Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Februari 2018

“Saya main bola karena kehendak tuhan, saya kembali ke Indonesia juga karena kehendak Tuhan,” lebih kurang demikianlah aksi gelandang Sriwijaya FC Palembang, Makan Konate, dalam sebuah iklan Kukubima Ener-G! beberapa waktu lalu. Tentu dia bukanlah satu-satunya pemain bola yang menjadi bintang minuman energi ini, tapi selama ajang Piala Presiden, Konate jadi bintang utamanya.

Saya cukup yakin hanya 1 persen dari kita yang tidak tahu apa itu Kukubima. Bagi yang tidak pernah mengonsumsinya sekali pun, merk ini sudah cukup terkenal di banyak kalangan. Saya sendiri sangat familiar dengan minuman ini, karena kerap mengonsumsinya selepas bermain Futsal, atau hanya sekadar lagi pengen saja. Tidak bisa dipungkiri memang jika minuman ini sangat menyegarkan.

Kemarin, Senin (19/2/2018) bertempat di Pondok Indah Golf Course saya berkesempatan menghadiri acara launching Kukubima Ener-G! yang turut dihadiri beberapa bintang lapangan hijau seperti Hamka Hamzah, Beto Goncalves dari Sriwijaya FC, Demerson, Yandi Sofyan, Miftahul Hamdi dari Bali United, Marko Simic, Maman Abdurrahman dari Persija Jakarta, Reva Adi Utama, Hasim Kipuw dari PSM Makassar, Hadi Abdillah, serta Gilang Ginarsa yang berasal dari PSIS Semarang.

 


Para bintang Liga 1 itu mewakili klub mereka masing-masing yang baru saja menjalin kerja sama dengan Kukubima. Bagi yang mengikuti gelaran Piala Presiden kemarin, tentu sudah melihat lambang Kukubima menempel di jersey kelima kesebelasan tersebut.

Melalui Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul TBK, Bapak Irwan Hidayat, tujuan Kukubima terjun ke ranah sepak bola adalah untuk mendukung kemajuan sepak bola Indonesia, terutama kompetisi Liga 1 yang baru berjalan tahun lalu.
para pemain dan manajemen klub berfoto bersama sebagai tanda terjalinnya kerja sama dengan Kukubima

“Semoga bergabungnya Kukubima di dunia sepak bola bisa membuat banyak orang semakin termotivasi untuk memajukan bola di Indonesia untuk terus berprestasi, baik di kancah nasional maupun internasional, apalagi sekarang kita mau mengadakan Asian Games. Jadi ini bisa dijadikan momen agar olahraga di Indonesia, khususnya sepak bola makin berkembang,” kata beliau, Senin (19/2/2018).

Selain itu, Pak Irawan menambahkan bahwa Kukubima ingin ikut andil dalam perkembangan industri sepak bola Indonesia yang sudah tidak lagi menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk operasional klub, sehingga pihak sponsorlah yang akan menjadi kekuatan utama keberlangsungan sebuah klub dalam mengarungi kompetisi.
Pak Irwan Hidayat saat memaparkan tujuan Kukubima terjun ke dunia sepak bola 

Imbas dari kerja sama ini tentu saja nama Kukubima yang semakin dikenal masyarakat luas, apalagi Persija baru saja menjadi juara Piala Presiden 2018 setelah mengalahkan Bali United di final. Selain itu, Marko Simic juga menyabet dua gelar individu bergengsi, yaitu pemain terbaik dan top skorer turnamen dengan 11 golnya.
dibawa dong sama Simic dua trofinya

“Kami tidak menyangka Persija bisa juara Piala Presiden dan itu berdampak bagus bagi kami sebagai sponsor. Kami ingin semua CSR ikut berpartisipasi memajukan sepak bola dan kompetisi kita agar lebih kompetitif tiap tahunnya,” sambung Pak Irwan.

Kendati demikian, ada yang unik dari launching Kukubima kali ini. Selain sepak bola, produk asli Sido Muncul ini nyatanya memiliki misi lain di luar dunia olahraga, yaitu untuk menyelamatkan Sungai Citarum dari sampah yang selama ini mengancam. Bahkan hal ini menjadi tema utama acara yang diberi nama ‘Ayo Selamatkan Citarum’.

Keadaan sungai Citarum saat ini sudah tercemar berbagai limbah, seperti limbah rumah tangga, limbah industri yang tidak menggunakan IPAL membuat warna air sungai yang makin lama semakin coklat kehitaman, serta limbah peternakan dan perikanan. Tentu ini sangat ironis karena sungai itu punya fungsi yang sangat vital untuk masyarakat, salah satunya adalah menjadi sumber air minum warga sekitar.
salah satu concern Kukubima Ener-G! saat ini, ayo selamatkan Citarum

Sekilas mungkin tidak ada hubungannya minuman energi dengan keadaan lingkungan yang ada. Tapi lagi-lagi Kukubima ingin semua masyarakat sadar bahwa fenomena lingkungan, terutama kebersihan sungai adalah tanggung jawab kita bersama.

Berawal dari inisiatif Pangdam III Siliwangi, Mayjen TNI Doni Monardo, yang kerap membersihkan sungai Citarum bersama anggotanya, Kukubima pun ikut tergerak untuk sama-sama membersihkan kawasan sungai yang selama ini dikenal sebagai tempat yang tidak layak akibat kebiasaan warga yang membuang sampah di tepi sungai.

Gerakan ini dirasa perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran warga agar tidak membuang sampah sembarangan supaya bisa terhindar dari bencana banjir yang selama ini terus menghantui. Apa yang dilakukan Kukubima ini pun bukan hanya sebatas kampanye semata, tapi mereka juga sudah turun langsung untuk membersihkan Sungai Citarum.

Jadi jelas tujuan Kukubima Ener-G sangat bermakna dan tidak cuma untuk kemajuan sepak bola. Lebih dari itu, mereka ingin membentuk kesadaran masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan lama yang masih membuang sampah sembarangan agar lebih aware pada masalah sekitarnya. Karena salah satu cara mencegah terjadi banjir berasal dari kesadaran kita sendiri terhadap lingkungan.


Senin, 29 Januari 2018

gambar: zimbio.com

Sepak bola adalah olahraga rakyat yang tak bisa jauh dari kontroversi. Memang, semua olahraga tak luput dari kontroversi, tapi cabang lain perlahan mulai berbenah dengan segala kemajuan teknologi yang bisa membuat pertandingan menjadi lebih adil dan dapat diterima banyak penggemarnya.

Kita mengenal Tenis sebagai salah satu permainan paling melelahkan. Untuk menghabiskan satu pertandingan saja, ia bisa memakan waktu hingga berjam-jam lamanya. Dulu, permainan yang menggunakan raket ini hanya mengandalkan wasit dan beberapa petugas yang mengamati apakah bola yang dipukul Andre Agassi ketahuan deh umur saya dan kawan-kawannya masuk atau keluar.

Sekarang Tenis sudah menggunakan teknologi yang bernama Hawk Aye. Gunanya tentu saja untuk membantu sang pengadil menentukan keputusan apakah bola masuk dalam garis lapangan atau tidak. Begitupula dengan bulutangkis. Kini, andai Taufik Hidayat masih bermain, ia sudah tak perlu lagi walk out gara-gara wasit yang tidak becus itu ketika berlaga di Asian Games Korea Selatan beberapa tahun lalu. Cukup acungkan tangan ke atas meminta challenge.

Sepak bola juga demikian. Banyaknya kotroversi yang terjadi membuat FIFA sebagai induk organisasi berpikir keras bagaimana membuat olahraga semilyar umat ini bisa lebih berdaulat adil dan makmur. Maka terciptalah Video Assistant Referee, atau kondang dengan sebutan VAR.

Tapi hal itu tidak serta merta membuat semua orang puas. Di Italia dan Jerman (kompetisinya sudah menggunakan VAR) banyak yang tidak puas dengan kinerja teknologi itu. Pasalnya, wasit membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan. Contoh: ketika para pemain sudah meluapkan kegembiran karena berhasil mencetak gol, tiga menit kemudian sang pengadil bisa menganulir gol tersebut setelah melihat tayangan ulang VAR. Kan pemain sama fans jadi ngomong anjeeeeeng kalo gitu.

Salah satu kompetisi elit yang belum menggunakan VAR adalah Liga Inggris. Tapi tampaknya teknologi itu akan segera dipakai Premier League seiring makin seringnya opa Arsene Wenger ngambek karena kinerja wasit, yang menurutnya makin terbelakang.

Tidak bisa dipungkiri memang jika Liga Inggris menjadi sarang kontroversi yang salah satunya disebabkan oleh wasit. Ya, hampir sama dengan Liga Italia. Tapi di Serie A kontroversi hanya tersentralisasi pada pertandingan Juventus saja. di Negeri Ratu Elizabeth, momen-momen itu terjadi merata, terutama setelah Sir Alex Ferguson mangkat dari jabatannya di klub yang itu.

Jauh sebelum Wasit Lee Mason membuat kontroversi karena larinya lebih kencang dari bintang muda Manchester United, Jesse Lingard (LAAAAH), Inggris memiliki satu nama tenar lainnya dalam diri Mark Clattenburg.

Bagi fans Liverpool, Clattenburg dicap sebagai wasit yang selalu membela Manchester United. Sedangkan menurut fans United, ia tak lebih dari sekedar musuh yang harus disoraki tiap meniupkan peluit. (Aneh kan? ya iyalah, kalo nggak ya bukan kontroversi namanya).

Pada 2016 lalu, Clattenburg pernah membuat Raheem Sterling ngamuk karena dianggap handball. Padahal dalam tayangan ulang terlihat jelas bola mengenai badannya. Keputusan ini pun membuat Manchester City takluk 1-2 dari Tottenham Hotspur.

Sedangkan di luar lapangan, wasit 42 tahun itu juga tak luput dari kontroversi. Ia ketahuan selingkuh dengan seorang wanita muda bernama Andrea. Hebatnya, Clattenburg mengaku masih bujangan pada Andrea dan rela melepas jabatannya sebagai wasit demi memulai hidup bersama. Nahasnya, perbuatannya itu diketahui oleh sang istri, Claire, yang melabraknya langsung.

Yang tak kalah kontroversi dari sosok wasit asal Inggris ini adalah ucapan rasisnya kepada pemain Chelsea ketika itu, John Obi Mikel. 2012 lalu, ia dituding mengucapkan kata 'monyet' pada pemain asal Nigeria tersebut. Tak hanya Mikel, ucapan Clattenburg juga menyasar Juan Mata dengan menyebutnya sebagai orang Spanyol yang idiot.

Kendati pada akhirnya ia membantah tuduhan rasis itu, dirinya sudah kadung menjadi buah bibir seantero Inggris dan dunia. Mungkin, entah benar atau salah, hal ini secara ridak langsung membuatnya di deportasi dari Liga Inggris. Sejak musim ini, Clattenburg di pindah tugaskan menuju Arab Saudi.

Lama tak terdengar namanya, Clattenburg tiba-tiba muncul membawa cerita baik nan menghangatkan. Di negara salah satu peserta Piala Dunia 2018 itu, wasit kharismatik ini membuat semua orang takjub dan kembali membicarakannya. Tidak hanya media dari negara asalnya yang terkenal kejam, rekan sejawat, maupun pelaku sepak bola, tapi juga dari warganet yang menyaksikan aksi terbarunya.

Pada sebuah pertandingan bertajuk King's Cup antara Al Feiha vs Al Fateh, Clattenburg mengguncang dunia ketika laga memasuki menit 95 di babak tambahan. Pasalnya, laga yang tengah berjalan panas ini dihentikan oleh sang pengadil. Bukan karena ada pemain yang tergeletak di lapangan, atau lemparan botol dari penonton, apalagi aksi walk out dari salah satu manajer tim. Tapi karena kumandang azan yang menggema di King Salman bin Abdul Aziz Sport City Stadium.


Bukan satu dua menit ia menghentikan laga. Nyaris empat menit pertandingan berhenti hingga azan benar-benar selesai. Penonton, staff pelatih, dan pemain yang berada di bangku cadangan, maupun 22 penggawa yang sedang bertarung di lapangan, semua tampak diam. Suasana hening semakin menambah syahdu lantunan azan dari muazin. Bahkan, komentator yang tadinya bersemangat memandu laga juga larut dalam takbir.

Setelah azan selesai, laga kembali dilanjutkan dengan diawali tepukan tangan penonton yang memadati stadion. Mereka memuji keputusan Clattenburg yang menghentikan laga itu. Ketika video ini tersebar, banyak warganet yang memuji keputusan wasit kelahiran Consett, Inggris. Mereka menganggap sang pengadil telah mempertontonkan rasa hormat yang tinggi kepada orang-orang muslim di seluruh dunia.

Praktis kontroversi yang selama ini melekat dari dirinya berubah menjadi puja-puji. Bukan hanya karena ia menghentikan laga saat azan berkumandang, tapi juga latar belakangnya yang memiliki kepercayaan berbeda dan statusnya sebagai warga Inggris yang baru kali ini bertugas di Timur Tengah, terlebih Arab Saudi yang memiliki peraturan sangat ketat.

Saya tidak tahu apakah semua pertandingan di sana akan dihentikan jika terdengar suara azan karena memang belum melihat video serupa sebelumnya. Tapi setidaknya di Indonesia hal tersebut tidak terjadi di Liga Bank Mandiri, Liga Super Indonesia, Indonesia Super Championship, Liga 1, atau apa pun federasi menamakan kompetisi di tanah air.

Dari banyak stadion, kandang Persiba Balikpapan (sebelum pindah ke Stadion Batakan) memiliki jarak sangat dekat dengan Mesjid. Bahkan kerap terdengar suara azan di tengah-tengah pertandingan. Tapi apakah wasit menghentikan laga? Tidak. Ia tetap melanjutkan, hanya suporter yang berhenti bernyanyi dan menari mendukung klubnya bertanding.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan Clattenburg bisa dibilang sikap luar biasa di tengah kontroversi yang membelenggu sepanjang kariernya. Sebagai orang yang tidak tahu apa maksud dari azan dan bagaimana sakralnya arti azan bagi umat muslim di dunia, dia bukan hanya patut dipuji, tapi juga harus dikenang. Terlebih bagi kita masyarakat Indonesia yang masih harus banyak belajar toleransi dan menghormati agar bisa keluar dari jebakan batman bernama kaum bumi datar, bumi bulat, cebong, atau kaum apalah-apalah itu yang sering dijuluki oleh netizen.

Sabtu, 23 Desember 2017

Hujan selalu menemukan ceritanya sendiri di kehidupan manusia. Dengan segala jenis latar belakang ia hadir memenuhi ruang hidup kita. Hujan tidak hanya tentang mereka yang kehujanan, kebanjiran, atau mereka yang hanya menari-nari di film India. Ia sudah menjadi saksi bagaimana kita mengenal, berjalan, bertahan, hingga mengukir kisah-kisah yang tak terbayangkan sebelumnya.

Tak perlu berapa kali hujan yang buat kita semakin dekat, saling menghangatkan dalam kedinginan yang cukup menusuk tulang. Bahkan disaat berada di tempat berbeda pun kita selalu merasa ada di ruang yang sama.

Hujan pertama datang tepat disaat kita memutuskan mengukir kisah berdua. Kita tertahan cukup lama hingga larut di tepian jalan, menikmati basah hingga ke tulang. Tapi itu lah indahnya, ketika kita bisa menangkap hangat genggaman pertama. Hingga pada dalam perjalanannya ia selalu mengiringi kita kemana pun tujuannya.

Kita bermula dengan cara yang menurut orang-orang tidak biasa. Bahkan terlalu berani, kata mereka. Namun, inilah kita. Membuat awal yang tak biasa berjalan luar biasa. Hingga sekarang, kita, atau aku setidaknya, masih tak menyangka bisa berujung hingga sedemikian rupa.

Kita membuat jarak yang terbentang sama sekali tak terasa. Menikmati bersama hingga akhirnya berada pada titik yang sebelumnya tak pernah aku lakukan sebelumnya. Dia adalah wanita pertama yang ku kenalkan pada keluarga hingga akhirnya mereka saling tatap muka. Ini adalah sebuah keberanian yang luar biasa, kata mereka. Ya, tidak satu wanita pun yang ku kenalkan langsung pada keluarga sebelumnya. Cuma dia.

Bahkan ada satu obrolan yang sangat jauh kita bicarakan. Di hadapan mereka aku berujar dan hingga saat ini ku pegang. Kita berproses kian jauh saat dia terhubung langsung dengan wanita yang turut melahirkanku. Wanita pertama yang ku cintai di dunia. Satu hal yang tak  dapat disangka sebelumnya. Apalagi, ibu sendiri yang minta dikenalkan.

Tentu awalnya saya takut karena saya kenal bagaimana responnya pada orang lain. Tapi niatnya yang memang ingin mengenal satu-satunya wanita yang bukan dari rahimnya dalam keluarga membuat saya luluh dan membiarkan mereka bercengkrama. Mereka akhirnya saling bercerita. Bahkan ibu lebih sering menghubunginya daripada berbicara dengan saya.

Dia yang saat pertama bertemu dengan keluarga saya sangat kikuk, tampak cukup leluasa berbicara dengan ibu. Ya mungkin karena hanya lewat gawainya. Entah bagaimana rupanya jika bertatap muka.

Kita terus berjalan dengan entah berapa kali hujan dan berapa waktu dihabiskan di tepi jalan. Tapi sebab itu lah cerita kita berbeda sedari awal. Kebersamaan yang kita jaga di sela waktu dalam bekerja menjadi kenikmatan tersendiri. Kita berjalan sebagaimana mestinya, sebagaimana yang kita inginkan. Hingga akhirnya beberapa perbedaan turut serta dalam cerita. Aku pindah kerja, yang otomatis membuat waktu Bersama berantakan, sekalipun jarak semakin dekat. Dengan apa yang selama ini telah kami lewati, semua akhir kembali pada waktu. Waktu akan perubahan, atau juga pada kekurangan satu sama lain.

Pada akhirnya kita dengan terpaksa menjadi siapa. Hujan yang membuat semua cerita turut mengambilkannya. Membuat tidak ada lagi rindu yang tercipta pada dirinya, tak ada pula tatapan hangat darinya. Mata kami tak lagi bertemu di sore itu, sekalipun aku tak pernah mengalihkan mata dari wajahnya. Tapi, tentu genggaman terakhir masih terasa sama seperti yang pertama. Tapi mungkin itu hanya bagiku, entah baginya.

Manusia memang tidak ada yang sama. Semua tercipta berbeda, hanya tinggal bagaimana kita yang menyatukannya. Banyak yang bersatu karena perbedaan, tapi memang tidak sedikit pula yang terpisah dan saling serang karenanya. Dan kita? Salah satu diantara kita memilih kalah atas perbedaan tersebut.


Selain mati yang tak punya jawabannya di dunia. Keputusan siapa, apa, atau apa pun itu namanya juga tak keluar dari bibirnya . Banyak pertanyaan yang terlontar, tapi sebanyak itu pula mulutnya bungkam. Biarlah. Biar dia yang tahu apa sebenarnya, karena mungkin jawaban sesungguhnya akan sakit untuk diterima. Sedangkan saya? Saya cukup berfantasi dengan praduga yang hilir mudik di kepala.

gambar: pinterest.com

Rabu, 18 Oktober 2017


Jakarta baru saja melantik pemimpin barunya. Tanda-tanda kemajuan ibu kota kian terasa di depan mata. Ya... Setidaknya untuk saya. Karena dua pribumi itu lah saya nulis lagi di blog ini. 

Tadinya saya seolah dikutuk karena tidak menulis pasca-tulisan buzzer xl beberapa bulan lalu. Tapi sehari setelah gubernur dilantik saya baru sadar ternyata memang saya malas. Bukan pula karena buzzer yang sudah merambah dunia akting ratusan episode.

Sebenarnya saya punya tulisan baru pada pertengahan September lalu. Tapi entah ini persekutuan tuhan atau apa, akhirnya saya baru memutuskan nulisnya sekarang.  

Saya tahu, pak anis dan bang sandi masih kelimpungan, kaget, dan kaku menjalani amanah baru ini. Ada pun saya sebagai warga Jakarta pinggiran pemuja ibu Airin ingin merekomendasikan orang-orang yang cakap untuk membantu kinerja bapak dan abang. Yang pasti, mereka adalah pribumi tulen. 

tribunnews.com

Sebelumnya saya ingin bercerita sedikit. Awal dibentuknya kabinet kerja Presiden Jokowi, beliau sempat dikritik karena mempekerjakan orang-orang yang dekat dengan Megawati (saya tidak perlu jelaskan siapa orang ini). 

Dengan santai presiden menjawab "Ya kalo ada orang yang dekat dan kita kenal baik, kenapa harus pake orang yang nggak kita kenal,"  kira-kira begitu lah intinya. 

Atas dasar itu pula saya memberanikan diri untuk memberi sedikit masukan pada Pak Gub dan Bang Wagub baru. Sekiranya nanti orang-orang ini mampu membuat Jakarta jauh lebih baik, saya bersedia selipkan nomor rekening agar bapak tidak bingung harus berterima kasih ke mana. 



Mungkin orang-orang seperti Fahri Hamzah, Pandji, Ahmad Dani, terlebih lagi Fadli Zon (yang menurut kawan saya, orang ini masa muda nya seorang tekno-blogger) bisa menjadi bumerang bagi elektabilitas bapak, saya berani jamin orang-orang yang saya rekomendasikan ini akan memperkuat posisi bapak di balai kota. 

Pak Anis dan Bang Sandi mesti tahu, di balik jutaan harap warga dki, nama Yosfiqar, atau yang akrab disapa Naq Ummi dengan sebutan Iqbal ini merupakan orang yang pertama mengucap takbir setelah anda berdua dinyatakan menang.

Ia bisa dijadikan alat propaganda laiknya Pandji di media sosial. Kemampuan keduanya pun setara, Pandji bahkan masih beberapa tingkat di bawahnya. Ia  bisa menggiring opini publik tanpa ada yang tersakiti. Asal jangan ada yang mengungkit selebrasi jemur baju ala Mauro Icardi, surga dunia maya ada digenggaman.



Bayangkan, ketika dia diserang, misalnya dari Tsamara Amany perihal pribumi, dengan menawan Bang Yos berkata "Pribumi pribumi apa yang bikin nggak bisa tidur?" saya berani bertaruh Dik Sam langsung mengucap ampun sambil bertekuk lutut.


Seperti pula Pandji yang kerap mengajak para Stand Up Comedy-an muda tur luar kota, Bang Yos senantiasa membawa netizen liburan ke beberapa spot pilihan tanpa harus memilah jumlah follower dan bagian dari blogger hits atau bukan. 

Orang kedua yang kompeten adalah Fandi. Kita semua tahu Pak Anis bisa menenggelamkan rakyat hanya bermodalkan kata. Keberadaan Fandi di dalam tim saya rasa sangat dibutuhkan untuk memperkuat harmonisasi keduanya. 

Sekiranya Pak Anis atau Bang Sandi ingin nulis buku biografi, sudah ada Fandi yang membantu. Jika ini tercapai, saya yakin buku tersebut tebalnya akan melebihi buku Ensiklopedia Islam yang dulu saya baca di perpustakaan sekolah.

Selain itu, Fandi bisa dijadikan penulis teks pidato kenegaraan atau juru bicara sekalian. Asal jangan diposisikan sebagai admin pemda di twitter. Karena bisa jadi upaya media sosial berlambang burung itu menambah karakter menjadi 280 kata bisa sia-sia. 

Selanjutnya, saya rasa keberadaan orang ini sangat fundamental. Namanya Andhika, atau Ia lebih ikhlas namanya disebut Ucha. Layaknya ungkapan "apa artinya Fahri Hamzah tanpa Fadli Zon" ini pula yang terjadi jika keberadaan Bang Yos tak diimbangi dengan kehadiran Ucha di sampingnya. 

Pak Anis, Bang Sandi. Ucha ini fighter ulung, perusak mental orang, senantiasa menjatuhkan lawan di segala medan. Jika Fahri Hamzah dianggap sudah overrated, Ucha lah yang pas menggantikan. Terlebih lawan politik anda ada yang jomblo dan tidak mendapat perhatian, serahkan padanya.


Kendati suka berapi-api, apa yang dia suarakan ada benarnya. Banyak malah. Persis seperti politisi PKS itu. Jadi, daripada dia selalu dikaitkan dengan vokalis band yang merupakan aset bangsa, lebih baik Ucha mendapat posisi yang layak di tim anda. 

Dengan kondisi anda yang insyaallah banyak hatersnya, keberadaan Ucha sangat penting demi menjaga bargain politik dihadapan penguasa negeri. Yang penting adalah dia tidak perlu digaji, cukup bayar dengan buku Tere Liye, bahagia dia.

Satu orang yang dirasa perlu mengimbangi dream team ini adalah Oky Maulana Saraswati. Apa artinya tim yang kuat tanpa makanan yang berkhasiat? Dengan bekaldarinyokap, baik Bang Yos, Fandi, dan Ucha bisa bekerja lebih maksimal. 

Oky juga bisa menjadi penengah jika sewaktu-waktu Ucha mempertanyakan kesendirian Bang Yos. Dan yang paling penting adalah Oky bisa dengan lembut menyerang buzzer lawan.


Minggu, 11 Juni 2017

Semua orang menangisi kepergian Julia Perez. Baik sesama artis, orang biasa, pecinta sepak bola, hingga para pemain bola. Sialnya, di balik kabar duka tersebut masih ada orang yang masih mencoba mengambil keuntungan di media sosial, yang biasa kita kenal dengan sebutan buzzer.

 Entah dari mana asal muasal buzzer dan entah siapa pula pencetusnya. Yang jelas mereka telah masuk ke sendi-sendi kehidupan bersosial media kita semua. Hal ini memang tak lepas dari kejelian merk-merk ternama yang melihat potensi besar sebagai media promosi ampuh abad ini. Celakanya, bal-balan para buzzer di media sosial makin tidak beretika.
image: merdeka.com

Dengan kontrak yang – tampaknya sangat panjang mau tak mau membuat si buzzer memutar otak 360 derajat untuk mencari tema apa yang hendak dijadikan objek twit berbayar mereka. Salah satu yang mencengangkan adalah kabar duka perihal meninggalnya artis Julia Perez yang ternyata jadi bahan empuk si buzzer memproklamirkan kedahsyatan produk yang mereka jual.

Saya juga tidak paham apakah buzzer-buzzer ini di briefing terlebih dahulu oleh si empunya brand sebelum fardhu ain ngebuzz dilaksanakan, atau mereka memiliki grup WA untuk saling mengkoordinir anggota lainnya dalam tugas sehari-harinya. Entahlah. Yang jelas beberapa dari mereka sudah sangat keterlaluan.

kabut duka d kalangan seleb ind, Kak Jupe yg tangguh n ceria pulang k Rahmatullah #RIPJupe. Langsung tahu dr aksesXL berita & internet lancar.” Demikian twit akun bernama @cputriarty. Tidak ada satu huruf atau tanda baca yang saya ubah dari yang mba ini twit.

Dan yang tak kalah kampretnya adalah twit beberapa waktu lalu, yang lagi-lagi berasal dari buzzer provider yang sama, berbunyi; “innalillahi wainnailaihirojiun, pagi2 dapet info musibah di Garut banjir lg dan ada korban jiwa, pake XL jadi Cepat dpt infonya dr teman.” seru akun bernama @AlfanRenata. Lagi, tidak ada satu huruf dan tanda baca yang saya ubah dari yang aa ini twit.

Betapa bedebahnya kedua orang ini sampai-sampai kabar duka dijadikan objek ambil untung mereka. Apakah di Indonesia tidak ada kejadian lain yang lebih pantas untuk dijadikan bahan promosi sebuah brand? Atau mungkin kedua manusia ini tidak ada saudara, teman, friend zone, pacar, mantan, temannya pacar, mantan temannya pacar, pacar yang kemudian jadi teman, teman yang kemudian jadi pacar, untuk dijadikan bahan twit XL nya?

Misal; “nggak nyangka puluhan tahun temenan sekarang aku bisa jadian sama kamu. Semua ini berkat jaringan XL yang super cepat tanpa PHP. Coba 20 tahun lalu aku pake XL, mungkin sekarang anak kita udah pake XL juga.”

Atau kenapa lau berdua nggak manfaatin bulan suci yang penuh rahmat dan cerita ini menjadi lumbung rekening buzz kalian selama sebulan penuh tanpa harus keluar dari koridor-koridor Ramadhan.

Misalkan lagi; “berkat internet super dahsyat dari XL, jualan takjil ku lebih laku dari pada jualan provider tetangga sebelah. Terima kasih XL.” Atau jika twit kalian mau lebih bertenaga bisa begini; “berbulan-bulan menetap di Arab, akhirnya Habib Rizieq mau pulang ke Indonesia setelah di WA sama Firza pake nomor XL yang enggak ada matinya.”

Saya rasa, twit-twit seperti ini lebih bisa diterima pengguna sosial media. Ya setidaknya mereka terhibur hatinya dan tidak membayangkan botol berisi satu liter bensin sebagai extra joss segar selama menjalankan ibadah puasa.

 Oh mba, oh aa, kenapa kecil sekali lingkar otak kalian sehingga dua contoh receh yang saya paparkan tidak terpikir sedikitpun dibenak kalian? Hambok ya bodoh jangan segitunya lah. Atau jangan-jangan, mungkin kalian buzzer spesialis bencana? Sehingga merasa perlu mengaitkannya di setiap jualan kalian?

Hal lain yang menjadi ketakutan saya adalah antum berdua, atau mungkin brand di tempat kalian bernaung akan merasa bahagia tatkala berita duka datang menghampiri kita semua. Bagaimana tidak, setiap ada bencana atau kabar duka, saya mulai membayangkan kalian akan mengolah jempol-jempol manis kalian dengan senyum merekah karena menemukan objek baru memanen rupiah.

Selaras dengan kedua buzzer di atas,orang-orang yang nge retweet cuitan mereka (kebanyakan buzzer juga) sama bedebahnya. Bodoh tiada tara.
  
Terakhir. Buat siapapun yang berwenang di XL, hambok ya dididik lho buzzernya. Jangan cuma dilihat dari jumlah followernya saja. karena tidak menutup kemungkinan itu follower beli semua.

Saran saya hanya satu buat antum berdua. mikir!!!


Sabtu, 15 April 2017

Di dunia ini pasti ada satu atau dua, atau banyak hal yang tidak kita sukai. Baik itu perihal seseorang, sebuah tempat, sebuah karya, atau apapun itu yang berhubungan dengan keduniawi-an. Dan biasanya, hal-hal yang tidak disukai itu akan mengganggu ketentraman hidup kita. Sebagai manusia yang menganggap diri sendiri idealis saya mencoba membagi beberapa hal yang tidak saya sukai. Apa saja:

Bani Taplak vs Bani Bumi Datar
Bagi yang sudah baca beberapa tulisan saya perihal pilkada, tentu kalian tahu kenapa saya tidak suka dengan kedua kubu "relawan" ini. Bagai benih tanaman yang semakin tumbuh, ketidaksukaan saya pada mereka semua pun makin hari semakin besar saja. jadi.....next

Selebtwit
Sebagai pengguna setia Twitter ada kalanya kekhitmatan saya berselancar di Twitter terganggu dengan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai selebtwit. Dari sekian banyak selebtwit, Ada beberapa diantara mereka yang masuk daftar hitam saya. Seperti Adelladellaideunited (bener nggak tuh? Ya anggap bener ajalah ya), Falla Adinda, dan Fiersa Besari (Fiersa juga seorang penulis dan penyanyi).
sumber: playbuzz.com
Tentu saya tidak memfollow ketiganya,tapi saya bisa melihat twit mereka dari reetweet-an beberapa teman Twitter saya. Mungkin alasan saya tidak suka ketiganya terhitung alasan yang receh, karena twit yang mereka buat terkadang penting enggak penting, nyambung atau enggak nyambung. Celakanya, twit-twit yang sejatinya bisa kita tulis sendiri itu selalu di reetweet oleh banyak orang. Ya, alasan saya yang receh berbanding lurus dengan twit mereka yang receh pula.

Untuk karya Fiersa Besari di dunia literasi atau musik sendiri, bait-bait kata yang ia gunakan terlalu bombastis, mengawang, muluk-muluk, dan berat rasanya untuk bisa dinikmati oleh orang macam saya (padahal baru liat judulnya doang, belom isinya. Hahaha. Apalo? Apalo? Apalo?)

Sudah semestinya kalian me-reetweet twitnya mz @kening_lebar yang selalu menebar gelak tawa dan mewaraskan dunia. Ini serius!!!

Penyanyi dan Penulis
Bagi yang menjadi teman Path saya, tentu kalian tahu ini bukan?
sumber: penulis


Kalo enggak tahu, hambok ya di buka lho sekali-kali. Masa chek in Path pas liburan atau lagi ke tempat-tempat kece doang. Ahelah

Saya yakin, banyak di dunia ini, atau setidaknya di Indonesia memiliki penyanyi yang enggak banget dan menciptakan lagu yang enggak kalah enggak bangetnya dari si penyanyi. Untuk mz Virgoun yang salamnya kepada dik Starla tak tersampaikan karena selalu bentrok dengan para Anak Langit, juga mz Alexander Thian yang tampaknya ngefans sekali dengan grup band asal Inggris, Keane, atau Almost is Never Enough nya Ariana Grande yang bisa kita nikmati dalam bentuk buku (entah siapa nama penulisnya). Pesan saya hanya satu, lebih selektiflah dalam memilih judul.

Dan Tere Liye. Muda-mudi mana yang tak tahu buku-bukunya? Ia adalah satu dari sekian banyak penulis Indonesia yang bukunya berserakan di toko-toko buku besar.di toko, Sudut, dan di rak sebelah mana kalian tidak menemukan buku Tere Liye yang judulnya telah melebihi gelar Scotish Premier League nya Glasgow Celtic?

Di balik rentetan buku yang telah ia cetak, ternyata Tere Liye adalah seorang yang buta sejarah, buta pada sebuah kebenaran masa lalu yang kini ia rasakan sendiri buah kenikmatannya. Berpegang teguh pada satu kedunguan bahwa hanya kaum agamis yang berjuang dalam memerdekakan negeri ini tanpa andil orang-orang nasionalis di dalamnya. Ini tentu menjadi kebodohan paripurna di abad 21. Dan mungkin saja, Tere Liye adalah satu-satunya penulis di muka bumi yang buta akan sejarah bangsanya sendiri.

Ernest Hemingway, Noam Chomsky, dan Liverpool
Bagian ini berbeda dengan tiga bagian di atasnya. Saya suka dengan karya-karya Noam Chomsky dan Ernest Hemingway. Banyak pula dari kita yang mengamini tulisan-tulisan Chomsky yang dituangkan dalam buku“How The World Works” atau “Who Rules The World”. Dan siapa juga yang tak tersihir jiwanya ketika membaca “Lelaki Tua dan Laut” yang telah dicetak puluhan kali, atau kumpulan cerita pendek yang dikemas menjadi satu dalam sebuah buku karya agung Ernest Hemingway.

Dalam sebuah catatan yang katanya sangat rahasia terdapat nama kedua penulis mahsyur ini yang dipekerjakan CIA sebagai alat propaganda mereka. Jika memang benar adanya, tentu kenyataan ini sulit untuk kita terima. Terlebih pada Noam Chomsky yang karyanya tak jarang menyudutkan Amerika Serikat sendiri. Tapi kemudian apakah saya membenci keduanya? Karya-karya nya? Belum tentu . karena pemikiran-pemikiran mereka sedikit banyaknya telah mempengaruhi pemikiran saya.

Lalu Liverpool? Sungguh disayangkan, saya baru menyadari bahwa tim asal Merseyside ini tidak bagus-bagus amat (jika kata bapuk terlalu berat untuk diucapkan) setelah saya mencintai Liverpool begitu dalam.

buzzer
buzzer yang saya maksud di sini tentu saja buzzer politik bukan buzzer sebuah produk yang tiap waktu memenuhi linimasa twitter. Ada beberapa buzzer yang tidak saya follow karena alasan tertentu. Ada pula buzzer yang tetap saya follow sekalipun tak jarang pandangannya berbeda dengan saya.

Akhmad Sahal, Tsamara Amani, Kang Dede, dan Fadjroel Rahman. Makin hari saya semakin tidak mengerti  dengan orang-orang ini. Pembelaan yang kian banal mereka pada jagoannya terkadang membuat “relawan” ini tampak bodoh lagi dungu. Orang-orang dengan pendidikan tinggi seperti mereka seakan rela menggadaikan isi kepala demi langgengnya jalan calon gubernur duduk kembali di balai kota.

Ketidak sukaan ini tidak serta merta membuat saya meng-unfollow mereka. Saya justru tetap setia menjadi pengikut mereka dengan tujuan ingin melihat sejauh mana kepentingan menghancurkan pikiran. Tak jarang, saya beberapa kali mempertanyakan apa yang mereka utarakan di twitter.

Seperti Akhmad Sahal yang tetap melihat celah dalam kasus penyiraman air keras yang diderita penyidik KPK baru-baru ini, Novel Baswedan yang kemudian ia bandingkan dengan sosok Anies Baswedan. “Gus, suku Mante juga tahu kalo kasus Novel hubungannya sama E-KTP, bukan Pilkada DKI”.

Atau bagaimana ambisi Tsamara Amani (yang ingin menjadi gubernur Jakarta suatu hari nanti dan mengidolai sosok Megawati Soekarno Putri) yang kerap mengajak kaum perempuan untuk terjun langsung ke dunia politik. “Mba Tsamara yang cantik, Ahok dan Jokowi yang bersih saja, imejnya langsung jelek saat jadi pejabat tinggi karena politik praktis negeri ini”.

Saya bukannya tidak percaya dengan kapabilitas Tsamara. Dengan kondisi politik nasional yang semakin menjijikkan, seharusnya Tsamara tahu itu, dan ingat dengan apa yang dulu pernah dilontarkan Soe Hok Gie; Politik tai kucing.

Loh wan. Kok buzzer nomor tiga enggak lo sebutin? Buat apa gue sebutin. Pertama, buzzernya enggak ada yang kompeten. Kedua, gue enggak suka sama calonnya.

Dari paragraf pertama hingga paragraf kesekian, ada beberapa orang yang tidak ingin saya ketahui karena saya terlanjur menangkap pesan jelek terhadapnya. Namun ada pula yang tetap ingin saya ikuti kiprahnya (walau sama menjijikkannya) hanya untuk mengukur ke-netral-an saya dalam bersikap, dan tentu saja demi terpenuhinya birahi nyinyir saya. hahaha



Selasa, 07 Maret 2017

Kita mengenal Mesut Ozil, Ilkay Gundogan, Emre Can, dan Mehmet Scholl sebagai punggawa tim nasional Jerman, tapi satu hal yang tidak bisa kita pungkiri adalah, kenyataan bahwa mereka murni berdarah Turki. Atau si kembar Hamid dan Halil Altintop yang lahir dan besar di Gelsenkirchen, Jerman (Halil dan Hamid Altintop memilih membela Turki)

tentu ini bukan kali pertama orang Turki membela negara lain di sebuah ajang internasional. Salah satu faktor yang mengakibatkan berpalingnya mereka dari tanah airnya karena mereka tidak dilahirkan di Turki, melainkan di negara lain yang bertetangga dengan Turki, seperti Jerman, Swiss, Austria, dan beberapa negara Eropa Lainnya.

Jika kita membuka peta dunia, akan tampak jelas bahwa sebagian besar wilayah Turki terletak di Benua Asia, bahkan ibukota negara, Ankara, juga berada di dataran Asia. Namun, sebagian kecil negara Timur Tengah ini berada di kawasan Eropa, seperti Istanbul yang menjadi kota terbesar di Turki.

Di dunia sepak bola, Turki lebih memilih berada di bawah naungan Uefa (federasi sepak bola Eropa) ketimbang mengabdi di Asia bersama AFC-nya. Mereka memang tidak serta merta memilih Eropa untuk dijadikan home base nya, karena sejak dulu, pendiri Turki, Mustafa Kemal Attaturk selalu mengidentikkan Turki sebagai bangsa Eropa. Dan sebuah kebetulan pula jika dulu mereka memang sempat menguasai sebagian wilayah Eropa. Jadi tak heran kiranya dengan apa yang mereka lakukan sekarang.

Turki yang sejak dari awal keikut sertaanya sebagai anggota FIFA tidak pernah mewakili Asia, ditambah orientasi ekonomi politik yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Eropa semakin membuat negara sekuler ini enggan beranjak dari teritori sepak bola nya. Keputusan ini pun membuat sepak bola Turki jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di Asia. Sempat menjadi semi finalis di piala dunia 2002 Korea-Jepang, Arda Turan cs kembali menggoreskan tinta emas saat menjadi semi finalis di Piala Eropa 2008.

Meski setelahnya capaian Turki di Piala Dunia dan Eropa merosot tajam, kompetisi Liga Turki semakin dikenal khalayak ramai. Membaiknya sarana penunjang seperti stadion, tempat latihan, dan keberanian klub untuk mendatangkan pemain bintang menjadi bukti bahwa sepak bola Turki tak hanya ingin menjadi tamu di kompetisi Eropa, mereka juga ingin bersaing menjadi yang terbaik.
sumber: goal.com
Kini, kita tak hanya mengenal Galatasaray, Fenerbahce, Besiktas, atau stadion Attaturk yang terkenal lewat keajaiban Liverpool pada 2005 lalu saja, tapi juga kemunculan Trabzonspor, Bursaspor, dan tim lain yang mulai hilir mudik di kompetisi Eropa.

keberanian masing-masing pemilik klub membayar mahal pemain incaran juga ikut meningkatkan kualitas Süper Lig Turki. Sebelum memasuki masa millenium baru, mungkin hanya Grame Souness, nama tenar yang pernah merumput di Liga Turki kala membela Galatasaray, yang kemudian membuatnya terkenal karena ulah beraninya  yang membuat fans Fenerbahce murka.

Kini, Süper Lig Turki lebih banyak dan beranimendatangkan pemain bintang seperti Didier Drogba dan Lukas Podolski yang sempat bermain untuk Galatasaray, Wesley Sneijder yang masih setia bersama The Aslan (julukan Galatasaray), atau nama lain yang menjadi perhatian tentu saja Luis Nani dan Robin Van Persie yang sempat dan masih membela panji Fenerbahce, serta Mario Gomez dan Ricardo Quaresma yang didatangkan Besiktas.

Menariknya, bukan hanya tiga klub besar asal Istanbul tersebut yang mampu mendatangkan nama-nama terkenal, klub semacam Trabzonspor dan Antalyaspor pun mulai mencuri perhatian. Trabzonspor yang pernah mengenyam arena Liga Champions beberapa musim lalu mendatangkan Marko Marin dan berhasil memulangkan Halil Altintop ke negara leluhurnya. Satu nama yang kemudian mencuri perhatian adalah Samuel Eto’o yang kembali merumput setelah tidak memiliki klub pasca kontraknya habis di Everton. Alih-alih membela salah satu tim yang disebut di atas, Eto’o justru menerima pinangan klub promosi, Antalyaspor, 2015 lalu, yang baru merasakan kompetisi tertinggi di negara yang tak masuk persekutuan Uni Eropa tersebut.

Kedatangan para pemain jempolan berbanding lurus dengan pamor Süper Lig yang semakin menjadi bahan perbincangan. Animo penonton yang hadir ke stadion juga melonjak tajam menjadi 2.578.561 orang (tff.org) demi melihat pemain kesayangan lebih dekat karena selama ini mereka hanya bisa menyaksikannya di televisi. Seperti yang kita ketahui bersama, fans di Turki memang dikenal keras dalam mendukung tim kesayangan dan tak ramah dengan klub pendatang.

Berbicara fans di sepak bola Turki, tidak lengkap rasanya jika kita tidak membahas bagaimana mereka melakukan Intimidasi tiada henti pada lawan yang datang,siapa pun lawan mereka. Ratusan flare yang “membakar” stadion dan gemuruh seporter dengan tingkat kebisingan mencapai 131 desibel – hampir menyamai suara Jet tempur yang hendak lepas landas – menjadi satu cerita tak terlupakan dari suporter yang bertandang ke Turki .

Teror ultras Turki tak hanya lewat suara dan dentuman kembang api, lewat spanduk raksasa bertuliskan “welcome to the hell” atau pelesetan slogan Liverpool yang diubah pendukung Besiktas menjadi “Liverpool, you’ll walk alone here” saat klub asal Inggris tersebut kembali ke Attaturk stadium di ajang Liga Eropa 2014 lalu, menjadi pesan tersendiri bagi setiap tamu yang datang bahwa tak ada ramah tamah di negara yang sempat bersitegang dengan Rusia ini.  
sumber: dailymail.co.uk

Denyut nadi sepak bola Turki tak hanya dirasakan pada kompetisi dan fanatisme fansnya, tapi telah membangkitkan bibit muda bertalenta yang telah lama kita tunggu setelah masa emas Hakan Sukur, Rustu Rechber, dan Emre Bilozoglu. Kebintangan Arda Turan di Barcelona seolah merefleksikan gairah pemuda-pemuda Turki yang pantang menyerah untuk mengejar mimpi sepak bola mereka.


Semakin matangnya Arda Turan dan Nuri Sahin tak menutup gerbang generasi baru bagi sepak bola negara yang dipimpin oleh Racip Tayyip Erdogan ini. Kini kita telah melihat bahwa Turki memiliki bintang-bintang masa depan yang siap menggebrak dunia dalam diri Hakan Calhanoglu, Emre Mor, dan Salih Ucan yang akan menjadi perpaduan indah bersama Selcuk Inan, Burak Yilmaz,Mehmet Topal, dan lainnya.

Senin, 27 Februari 2017

Sebagai warga pinggiran Jakarta yang telah menetap hampir 10 tahun lamanya, terima atau tidak, hal ini telah membuat saya secara otomatis mengikuti langkah Persija Jakarta di kompetisi sepak bola Indonesia. Walaupun bukan penduduk asli Jakarta, mendukung Persija dirasa perlu untuk saya lakukan karena Macan Kemayoran masih bermain di liga tertinggi Indonesia. Agak tidak mungkin rasanya jika saya tetap mendukung Persiraja Banda Aceh yang kini entah di mana rimbanya.

Sebagai Jak Mania karbitan, saya tentu prihatin dengan keadaan Persija beberapa tahun belakangan. Performa tim yang buruk, pula manajemen yang tidak becus mengurus tim telah membuat Persija semakin jauh tertinggal dari lawan klasiknya, seperti Persib Bandung dan Arema Malang. Status sebagai tim ibukota tak berbanding lurus dengan capaian mereka selama ini. Jangankan berprestasi di atas lapangan, membayar gaji pemain saja manajemen masih keteteran.

Seperti kebanyakan tim-tim di Indonesia, kemunduran Persija disebabkan oleh pencabutan dana APBD yang selama ini menjadi sumber uang Persija. Hal ini membuat manajemen harus memutar otak untuk mencari dana segar melalui sponsorship. Celakanya, manuver manajemen macan kemayoran untuk mencari sponsor masih jalan di tempat. Ini bisa kita lihat bagaimana kondisi Persija sekarang yang hanya dihuni oleh pemain muda nir pengalaman, tidak seperti Persija yang dulu kita kenal yang penuh pemain bintang. Hal lain yang mencolok dari Persija adalah kosongnya Jersey mereka dari brand-brand sponsor. Padahal, sekali lagi, mereka tim ibukota.
sumber: fourfourtwo.com
Ini tentu bertolak belakang dengan Persib Bandung yang jersey nya selalu disesaki brand besar. Bahkan 2 musim lalu, Persib harus membagi 2 jersey mereka (saat bermain di AFC Cup dan Liga Super Indonesia) agar semua brand bisa tampak di dada, depan dan belakang, lengan kanan, lengan kiri.

Bukan hanya kalah pamor dari Persib, Persija juga kian tertinggal dari “saudara jauhnya” Arema Malang yang terus mendapat dana baru dari sponsor yang bekerja sama dengan mereka. Dalam mengarungi musim ini saja, Singo Edan sudah kebanjiran brand anyar yang kian membanjiri jubah birunya dengan “iklan”.

Tentu bukan hanya 2 club ini yang sudah mendahului Persija dalam urusan bisnis komersil. Persipura Jayapura, Mitra Kukar, bahkan club baru seperti Bali United dan Bhayangkara FC jauh lebih sehat keuangannya dibanding Persija Jakarta. Sehatnya keuangan beberapa tim di atas juga berbanding lurus dengan performa mereka di atas lapangan dan menjadi garansi pemain bintang agar mau dipinang.

Berkebalikan dengan beberapa tim tersebut, keadaan Persija yang apa adanya – juga – berbanding lurus dengan performa mereka dan kualitas pemain yang dimiliki. Di ajang ISC lalu saja, macan kemayoran hanya mampu duduk di peringkat 14 klasemen akhir. Sekalipun mereka memulangkan Greg Nwokolo dan Emanuel Pacho Kemogne ke ibukota, permainan tim asuhan Zein Alhadad tidak juga membaik sepanjang kompetisi.

Jelang digulirkannya Liga 1 Indonesia, dan telah tersingkirnya mereka dari ajang pramusim bertajuk piala presiden, Persija dituntut untuk terus melakukan pembenahan. Mereka berhasil mendatangkan bek muda potensial, Ryuji Utomo dari Arema dan menyeleksi beberapa pemain luar negeri untuk melengkapi slot pemain asing. Tapi lagi-lagi, pergerakan mereka di bursa transfer masih jalan di tempat karena terkedala tuntutan gaji pemain incaran.

Keberadaan Bambang Pamungkas dan Ismed Sofyan tentu menjadi pertanda bahwa Persija memang tak memiliki pilihan lain selain mempertahankan pemain yang kian dimakan usia. Masalah lain yang tak kalah penting tentu saja kandang Persija. Jakarta, terlebih lagi Jabodetabek memiliki beberapa stadion berstandar internasional, seperti stadion Patriot di Bekasi, Pakansari di Cibinong, dan tentu saja Gelora Bung Karno di Senayan. Tapi Persija selalu terusir dari rumahnya sendiri. Sejak tak lagi menempati stadion Lebak Bulus sebagai home base beberapa tahun lalu, Macan kemayoran mulai akrab sebagai tim musafir selama beberapa musim. Tak jarang Jak Mania harus rela pindah kandang ke Manahan Solo, Gelora Delta Sidoarjo, atau Mangguharjo di Sleman untuk mendukung tim pujaan. Rencana manajemen yang ingin menggunakan stadion Patriot Bekasi pun masih simpang siur kejelasannya karena pengelola stadion meminta mahar sewa lapangan yang tidak kecil nominalnya.

Persija Jakarta. Mungkin hanya mereka club ibukota yang melarat dari semua aspek sepak bola. Seburuk-buruknya performa Hertha Berlin di Bundesliga, mereka masih bisa mendatangkan banyak sponsor dan tak perlu minggat dari Olympiade stadion Berlin. Atau bagaimana keterpurukan negara Yunani yang tidak berdampak banyak pada club ibukota, AEK Athena yang sempat dirundung masalah finansial tapi tetap bertengker di 5 besar liga.


Memang tidak semua tim ibukota berada di papan atas. Tapi tentu saja, apa yang terjadi pada Persija Jakarta, pemegang 1 gelar juara ( sejak era liga), club dengan sejarah panjang, pencetak pemain masa depan Indonesia dan memiliki basis suporter yang luar biasa setia, keadaan sekarang ini tentu menjadi dosa besar yang harus ditebus dengan satu perubahan besar dari semua elemen Persija Jakarta.

Jumat, 17 Februari 2017

Pemberitaan media yang luar biasa seputar Pilkada tak bisa dipungkiri telah membutakan mata kita pada peristiwa lain yang jauh lebih penting dari pada si 1, 2, 3, atau nomor urut lainnya. Kenapa saya bilang lebih penting? Jelas, apa-apa yang berhubungan dengan Pilkada hanya akan membuat kita kehilangan teman dan menjadi tak waras dibuatnya. Sementara peristiwa lain yang dimaksud adalah kita bisa menambah pergaulan dan bahan perbincangan untuk tetap menjaga tingkat kewarasan dalam tatanan berkehidupan sosial.

Lalu apa saja hal-hal yang jauh lebih penting itu, yang luput dari perhatian kita akibat Pilkada? Berikut beberapa kejadian lain yang terjadi selama Pilkada berlangsung

1.       Antasari vs SBY
Tentu bukan masalah laporan Antasari di Bareskrim Polri yang menyatut nama SBY dan Hary Tanoe yang penting. Melainkan, lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, cuitan SBY yang menjadi penting. SBY tak terima dengan tuduhan mantan ketua KPK tersebut yang menurutnya keji dan bermuatan politik untuk menjatuhkan putra sulungnya, Agus Harimurti yang esoknya bertarung di Pilkada DKI.

Tanpa ampun, SBY membredel twitter dengan thriller cuit lanjutan yang membuat kita iba, juga tawa. Tak lama setelah mencuit kegelisahannya di Twitter, SBY mengadakan konferensi pers di kediaman barunya, Kuningan. Lembar perlembar kertas pidato yang ia baca ternyata tak beda jauh dengan apa yang sebelumnya ia utarakan di Twitter. Seketika saya bergumam senja jangan-jangan kertas itu hanya soft copy cuitannya di Twitter.”

Hmmmm.... I have to say *kepala menengadah ke atas* buat apa konferensi pers kalo isinya sama kayak di Twitter? Buat apa? B u a t a p a

2.       Ibas featuring Aliya
Wahai rakyatku. Kalian harus tahu bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. SBY rela turun bukit demi Agus, Ibas rela bikin Twitter demi SBY, Aliya rela belajar bahasa Indonesia demi Ibas. Yhaaaaaa

Mba Aliya, dengan cinta tiada tara pada Ibas cukup sigap meluruskan biduk persoalan “wahai rakyatku” yang kadung jadi trending topik. Ia tak menyia-nyiakan gelar sarjana yang diambil di luar negeri untuk membenarkan kosakata anak bangsa dengan sebuah dagelan yang bisa membuat Pram bangkit dari kuburnya. But, I have to say..kebodohan Ibas dibalas kebodohan Aliya. Ini sekaligus penegasan Tuhan bahwa ia memang adil dalam menentukan jodoh seseorang.
Wahai rakyatku. Inilah keluarga cemara yang saling membela di dunia maya. Entah apa yang membuat Ibas berkata “wahai rakyatku” sementara dia bukanlah siapa-siapa. Entah apa pula pertimbangan Twitter untuk mencetang biru akun Ibas dan Aliya yang.........................silakan isi sendiri.
sumber: tribunnews.com
3.       Tukang Bubur Naik Haji dan Anak Jalanan tamat
Dengan mengucap syukur diiringi gemuruh sirine telolet, akhirnya sinetron TBNH dan Anak Jalanan habis juga. Entah mereka sudah kehabisan cerita atau ini hanya sekedar trik Hary Tanoe untuk mengalihkan isu khalayak dari laporan Antasari Azhar padanya. Atau jangan-jangan demi melimpahnya slot mars Perindo yang makin easy listening di pendengar millenial.
*tiba-tiba saya melihat iklan sinetron SCTV yang judulnya Orang-Orang Kampung Duku dan Anak Langit* tidak ada kata lain yang patut diucapkan selain......ASUUUUUUUU

4.       Dewi Persik vs Nassar
Tidak ada Valentine tahun ini. Di hari yang kata banyak orang sebagai hari kasih sayang, Dewi Persik dan Nassar justru membuka permusuhan  baru. Berawal dari adu mulut KEDUA biduan ini, DePe tak bisa menahan emosi kala biduan satunya tak mau berhenti bicara. Entah ia sedang dapet atau memang sudah tabiatnya, pedangdut asal Jember ini anjiir tau amat gue langsung menghujam Nassar dengan sebutan “bencong lo. Anjing lo” yang sayangnya langsung dipotong kuis Tolak Angin. Dan seketika malam Valentine saya nanggung bukan kepalang dibuatnya.

5.       Awkarin
Sampai sekarang saya belum pernah melihat rupa Awkarin yang fenomenal itu. Awkarin adu mulut sama pacarnya pun (secara harfiah, adu mulut di sini maksudnya cipokan) saya juga belum lihat. Awakarin naik kuda di video klip terbarunya pun saya belum lihat. Dada Awkarin yang awalnya datar lalu  menjadi besar dan mantap, dengan sekejap, saat naik kuda pun saya belum lihat. Lho, tapi kok tahu dadanya gedean? Oke. Skip!

6.        Ahok menang di Petamburan
Tersiar kabar bahwa Ahok menang di TPS tempat di mana Agus nyoblos...hmmm mungkin ini biasa. Tapi apa jadinya jika Ahok menang telak di Petamburan, yang notabene markas besar FPI? Saya pastikan jika Ahok sendiri kaget dengan kemenangan tersebut. Walaupun tak sekaget anggota FPI yang tak terima dengan hasil itu dan minta dilakukan pemungutan suara ulang. Bukannya berbalik keadaan, suara Ahok justru makin bertambah setelah dipungut ulang.

Saya curiga, aksi 411, 212, 112, yang digalang FPI merupakan kontra strategi dari FPI sendiri untuk memenangkan Ahok di wiliyahnya dan mengelabui Anis yang rela men-down grade otaknya saat berpidato dihadapan Habib Rizieq dan kolega. Sekali lagi, Allah, Tuhan YME menunjukkan kekuasaannya. Takbiiir

7.       Gagal Sensor Film Jakarta Undercover
Dalam sebuah cuitannya, Fajar Nugros, sutradara film Jakarta Undercover mengungkapkan kekecewaan mendalam karena film yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Moamar Emka ini gagal tayang. Sungguh disayangkan karena saya sudah melihat thrillernya di bioskop beberapa hari yang lalu.

Memang tidak bisa dipungkiri jika film ini “berani” menampilkan beberapa adegan panas baik pria-wanita atau pria-pria, juga beberapa scene yang menggambarkan kehidupan urban Jakarta. Tapi kembali lagi, tidak mungkin pula jika film ini tetap dipaksakan tayang dengan catatan beberapa adegan dihilangkan karena secara otomatis akan kehilangan makna dari kata “undercover” itu sendiri.

8.       Kaos LOL Siti Aisyah
Kabar duka datang dari mancanegara kala Kim Jong Nam, kakak beda ibu dari Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara mati di tangan perempuan  yang katanya Indonesia. Ada banyak versi yang mengemuka di balik pembunuhan tersebut, mulai dari racun, identitas Siti yang berbeda, dan perannya sebagai agen rahasia Korea Utara.
sumber: kumparan.com
Ketika semua versi di atas masih simpang siur kebenarannya, kaos putih ”LOL” yang dikenakan Siti lah yang menjadi satu-satunya kebenaran mutlak. Jika benar ia agen rahasia Korea Utara, dari mana ia membeli kaos bertuliskan LOL tersebut? Saya berani bertaruh tak ada satu pun tukang sablon di Korea Utara yang mempunyai selera humor tinggi dan mengerti arti LOL. 

9.       Nafsu atau tidak nafsu dalam Wudhu’
Jujur. Seumur hidup saya tidak pernah mendengar pendapat seperti ini “Perempuan dan laki-laki tidak masalah jika bersentuhan setelah berwudhu’ asal tidak diiringi nafsu.” dengan mantap seorang teman berkata seperti itu setelah menyentuh saya yang sudah berwudhu’.Saya agak bingung dengan pendapat ini, dan membuat saya balik bertanya “oke. Kalo gue meluk lo gapapa kan ya? Kan nggak pake nafsu?”

Saya tidak mau berpolemik panjang dengan hal-hal demikian, Terlebih sekarang kita tengah menjalani fase di mana kafir-mengkafirkan orang terasa nikmat rasanya dan bisa menebalkan keimanan kita secara otomatis. Biarlah ajaran saya bagi saya, ajaran dia bagi dia. Segera saya kembali mengulang Wudhu untuk shalat dan teman yang tadi juga ikut shalat tanpa kembali berwudhu.

10.   Red Hot Chilli Papper ke Bekasi
Berbanggalah kalian warga Bekasi dan sekenanya yang telah memilih Ahmad Dhani sebagai pemimpin baru kalian. Pasca kemenangan Ahmad Dhani dan pasangannya – yang entah siapa namanya – pentolan Republik Cinta Management tersebut langsung mengimingi warganya dengan janji yang menggetarkan jiwa.

Ia tak perlu gontok-gontokan menawarkan DP rumah 0% pada warga Bekasi. Buat Dhani, Red Hot Chilli Papper harga mati! Bukan di Jakarta, tapi bekasi. Dengan kapasitas dia sebagai musisi handal yang kenyang asam garam, tentu ini bukan menjadi soal buat bapak 5 anak ini (bener 5 kan ya anaknya?) Mas Dhani tentu banyak jaringan di luar negeri sehingga dengan mantap menjanjikan kehadiran RHCP di Indonesia Bekasi.
Sekian!!!


Minggu, 29 Januari 2017


Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya pada saya “mas, enakan di Aceh apa di sini (Jakarta)?,” sebuah pertanyaan yang biasa saya terima saat bertemu teman baru.

Betul, saya adalah orang Aceh, dan sejak 2007 pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sampai sekarang pun, jika bertemu teman baru, lingkungan baru, hal tersebut serasa wajib menjadi pertanyaan, walau terkadang hanya untuk menambah kadar basa-basi dalam percakapan.

Hampir 10 tahun saya meninggalkan ketenangan kampung halaman untuk mencari ilmu dan bertarung dengan keriuhan khas ibukota yang sekaligus membuat Jakarta menjadi berarti buat saya. Tapi itu tak mampu membuat saya berpaling dari Aceh sebagai tanah saya, darah saya. Jakarta yang penuh pikuk gedung-gedung menjulang dengan deretan kendaraan yang makin enggan bergerak sangat kontras dengan suasana Aceh yang apa adanya, tapi sangat bersahaja. Ini pula yang membuat saya bangga pada Aceh, dengan segala yang ia punya.

Lahir dan besar di Aceh, tepatnya di desa Cotgirek yang berjarak 20-30 kilo meter dari Lhokseumawe, tidak ada yang tidak saya ingat ketika harus mengulang lagi memori di masa lalu. Sebuah pengingat yang membuat saya bersyukur karena lahir dan tinggal di sana, juga karena mempunyai mereka semua yang selalu dirindukan.

Ketika Jakarta semakin dikuasai gedung-gedung menjulang, Aceh (khususnya kampung saya) masih setia dengan apa yang ia punya. Sesuatu yang berharga yang semakin mustahil kita temui di ibukota, yaitu lapangan sepak bola. Sedangkan di Aceh, hampir setiap kelurahan terdapat lapangan sepak bola, baik berukuran sedang, hingga yang besar. Dari yang ada tiang gawang, sampai yang hanya menggunakan tumpukan sendal sebagai pertanda siapa yang kalah dan menang.

Bermain sepak bola rasa-rasanya menjadi kesenangan tak terhingga bagi kami semua di sana. Sedari SD hingga SMA kami bermain bola bersama, di lapangan yang sama. Tgk Raja Husein nama lapangannya. Sebuah nama yang saya tidak tahu dari mana asal, dan apa filosofinya. Biarlah, kami hanya ingin bermain bola, bukan mempertanyakan sejarah.

Lapangan Tgk Raja Husein sebenarnya memiliki permukaan tanah yang tidak begitu rata, dan bisa menyebabkan kejadian-kejadian “magis” kala bola menyentuh bagian tanah yang tidak rata itu. Bola yang seharusnya tidak gol bisa berbuah gol karenanya, juga sebaliknya. Meski demikian, lapangan ini berukuran sangat besar, walaupun, sekali lagi, hampir setiap sudutnya kita akan menemukan compang-camping tanah yang tak merata.

Lapangan ini tampaknya akan mubazir jika hanya dimainkan oleh dua kesebelasan saja. Karena memiliki ukuran yang besar, tak jarang lapangan Tgk Raja Husein dipakai untuk dua, atau tiga pertandingan sekaligus. Lapangan utama biasa digunakan untuk mereka yang dewasa, sementara dua sisi di sebelahnya kami gunakan. Jika di luar sana sepak bola tidak mengenal warna dan bahasa, maka di lapangan kami sepak bola tidak mengenal cuaca dan berapa.

Kami tidak begitu ambil pusing dengan cuaca tiap sorenya. Karena ada satu hal yang membuat kami was-was dari sekedar hujan dan lapangan berlumpur. Yaitu seberapa besar amukan orang tua di rumah ketika kami pulang dengan warna pakaian yang berbeda. Saat air hujan mengalir deras kami tetap berlari melawan dingin, (terkadang, memang ini yang kami harapkan). Ketika matahari masih tegak berdiri, kami pun tak mengurangi kecepatan lari kala mengejar bola. Hujan kami lawan, matahari kami kalahkan. Semua kami lakukan atas dasar kata yang sama, bahagia. Tak peduli dengan seringai orang tua walaupun dalam hati kami ketakutan yang selalu kalap saat mendapati anaknya pulang dengan tubuh lusuh berlumpur atau kulit yang menggelap dengan aroma tak sedap.

Tidak ada anak-anak seusia saya yang menghabiskan sore nya selain di lapangan. Baik yang hanya sekedar melihat kami menendang bola, atau ikut menendang bersama. Umur yang masih belia, tanpa kejuaraan apa-apa, tentu memungkinkan kami untuk bermain dengan berapa pun jumlah orangnya. Jika tengah sepi, tentu dibawah 11 orang dalam satu tim, tapi kalau sudah ramai, bisa 15 orang satu tim. Dan mau tidak mau kami harus menjauhkan jarak antar gawang sendal agar tidak terjadi penumpukan pemain di lapangan.

Tak ada satu sore pun kami lewatkan di luar lapangan, bagaimana pun keadaan lapangannya. Becek atau kering, banyak pacat (sejenis Lintah) atau tidak, pakai sepatu atau nyeker, buat kami tidak ada beda. Karena masih ada dari kami yang tidak memiliki sepatu bola, kadang ada yang bengkak kakinya karena beradu dengan yang memakai sepatu bola. Bayangkan, kaki telanjang dihadapkan dengan sepatu bola yang dalam sekali injakan bisa bikin kaki seperti dipelintir berulang kali.

Bermain bola tiap sorenya, sudah pasti membuat saya gemar nonton bola. Baik liga tarkam yang saya tonton langsung di lapangan maupun pertandingan kelas dunia di televisi. Saya lahir dari seorang Milanisti (sebutan kepada fans AC Milan) dan tumbuh menjadi…Interisti (sebutan kepada fans Inter Milan). Perbedaan tak lazim yang membuat seisi kampung sering menaikkan tensi emosi kami berdua jika kedua tim sedang bertanding. Rumah saya, di Cotgirek selalu ramai kala Derby Milano diselenggarakan. Mereka tentu memiliki tv di rumahnya sendiri. Tapi, apa mau dikata, perbedaan saya dan bapaklah yang mengantar mereka nonton bareng di rumah kami. Tentu mereka tak begitu peduli dengan hasil pertandingan, karena mereka hanya ingin “menjaga kalian, biar nggak ribut kalo Shevchenko atau Vieri ngegolin,” canda seorang tetangga sambil tertawa geli. (ya, saya masih ingat perkataan itu)

Sejak masih muda, bapak juga bermain bola di lapangan Tgk Raja Husein, sama seperti saya. Kami bermain bola di tempat yang sama, dalam waktu yang berbeda, dan dengan kemampuan yang berbeda pula. Bapak terlalu tangguh jika dibandingkan dengan saya. Selayaknya Johan Cruyff dan Jordi Cruyff (anaknya). Sama-sama lahir di stadion Amsterdam Arena, siapa yang bisa menyangkal kehebatan Cruyff senior? Dan sudah semestinya, tak ada yang tega mensejajarkannya dengan si junior? Begitupula saya dan bapak.

Banyak anak seusia saya di sana tumbuh dengan cara yang sama. Kenal sepak bola karena orang tua, bermain bola di lapangan Tgk Raja Husein pun atas anjuran orang tua (karena dekat dari rumah). Bertumbuh dewasanya kami tak menyurutkan pandangan kami untuk berpaling dari lapangan kesayangan. Teknologi yang makin mutakhir juga tak sanggup menandingi kenikmatan kami dalam menghabiskan hari di lapangan sepak bola. Bagi saya dan beberapa kawan lainnya yang sudah menetap di kota berbeda, tentu akan sangat rindu jika mengingat itu.

Saya sudah berada jauh dari Aceh, sudah lama pula saya menetap di ibukota. Dengan segala kemudahan, kelebihan (juga kemewahan) yang dimiliki Jakarta, membuat saya betah tinggal di sini. Sebuah sifat alamiah (menurut saya) ketika kita sudah menetap 10 tahun lamanya di suatu tempat.

Ketika dihadapkan dengan pertanyaan di atas, antara Aceh dan Jakarta, dengan tenang saya menjawab, Aceh. Sekalipun saya sudah nyaman tinggal di Jakarta. Tapi, sekali lagi, Jakarta hanya tempat tinggal saya, bukan rumah saya. Dan bagi saya, hanya desa Cotgirek, Aceh Utara yang pantas disebut rumah. Sebuah Tempat yang mengawali tangis saya di dunia, tempat saya memulai mimpi dan cita-cita. Rumah pula yang menjadi alat pengingat dari mana kita berasal dan menjadi alasan kita untuk pulang. Seperti kata Ralph Waldo Emerson “rumah ialah tempat yang ingin kau tinggalkan ketika sedang tumbuh dan ingin kau kembali ketika mulai menua,”



Senin, 09 Januari 2017

Lelahkah kita dengan gonjang-ganjing pilkada yang – mungkin bahkan – tuhan pun tak tahu kapan selesainya? Twitter, Facebook selalu membombardir kita lewat mereka yang katanya relawan masing-masing jagoan dengan kedegilannya masing-masing.
sumber: bbc.com

Mereka pula yang selama ini menyuramkan penglihatan kita akan kebenaran yang hakiki. Menuduh yang satu menggunakan ayat tuhan untuk kepentingan politiknya. Padahal, ia pun memperkuat argumen pembelaan juga dengan ayat tuhan. Memperdagangkan firman tuhan sesuai kepentingan dengan tafsir berbeda memang sudah menjadi komoditas nasional ( meski yang satu menolak dianggap sebagai pengobral ayat suci al’quran). Dalam sekejap mata, negeri kita penuh sesak dengan ahli tafsir.

Ahmad Sahal, misalnya. Penduduk twitter mana yang tak tahu ustadz satu ini. sekolah tinggi nan jauh hingga ke Pennsylvania, AS sana, beliau kini sibuk membenarkan akhlak orang-orang yang menurutnya radikal dan menjadi cerobong ISIS – yang lagi-lagi menurut beliau – akan membawa Indonesia ke gerbang kehancuran, hanya karena berbeda pilihan.

Saya tidak begitu mengenal Ahmad Sahal dan saya pastikan dia juga tidak kenal saya, saya hanya orang yang dulu sempat menikmati tausiyah beliau di Twitter tentang toleransi dan keberagaman. Bahasanya yang sederhana tapi bermakna cukup dalam makin membuat saya betah berlama-lama baca cuitan Ahmad Sahal. Pengetahuannya tentang sejarah Islam lintas zaman semakin membuat saya belajar banyak tentang peradaban Islam di masa lalu. Ia pun cukup pintar menjawab pertanyaan netizen yang tetap setia di jalur agama, tanpa tedeng aling-aling pilkada.

Berbicara politik kita selalu berbicara tentang kepentingan dan hawa nafsu, baik itu pribadi ataupun golongan. Kepentingan politik pula yang sedang kita alami kala dihadapkan oleh dua reklamasi, Bali dan Jakarta. Ketika dua kota penting Indonesia yang sebenarnya berjauhan ini dirundung masalah yang sama. Band Superman Is Dead berhasil mengumpulkan jutaan orang untuk menolak reklamasi Tanjung Benoa. Termasuk kita yang di Jakarta ikut teriak satu suara.

Kepekaan kita pada Bali hilang tak berjejak saat ibukota negara diancam isu yang sama. Bahkan Superman Is Dead yang vocal ikut terdiam. Berharap Slank yang bersuara? Duh gusti, maafkan kebodohan saya ini. Kita di Jakarta berkeyakinan bahwa reklamasi di Bali beda peruntukannya dengan Jakarta. Padahal sama-sama reklamasi, sama-sama men-darat-kan lautan (ibukota). celakanya, ketika ditanya apa yang membedakan dua reklamasi ini, tidak ada yang bisa menjawab.

Kita mengagungkan mereka yang menentang laut dewata berubah fungsi alamaiahnya dengan kemungkinan buruk yang kelak terjadi. Sementara di Jakarta? Tidak ada yang lebih agung selain berteman sesama mereka sambil berseloroh primitif pada orang-orang menentang laut ibukota yang tengah diambang perubahan wujudnya.

Beberapa tahun ini, nafsu politik telah menjatuhkan harga diri kita hingga titik paling nadir. Hancurnya pertemanan karena yang satu mempermasalahkan agama dan yang satu tidak, menabikan sosok petahana dan yang satu tidak, mengkritik keras yang berlawanan dengan kita sementara yang satu tidak. Semua itu kita lakukan dari hal paling dasar hingga pada titik yang sebenarnya di luar jangkauan. Tapi kita tetap memaksakan diri untuk melakukan itu hanya demi dia yang kita tuan-agungkan. Lihat apa yang terjadi pada trah Soekarna sekarang, ketika putri yang satu lalu-lalang berdampingan dengan presiden, sementara putri lainnya diburu aparat karena diduga ingin menjatuhkan presiden.

Si putri yang bergerilya tentu tak sendiri. Bersama beberapa kolega ia ditangkap tepat di hari bersejarah, 212. Kita tentu anti dengan tindakan represif seperti penangkapan yang hanya bermodal “diduga”. Sialnya, beberapa dari kita ikut bersuka saat Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani, Rahmawati Soekarnoputri, Sri Bintang, dan lainnya dibawa ke polda metro jaya bahkan saat matahari belum menampakkan diri, selayaknya tentara yang gembira kala menyeret Wiji Thukul dan kawan-kawannya ditangkap dengan tuduhan yang sama.

Ya, kita lupa dengan apa yang dulu sempat kita lawan. Kita lupa jika dulu kita pernah bicara “TIDAK” dan sekarang kita hanya bisa bilang “IYA” pada si penguasa. Suka atau tidak, Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah sekalipun menangkap Fadjroel Rachman yang ketika itu itu lantang bersuara ingin menjatuhkan SBY dan sempat ingin mengkudetanya dari kursi presiden. Fadjroel yang mempunyai kekuatan media saja tidak pernah disentil SBY, kenapa sekarang kita begitu takut dengan orang-orang macam Ahmad Dhani dan Ratna Sarumpaet yang tidak memiliki kekuatan apa-apa?

Kepentingan dan hawa nafsu pula yang tampaknya membuat Ahmad Sahal kehilangan nalar ilmiahnya. Kini, ia hanya peduli pada akhlak umat yang tidak memilih calon yang sama dengannya. Toleransi yang ia junjung memang masih menjadi senjata andalan, namun tak jarang, apa yang ia katakan melampaui batas pembahasan yang sedang dikaji. Seperti saat ia menyerang Pandji Pragiwaksono yang berlawanan pilihan dengannya.

Gus Sahal (setidaknya itu sapaan netizen padanya) dengan yakin mempertanyakan komitmen idolanya Pandji yang hanya menyambangi FPI tapi tidak berani mendatangi kaum minoritas lainnya seperti Syiah, Ahmadiyah, dan….LGBT. seperti yang kita ketahui, kaum Syiah yang sempat bermasalah terjadi di Sampang, Madura. Bukan Jakarta. Sementara Ahmadiyah juga sempat geger di Bogor. Bukan Jakarta.  sementara kita sedang berbicara pilkada Jakarta, bukan daerah lainnya. Sementara LGBT? Saya gantian bertanya, apakah orang yang sudah banyak menafsirkan hadist dan beberapa ayat Al’quran ini pro LGBT?

Ahmad Sahal juga sepertinya hanya menaruh perhatian pada orang-orang yang sepaham pilihan dengannya atau yang berseberangan sekalian agar bisa ia ceramahi dan meng-ISIS-kan mereka. Sementara saya, siapa sih saya? Tak pernah sekalipun mention saya dibalas beliau. Yang menyakitkan hati adalah ketika beliau bercuit “menyerahkan kasus Ahok pada proses hukum=menerima apapun keputusan hukum. Kalo Ahok diputus nggak salah, ya jangan ngancam-ngancam dan ngamuk-ngamuk,” sebuah pernyataan tendesius, menurut saya. “menerima apapun keputusan hukum” tapi mengapa hanya “kalo Ahok diputus nggak bersalah” saja yang ia pertanyakan?

Ini pula yang membuat saya tertawa geli membacanya sekaligus membalikkan pertanyaan Gus Sahal “kalo misal, misal lho ya. Ahok diputus bersalah, gimana?,” sudah barang tentu beliau tak sanggup menerima kenyataan itu dan tak mampu untuk tidak ngamuk-ngamuk di linimasa. hingga kini, pertanyaan sederhana itu pun urung ia jawab.

Seberapa hebatkah pemimpin sekarang sehingga tiap kesalahan yang ia perbuat terasa berat untuk kita kritisi? Seberapa manusiawi kah pemimpin kita, sehingga tiap dalam ketidaktahuan kebijakan yang dibuat kita ikut lupa pada sebuah kesalahan fatal? Seberapa besarkan pemimpin kita, sehingga apa yang ia ucap menjadi kebenaran bagi kita semua? Seberapa pintarkah pemimpin kita, sehingga semua kebijakan yang diambil kita yakini seakan datang dari tuhan? Yang kemudian menuduh mereka yang tak sepaham sebagai kumpulan orang radikal, curut ISIS, otak (nanah) sesat, dan melenceng dari ajaran tuhan yang penuh cinta? Dan, seberapa sucinya pemimpin kita sehingga kita rela hancur oleh adu domba, akibat ketamakan mereka?

Untuk menjadi objektif saja, kita harus menjadi bagian dari mereka. Sedikit saja melenceng, bersiap diserbu oleh teman-temannya. Seperti Ulil Abshar Abdalla yang langsung dihardik “duh, mas Ulil kok udah nggak objektif lagi ya? Udah beda sekarang. Mas Ulil punya kepentingan ya sekarang? Oh iya, partainya kan punya calon juga,” saat Ulil baru sekali saja mengkritisi calon petahana.

Saya bukanlah pembenci petahana. Saya justru memilih petahana untuk kembali duduk di balai kota, sekalipun saya bukan warganya. Saya hanya pembenci sebagian dari kita yang selalu mendewakan penguasa dan membutakan mata kita, membisukan suara kita, menulikan pendengaran kita pada sebuah kebenaran lain yang terjadi dihadapan kita.

Sadarkah kita jika tiap kontroversi yang selalu ia cipta berbuah dari kebodohan kita yang selalu membela? Ia tak pernah belajar dari apa yang selama ini dia ucap karena selalu ada kita yang membela mati-matian tanpa sekalipun mengkritisi apa yang dia buat? Ingat, seburuk-buruknya pemimpin akan baik pula jika dalam tiap perbuatannya selalu kita ingatkan dan kita kritisi. Sebaliknya, sebaik apapun pemimpin, ia akan menjadi buruk jika dalam tiap tindak-tanduknya selalu kita bela, sekalipun itu salah. Sehingga membuat dia bisa berbuat seenaknya karena banyak dari kita yang akan rela menerima kesalahannya.