-orang yang peka, peka ketika Jokowi dihujat, buta disaat rakyat melarat. Kenaikan harga-harga dikalangan masyarakat yang selalu diikuti dengan keluarnya paket-paket kebijakan – yang sekarang sudah paket empat – ala Jokowi yang menjadi bahan pamungkas para jokowers menepis kritik. Padahal, ya, engga jelas juga paket-paketan itu juntrungannya kemana., ke rakyat? Silahkan tanya ke rakyat apakah ada harga barang-barang yang turun?

Masalah rupiah yang sempat menungkik tajam dari 11.000-an menjadi 14.500 dalam tempo dua bulan, kini rupiah juga sudah turun menjadi 13.000-an yang dianggap jokowers sebagai prestasi mengkilap yang disambut gegap gempita oleh Jokowers – padahal ya itu permainan Amerika.

Saya juga tidak ingin mengganggu ketentraman jokowers perihal asap tebal yang menyelimuti sebagian wilayah negeri ini, karena saat ini mereka pasti sedang nikmat menyaksikan final piala presiden sambil menyebar firman bahwa Jokowi lah presiden pertama yang mampu memadamkan perseteruan Viking-The Jak – pentingkah seorang presiden memikirkan seporter sepak bola? Sebaiknya jangan membahas masalah ini.

Efek keberadaan Jokowi  pun terlihat jelas bagaimana rakyat Indonesia terpecah belah antara mereka yang bergerilya bersama TV oon dan mereka yang menjadi hooligan Metromini TV
Jokowers, menurut saya bukanlah sekumpulan penjilat, melainkan sekumpulan orang-orang yang melacurkan diri dari suatu kebenaran, memfatwakan setiap omongan presiden sebagai firman, dan menganggap setiap kritikan sebagai pemurtadan. Ingat  “pemimpin yang di nabikan akan mematikan nalar”. Kata budayawan, Sujiwo tedjo.

Tidak percaya? Monggo tanyakan ini pada mz Fadjroel Rahman