Tampilkan postingan dengan label Review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Februari 2018

“Saya main bola karena kehendak tuhan, saya kembali ke Indonesia juga karena kehendak Tuhan,” lebih kurang demikianlah aksi gelandang Sriwijaya FC Palembang, Makan Konate, dalam sebuah iklan Kukubima Ener-G! beberapa waktu lalu. Tentu dia bukanlah satu-satunya pemain bola yang menjadi bintang minuman energi ini, tapi selama ajang Piala Presiden, Konate jadi bintang utamanya.

Saya cukup yakin hanya 1 persen dari kita yang tidak tahu apa itu Kukubima. Bagi yang tidak pernah mengonsumsinya sekali pun, merk ini sudah cukup terkenal di banyak kalangan. Saya sendiri sangat familiar dengan minuman ini, karena kerap mengonsumsinya selepas bermain Futsal, atau hanya sekadar lagi pengen saja. Tidak bisa dipungkiri memang jika minuman ini sangat menyegarkan.

Kemarin, Senin (19/2/2018) bertempat di Pondok Indah Golf Course saya berkesempatan menghadiri acara launching Kukubima Ener-G! yang turut dihadiri beberapa bintang lapangan hijau seperti Hamka Hamzah, Beto Goncalves dari Sriwijaya FC, Demerson, Yandi Sofyan, Miftahul Hamdi dari Bali United, Marko Simic, Maman Abdurrahman dari Persija Jakarta, Reva Adi Utama, Hasim Kipuw dari PSM Makassar, Hadi Abdillah, serta Gilang Ginarsa yang berasal dari PSIS Semarang.

 


Para bintang Liga 1 itu mewakili klub mereka masing-masing yang baru saja menjalin kerja sama dengan Kukubima. Bagi yang mengikuti gelaran Piala Presiden kemarin, tentu sudah melihat lambang Kukubima menempel di jersey kelima kesebelasan tersebut.

Melalui Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul TBK, Bapak Irwan Hidayat, tujuan Kukubima terjun ke ranah sepak bola adalah untuk mendukung kemajuan sepak bola Indonesia, terutama kompetisi Liga 1 yang baru berjalan tahun lalu.
para pemain dan manajemen klub berfoto bersama sebagai tanda terjalinnya kerja sama dengan Kukubima

“Semoga bergabungnya Kukubima di dunia sepak bola bisa membuat banyak orang semakin termotivasi untuk memajukan bola di Indonesia untuk terus berprestasi, baik di kancah nasional maupun internasional, apalagi sekarang kita mau mengadakan Asian Games. Jadi ini bisa dijadikan momen agar olahraga di Indonesia, khususnya sepak bola makin berkembang,” kata beliau, Senin (19/2/2018).

Selain itu, Pak Irawan menambahkan bahwa Kukubima ingin ikut andil dalam perkembangan industri sepak bola Indonesia yang sudah tidak lagi menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk operasional klub, sehingga pihak sponsorlah yang akan menjadi kekuatan utama keberlangsungan sebuah klub dalam mengarungi kompetisi.
Pak Irwan Hidayat saat memaparkan tujuan Kukubima terjun ke dunia sepak bola 

Imbas dari kerja sama ini tentu saja nama Kukubima yang semakin dikenal masyarakat luas, apalagi Persija baru saja menjadi juara Piala Presiden 2018 setelah mengalahkan Bali United di final. Selain itu, Marko Simic juga menyabet dua gelar individu bergengsi, yaitu pemain terbaik dan top skorer turnamen dengan 11 golnya.
dibawa dong sama Simic dua trofinya

“Kami tidak menyangka Persija bisa juara Piala Presiden dan itu berdampak bagus bagi kami sebagai sponsor. Kami ingin semua CSR ikut berpartisipasi memajukan sepak bola dan kompetisi kita agar lebih kompetitif tiap tahunnya,” sambung Pak Irwan.

Kendati demikian, ada yang unik dari launching Kukubima kali ini. Selain sepak bola, produk asli Sido Muncul ini nyatanya memiliki misi lain di luar dunia olahraga, yaitu untuk menyelamatkan Sungai Citarum dari sampah yang selama ini mengancam. Bahkan hal ini menjadi tema utama acara yang diberi nama ‘Ayo Selamatkan Citarum’.

Keadaan sungai Citarum saat ini sudah tercemar berbagai limbah, seperti limbah rumah tangga, limbah industri yang tidak menggunakan IPAL membuat warna air sungai yang makin lama semakin coklat kehitaman, serta limbah peternakan dan perikanan. Tentu ini sangat ironis karena sungai itu punya fungsi yang sangat vital untuk masyarakat, salah satunya adalah menjadi sumber air minum warga sekitar.
salah satu concern Kukubima Ener-G! saat ini, ayo selamatkan Citarum

Sekilas mungkin tidak ada hubungannya minuman energi dengan keadaan lingkungan yang ada. Tapi lagi-lagi Kukubima ingin semua masyarakat sadar bahwa fenomena lingkungan, terutama kebersihan sungai adalah tanggung jawab kita bersama.

Berawal dari inisiatif Pangdam III Siliwangi, Mayjen TNI Doni Monardo, yang kerap membersihkan sungai Citarum bersama anggotanya, Kukubima pun ikut tergerak untuk sama-sama membersihkan kawasan sungai yang selama ini dikenal sebagai tempat yang tidak layak akibat kebiasaan warga yang membuang sampah di tepi sungai.

Gerakan ini dirasa perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran warga agar tidak membuang sampah sembarangan supaya bisa terhindar dari bencana banjir yang selama ini terus menghantui. Apa yang dilakukan Kukubima ini pun bukan hanya sebatas kampanye semata, tapi mereka juga sudah turun langsung untuk membersihkan Sungai Citarum.

Jadi jelas tujuan Kukubima Ener-G sangat bermakna dan tidak cuma untuk kemajuan sepak bola. Lebih dari itu, mereka ingin membentuk kesadaran masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan lama yang masih membuang sampah sembarangan agar lebih aware pada masalah sekitarnya. Karena salah satu cara mencegah terjadi banjir berasal dari kesadaran kita sendiri terhadap lingkungan.


Jumat, 21 April 2017

Bagi pendukung Nottingham Forrest, nama Brian Clough tak bisa digantikan oleh siapapun. Dua trofi Liga Champions (1979, 1980) dan satu Liga Inggris (1978) menjadi dalil sahih bagi klub kecil ini untuk membangun Brian Clough Stand  di City Ground (kandang Nottingham Forest). Bahkan, fans The Tricky Trees (julukan Nottingham Forest) harus berebut nama “Brian Clough” dengan fans Derby County, yang juga merasakan langsung tuah pria kelahiran Midlesbrough ini.

Bagi kalian yang tidak begitu suka sepak bola, kisah pelatih bernama lengkap Brian Howard Clough ini bisa menjadi peretas jalan kalian untuk mengetahui satu cerita epic di sepak bola Inggris. Sekalipun Clough telah tiada, kisahnya tetap abadi dalam ingatan kita.
sumber: roblufc.org

Film The Damned United adalah salah satu cara untuk mengenang kebesaran seorang Brian Clough.  Film dengan alur cerita maju-mundur ini tak hanya memperlihatkan kebesaran dan kontroversinya seorang Clough, tapi juga mempertontonkan budaya kental orang-orang Inggris di masa itu.

Clough, yang diperankan apik oleh Michael Sheen bukanlah sosok pelatih santun yang biasa kita lihat sekarang-sekarang ini. Ia adalah seorang yang arogan, narsis, rasis, idealis, humoris, dan romantis. Meskipun jumlah film yang dibintanginya kalah banyak dengan Timothy Spall, akting Michael Sheen sangatlah sempurna.   

Pria yang dikenal bermulut besar ini secara perlahan merubah Derby County yang hanya kesebelasan semenjana, di divisi dua pula, menjadi kesebelasan yang mulai diperhitungkan kiprahnya. Dengan Peter Taylor (Timohty Spall) di sisinya, ia berhasil membawa Derby County ke puncak tertinggi sepak bola Inggris.

Ada satu kejadian yang membuat Clough begitu ambisius untuk menang dan naik kasta ke First division (kini bernama Premier League). Dalam sebuah undian babak ketiga Piala FA, Derby County dipertemukan dengan Leeds United, pemuncak teratas Liga Inggris, yang ketika itu diasuh Don Revie.

Clough yang sejak awal mengagumi Don Revie telah mempersiapkan sambutan manis untuk sang idola. Membersihkan ruang ganti pemain dan menyiapkan sampanye adalah jamuan istimewa yang dipersiapkan Clough untuk menyambut sang idola. Dan semua ini ia lakukan dengan tangannya sendiri.

Apa yang kemudian dibayangkan Clough tak berjalan sesuai rencana. Ia diabaikan oleh Revie ketika Clough menyambutnya dan tim Leeds United. Penolakan berjabat tangan yang dilakukan oleh Don Revie ternyata sangat membekas di hati Clough dan menimbulkan satu ambisi baru baginya selain menjadi juara, yaitu mengalahkan Don Revie dengan Leeds Unitednya.

Persaingan tidak sehat antara keduanya ternyata dirasakan oleh banyak orang, tak terkecuali Peter Taylor yang khawatir dengan pengaruh permusuhan ini terhadap peforma Derby County. Dan benar saja, kebencian mendarah daging Clough pada Don Revie akhirnya membawa dampak buruk bagi semua. Tidak Cuma Derby County, tetapi karir Clough beserta Taylor.

Mereka berdua akhirnya dipecat. Keduanya tentu tak ingin pemecatan ini benar-benar terjadi. Tapi komentar-komentar  Clough yang memojokkan jajaran direksi dan pemilik klub mau tak mau membuat mereka didepak dari Derby. Meski sempat protes, Clough tak bisa mengubah keputusan pemilik klub. Akibat hal ini, Peter Taylor pun marah besar padanya.

Cerita baru kembali dimulai oleh Clough-Taylor ketika mereka menerima pinangan Brighton & Holf Albion, klub kecil yang berkubang di divisi tiga Liga. Ambisi besar pemilik senada dengan amibiusnya Clough untuk kembali membangun dinasti baru. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, Leeds United yang baru saja ditinggal sang giver, Don Revie, memanggil Clough untuk merumput di Elland Road (kandang Leeds).

Brian Clough yang sebelumnya sudah terikat kontrak dan dibayar mahal oleh Brighton sangat bernafsu untuk menerima tawaran Leeds. Di sini, perpecahan terjadi antara Clough dan Peter Taylor, yang tetap bersikeras bertahan di Brighton karena ingin menghargai kontraknya. Ya, sejak awal permusuhannya dengan Revie, Clough begitu berambisi dan terobsesi pada Leeds United.

Ambisi Clough mengalahkan Don Revie berbuah petaka. Ia tak hanya kehilangan rekan sejawatnya, tapi juga kehilangan kepercayaan dari seluruh penggawa Leeds United yang ketika itu dikapteni William Bremner. Kalimat “buang semua medali, piala yang kalian raih ke tempat pembuangan sampah yang kalian temui. Karena itu semua kalian dapatkan dengan cara yang kotor” menjadi pembuka dendam skuat Leeds United pada Clough. Ditambah bayang-bayang Don Revie yang terus menghantui di tribun penonton semakin membuat Clough tidak nyaman.
sumber: blog.soton.ac.uk

Alhasil, 44 hari saja ia mengabdi di Elland Road. Rentetan kekalahan di awal musim dan terbenamnya posisi Leeds di dasar klasemen menjadi dosa terbesar Clough yang pindah ke Yorkshire tanpa seorang Peter Taylor di sisinya. Kejadian memalukan ini seakan membuka mata Clough bahwa ia tak bisa berjalan jauh sendiri. Ia butuh seorang yang selama puluhan tahun bersamanya, Peter Taylor.

Bersama kedua putranya, Simon dan Nigel Clough, Brian datang ke kediaman Peter untuk meminta maaf dan kembali merajut cerita baru bersama. 
Brian Clough (kiri) bersama Peter Taylor (kanan)
sumber: dailymail.co.uk



***
Film The Damned United ini menyelipkan kisah cinta akan ke-daerah-an yang sangat kental. Ini bisa terlihat bagaimana kerasnya penolakan Brian Clough kala diajak melatih Brighton karena klub tersebut berasal dari Selatan Inggris. Sedangkan dia asli Middlesbrough, Inggris Utara.

Ketika masih membesut Derby County pun, beberapa pemain yang didatangkan berasal dari kampung halamannya, seperti McGovern, Colin Todd, dan John O’Hare.

Untuk diketahui, orang-orang Italia dan Spanyol tidak begitu mencintai daerahnya sendiri, terutama dalam hal sepak bola. mereka cenderung mendukung tim yang hebat, sekalipun tim itu berasal dari daerah lain.

selaiknya film bertema sejarah lainnya, The Damned United juga memperhatikan setiap keotentikan kejadian. ada beberapa kejadian yang terekam dalam film, nyata terjadi ketika itu. seperti saat Brian Clough disandingkan dengan Don Revie dalam sebuah wawancara televisi sesaat setelah ia dipecat. termasuk setelan jas yang mereka pakai ketika itu pun sama. atau bagaimana Clough berseloroh menantang legenda tinju dunia, Muhammad Ali dalam sebuah acara televisi juga terekam jelas di film produksi tahun 2009 ini.

apa yang kemudian menarik dari settingan film ini adalah ketika deretan pertandingan (sebenarnya) Derby County, termasuk perayaan juara mereka disajikan sedemikian rupa. seluruh kru film sangat piawai membagi sebuah pertandingan sungguhan dengan euforia Brian Clough dan Peter Taylor (Michael Sheen dan Timothy Spall) di pinggir lapangan.

Film ini diangkat dari kisah nyata, yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama karya David Peace. Peace sendiri mengatakan jika versi filmnya berbeda versi tulisannya. Maka dari itu, ia masih berharap jika The Damned United difilmkan kembali, dengan versi hitam putih



Jumat, 31 Maret 2017

Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu , dalam rangka memperingati Hari Film Nasional, Ridho Arbain merangkum beberapa film Indonesia terbaik versinya. Dari sekian film, hanya beberapa yang saya tahu, selebihnya saya tidak mengetahui beberapa film lainnya.

Tulisan ini bukan semata-mata untuk meramaikan Hari Film Nasional yang dirayakan kemarin, tulisan ini hanya untuk melengkapi rangkuman terbaik film Indonesia yang dipublikasikan oleh Ridho Arbain kemarin.  Jadi maafkan, jika tulisan ini tidak diawali narasi yang panjang.

Mungkin Ridho lupa beberapa film – yang saya bilang – terbaik yang luput dari pengamatannya. Entah karena dia belum nonton, atau memang kurang mengena di hatinya. Tapi saya rasa, film-film berikut bisa membuat kita sejenak melupakan kedigdayaan hollywood di bioskop tanah air.
sumber: muvila.com
Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta
Mungkin kita lupa jika karir Reza Rahadian bisa laku seperti sekarang berkat film drama keluarga ini. Film dengan alur cerita sederhana namun memiliki makna yang mendalam ini menjadi salah satu film yang wajib kalian saksikan. Saya yakin banyak yang dari kalian sudah menonton Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta, mengingat film garapan Benni Setiawan ini dirilis 2010 lalu dan sudah berulang kali ditayangkan di televisi.

Film ini mengisahkan hubungan antara Reza rahadian (Rosid) dan Laura Basuki (Delia) yang terhalang tembok besar tepat dihadapan mereka. Yap, agama. Rosid adalah seorang muslim idealis yang tak ingin masalah agama menjadi pembatas setiap gerak-geriknya, terlebih Rosid adalah penggila sastra dan terobsesi oleh WS Rendra.

Sementara Delia, seorang gadis cantik nan mempesona yang jatuh hati pada Rosid. Permasalahan pun datang silih berganti, mengingat Delia seorang Katolik yang berasal dari keluarga serba berkecukupan. Mereka sadar dengan semua konsekuensi dari hubungannya.

Film ini menjadi satu dari sedikit film yang mengangkat kisah cinta beda agama, beda budaya, beda strata sosial, yang kemudian dikemas menjadi film yang sangat manis untuk ditonton. Ada kalanya kita dibuat mendayu oleh hubungan Rosid dan Delia yang mengindahkan semua perbedaan yang begitu mendasar. Namun tak jarang pula kita berpeluh lara melihat perjuangan keduanya mempertahankan cinta di balik tembok raksasa yang menghadang.

Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta semakin menunjukkan kualitasnya ketika pada akhir cerita mereka tetap tidak bersama, kendati kedua keluarga sudah saling menerima. “sebenarnya kita masih bisa sama-sama ya. Tapi kalo kita terusin, pasti banyak yang terluka ya. Buat apa bahagia kalo banyak yang nagis,” tegas Delia dalam sebuah percakapan dengan Rosid. Kisah cinta penuh perjuangan yang menguras hati dan air mata memang tidak selalu berakhir bersama.

Republik Twitter
Apa yang terjadi sekarang-sekarang ini di dunia maya sudah terekam jelas dalam film bertajuk Republik Twitter pada 2012 lalu. Memasuki era digital, apa-apa yang terjadi dikehidupan sehari-hari membuat kita berkewajiban untuk menyebarkannya di dunia maya, terutama Twitter. Ini pula yang membawa Sukmo (Abimana) dan Hanum (Laura Basuki) merajut cerita.

Perkenalan keduanya lewat jejaring berlambang burung tersebut telah membawa Sukmo berangkat ke Jakarta untuk menyusul pujaan hatinya. Apa yang diharapkan Sukmo memang tak berjalan mulus, tapi ia membuka jalan lain sebagai buzzer salah seorang bakal calon gubernur ibukota. Berbekal kemahiran dan ketelitiannya mengelola twitter, Sukmo bersama rekan lainnya dibayar oleh seorang pejabat untuk mempromosikan salah satu sosok untuk meningkatkan popularitas orang tersebut. Meskipun sosoknya tidak pernah menampakkan jati diri dihadapan publik, tapi namanya kadung terkenal di twitter, berkat publisitas yang dilakukan Sukmo dan teman-temannya.

Ini pula yang membuat Sukmo kembali mendapat simpati Hanum, yang bekerja di salah satu media ibukota. Apa yang dilakukan Sukmo di balik akun-akun twitter yang ia kelola menjadi titik balik karir Hanum yang sempat berpikir untuk berhenti kerja.

Hingga kini, kekuatan twitter dan media sosial (pada umumnya) cukup ampuh membentuk opini publik. Ratusan buzzer, baik yang bertuan ataupun tidak, telah ikut membawa pengguna media sosial terbelah menjadi dua, dan telah menghasilkan cukup banyak penghujat, juga penjilat.

Filosofi Kopi
Ada berapa banyak kedai kopi di Jabodetabek sebelum Filosofi Kopi mengudara di bioskop? Sila bandingkan dengan berapa banyak keberadaan kedai kopi pasca beredarnya film Filosofi Kopi! Alur cerita film ini mungkin memang sederhana, tapi jika kita melihat lebih dalam, film ini menawarkan kita sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya, yaitu kopi. Filosofi Kopi  telah merubah paradigma masyarakat luas tentang kopi, bahwa kopi tidak hanya melulu perihal warkop (warung kopi) atau kebesaran Starbuck. Tapi juga tentang bagaimana cara membuat, mengolah, menanam, dan bagaimana cara menghasilkan sajian yang nikmat.

Filosofi Kopi juga telah menghasilkan dampak yang sangat massif terhadap pertumbuhan kedai-kedai kopi yang otentik dan memiliki signature nya masing-masing. Film yang mengharuskan Chiko Jerikko sekolah barista untuk mendalami perannya sebagai Ben, si barista flamboyan ini juga membuka mata kita, bahwa kopi, seenak apapun itu, akan berbeda rasanya jika dibuat oleh orang yang berbeda, sekalipun jenis kopi yang dibuat sama.

Cahaya Dari Timur
Ke-lupa-an Mas Ridho yang cukup fatal menurut saya adalah mengindahkan film garapan Angga Dwimas Sasongko ini. Film yang berangkat dari kisah nyata ini telah membuka mata kita bagaimana Ramdani Lestaluhu, Alfin Tuassalamony, Hendra Adi Bayaw, dan pemain lainnya semasa kecil, ketika perang masih berkecamuk di Maluku. banyak dari mereka yang kehilangan orang tua atau saudara akibat perang, yang kemudian turut serta membentuk pandangan mereka bahwa perang adalah jalan terbaik untuk balas dendam.

Kemudian Sani Tawainela (Chiko Jerikko) hadir membawa harapan, membawa jalan terang bagi anak-anak di Tulehu, lewat sepak bola. bersama temannya, Raffi, niat awal Sani yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pelarian anak-anak dari perang justru membuka jalan baru mereka semua ketika Sani dan Raffi memutuskan membentuk Sekolah Sepak Bola (SSB).

Kehidupan Sani yang serba pas-pasan membuat ia dirundung dilema saat dihadapkan kewajibannya sebagai seorang suami pula seorang ayah, dan kewajibannya sebagai pelatih panutan anak-anak Tulehu yang bermain bola karenanya. Konflik juga tidak hanya terjadi antara Sani dan Haspa (istrinya) tetapi juga antara Sani dan Raffi, yang sekaligus membuat pemain SSB Tulehu Putra terbelah.

Seperti yang kita ketahui bersama, kerusuhan Maluku dipicu oleh sensitifitas agama. Agama juga menjadi masalah baru bagi Sani ketika melebur tim Tulehu Putera dan SMP Passo menjadi satu untuk mewakili Maluku di turnamen tingkat nasional di jakarta. Tugas Sani selanjutnya pun tidak hanya tentang strategi permainan, tapi juga menyatukan visi pemain dan merubah paradigma anak asuhnya yang berbeda keyakinan bahwa mereka bukanlah Tulehu, bukan pula passo. Tapi mereka semua Maluku.

Seperti karya seni lainnya, film juga menimbulkan kesan yang berbeda-beda dari penontonnya, tergantung selera dari masing-masing individunya, karena semua orang memiliki pendapat yang berbeda. Jadi wajar kiranya jika Rido Arbain tidak mencantumkan film-film di atas karena berbedanya selera saya dan dia dalam menilai sebuah karya.


Senin, 04 Juli 2016

Bukan 1, 2, 3 kali saya menonton film satu ini. sudah
berkali-kali saya menikmati “Nowhere Boy” dengan Aaron Johnson sebagai pemeran
utamanya. Laiknya ia memerankan tokoh Charlie Caplin di film Shanghai Knights, Aaron kembali berhasil memerankan seorang legendaris lain seperti John Lennon.

film terbitan 2009 ini sukses mendekatkan kita pada John
Lennon remaja yang pembangkang namun haus kasih sayang. Ya, sejak kecil, John
diasuh oleh mimi (bibinya, yang diperankan oleh Kristin Scott Thomas) dan
pamannya, George (David Threlfall) sejak kedua orang tuanya berpisah.

Mimi,  yang hidupnya
sangat terstruktur memang acap kali bertengkar dengan John Lennon yang susah
diatur sehingga menimbulkan beberapa friksi antara keduanya. Terlebih ketika
John mulai dekat lagi dengan ibu kandungnya, Julia (Anne-Marie Duff).

Kedekatan dengan sang ibu lah yang membuat John berkenalan dengan
musik, Rock N Roll tentu saja. John muda yang belum mengenal musik dibuat
terlena oleh Julia yang begitu menggilai Rock N Roll. Dan Julia pula yang
mengajarkan John bermain alat musik (Banjo).

Sebuah pertunjukkan Elvis Presley pada waktu itu benar-benar
membuat John merubah arah hidupnya. Banyaknya wanita yang menggilai Elvis menjadi
inspirasi tersendiri baginya yang kemudian menjadi superstar sepanjang masa.

Sekembalinya ia dari “pengasingan” di rumah Julia, John
mengumpulkan teman-teman sekolahnya untuk membentuk sebuah band yang diberi
nama The Quarryman dan membawakan lagu berjudul Maggie Mae, yang diajarkan
ibunya. Dan, disini pula awal pertemuan John Lennon dengan Paul McCartney yang
menghadiri pertunjukkan The Quarryman.

Para pecinta film Maze Runner tentu tak asing dengan pemeran
Paul McCartney ini. ya, Thomas Brodie Sangster menjadi pemanis dibalik
kepiawaian Paul mengulik gitar. Paul muda yang kalem sangat bertolak belakang
dengan John dan teman-teman lainnya yang berandalan. Ketika John Lennon dengan
bangga mengatakan musik Jazz sebagai kotoran, Paul dengan tenang menganggap
musik tetaplah musik. Tanpa beda, hanya musik, itu saja.

Kedekatan keduanya pun membawa John bertemu dengan George
Harrison (Sam Bell) yang notabene adalah teman Paul dan membuat mereka semakin
matang dalam bermusik hingga menemui ritme permainan mereka sendiri, jauh
sebelum mereka dikenal sebagai The Beatles.

Ketegangan yang terjadi antara Paul McCartney dan John
Lennon hingga membuat The Beatles pecah sudah terlihat jelas dalam film yang di
sutradarai oleh Sam Taylor Johnson ini, ketika John beberapa kali bersinggungan
dengan Paul. Paul yang merasa memiliki terhadap band tidak terima dengan sikap
John yang semena-mena dan berkuasa.

Bumbu –bumbu yang terjadi di film ini membuat kita kembali
berfikir “pantas saja umur The Beatles hanya seumuran jagung”. Dari awal
pertemanan mereka saja sudah terlihat bahwa mereka saling bersaing, dan tak
jarang menimbulkan dengki.

Kebesaran John Lennon
yang abadi pun sudah tampak dari kehidupan remaja nya yang bergelimang masalah
tapi tak pernah tenggelam dalam setiap masalah yang ia alami. Ia menjadikan
masalah sebagai penuntun menuju kesempurnaan.

Dibalik itu semua, kesuksesan John Lennon tidak terlepas
dari peran keluarganya. Julia, ibunya yang memperkenalkan sang anak pada musik
telah serta membangunkannya dari tidur panjang yang kelam. Lalu Mimi, bibi,
yang sudah dianggap sebagai orang tua telah mengajarkannya bagaimana kerasnya
bertahan hidup. Mimi pula yang memfasilitasi kegiatan musiknya. Dan Ini juga
yang membuat John Lennon tiada henti menghubungi Mimi selama tour nya.

Di balik gemerlapnya kisah John Lennon, film ini juga
menunjukkan bagaimana kehidupan rakyat Inggris pada waktu itu yang memang
mayoritas berasal dari kaum pekerja. Hal ini setidaknya terlihat jelas ketika
John berlari di pinggiran sungai yang penuh dengan pekerja pelabuhan, setelah mendapati
piringan hitam yang ia curi.

Film ini menjadi inspirasi tersendiri bagi saya. Bahwa sekeras
apapun orang tua, mereka tidak pernah mengurangi rasa sayangnya. Dibalik
kerasnya mereka, banyak pula yang dikorbankan untuk kita. Pun dengan John
Lennon. Ia mengajarkan kita bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa dihadapi.
Bahkan ia mengajarkan kita bangkit melalui masalah yang kita alami.

Bahwa dalam pertemanan sering terjadi persinggungan bukan
menjadi soal. Tergantung bagaimana kita menyikapi. Satu, dua persoalan tidaklah
berarti ketika kita selalu bersama berbagi cerita dan cita-cita. Seperti kata
Paul, musik adalah musik. Begitu juga teman. Ia akan selalu menjadi teman,
walau banyak perbedaan didalamnya.

Bagi kalian yang bukan penggemar The Beatles tidak perlu
gengsi untuk menonton film ini. karena ini bukan kisah The Beatles. Ini kisah
John Lennon. Bagaimana ia membangun hidup jauh sebelum The Beatles ada. Agar
kita tahu seberapa besar dia, agar kita memaklumi seberapa pantaskah namanya di
abadikan menjadi bandara di Liverpool sana. Toh, saya yang bukan penggila The
Beatles saja tidak bosan menikmati film Nowhere Boy.
Sumber Youtube.com